Jumat, 12 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 14
--------------------
By. Aby Anggara
=========================

*-*-*

Maryam terlihat sangat terpukul atas kejadian yang menimpa putranya si Alfin, ia tak mampu lagi membendung air matanya. Ia duduk di kursi ruang tunggu yang telah di sediakan dengan mata yang masih merabak memerah.

"Ini semua gara-gara kamu tau gak? Awas saja kalo sampe terjadi sesuatu dengan Alfin" ancam Alfan. Andre hanya terdiam, ia menyesali atas perbuatanya beberapa bulan lalu.

"Maafin gue, gue bener-bener gak bermaksud"

"Bohong"

"Maaf ini rumah sakit, tolong jangan buat keributan di sini. Jika kalian ada masalah silahkan selesaikan di luar!" ucap Dokter yang baru saja keluar dari ruang kamar Alfin.

"Bagai mana keadaan anak saya, Dok?" ujar Maryam tak sabar. Ia segera mendekati Dokter yang masih berdiri di depan pintu itu.

"Anak Ibu mengidap penyakit HIV, ini masih tahap awal, semoga saja masih bisa di tangani"

Maryam menggelengkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan telapak tangan kananya. "Bagai mana mungkin Dok, anak saya anak baik-baik"

"Sabar Bu, semua tak ada yang tak mungkin, berdoa saja semoga semuanya sesuai seperti yang kita harapkan. Silahkan selesaikan administrasinya dulu agar kita bisa melakukan penanganan lebih lanjut, permisi"

Dokter itu kemudian meninggalkan Maryam, seketika Maryam menoleh pada Alfan, ia terlihat bingung mengenai biaya rumah sakit itu. Alfan pun tertunduk, karna ia juga masih terlihat bingung dari mana harus mendapatkan uang itu.

"Maaf Buk kalo boleh saya membantu, biar saya yang menanggung semua biaya pengobatan Alfin" ujar Andre dengan bahasa sopan.

"Nggak!! Aku gak terima jika kamu yang akan membiayai Adik saya. Ingat ya, saya masih bisa kok cari uang untuk membiayai Alfin" tolak Alfan ketus. Seketika Andre terdiam dan tak menimpali perkataan Alfan lagi.

*-*-*

Tok tok tok....

Tak menunggu lama, pintu kamar Melinda terbuka, seketika membuat Melinda sangat kaget saat melihat Alfan dengan mata yang sembab.

"Kamu kenapa Fan, kenapa mata kamu seperti ini sayang?" Melinda terlihat sangat khawatir sambil memegangi kedua pipi Alfan dengan kedua tanganya, bahkan ia memeriksa fisik Alfan sampai ke bawah apakah ada yang terluka.

"Ma..?" sapa Alfan lirih, suaranya hampir tak terdengar.

"Kamu kenapa Fan, cerita dong sama Mama"

"Aku butuh uang Ma, Adenya Alfan masuk rumah sakit"

"Maksud... Maksud kamu Adik kandung kamu?" tanya Melinda, Alfan mengangguk lemah. "Nggak, Mama gak mau membiayai anaknya si Maryam itu" Melinda kemudian berjalan memasuki kamarnya dan memangku kedua tanganya membelakangi Alfan. Alfan kemudian perlahan berjalan mendekati Mamanya, lalu ia berdiri dengan kedua lututnya.

"Alfan mohon Ma"

Melinda lalu membalikan tubuhnya dan menatap wajah Alfan yang mendongak menatapnya. Wajahnya terlihat sayu dan penuh keputus asaan. "Mama itu bisa korbanin apa saja demi kamu Fan, karna Mama sayang sama kamu, tapi kalo demi orang lain, Mama bener-bener gak sudi Fan"

Wajah Alfan kemudian tertunduk tak bersemangat, bibirnya bergetar. Dengan sangat hati-hati Alfan memeluk kedua kaki Melinda dengan segala kerendahan hatinya. "Ma aku mohon Ma, Alfin mengidap HIV, dia Adik kandung aku Ma" Alfan semakin terisak di kaki Mamanya, namun Melinda masih membuang pandanganya seolah benar-benar tak peduli.

"Sekali enggak tetap enggak, sudah deh Fan jangan paksa Mama" perlahan Alfan melepaskan tanganya dari kaki Melinda, ia segera berdiri. Suara tangisan Alfan tertahan, ia berusaha untuk tegar di depan Mamanya, namun tetap saja ia tak mampu menahan air matanya.

"Aku tau aku bukan anak kandung Mama, jadi wajar kalo Mama gak nuruti permintaan aku. Baiklah kalo Mama benar-benar gak peduli dengan Alfin, berarti Mama juga gak peduli dengan Alfan. Aku akan berusaha Ma, aku pasti bisa dapetin uang itu" perlahan Alfan memutar tubuhnya dan meninggalkan kamar Mamanya, ia berjalan dengan penuh keputus asaan. Ia berjalan menuju kamarnya.

Alfan duduk bersandar di ranjang tempat tidurnya dengan memeluk satu bantal guling. Ia merogoh saku celananya, mengambil sebuah kalung yang menjadi satu-satunya barang pemberian Ibu kandungnya. Ia menangis saat memandangi kalung itu, mengingatkan dengan sejuta kesedihan yang sangat mendalam. Dengan tangan bergetar, Alfan menggenggam kalung itu dengan penuh amarah, bahkan semua rasa kekecewaan seakan ikut hadir memenuhi suasana hatinya.

Dengan perlahan ia kembali membuka genggaman tanganya, berharap kalung itu sudah leyap dan tak ada lagi di telapak tanganya agar sedikit menghilangkan rasa sesak di dadanya, namun harapan itu sia-sia, kalung itu masih tetap utuh di tanganya tanpa merubah bentuk fisiknya sedikitpun.

Alfan yang dulunya di kenal dengan sosok tak mau tau, acuh, dan juga masa bodoh. Namun saat ini ia menjadi anak yang cengeng, seperti anak kecil yang tak pernah mendapatkan uang jajan dan selalu menangis.

Di hatinya mengutuk penuh sumpah serapa, jika ia tak akan pernah memafkan Ibunya. Rasa kecewa telah terlanjur membuatnya benci terhadap Ibu kandungnya, namun ia masih sangat menyayangi Alfin. Bahkan rasa sayangnya kali ini tak bisa di gambarkan dengan kata-kata.

Pintu kamar Alfan terdengar ada yang mengetuknya, ia dengan cepat meletakan kalung itu di atas meja dan segera menghapus air matanya. Namun Alfan tak menjawab ketukan pintu itu, sehingga orang yang berada di luar kamarnya semakin kencang mengetuk pintu kamarnya.

"Kak Alfan.." sapa Reza yang akhirnya menyapa.

"Masuk saja, Za!" singkatnya. Perlahan pintu kamar itu terbuka, terlihat sosok Reza dengan senyuman ceriah dan di tangan kananya membawa sebuah kota berwarna hitam. Senyuma Reza pudar saat ia mendapati mata Alfan yang masih terlihat merah.

"Ka Alfan habis nangis?" tanya Reza dengan polosnya, tanpa mendapat perintah dari Alfan, ia segera duduk di tepi ranjang di sebelah Alfan. Reza masih memperhatikan wajah Alfan yang masih terdiam tanpa ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaanya.

"Kak..?" sapanya lembut, Alfan lalu menoleh Reza, tatapanya terlihat begitu sayu. "Kenapa Kakak sedih, Ka Alfan lagi ada masalah?" tanya Reza yang terlihat sangat peduli, namun Alfan belum mau berterus terang, ia hanya menggelengkan kepalanya sangat pelan, seperti orang yang sudah benar-benar putus asa.

"Kamu ngapai kesini, Za?" tanya Alfan, Reza kemudian melihat kotak yang ia bawa dan menyodorkanya pada Alfan.

"Ini Reza ada hadiah buat Kakak, Reza belinya peke uang tabungan Reza sendiri loh Kak. Sebenernya ini hadiah sudah Reza beli saat Ka Alfan ulang tahun beberapa bulan lalu, tapi Reza gak berani kasihnya, makanya sampai sekarang masih Reza simpan" jelasnya. Alfan kemudian tersenyum, berusaha menghargai usaha Reza yang selalu baik padanya.

"Makasih ya Za, kamu baik banget sama Kakak"

"Sama-sama Kak, yaudah sini Reza pekein ya Kak jam tanganya?"

Alfan mengangguk. Dengan hati yang sangat bahagia Reza membuka kotak itu, senyuman indah kini kembali tergambar di wajahnya. Reza melepas jam tanga yang saat ini melingkar di tangan Alfan, kemudian perlahan ia kembali memakaikan jam tangan yang baru di tangan kiri Alfan.

"Gimana Kak, suka gak dengan jam nya?"

"Iya Za, Kakak suka banget, makasih ya?" ujar Alfan mengusap rambut Reza.

Reza mengangguk, dan kini matanya menangkap sesuatu yang ada di atas meja kecil itu.

"Loh itukan kalung yang sama persis dengan punya Alfin, kok bisa ada di sini Kak? Bukanya kalung itu sudah hilang?" tanya Reza keheranan. Pertanyaan Reza kembali membuat Alfan bersedih setelah beberapa saat ia mampu melupakan kesedihanya.

"Iya Za kalungnya sudah ketemu, dan maaf ya kemarin Ka Alfan sampai nuduh kamu yang mengambilnya"

"Oh.. syukur deh kalo gitu, yaudah Reza kekamar dulu ya Kak? Udah malem, Reza udah ngantuk"

"Makasih ya, Za?" Reza tersenyum.

Saat Reza sudah meninggalkan kamarnya, Alfan segera bersiap-siap menuju rumah sakit. Pikiranya tak bisa tenang jika ia belum tau perkembangan Adiknya itu.

Sesampainya di rumah sakit, Alfan berjalan tak bersemangat. Wajahnya pun terlihat lusuh karena terasa sangat lelah. Ia kembali menuju kamar dimana Alfin dirawat, namun kedatanganya tak membawa kabar gembira, ia hanya ingin memastikan kalo Adiknya masih dalam keadaan baik-baik saja.

Alfan dengan sangat hati-hati memutar gagang pintu kamar itu, namun tetap saja terdengar suara membuat Alfin dan Ibunya segera menatap seseorang yang baru saja datang dari balik pintu itu. Alfan melihat Ibunya yang sudah tak menangis lagi, namun sesekali ia masih mendengar suara sesegukanya.

Pandangan Alfan kini beralih menatap Alfin, ia berjalan pelan menghampirinya. Suasana malam itu terdengar begitu hening, di antara ketiganya masih diam membisu. Alfan meletakan punggung tanganya pada kening Alfin, seketika membuat telapak tangan Alfan ikut merasakan panasnya tubuh Alfin.

"Kak.. Alfin takut, Alfin mau pulang saja ya Kak?" keluh Alfin tiba-tiba, seketika air mata Alfin kembali menetes. Alfan pun ikut menangis, bahkan hatinya terasa sangat pedih seperti di sayat-sayat saat ia merasa tak berguna bagi Adiknya.

"Kamu jangan nangis Fin, Kakak gak kuat liat kamu seperti ini" kata Alfan yang ikut terisak, dengan pelan ia menyeka air mata Alfin yang masih mengalir.

Alfin menggelengkan kepalanya. "Gimana Alfin gak nangis Kak, Alfin gak kuat Kak"

"Apa yang kamu rasakan Fin?" ujar Alfan terlihat panik.

"Kepala Alfin pusing Kak, tenggorokan Alfin sakit..." keluhnya.

"Ya Alloh... Sembuhkanlah Adiku, aku gak sanggup ya Alloh... Aku memang tidak merasakan apa yang Alfin rasakan, tapi hatiku... Hatiku ikut terasa sesak seperti di hantam batu yang sangat besar sehingga membuatku susah bernafas" Alfan semakin menangis, ia tak mampu lagi membendung air matanya, bahkan ia tak peduli jika ia terlihat cengen di depan Adik kandungnya itu.

"Kamu janji ya Fin sama Kakak, kamu harus sembuh, kamu harus kuat Fin!"

"Iya Kak, Alfin janji, Alfin akan sembuh. Kak Al jangan sedih lagi ya, Alfin pengen kita bisa kumpul sama-sama Kak"

Tak terasa Maryam yang berada di belakang Alfan pun ikut menangis, namun tangisanya tangisan tertahan. Alfin yang mendengar isakan Ibunya segera memalingkan pandangnya.

"Ibu jangan nangis, Alfin gak papa kok Buk" ujar Alfin sambil tersenyum. Namun ucapan Alfin bukan mambuat Ibunya menjadi tenang, bahkan Ibunya semakin terisak dengan tangan kanan yang menutupi mulutnya. Ia tau kalau ucapan anaknya adalah kebohongan yang hanya ingin membuatnya merasa lebih tenang.

"Kakak pergi dulu ya Fin, kamu baik-baik di sini" ucap Alfan, namun tangan Alfin dengan cepat memegangi tangan Alfan.

"Jangan pergi lagi Kak, temeni Alfin disini" rintihnya. ucapan Alfin seketika membuat Alfan dilema, di satu sisi ia memang sangat ingin menemani Adiknya, namun di sisi lain ia masih harus mencari uang untuk biaya pengobatan Alfin.

"Kakak gak lama kok Fin, Kakak cuma pergi sebentar saja, ya?" ujar Alfan meyakinkan. Alfin masih menatap wajah Alfan, memastikan kalau perkataan Alfan tidak berbohong, namun akhirnya Alfin percaya dan ia melepaskan genggaman tanganya.

"Janji ya, Kak?"

Alfan hanya mengangguk pelan. Alfan segera bangkit dan berjalan keluar dari kamar itu, kakinya terasa amat berat untuk melangkah meninggalkan ruangan itu, namun ia memaksanya, karna apa yang akan ia lakukan adalah demi kebaikan Adiknya Alfin. Sesampainya di pintu kamar itu, Alfan kembali menoleh kebelakang. Terasa tak tega untuk meninggalkan Alfin, namun ia menguatkan hatinya. Sekuat tenaga Alfan berusaha untuk tersenyum walau hatinya menangis, lalu ia menutup pintu kamar itu.

Alfan menyusuri keramaian kota di malam itu, dinginya angin malam tak lagi ia hiraukan. Namun ia tak tau harus kemana ia melajukan kendaraanya itu. Ia kemudian berhenti di pinggir jalan dan ia membuka helmnya. Kedua tanganya memegangi pagar pembatas jembatan itu. Ia menongok kebawah, walau hanya dengan lampu kota yang sedikit remang-remang, namun ia masih bisa melihat dalamnya sungai itu, dan ia juga masih bisa mendengarkan gemuruhnya aliran air yang sangat ricuh diantara bebatuan-bebatuan besar.

"Aku tak tau lagi harus kemana aku mendapatkan uang itu, aku benar-benar lelah dengan hidup ini. Kenapa jalan hidupku kali ini sangat sulit? Dimana kebahagiaan-kebahagiaan yang dulu? Di saat aku selalu tersenyum, di saat aku hanya tinggal mengadahkan tangan ketika aku membutuhkan uang. Bahkan aku tak pernah membayangkan betapa susahnya mencari uang, yang aku tau, ketika aku butuh uang Mama Meli selalu memberikan uang itu, bahkan Mama Meli selalu memberikan uang itu berapapun yang aku minta. Tapi kenapa di saat aku meminta untuk pembiayaan Alfin, Mama Meli sama sekali tak memberiku walau hanya sepeserpun? Sebegitu bencinyakah Mama Meli dengan Ibu Maryam? Tapi kenapa, kenapa Mama Meli harus benci? Arrrrghhhtt!! Kepaku terasa sangat pusing memikirkan semua ini. Mungkin Tuhan sudah tak sayang lagi denganku, makanya saat ini aku dibuat sangat menderita. Oke bailah kalo itu kehendakmu, aku akan pergi. Aku akan pergi dari dunia ini untuk selamanya"

Alfan menarik nafas dalam-dalam, kemudian perlahan satu kaki kananya mulau menaiki pagar pembatas jembatan itu. Kemudian satu kaki kirinya pun ikut melangkah hingga akhirnya ia sampai di pembatas yang paling atas. Alfan hanya berpegangan dengan satu tangan, ia memutuskan akan melompat dari ketinggian itu dan terjun ke sungai yang di bawahnya penuh dengan batu-batu besar.

"Maafin aku Ma, Maafin aku Pa, Maafin aku Za, dan juga maafin Kaka ya, Fin?" ujarnya dengan raut wajah penuh keputus asaan. Kesedihan kini kembali menyelimuti hatinya, namun Alfan berusaha menepisnya, ia sudah terasa lelah dengan kehidupanya yang saat ini. Perlahan Alfan memejamkan kedua matanya, agar tak merasakan ketakutan saat melompat dari pagar jembatan itu. Semilir angin malam menerpa tubuhnya, namun sepertinya ia sudah benar-benar tak menghiraukanya lagi. Yang ada di hatinya saat ini hanyalah ingin segera pergi dari dunia dan tak merasakan betapa sulitnya menjalani hidup.

"Baiklah, ini sudah saatnya" ujarnya mantap. Alfan kembali menghela nafas panjang, di dalam hatinya menghitung mundur, saat hitungan kesatu ia akan segera lompat ke sungai yang di penuhi dengan batu-batu besar itu.

"Iya Kak Alfin pasti sembuh kok, dan Alfin pengen kita kumpul sama-sama"

Saat teringat ucapan Alfin tadi, Alfan segera membuka kedua matanya.

"Dasar bodoh, orang yang terbaring sakit saja ingin berjuang untuk sembuh, tapi aku? Aku malah ingin mengakhiri hidupku? Nggak ini gak boleh terjadi, aku gak boleh cengeng dan aku harus kuat. Aku yakin aku bisa mendapatkan uang itu. Ya.. Aku pasti bisa"

Alfan kemudian kembali turun dari ketinggian itu, kali ini akal sehatnya kembali bekerja dan mengalahkan segalanya, bahkan ia mempunyai keyakinan yang sangat kuat jika ia pasti bisa.

"Maafin Kaka Fin, Kakak khilaf"

Alfan kemudian mengendarai kendaranya dengan kecepatan sedang, di otaknya selalu saja memikirkan keadaan Adiknya yang masih terbaring di rumah sakit itu. Beberapa hari ini pikiranya selalu kacau dan tak bisa berfikir dengan tenang.

"Ya Alloh... Harus kemana aku mencari uang sebanyak itu, aku bingung ya Alloh.."

Alfan mengendarai sepeda motornya tanpa arah, ia sendiri masih belum tau harus kemana, malam ini hatinya benar-benar kacau, tak ada seseorang yang bisa membuatnya tenang. Seketika ia melintas di tempat yang pernah ia lalui, seketika otaknya bekerja mempunyai sebuah ide. Ia segera memarkirkan sepeda motornya di depan gedung itu, kemudian ia kembali melepas helmnya.

"Dulu di tempat ini aku pernah bilang kalau mereka murahan, tapi saat ini... Saat ini justru aku yang menjilat ludahku sendiri. Aku malu pada diriku sendiri, tapi... Aku tak punya pilihan lain, inilah satu-satunya jalan aku mendapatkan uang. Aku tak mau jika Adiku tak bisa mendapatkan perawatan hanya karna tak melunasi tagihanya. Maafin aku Ma, maafin Ka Al, ya Fin? Aku terpaksa melakukan semua ini"

Dengan ragu Alfan melangkahkan kakinya menuju pintu masuk itu, sesampainya di sana, ia melangkah pelan. Afan bahkan belum tau sama sekali bagaimana cara menawarkan diri terhadap gadun-gadun yang sudah biasa memboking. Didalam ruangan itu ia terlihat seperti orang bodoh yang tak tau apa-apa.

"Eh ada brondong... Cakep lagi, ngapain di sini?" goda seorang laki-laki dewasa sembari mengelilingi tubuh Alfan. Laki-laki itu memperhatikan tubuh Alfan dari atas hingga kebawah. Di otaknya sudah mulai berfikiran mesum, sedangkan Alfan masih diam tertunduk, tubuhnya bergetar ketakutan. "Kamu sungguh manis" ujar laki-laki itu sembari mencolek wajah Alfan.

"Aku... Aku..." ucapan Alfan terhenti dan tak mampu untuk melanjutkanya, bibirnya pun bergetar tak menentu.

"Oh... Om tau, gak usah malu-malu, ayo sinih duduk temenin Om!" ujar laki-laki itu dengan tangan kanan mempersilahkan pada kursi yang masih kosong, Alfan menelan ludah karena rasa takut dan juga jijiknya terhadap laki-laki yang penuh berewok di pipinya itu.

"Ayo sudah duduk sinih..!" laki-laki itu menarik tangan Alfan dengan pelan, namun Alfan terlihat pasrah dan mengikuti langkah laki-laki itu. Laki-laki itu terus mandangi wajah Alfan, sesekali terlihat senyuman nakal di pipinya. "Kamu masih seger banget ya, masih fress, pasti kamu belum pernah bersetubuh ya?" tanya laki-laki itu sembari mengusap pipi Alfan dengan jari telunjuknya. Alfan hanya diam tak menjawab pertanyaan laki-laki itu, bahkan ia sangat risih dengan perlakuan lelaki dewasa yang sejak tadi menggerayangi tubuhnya. Namun apa daya, keadaan yang mebuatnya harus pasrah dan merelakan tubuhnya di nikmati para gadun-gadun di dalam ruangan itu.

Bersambug...

Selasa, 09 Februari 2016

Percintaa Sedarah
Epesode 13
------------------
By. Aby Anggara
=======================

*-*-*

Di dalam hati Alfan penuh dengan rasa ke khawatiran, ia takut terjadi sesuatu dengan Reza. Di pagi itu jalanan sedikit macet, selain jam berangkat sekolah, jalanan juga di penuhi dengan orang-orang yang berangkat ke tempat aktivitasnya masing-masing. Suara klakson motor dan mobil terdengar saling bersahutan saat lampu rambo baru saja berubah menjadi hijau. Sedangkang Alfan sesekali menengokan pandangnya di sekitar pinggir jalan.

Alfan berhenti di satu tempat keramaian, ia mendekati segerombolan orang yang sedang menikmati sarapan paginya di warung pinggiran jalan.

"Maaf bang numpang nanya, pernah liat orang yang seperti di foto ini gak?" Alfan menyodorkan foto Reza pada salah satu di antara mereka.

"Oh maaf saya gak pernah liat"

"Yaudah makasih"

Alfan kemudian kembali berjalan mendekati ke gerombolan lain dan menanyakan hal serupa, namun tetap saja, setiap orang yang ia tanya pasti menggelengkan kepalanya. Alfan kemudian kembali berjalan mendekati sepeda motornya dengan langkah tak bersemangat, di hatinya terasa sesak akibat rasa bersalahnya.

Ia kembali memakai helm nya, tak lama ia segera meninggalkan tempat itu. Sudah beberapa jam ia berkeliling jalanan raya penuh keramaian, namun belum juga ia menemukan seseorang yang ia cari. Alfan kemudian kembali berhenti.

"Sepertinya aku butuh bantuan Arlan" ujar Alfan dengan pelan, ia kemudian merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada kontak Arlan.

"Ya, Fan?"

"Reza kabur dari rumah Ar, apa dia dirumahmu?"

"Reza kabur dari rumah? Aku gak tau Fan, dari kamarin hp nya memang gak aktif"

"Yaudah kalo gitu, makasih informasinya"

"Oke aku cabut dari sekolah sekarang, aku juga mau cari Reza"

"Gak usah Ar, biar aku aja"

"Sudah tenang saja"

Tut... Tut... Tut...

Dengan sepihak Arlan memutuskan panggilanya.

"Dasar kerasa kepala" gumam Alfan. Ia kemudian melanjutkan perjalananya. Namun baru saja ia memutar kuci kontak sepeda motornya ke posisi 'ON' ponselnya bergetar, Alfan kemudian melihatnya. Nama Alfin pun tertera di layar ponselnya. Alfan terdiam dan tak ada keberanian untuk menjawab panggilan itu, selain ia masih kesal dengan Ibunya, ia juga masih merasa malu saat teringat hubungan asmaranya dengan Alfin.

Suara dering pun terhenti saat ia tak menjawab panggilan itu, namun beberapa saat kemudian ponselnya kembali berdering. Lagi-lagi Alfan hanya melihatnya, ia belum ada keberanian untuk mendengar suara Alfin.

"Maafin Kakak Fin, Kakak malu sama kamu" ucapnya lirih.

Tak lama ponsel kembali berdering namun singkat, menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Alfan segera membukanya.

Dari : Alfin
07:30

Kenapa Ka Al gak mau angkat telepon dari Alfin? Kakak masih marah sama Ibuk dan juga Alfin? Atau Kakak malu punya keluarga yang miskin?

Pulang Kak, Ibu dari tadi menangis.

----

Rasa sedih kembali menyusup di hati Alfan, ada rasa benci, kesal dan juga malu kini bercampur menjati satu, terlebih ia juga masih merasa bersalah pada Reza, hingga membuat hatinya semakin kacau.

"Sesulit ini kah masalahku saat ini? Aku benar-benar bingung harus kemana aku melangkah. Aku bukan malu punya seorang Ibu yang miskin, tapi aku belum bisa menerima kenapa Ibu tak merawatku sejak kecil? Kenapa aku malah di besarkan dengan orang lain yang justru sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri? Walau aku sering menyakiti hatinya, tapi Mama Meli tetap saja tak pernah marah sedikitpun denganku. Bagiku hanya dialah seorang Ibu yang sempurna di mataku, yang tak pernah lelah menyayangiku, selalu membelaku saat Papa tak pernah berpihak padaku, dan Mama Meli tak pernah membentaku walau hanya sekalipun. Tapi kenapa, jika Ibu Maryam benar-bener Ibuku malah tak merawatku sejak aku kecil? Kenapa dia mengaku saat aku sudah sebesar ini? Saat aku kecil, dia kemana?. Entahlah aku juga belum mengetahuinya, tapi yang pasti, aku tak mau menganggapnya sebagai seorang Ibu. Seorang Ibu tak akan pernah membuang anaknya" mata Alfan mulai memerah, namun sekali lagi ia tak membalas pesan dari Alfin dan kembali menaruh ponsel di saku celananya.

Alfan kemudian melanjutkan perjalananya, menyusuri keramaian kota yang sangat padat itu, di benaknya kini hanya ingin segera bertemu dengan Reza dan meminta maaf.

Waktu begitu cepat berlalu, hingga siangpun telah menjumpainya. Sejak pagi sampai saat ini Alfan belum beristirahat, tubuhnya mulai terasa dahaga dan perutnya sudah mulai berbunyi karena kelaparan. Alfan berhenti di sebuah terminal, ia memesan minuman dingin di sertai makanan ringan.

Alfan mengeluarkan ponselnya, berusaha menelpon nomor Reza. Namun tetap saja, nomor itu belum juga aktif. Kemudian ia menoleh ke sekitarnya, namun ia juga tak mendapati sosok Reza. Di bawah pohon yang besar itu, Alfan duduk bersantai sembari menunggu pesananya datang, namun sekilas matanya menangkap sosok yang tak asing baginya, walau dengan pakaian yang sudah lusuh, tetapi dari gerak-geriknya Alfan seperti tak asing lagi baginya.

Dengan penuh rasa penasaran Alfan masih terus memperhatikan anak itu, seseorang yang sedang mengangkat barang bawaan yang berada di dalam karung berukuran lumayan besar, anak itu merasakan betapa beratnya barang yang ia bawa, bahkan sesekali ia menurunkan barang bawaanya dan mengusap keringat yang mengalir dari dahinya.

Mata Alfan memerah saat mendapati sosok Reza yang sedang berusaha mendapatkan uang demi sesuap nasi, padahal di rumah, Reza tak pernah mengangkat beban seberat itu. Air mata Alfan mengalir tanpa ia sadari, dadanya terasa sesak karna rasa bersalahnya. Alfan kemudian berjalan menghampiri anak itu.

"Reza..." teriak Alfan dari kejauhan, ia sedikit berlari kecil. Reza yang mendengar panggilan Alfan segera menoleh dan ia menundukan kepalanya saat Alfan sudah hampir sampai di depanya. Reza masih terdiam tak berani mengangkat kepalanya, karna ia sudah yakin jika Alfan pasti akan memarahinya.

Saat ini suasana menjadi hening, Alfan menangis dengan suara tertahan, memperhatikan Reza dengan baju yang lusuh dan terlihat sangat kotor. Tangan Reza yang biasanya berwarna putih bersih kini menjadi kemerahan saat terkena teriknya sinar matahari yang sangat panas.

"Maafin Kakak ya, Za" ujar Alfan memeluk tubuh Reza dengan erat. Seketika tangisan Alfan pecah di pelukan Reza. Reza sangat tak menyangka jika Alfan akan melakukan hal ini padanya. Perlahan, Reza membalas pelukan Alfan dan ia ikut menangis.

"Kakak kenapa menangis?" ujar Reza yang masih terlihat bingung. Ia melepaskan pelukanya, kemudian menatap wajah Alfan, dan perlahan Reza menghapus air mata Alfan.

"Maafin Kakak Za, Ka Alfan menyesal telah menyia-nyiakan orang sebaik kamu Za" ujar Alfan, Reza menggelengkan kepalanya.

"Nggak kok Kak, Reza selalu maafin Kakak" jawabnya, Reza berusaha tersenyum walau dalam isak tangisanya. Dengan sangat hati-hati, kedua tangan Alfan menyeka air mata itu, Reza sangat bahagia saat mendapat perlakuan yang belum pernah ia dapatkan selama ini.

"Sekarang kita pulang ya Za, Mama sama Papa sudah nungguin kamu dirumah" Reza mengangguk bahagia. "Karung ini mau di bawa kemana Za?"

"Ke truk yang ada di sana Kak" ujar Reza menunjuk sebuah truk berwarna kuning. Pandangan Alfan kini secara bergantian menatap truk itu dan karung yang ada di depanya, jaraknya lumayan jauh. Alfan segera mengangkat karung itu, di ikuti oleh Reza yang berjalan di belakangnya.

"Nih upahnya Dek" kata seorang laki-laki dewasa itu.

"Nggak usah Pak, makasih kami pergi dulu" Reza dan Alfan kini pergi meninggalkan truk itu dan kembali menuju warung tempat ia memesan makanan tadi.

"Kamu pasti belum makan siang kan, Za?" tanya Alfan, Reza mengangguk.

"Buk pesan satu porsi lagi ya!"

"Iya, Dek"

"Kamu makan saja dulu Za, ini makanan yang udah Ka Alfan pesan sejak tadi, sekarang kamu makan ya!" Reza mengangguk kemudian ia segera makan dengan sangat lahap, sepertinya Reza memang sedang kelaparan, karna ia tak biasanya makan seperti orang yang rakus. Alfan tersenyum, sembari terus menyaksikan Reza yang sedang lahap dengan makan siangnya.

*-*-*

Pagi itu terlihat tak seperti biasanya, Reza yang terlihat sangat akrab saat di meja makan, bahkan sesekali Alfan mengambil makanan yang ada di piring Reza. Melinda tersenyum bahagia saat melihat keduanya bisa sangat rukun seperti ini.

"Kak udah dong kalo gini terus, tar Reza gak jadi makan dong" keluh Reza dengan bibir sedikit manyun. Melinda menggelengkan kepalanya heran menyaksikan keduanya. Sedangkan Alfan malah semakin terkekeh melihat keluhan Reza.

"Sudah-sudah jangan becanda mulu, ayo buruan makan nanti kalian telat berangkat sekolah loh" ujar Melinda melerai mereka.

"Ma, mulai hari ini Reza berangkat sekolahnya sama aku saja ya?" pinta Alfan. Sontak semua mata tertuju pada Papanya seolah meminta persetujuan.

"Boleh ya, Pa?" rinti Reza.

"Iya boleh, tapi Alfan bawa motornya jangan ngebut-ngebut ya!"

"Siap, Pa" ujar Alfan di barengi mengangkat tangan sejajar dengan telinganya seperti hormat bendera, hal itu membuat Reza terkekeh.

Sarapan pagi sudah selesai, kini saatnya Alfan dan Reza berangkat kesekolah bersama. Saat Alfan berjalan menuju pintu keluar, ponselnya bergetar. Ia segera melihatnya, lagi-lagi Alfin meneponya. Namun lagi-lagi Alfan belum ada keberanian untuk menjawab telepon itu, ia kembali menaruh ponselnya dalam saku celananya.

"Ayo Za naik!" perintah Alfan.

"Tapi jangan kejut-kejutan lagi seperti waktu lalu ya Kak? Aku takut jatuh" pinta Reza memohon, seketika Alfan terkekeh, dan tak lama mereka meninggalkan halaman rumahnya, segera menuju Sekolahnya.

.

                          = = = = =

.

"Cie.. Yang sudah pada akur, aku ampe di lupain" keluh Arlan yang baru saja datang ke Kantin sekolahnya, ia kemudian duduk di kursi yang masih kosong.

"Eh kata siapa, tadi Reza cariin Ka Arlan loh pengen ajakin makan bareng, sampe Reza cepek tapi gak ketemu-ketemu, yaudah Reza berdua aja ama Ka Alfan" jelas Reza, Alfan terkekeh.

"Yadeh-yadeh percaya, tapi besok-besok jangan main kabur-kaburan lagi ya, Ka Arlan khawatir tau" kata Arlan sambil mencubit kecil hidung Reza, Reza tersipu atas perlakuan Arlan padanya.

Siang itu mereka makan bersama, Reza terlihat sangat bahagia dengan perubahan sikap Alfan yang saat ini sangat menyayanginya dan bersikap sangat hangat. Tiba-tiba terdengar suara ponsel Reza berdering, dan ia segera menjawab panggilan masuk itu.

"Ya halo, Pa"

"Papa jemputnya agak telat sayang, Papa lagi di bengkel ban mobilnya bocor"

"Papa gak usah jemput Pa, Reza pulang sama Ka Alfan saja"

"Kamu yakin?"

"Iya Pa"

"Yasudah kalo gitu"

"Cie yang mau pulang bareng, awas loh Za, tar tiba-tiba si Al galak di tengah jalan gimana?" goda Arlan.

"Gak lah Kak, Kak Alfan itu sekarang baik banget loh, Reza jadi seneng banget" ujar Reza.

"Pada ngomongin apaan sih kalian, yasudah ayo pulang!"

Tak lama mereka pun meninggalkan sekolahnya dan segera pulang. Saat di perjalanan, kedua tangan Reza memeluk erat di perut Alfan. Momen seperti ini sudah lama ia nantikan, namun baru kali ini ia bisa merasakan mempunya Kakak yang bisa membuatnya aman dan nyaman. Mereka sudah sampai di rumahnya, Reza segera turun di ikuti dengan Alfan di belakangnya, mereka segera menuju kamarnya masing-masing.

Alfan segera mengganti seragam sekolahnya, kemudian ia berbaring terlenteng dengan menjadikan kedua tanganya sebagai bantal untuk kepalanya. Tatapanya kosong, pikiranya kembali teringat dengan kejadian saat ia di rumah Alfin kemarin.

"Bagai mana keadaan adiku Alfin? Apa dia sudah membaik? Aku sangat merindukanya, tapi aku belum punya keberanian untuk menemuinya. Aku malu untuk bertemu denganya. Kakak macam apa aku ini, yang menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Mau di taruh di mana mukaku? Astaga aku hampir lupa, hari ini kan aku harus mengambil hasil tes Alfin kemarin di rumah sakit"

Alfan segera bangkit dari tempat tidurnya, ia kembali mengganti pakaianya dan bersiap-siap menuju rumah sakit, namun pada saat ia baru saja membuka pintu kamarnya, ia mendapati sosok Reza dengan membawa beberapa buku sekolahnya.

"Ka Alfan mau kemana, rapi amat?" ujar Reza yang memperhatika Alfan dari atas hingga kebawah.

Alfan nyengir membuat senyuman paksa di wajahnya. "Gak kemana-mana kok, oya Reza mau ngapain?"

"Bantuin ngerjain tugas sekolah dong Kak, Reza kan gak tau gimana cara ngerjainya" ucap Reza manja dengan wajah memelas, Alfan terlihat berfikir dan menggaruk kepalanya.

"Yasudah ayo masuk!"

"Ye... Asik" ujar Reza kegirangan. Alfan dan Reza kemudian menuju meja belajar itu dan mengerjakan tugas sekolahnya. Melinda yang bersandar di pintu kamar Alfan dan memangku kedua tanganya. Ia tersenyum saat menyaksikan keduanya terlihat sangat akrab hingga tercipta cinta dan kehangatan di antara keduanya.

*-*-*

"HIV Dok? Apa ini gak salah?" ujar Alfan tak percaya.

"Ini hasil tes laboratorium, dan gak mungkin salah. Saran saya penderita harus segera mendapat perawatan agar segera bisa di tangani"

Alfan masih terdiam, ia masih memperhatikan lembaran kertas yang ada di tanganya. "Baik Dok, kalo begitu saya pamit dulu"

Pikiran Alfan semakin tak karuan, ia memutuskan untuk segera menuju kerumah Alfin. Rasa takut dan malunya kali ini terkalahkan oleh rasa ke khawatira yang menyangkut keselamatan Adik kandungnya itu. Ia segera mengetuk pintu rumah Alfin, tak lama Alfin lah yang membukakan pintu untuknya.

Tanpa mengeluarkan sebuah kata, Alfan segera memeluk Alfin dengan sangat erat, ia pun menangis di pelukan Alfin.

"Kakak kenapa?" ucap Alfin kebingungan. Namun Alfan makin terisak di pelukan Adik kandungnya itu. Ia masih dengan sangat kencang memeluk tubuh Alfin, kemudian dengan perlahan ia melepaskan pelukanya.

"Kamu.. Kamu mau kan Fin di rawat di rumah sakit supaya kamu cepat sembuh?" ujar Alfan dengan suara terbata. Matanya merabak menatap wajah Alfin yang masih terlihat bingung.

"Alfin gak mau Kak, Alfin takut"

Alfan menggeleng. "Jangan takut Fin, Kakak akan selalu temenin kamu kok"

"Memangnya Alfin sakit apa Kak, kenapa musti di rawat di rumah sakit?" mendengar pertanyaan itu, dada Alfan terasa sesak, tangisanya semakin menjadi. Ia tak mampu untuk mengatakan yang sebenarnya.
Mendengar keributan di luar, Andre segera keluar dari kamar Alfin. Seketika kedua mata Alfan tertuju pada sosok Andre yang baru hadir di ruangan itu, ia menatap Andre dengan tatapan tajam.

"Ini semua gara-gara kamu" ujar Alfan dengan memegang kerah baju Andre. Wajah keduanya kini sangat dekat, tatapan Alfan kini menjadi tatapan penuh kebencian, terlihat amat murka dan penuh amarah.

"Me.. Memangnya gue salah apa?" ujar Andre bingung.

"Baca ini!" Alfan menyodorkan sebuah amplop pada Andre dengan tangan bergetar, dengan sangat hati-hati Andre menerima dan membaca lembaran kertas itu. "Puas kan kamu sekarang buat Adik saya menderita? Puas?"

"Maafin gue, tapi gue gak-"

"Diam!!!" serga Alfan dengan suara keras, seketika membuat Andre pun terdiam dan tak melanjutkan perkataanya.

"Aku boleh baca kertas itu? Memangnya itu kertas apa?" pinta Alfin memohon. Kini Alfan dan Andre masih terdiam, sementara Alfin mengambil lembaran kertas itu dari tangan Andre.

"HIV?" ujar Alfin seketika menatap wajah Alfan. "Alfin mengidap HIV ya, Kak?" lanjutnya tak percaya. "Kak jawab kak!!" Alfin menggucang-guncang tubuh Alfan, namun Alfan masih terdiam tak mampu untuk mengatakanya.

"Ya Allah anak Ibuk sudah pulang?" teriak Maryam lalu mendekati kedua anaknya.

"Stop jangan dekati saya!!! Aku bukan anak Ibuk. Mana ada orang tua yang gak ngurusin anaknya"

"Ibu bisa jelasin semunya Nak" ujar Maryam dengan suara lirih, ia pun ikut menangis merasakan betapa sakitnya seorang Ibu yang tak di anggap.

"Aku gak butuh penjelasan kamu" ujar Alfan dengan bibir bergetar. Alfin memandangi keduanya secara bergantian. Di hatinya merasakan dilema harus berpihak di poisis yang mana, Alfan atau Ibunya.

Bersambung...

Minggu, 07 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 12
--------------------
By. Aby Anggara
=======================

*-*-*

Alfan membuka pintu rumahnya, seketika pandangan Mama dan Papanya menatap wajahnya. Alfan berjalan pelan mendekati mereka, dengan sedikit rasa takut karna tatapan mata Papanya yang menatapnya tajam tanpa berkedip.

"Anak hebat, puasa kamu sekarang liat Reza kabur dari rumah?" ujar Papanya yang sembari bangkit dari tempat duduknya di berengi dengan tepuk tangan sindiran.

"Papa tumben jam segini udah pulang?"

"Mas udah dong Mas, kasihan jangan marahin Alfan"

"Diam! Mama gak usah ikut campur, ini masalah laki-laki"

Melinda tersentak diam seketika, begitu juga dengan Alfan yang wajahnya tertunduk tak berani menatap wajah Papanya yang saat itu terlihat bengis.

"Me.. Memangnya salah aku apa, Pa?" suara Alfan terbata, baru kali ini ia menyaksikan Papanya yang terlihat benar-benar marah. Wajah Alfan masih tertunduk ketakutan, apalagi saat ini Papanya berjalan mengelilingi tubuhnya sembari memangku kedua tanganya.

"Pake nanya salah kamu apa? Kamu itu jadi anak bener-bener gak tau diri ya, selama ini kamu gak sadar kan, kalo kamu itu bukan an-"

"Stop!!! Kamu ngomong apa sih Mas? Denger ya Mas, aku gak setuju kalo kamu bicara yang tidak-tidak"

"Tapi Ma, ini memang kenyata-"

"Cukup! Aku tau Mas, dari dulu kamu itu gak pernah berubah dan gak pernah bisa adil sama anak. Yuk Fan, tinggalkan tempat ini" Melinda menggandeng tangan Alfan membawanya pergi dari ruangan itu. Pada saat sampai di ruangan tengah di dekat tangga, Melinda melepaskan tangan Alfan lalu ia meninggalkan Alfan sendirian. Alfan masih menatap punggung Melinda, ia menitihkan air mata. Walau beberapa hari ini ia tak pernah mendengarkan ucapan wanita itu, tapi tetap saja, sosok ke Ibuan Melinda yang sangat menyayangi anaknya membuat Alfan luluh dan merasa bersalah.

Alfan kemudian berjalan menuju kamar Mamanya, saat ia tiba di depan pintu kamar Mamanya yang sedikit terbuka, ia berhenti dan mendapati Mamanya yang sedang menyeka air matanya.

"Maafin aku Ma, kalo selama ini sudah buat Mama sedih. Aku janji akan mencari Reza demi Mama" Melinda membalikan tubuhnya saat tiba-tiba mendengar suara Alfan, ia lalu berjalan mendekati Alfan yang masih berdiri di pintu kamarnya.

"Gak sayang, kamu gak salah" ujar Melinda. Alfan menghapus sisa air mata di pipi Mamanya dengan kedua tanganya.

"Aku akan cari Reza Ma, aku pergi dulu" tanpa menunggu jawaban dari Mamanya, Alfan segera meninggalkan tempat itu. Ia menuju kamarnya untuk berganti pakaian yang sedikit kekecilan di tubuhnya. Setelah selesai, ia segera meninggalkan rumahnya.

Di perjalanan Alfan mengendarai sepeda motornya dengan sangat pelan, sambil sesekali pandanganya selalu menoleh setiap orang yang ada di pinggiran jalan. Kini walau sudah sangat jauh ia berkendara dengan sepeda motornya, namun masih belum juga mendapati sosok Reza yang di carinya.

Alfan yang mulai merasakan kejenuhan memberhentikan kendaraanya di are parkir Indomaret, lalu Ia membuka helmnya.

"Ampuh banget ama tuh anak, selalu saja cari masalah. Kalo bukan karna Mama, aku juga gak bakalan sudi repot-repot cariin dia" gerutu Alfan. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celanya dan melaukukan panggilan pada Arlan. Setelah beberapa saat nada tunggu pun terdengar, Alfan terlihat sangat tak sabar menunggu Arlan segera menjawab panggilanya.

"Halo, Fan?"

"Kirim nomor telepon Reza sekarang Ar, penting!"

"Oke"

Tak lama satu pesan pun masuk di sertai nomor telepon yang baru di minta oleh Alfan, dengan rasa tak sabar Alfan melakukan panggilan dengan nomor yang belum di save olehnya.

'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar-'

"Arrrghhh" ujar Alfan geram dan mematikan panggilanya. Alfan kemudian kembali melanjutkan perjalananya.

Sudah beberapa jam Alfan mengelilingi jalanan mencari Reza, namun sampai saat ini ia belum menemukanya juga. Ia memutuskan untuk menundanya dan kembali kerumah Alfin. Sesampainya di sana ia mendapati Alfin yang masih terbaring di ranjangnya.

"Kamu sudah makan malam, Fin?" ujar Alfan perhatian. Alfin menggelengkan kepalanya. Alfan menghela nafas kasar, ada rasa kesal dan juga rasa kasihan yang kini bercampur di hatinya. "Makan dulu ya Fin, nanti abis itu minum obat!"

"Tapi Alfin lagi gak pengen makan, Kak" Alfan tersenyum, berusaha sabar membujuk Alfin.

"Alfin makan ya, Kakak janji deh malam ini akan tidur nemenin kamu"

"Ka Al beneran mau nemenin Alfin tidur?" ujarnya penuh semangat.

"Iya, tapi kamu makan dulu ya!" Alfin tersenyum dan mengangguk cepat.

Alfan segera mengambil piring di atas nampan yang sudah tersedia di meja belajar Alfin, memegang sendok dan mengisinya dengan sesuap nasi. Alfin membuka mulutnya, tak lama tangan Alfan yang memegang sendok mengarahkan pada mulut Alfin. Alfan tersenyum puas saat satu suapan sudah berhasil masuk ke mulut Alfin. Namun saat baru beberapa suap, Alfin menggelengkan kepalanya tak mau lagi menerima Alfan yang menyuapinya.

"Kenapa, Fin?"

"Udah ya Kak" ujarnya dengan wajah memelas. Alfan tersenyum lalu kembali meletakan piring di tempat asalnya.

"Sekarang minum obatnya ya!" Alfan memberikan beberapa butir obat, di ikuti dengan gelas yang berisi air putih. Tanpa berfikir lama, Alfin langsung meminumnya.

Hari semakin malam, membuat Alfan merasakan kelelahan dan berniat untuk tidur. Sebelum tidur, Alfan menyempatkan menatap wajah Alfin yang sudah tertidur pulas. Alfan mengusap rambut Alfin dan membenarkan selimutnya.

"Aku sayang kamu Fin" bisiknya lalu mengecup kening Alfin. Kemudian ia pun membaringkan tubuhnya di sebelah tubuh Alfin. Tak lama dari itu panggilan pun berdering di smarphone Alfan, Melinda menolponya, tapi hingga beberapa kali tak mendapat jawaban karna Alfan sendiri sudah pulas dengan tidurnya.

Saat suara di kamar Alfin sudah terdengar hening, Maryam perlahan melangkahkan kakinya menuju kamar itu. Perlahan ia membuka pintu kamar yang tak terkunci, dan pandangan matanya langsung tertuju pada kedua anaknya yang sudah tertidur dengan pulas. Ia mendekat ke arah mereka, dan perlahan duduk di tepi ranjang itu. Tatapan wajah Maryam terlihat sayu, menatap wajah Alfan yang saat ini berada di dekatnya.

"Anaku Alfan, ternyata kamu sudah tumbuh sedewasa ini. Kamu anak yang baik. Ini Ibu nak, Ibu kandung kamu. Ibu sungguh ingin memelukmu, memeluk anak Ibuk yang sudah terpisah lebih dari 15 tahun" ucapan Maryam tertahan, bola matanya kembali mengeluarkan air mata bahagia. Dengan sangat hati-hati, Maryam mengusap rambuh Alfan dengan penuh kasih sayang. Sebagai seorang Ibu, tentu saja akan selalu menyayangi anaknya.

"Andai Ayah kamu masih ada, beliau pasti akan sangat senang saat bisa melihatmu kembali dan hadir bersama kami lagi disini Fan"

Walau dalam tangisan tertahan, namun Maryam masih bisa tersenyum dalam waktu yang bersamaan pula. Kebahagiaan malam ini, adalah kebahagiaan yang tak pernah terlupakan di mana kedua anaknya bisa tidur bersama dan terlihat rukun.

"Terima kasih Ya Allah... Selama ini kau telah menjaga anaku dengan baik"

Maryam lalu tersenyum dan mulai bangkit dari tempat duduknya, kemudian meninggalkan kamar itu.

.

                            = = = =

.

Pagi itu Maryam sudah terlihat sibuk dengan rutinitas memasak di dapurnya, ia sengaja memasak lebih banyak sebagai ucapan selamat datang pada putranya yang kini tlah kembali kerumahnya, walau ia belum benar-benar memilikinya kembali, tapi setidaknya ia sangat bersyukur karna saat ini bisa sangat dekat dengan anak-anaknya.

Maryam kemudian menuju kamarnya, membuka lemarinya dan mengeluarkan seragam sekolah Alfan yang sudah ia sertika dengan rapi. Maryam tersenyum saat menatap seragam sekolah yang masih terlipat dengan sangat rapi itu, rasa bahagia yang begitu besar kini menyertai hatinya. Ia kemudian mengantarkan seragam sekolah Alfan menuju kamar Alfin.

"Ini seragam sekolahnya nak, Alfan" ujar Maryam dengan senyuman ramah. Alfan yang belum mandi dengan tubuh yang masih terbalut dengan handuk pun menerima pakaian itu.

"Makasih ya Buk, maaf jadi ngerepoti"

"Sudah gak papa, gak usah sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri"

"Iya Buk, sekali lagi makasih banyak"

Maryam tersenyum, lalu mengusap rambut Alfan dengan lembut dan meninggalkan mereka kembali.

Suasana pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Maryam yang selalu tersenyum bahagia. Pagi ini Alfan, Alfin, Ibu dan Neneknya sarapan pagi bersama. Saat-saat bersama seperti ini membuat mereka semua merasakan kebahagiaan tersendiri, terlebih dengan Alfin dan Ibunya yang bisa dekat dengan Alfan.

"Ibu tumben pagi ini masaknya banyak amat?" tanya Alfin keheranan.

"Sesekali gak papa kan Fin, lagian rizki Ibuk juga lagi lumayan. Ayo nak Alfan dimakan, sinih biar Ibu ambilin ya?" ujar Maryam. belum sempat Alfan mengiyakan, namun Maryam dengan senang hati segera meraih piring yang berada di depan Alfan dan mengisinya dengan nasi. Alfin yang melihat tingkah Ibunya tak seperti biasa-biasanya hanya bisa mengerutkan keningnya sembari menoleh Neneknya, sang Nenek mengangkat kedua bahunya.

"Kalo Ibu ngambilin makan Ka Alfan, Alfin juga mau dong di ambilin makan sama Ka Alfan" ujar Alfin. Maryam tersenyum dan menggeleng heran.

"Kamu ada-ada saja Fin, biar Ibu saja yang ambilin ya?"

"Gak mau, Alfin maunya di ambilin sama Ka Al" ujarnya manja, padahal walau Alfan mau menuruti kemauanya ia juga belum tentu memakanya.

Tak lama mereka selesai sarapan pagi, Alfan sudah mulai siap-siap untuk berangkat kesekolahnya. Hari ini Alfan berangkat sendirian, karna Alfin tak ikut masuk sekolah. Alfan kembali kekamar Alfin untuk mengambil tas sekolahnya.

"Minum obatnya dulu ya Fin" perintah Alfan, Alfin mengangguk pasrah dan menerima butiran obat yang di berikan oleh Alfan. "Yasudah Ka Al berangkat sekolah dulu ya, kamu di rumah jangan nakal, semoga nanti sudah membaik"

"Kak...?" panggil Alfin tiba-tiba. Alfan yang sudah meninggalkanya kembali membalikan tubuhnya dan berjalan mendekat pada Alfin.

"Ada apa, Fin?" ujar Alfan yang kemudian duduk di sampingnya.

"Aku sayang Kakak, Ka Al di sekolah jangan nakal ya!" Alfan tersenyum di barengi dengan angukan kecil. Kemudian Alfin memejamkan matanya. Alfan masih terdiam, namun sudah beberapa detik Alfin belum juga membuka matanya. Perlahan Alfan mendekatkan wajahnya lalu mengecup kening Alfin.

"Makasih ya, Kak" ucap Alfin. Alfan tersenyum kemudian beranjak dari tempat duduknya. saat ia baru saja berjalan beberapa langkah, ia sangat kaget saat melihat kedatangan Maryam.

"Ibuk bikin saya kaget saja" ucap Alfan.

"Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu, Fan" ujar Maryam tiba-tiba. Alfan kemudian berdiri mematung, menatap wajah Maryam yang terlihat sangat serius. Maryam perlahan mendekati Alfan, sedangkan Alfin yang berada di ranjangnya hanya menatap keduanya dengan tatapan tak mengerti.

"Izinkan Ibu memelukmu ya nak" ujar Maryam yang langsung memeluk tubuh Alfan. Matanya mulai berkaca-kaca, dan suaranya mulai terdengar isakan, membuat Alfan semakin tak mengerti dengan semua ini. Alfan masih terdiam, di pelukan Maryam, namun kedua tanganya masih menggantung tanpa membalas pelukan Maryam.

"Ibu kangen sama kamu Fan, kamu anak kandung Ibuk" ucap Maryam pelan di telinga Alfan. Alfan yang tak percaya dengan ucapan Maryam seketika sidikit mendorong tubuh Maryam melepaskan pelukanya.

"Maksud Ibu apa?" ujar Alfan yang masih tak mengerti. Matanya menatap wajah Maryam dengan tatapan tajam.

"Iya Fan, kamu... Kamu anak kandung Ibuk. Dan Alfin adalah adik kandung kamu" mendengar ucapan Maryam, Alfan menggelengkan kepalanya tak percaya, matanya mulai berkaca-kaca.

"Nggak, ini gak mungkin" ujar Alfan yang masih tak percaya. Maryam kemudian kembali mendekat dan ingin kembali memeluk Alfan menenangkan hatinya.

"Stop jangan dekati aku, Buk!" ujar Alfan memohon dan mundur beberapa langkah. Maryam semakin terisak saat Alfan ternyata tak menerima kenyataan ini.

"Kenapa Fan, ini Ibu kandung kamu yang dulu mengandung dan melahirkan kamu"

"Aku gak percaya, Ibuk pasti bohong"

"Sekarang Ibu mau tanya sama kamu, apa kamu pernah memakai kalung yang sama persis dengan yang di pakai oleh Alfin?" seketika pandangan Alfan menatap kalung yang berada di leher Alfin.

"Nggak, ini gak mungkin. Aku gak mungkin punya Ibu yang jahat yang gak ngurus anaknya. Mama Melinda adalah Ibu kandung aku, bahkan beliau sangat menyayangiku"

Maryam menggelengkan kepalanya, kemudian kembali melangkahkan kakinya mendekati Alfan. Alfin yang menyaksikan kejadian itu membuatnya ikut menangis, orang yang ia cintai ternyata Kakak kandungnya sendiri. Namun ia hanya bisa diam, tak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Fan, Ibu bisa jelasin semuanya Nak" ucap Maryam dengan isaknya.

"Gak Buk, Alfan gak mau mendengarkan apa-apa lagi, permisi"

"Fan tunggu Ibuk, Fan"

Alfan kemudian pergi meninggalkan kamar itu, hatinya hancur bagai butiran debu yang sangat rentan jika tertiup angin. Bagai mana tidak, orang yang selama ini ia sayangi, dan baru-baru ini mulai tumbuh benih cinta di hatinya adalah tak lain adik kandungnya sendiri dan percintaan sedarah, bahkan cinta mereka berkali lipat terlarangnya. Rasa kecewa juga merasuk kedalam tubuhnya, saat ia mendengar orang yang merawatnya sejak kecil adalah bukan Ibu kandungnya.

Alfan segera melajukan kendaraanya menuju rumahnya, hari ini hatinya sangat kacau, bahkan ia memutuskan untuk tidak masuk kesekolah. Alfan tak bisa berkonsentrasi saat mengendarai sepeda motornya, matanya di penuhi air mata, pikiranya pun sudah terlanjur kacau tanpa arah.

Saat ia sampai di rumahnya, ia berjalan dengan cepat memasuki rumahnya, pandangan matanya langsung mencari sosok Melinda Mamanya. Saat di ruang tengah melihat Mamanya sendirian, karna Papanya sudah berangkat lebih dulu.

"Ma jelasin sama Alfan, apa benar kalo Alfan bukan anak kandung Mama?" suara Alfan yang terdengar tiba-tiba membuat Melinda merasa kaget, ia segera bangkit dari tempat duduknya.

"Kamu bicara apa sih Fan? Kamu anak Mama lah, anak kandung Mama" ujar Melinda yang berusaha bersikap wajar. Namun Alfan yang belum percaya dengan cepat menggelengkan kepalanya. Alfan yang tak puas dengan jawaban Mamanya segera pergi meninggalkan Mamanya dan menuju kamar Mamanya, ia membuka lemari mencari sesuatu.

Alfan membuka beberapa tumpukan kertas yang berisi surat-surat penting, namun dari situ ia belum menemukan bukti apapun. Melinda hanya menyaksikan kelakuan Alfan dari pintu kamarnya, ia merasa sangat ketakutan jika Alfan mendapati sesuatu yang berhubungan dengan orang tua kandungnya.

Mata Melinda membulat saat melihat sesuatu yang di pegang oleh tangan Alfan. Alfan menangis tertahan saat melihat kalung yang saat ini ia pegang dengan tangan yang bergetar. Perlahan Alfan membalikan tubuhnya menatap wajah Melinda penuh kekecewaan.

"Ini apa Ma? Kenapa Mama nyembunyiin ini dari Alfan? Ternyata yang di bilang Bu Maryam benar" ujar Alfan dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Melinda dengan cepat menggelengkan kepalanya.

"Nggak sayang itu gak benar" ujar Melinda tetap menyangkal. Namun Alfan tak percaya dengan ucapan Mamanya.

"Kalo ini gak benar, kenapa Mama ambil kalung ini dari Alfan? Kenapa Ma?" Melinda terdiam tak mampu menjawab pertanyaan itu. Alfan semakin menangis merasakan kekecewaan dari semuanya. Tubuhnya mulai terasa lemah, dan perlahan ia duduk di lantai dan bersandar di lemari itu. Melinda yang tak tega melihat Alfan seperti itu segera mendekatinya dan memeluk Alfan, namun dengan cepat Alfan mendorong tubuh Mamanya.

"Jangan dekat-dekat aku Ma! Aku baru tau kenapa Papa gak pernah sayang sama aku, ternyata aku bukan anak kandung Mama dan Papa, iya kan Ma?" ucapnya yang langsung berdiri dari tempat duduknya.

"Fan dengerin penjelasan Mama dulu" rintih Melinda memohon. Namun Alfan segera pergi dan meninggalkan kamar itu. Alfan berlari menuju kamarnya, sesampainya disana ia dengan cepat menutup pintu kamarnya dan berdiri bersandar di belakang pintu kamar itu. Bola matanya masih di penuhi air mata, namun pandanganya menangkap sesuatu yang ada di meja kamarnya. Dengan rasa penasaran, perlahan ia melangkah dan mendekati meja itu.

Di atas meja itu, ada selembar kertas yang di timpa oleh sebuah pulpen. Dengan tangan bergetar Alfan mecoba mangambil dan membacanya.

------

Assalamu'alaikum...

Aku tau kalo Ka Alfan gak suka jika Papa selalu sayang sama Reza. Tapi itu bukan kemauan Reza Kak. Reza juga pengen kalo Papa juga sayang sama Kakak biar Ka Alfan gak merasakan rasa iri atau tak terima jika Papa lebih deket sama Reza.

Asal Ka Alfan tau, Reza sayang sama Kakak. Reza pengen kita akur Kak. Belajar bareng, main PS bareng dan juga berangkat sekolah sama-sama.

Reza selalu mencoba bersikap baik sama Kakak, tapi Ka Alfan gak pernah mau ngehargai usaha Reza buat deket sama Kakak dan gak pernah ngasih kesempatan walau cuma satu kali.

Maafin Reza kalo Reza pergi dari rumah Kak, mungkin ini yang terbaik. ini Reza lakuin supaya Papa bisa lebih deket sama Kaka dan gak pernah bedain lagi antara Reza dan Ka Alfan. Karna kita saudara.

Gak usah cari Reza Kak, Reza pasti bisa jaga diri.

Dari Adikmu :

-Reza -

Bibir Alfan bergetar, tangisanya semakin terisak saat selesai membaca selembar surat itu. Hatinya terasa perih penuh penyesalan.

"Maafin Ka Alfan, Za. Kakak baru tau kenapa Papa lebih sayang sama kamu. Ka Alfan janji akan cari kamu dan Ka Alfan juga janji mulai saat ini Kakak akan selalu sayang sama kamu" Alfan kemudian melipat kertas surat itu. "Aku bersumpah, gak akan maafin diriku sendiri jika terjadi sesuatu dengan Reza"

Dengan cepat Alfan mengganti seragam sekolahnya, pagi ini juga ia memutuskan untuk mencari Reza. Saat sampai di ruangan tengah ia kembali bertemu dengan Mamanya.

"Mau kemana, Fan?" tanya Melinda. Namun Alfan tak menjawabnya, ia tetap berjalan sembari memakai swaiternya. "Fan tunggu Mama, Fan!"

Bersambung...

Jumat, 05 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 11
-------------------
By. Aby Anggara
=======================

*-*-*

"Ayo Kak langsung masuk saja" ajak Alfin. Alfan yang baru saja sampai di teras rumah langsung mengikuti langkah Alfin dan Andre. Mereka langsung menuju meja makan, di sana masih terlihat Maryam membawa makanan ke meja makan.

"Eh Nak Andre dan Nak Alfan sudah datang ya? Silahkan duduk!" ujar Maryam ramah. Andre tersenyum lalu ia menduduki salah satu kursi yang telah di sediakan, di ikuti oleh Alfan yang duduk di depanya. Wajah Alfan terlihat di tekuk seolah menampakan jika ia tak suka dengan kehadiran Andre, namun Andre berusaha bersikap biasa saja walau sebenarnya ia juga tak suka dengan kedatangan Alfan malam ini.

"Ka Al kenapa?" tanya Alfin yang duduk di sebelahnya.

"Nggak papa kok"

"Wah ternyata semua temenya Alfin malam ini terlihat cakep ya" Puji Maryam pada Alfan dan Andre. Seketika Andre tersipu.

"Ah Ibu bisa saja" jawab Andre datar. Sementara Alfan mencuri-curi pandang pada Maryam, lagi-lagi ia merasakan kedamaian di tatapanya, jiwa ke Ibuan yang sangat kental membuat hati Alfan semakin merasakan getaran yang ia sendiri tak bisa mengartikanya.

"Alfin juga cakep kan Buk?" ujar Alfin yang ikut memuji dirinya sendiri. Seketika semua mata tertuju pada Alfin, terlebih Alfan yang tiba-tiba terkekeh dan menutup mulutnya dengan satu tangan menahan tawanya.

"Is Ka Al kenapa?"

"Lagian kamunya aneh, ya cakep lah masa iya cantik. Memangnya kamu mau di bilang cantik?" Alfin menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Haha ada-ada saja, iya anak Ibu cakep kok" ujar Maryam, Alfin tersenyum bangga. "Oya sebenernya Ibu mengundang kalian keseni ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Nak Alfan dan juga Nak Andre yang sudah membantu pembiayaan Ibu di rumah sakit kemarin"

"Sebenernya Andre gak ikut awww...-" ujar Andre yang tiba-tiba meringis menahan sakit, karna Alfin menginjak kakinya.

"Kenapa Nak Andre?" tanya Maryam.

"Nggak papa kok Buk, ini kaki Andre tiba-tiba keseloe" ujar Andre beralasan.

"Aduh ada-ada saja"

"Alfan seneng Buk, karna Ibu sekarang sudah sehat dan kembali dengan rutinitasnya"

"Iya sekali lagi Ibuk mengucapkan terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikan kalian. Yasudah yuk sekarang kita makan, nanti keburu dingin dan gak enak lagi" sang Nenek kemudian ikut tersenyum bahagia, tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan.

Makan malam bersama segera di mulai, mereka terlihat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, namun berbeda dengan Alfin, ia masih terlihat diam bersandar penuh di kursi tempat duduknya.

"Kamu gak makan, Fin?" ujar Alfan perhatian. Wajah Alfin terlihat pucat dan tak bersemangat.

"Makan Kak, tapi ambilin ya!" ujarnya manja. Alfan menggelen heran, namun ia tanpa protes mengambil sebuah piring yang berada di depan Alfin dan mengisinya dengan nasi. "Kak jangan banyak-banyak dong aku lagi gak nafsu makan" ujar Alfin. Alfan kemudian mengurangi kembali dan tak lupa mengisinya dengan sayur sup kesukaan Alfin. Andre melirik kearah Alfan, perlakuan Alfin yang manja membuat Andre merasa cemburu.

Saat ini suasana terdengar hening, mereka semua menikmati makan malam walau hanya dengan menu yang sederhana. Namun tidak pada Alfin, ia hanya memasukan beberapa suap nasi kemulutnya lalu ia kembali menyandarkan tubuh pada kursinya.

"Kenapa gak di habisin, Fin?" tanya Alfan.

Alfin menggelangkan kepalnya. "Alfin gak pengen makan, Kak"

"Makan yah, nanti kamu sakit!" rintih Alfan perhatian, namun Alfin kembali menggelengkan kepalanya.

Suasana makan malam kali ini berjalan dengan lancar, setelah selesai Andre langsung berpamitan untuk pulang. Namun Alfan masih berada di rumah Alfin, ia duduk di depan teras rumah Alfin sembari melihat kerlipan bintang malam. Alfin yang duduk di sebelahnya menyandarkan kepala pada Alfan. Suasana terdengar hening, keduanya masih terdian menikmani sajian malam di temani dengan angin yang sesekali menerpa tubuh mereka.

"Kak?" suara Alfin tiba-tiba memecahkan keheningan malam itu, Alfan hanya berdehem tanpa mengalihkan pandangnya pada salah satu bintang yang ia amati sejak tadi. "Coba kalo Kakaknya Alfin sekarang ada di sini, pasti setiap malam Alfin merasa senang seperti ini, karna tak pernah merasa kesepian lagi"

Ucapan Alfin tiba-tiba membuat Alfan mengalihkan pandangnya, ia masih mencerna kalimat yang baru saja di ucapkan oleh Alfin. "Maksud kamu apa, Fin?" tanya Alfan yang memang tak mengetahui arah pembicaraan Alfin. Alfin membenarkan tubuhnya, kali ini ia duduk mandiri di sebelah Alfan.

"Ibuk pernah bilang, kalo Alfin itu mempunyai saudara laki-laki Kak, dia Kakaknya Alfin. Bahkan namanya juga sama seperti Kakak, tapi aku lupa kepanjanganya apa"

"Sabar ya Fin, Kakak do'ain semoga cepat kembali"

"Amin..." Alfin kembali menyandarkan kepalanya di bahu Alfan. Malam ini ia benar-benar merasakan kenyamanan saat berdua dengan kekasihnya.

*-*-*

Saat pulang sekolah Alfan dan Alfin seperti biasa sama-sama, namun sepertinya cuaca siang ini sedikit tak bersahabat. Mentari sedikit meredup saat awan hitam mulai menyelimutinya.

"Ayo Fin cepat naik, nanti keburu hujan!" tanpa menunggu perintah dua kali, Alfin langsung melompat dibelakang Alfan. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi, sementara suasana jalanan semakin gelap disertai angin kencang hingga membuat Alfin merasa kedinginan. Ia dengan sangat erat memeluk tubuh Alfan.

Gerimis sudah mulai berjatuhan, membuat Alfin menyandarkan kepalanya di punggung Alfan. Alfan sepertinya tak menggubris gerimis yang semakin membesar, ia tetap melajukan sepeda motornya agar cepat sampai di rumah Alfin. Tak lama hujan lebatpun turun, membuat Alfan mengurangi kecepatanya dan berhenti saat mendapati sebuah kios yang sedang tutup. Mereka segera berteduh di depan kios itu.

"Baju kamu sudah mulai sedikit basah, Fin" Alfan memeriksa semua baju Alfin, ia kemudian melepas swaiternya dan memberikan pada Alfin. "Pakai ini biar gak dingin!" Alfin yang memang merasa menggigil tak menolak perintah Alfan, ia segera memakainya.

Sudah hampir satu jam mereka berdiri di depan kios itu, membuat Alfin semakin tak betah menunggu lebih lama lagi.

"Kak kita lanjut saja yuk, Alfin males lama-lama disini"

"Tapi ini hujanya masih lebat Fin, nanti kamu malah semakin parah sakitnya"

"Gak papalah Kak, Alfin udah capek dan pengen berbaring di rumah"

Sudah tiga hari tubuh Alfin masih saja terasa panas, batuk-batuk dan juga terlihat tak bersemangat, Alfan semakin takut membuat Alfin semakin parah jika ia melanjutkan perjalanan tanpa menunggu hujan reda.

"Kak ayolah pulang sekarang please"

"Tapi janji ya, nanti kalo hujanya sudah reda kamu mau berobat ke Dokter?"

Lagi-lagi Alfin menggeleng cepat, ia sangat takut jika tubuhnya tersentuh oleh jarum suntik. "Gak mau lah Alfin takut dengan jarum Kak"

"Ysudah kalo gak mau gak usah pulang sekarang, dari pada nanti kamu tambah parah"

"Is Kakak nyebelin banget sih, iya deh" ujar Alfin yang akhirnya menyerah, karna sejak kemarin ia enggan jika disuruh berobat.

Alfan kemudian membuka tas sekolahnya dan mengambil sebuah plastik hitam yang cukup besar, ia memasukan tas sekolahnya lalu di ikuti tas sekolah Alfin agar tak basah akibat terkena guyuran hujan yang masih sangat lebat. Setelah semuanya siap, ia segera memakai helmnya lalu kembali melanjutkan perjalananya di bawah derasnya guyuran hujan.

Saat sampai di rumah Alfin, ia kembali berteduh karna tak sanggup jika melewati derasnya hujan yang masih sangat lebat.

"Ayo Kak masuk dulu!" ajak Alfin, Alfan kemudian mengekor di belakang Alfin menuju kamarnya.

"Ya ampun kok hujan-hujanan Nak Alfan?" tanya Ibunya Alfin ramah.

"Iya ni Buk"

"Yasudah ganti baju dulu sanah, nanti masuk angin!"

"Iya, Buk"

Alfan kemudian melanjutkan perjalananya menuju kamar Alfin, selama kenal dengan Alfin, baru kali ini Alfan masuk kedalam kamar itu. Tatapan mata Alfan langsung tertuju pada tempat tidur Alfin, walau hanya beralas kasur lantai yang sangat tipis, namun semua bantal dan selimut tertata dengan sangat rapi.

"Nih Kak, handuknya" ujar Alfin. Alfin kembali mendekati almarinya mencari baju untuk Alfan. Alfin sempat kebingungan saat mencari baju, karna tubuh Alfan jelas lebih besar dari tubuhnya. Namun ia tersenyum saat mendapatkan sedikit solusi, ia mengambil baju kaos warna merah yang biasa di pakai olehnya sedikit kebesaran.

"Pakai baju ini ya, Kak" Alfin memberikan baju serta celana pada Alfan, setelah itu Alfin pun berganti pakaian lalu tubuhnya terkulai tak berdaya di atas ranjangnya. Alfan yang baru saja selesai mengganti pakaianya segera mendekati Alfin yang terbaring di ranjangnya, ia meraih selimut lalu menyelimuti tubuh Alfin.

"Sabar ya Fin, nanti kita berobat ke Dokter" Alfin hanya mengangguk lemah.

Alfan keluar dari kamar Alfin membawa seragam sekolahnya dan juga seragam sekolah Alfin menuju dapur, ia menaruh seragam sekolah Alfin yang basah di kamar mandi, kemudian ia kembali menuju dapur dengan tangan yang masih memegangi seragam sekolah miliknya. Ia bertemu dengan Ibunya Alfin yang sedang menyiapkan makan siang.

"Maaf Buk, boleh minta plsti untuk membawa seragam sekolah saya yang basah?"

"Ya ampun Nak Alfan, seragam sekolah basah gak usah di bawa pulang, taruh di kamar mandi saja nanti Ibu yang nyuciin"

"Tapi Buk-"

"Sudah gak papa kok taruh saja!" dengan punuh rasa tak enak hati Alfan tak mempu lagi menolak perintah Maryam, ia kembali berjalan pelan menuju kamar mandi yang hanya bersebelahan dengan dapur itu.

"Sekalian bawa ini ya Nak!" ujar Maryam menyerahkan sebuah nampan kecil yang berisi dua gelas teh panas. Alfan menerimanya, lalu ia kembali menuju kamar Alfin. Alfan tersenyum saat baru saja tiba di kamar Alfin, kemudian ia meletakan nampan itu di meja belajar Alfin.

"Minum dulu ya Fin, biar hangat" Alfan meraih satu gelas, namun Alfin menggeleng.

"Aku gak mau minum, Kak" ujarnya.

"Kamu mau makan?" tanya Alfan sembari menatap wajah Alfin. Namun lagi-lagi Alfin menggeleng. Alfan kemudiam meletakan punggung tanganya pada kening Alfin, panas nya semakin tinggi. "Tubuh kamu makin panas Fin" Alfan semakin khawatir dengan keadaan Alfin, ia segeram menatap keluar melalui jendela kamar itu, namun hujan masih belum juga reda.

"Sabar ya Fin, nanti setelah hujanya reda kita berobat ke Dokter" Alfin masih terkulai lemah, wajahnya terlihat pucat. Tak lama hujanpun reda, Alfan segera menuju dapur menemui Ibunya Alfin.

"Buk saya mau anterin Alfin berobat dulu ya, kebetulan hujanya udah reda"

"Loh gak makan dulu apa? Ini udah hampir selesai kok"

"Nanti saja Buk, sepulang dari berobat"

Alfan lalu kembali kekamar Alfin, besiap-siap untuk berangkat kerumah sakit. Sesampainya di sana, Alfin segera di periksa oleh Dokter, sedangkan Alfan menunggu di ruang tunggu. Tak lama Alfan di panggil oleh Alfin karna pemeriksaan tlah usai, Alfan pun segera memasuki ruangan Dokter dan duduk di sebelah Alfin.

"Kalo boleh tau Alfin sakit apa, Dok? Beberapa hari ini badanya sangat panas, suka batuk-batuk dan juga tenggorokanya juga sakit katanya"

"Begini.. Untuk sementara hanya deman biasa, tapi untuk lebih pastinya kita liat besok hasil tes laboratorium. Dan nanti saya berikan resep untuk meredakan turun panas dan sakit tenggorokanya"

"Baik Dok"

Kemudian Dokter segera membuatkan resep dan memberikan pada Alfan. Setelah semuanya selesai, keduanya kini meninggalkan ruangan Dokter itu dan menebus obat di Apotik yang berada di seberang rumah sakit, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan pulang. Sepanjang di perjalanan Alfin hanya diam dan memeluk tubuh Alfan, kepalanya ia benamkan di punggung Alfan.

Tak perlu waktu lama mereka sudah kembali sampai di rumah, Alfin segera masuk kekamarnya dan Alfan menuju dapur menyiapkan makan siang untuk Alfin.

"Sudah pulang Nak Alfan?" tanya Maryam.

"Sudah Buk baru saja"

"Gimana kata Dokter?"

"Cuma demam Buk"

"Yasudah kalian makan dulu, nanti Alfin jangan lupa di suruh minum obat ya Nak Alfan, Ibu mau cuci baju dulu"

Alfan lalu mengisi piring dengan nasi serta sayur dan juga lauk-pauknya, tak lupa dengan segelas air putih lalu membawanya kekamar Alfin.

"Makan dulu ya Fin, nanti langsung minum obat" ujar Alfan yang baru saja memasuki kamar itu. Ia menaruh gelas yang berisi air putih itu di atas meja.

"Aku gak mau makan, Kak" seru Alfin yang menutup mulutnya dengan kedua tanganya seperti anak kecil.

"Kalo kamu gak mau makan gimana kamu mau minum obat?" Alfin masih terdiam seolah tak mendengarkan perkataan Alfan.

"Alfan Pratama?" ujar Maryam tercengang saat melihat tulisan di baju seragam sekolah Alfan. Otak Maryam mulai bekerja dan teringan dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. "Kenapa nama anak ini sama persis seperti nama anaku? Ini hanya kebetulan atau memang benar kami di pertemukan kembali? Ya Allah semoga saja dia benar putraku"

Maryam kemudian meninggalkan aktivitasnya yang belum ia selesaikan, ia berjalan menuju kamar Alfin. Didepan pintu kamar Alfin yang setengah terbuka, ia menyaksikan kedua anaknya yang terlihat begitu dekat, terlebih melihat Alfan yang sangat perhatian dan masih membujuk Alfin untuk makan siang. Tanpa sadar Maryam menitihkan air mata bahagianya, bertahun-tahun terpisah dengan anak kandungnya, kini ia berada di depan matanya.

Maryam menghapus air matanya, lalu ia berjalan pelan mendekati Alfan dan Alfin yang berada dalam satu ranjang. Perlahan Maryam duduk di sebelah Alfan, memperhatikan wajah Alfan dalam-dalam. Alfan yang menyadari tatapan Maryam yang sedang memperhatikan dirinya tentu saja menjadi canggung dan salah tingkah.

"Ibu kenapa ngeliatin saya seperti itu?" tanya Alfan yang akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Maryam masih diam terpaku, namun tiba-tiba ia tersadar dari perlakuanya yang sangat tak wajar.

"Ibu boleh nanya sesuatu?" ujar Maryam dengan tatapan sayu.

"Boleh Buk, silahkan"

"Kalo boleh Ibu tau, nama Ibu kamu siapa Fan?" Alfan terdiam sejenak, ia tak mengerti dengan maksud pertanyaan yang di ajukan oleh Ibunya Alfin.

"Nama Mama saya Melinda Buk, kenapa?"

Bibir Maryam tiba-tiba bergetar tak mampu lagi berkata-kata, ia benar-benar tak percaya jika yang ada di hadapanya saat ini adalah anak kandungnya, air matanya kembali mengalir tanpa ia sadari. Maryam masih terpaku dengan keadaan yang tak pernah ia duga. rasanya ingin sekali ia mengatakan kalau ia adalah Ibu kandungnya, tapi ia takut kalau Alfan malah membencinya akibat kesalah pahaman yang Alfan sendiri belum mengetahui masalah yang sebenarnya.

"Ibuk kenapa menangis?" ujar Alfan tiba-tiba. Seketika membuat Maryam tersadar dari lamunanya.

"Enggak, gak papa kok Nak" Maryam dengan cepat kembali menghapus air matanya. "Sebenarnya... Sebenarnya Ibu adalah Ibu-" ucapan Maryam tiba-tiba terhenti saat terdengar nada dering smarphone Alfan. Pandangan Alfan beralih pada ponselnya dan ternyata panggilan itu adalah dari Melinda. Alfan kemudian kembali meletakan smarphone nya, sampai saat ini ia masih kesal dengan sikap Mamanya beberapa hari lalu.

"Kenapa gak di angkat Nak Alfan, siapa tau penting loh"

"Nggak Buk, gak penting kok"

Tak lama smarphone itu kembali bergetar namun kali ini adalah nada pesan. Alfan kembali melihatnya dan pesan itu adalah dari Mamanya.

'Kamu di mana Fan, pulang sekarang, Reza kabur dari rumah!'

Walau selama ini Alfan selalu benci dengan Reza, tapi ia juga khawatir saat mendapat kabar Reza kabur dari rumah. Tanpa membalas pesan dari Mamanya, Alfan lalu menaruh smarphonenya dalam saku celananya.

"Buk Alfan pulang dulu ya, ada urusan penting. Fin Kakak tinggal dulu ya, nanti Kakak kesini lagi, kamu makan ya dan jangan lupa obatnya di minum!"

"Yaudah hati-hati ya, Kak!"

Alfan tersenyum lalu dangan tergesah ia meninggalkan kamar itu..

Bersambung...

Rabu, 03 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 10
--------------------
By. Aby Anggara
========================

*-*-*

Alfin sangat kaget dan tak menyangka jika Alfan akan datang kerumahnya. Raut wajahnya ketakutan, ia takut jika Alfan akan memarahinya. Namun Andre bersikap datar seolah tak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Alfan menatap Andre dengan tatapan sinis, sedangkan wajah Alfin diam dan tertunduk.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Alfan ingin tau. Alfin melirik Andre yang sedang berpangku tangan dengan santainya, seolah menyuruh Andre yang menjawab pertanyaan dari Alfan.

"Memangnya apa urusan, lo?" ketus Andre.

"Aku sudah tanya baik-baik, tapi kamu malah nyolot" Alfan dengan geramnya memegang kerah baju Andre dengan kedua tanganya.

"Kak Al aku mohon jangan buat keributan di sini, Alfin takut Mama sama Nenek tau Kak" Alfan menuruti permintaan Alfin. Dengan kasarnya Alfan melepaskan kedua tanganya dari kerah baju Andre.

"Lo lagi lo lagi, kalo boleh jujur sih gue bosan dengan wajah lo" ujar Andre ketus. Alfan yang kesal dengan ucapan Andre segera menggenggamkan kedua tanganya dengan keras, tanpa babibu ia langsung mendaratkan satu pukulanya di pipi sebelah kiri Andre.

"Brengsek" keluh Andre sambil memegangi pipinya, Andre mulai emosi dengan keadaan yang semakin memanas.

"Ndre aku mohon jangan membuat keadaan tambah rumit. Sekarang mendingan kamu pulang ya!" ujar Alfin memohon.

"Awas ya, urusan kita belum selesai" ancam Andre sambil menuding wajah Alfan. Andre kemudian melewati Alfan sambil sedikit menabrakan tubuhnya pada tubuh Alfan, membuat Alfan sedikit bergeser akibat tertumbur oleh tubuh Andre. Andre lalu masuk kedalam mobilnya dan melaju dengan cepat.

"Ka Al kok kesini gak bilang-bilang?" tanya Alfin. Alfan masih terpaku dengan keadaanya yang baru saja membuat hatinya tersakiti, rasa cemburu tentu saja, mungkin kali ini ia sudah mulai mencintai Alfin layaknya seorang perempuan yang pernah ia cintai tahun lalu. "Kak?" sapa Alfin lembut. Alfan melirik pada Alfin, lalu ia duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Andre.

"Apa-apaan kamu tadi Fin?"

"Maksud Kakak apa?" ujar Alfin yang pura-pura tidak tahu.

"Kamu itu sudah punya pacar Fin, ngapain kamu seperti tadi?" Wajah Alfin tertunduk penuh penyesalan.

"Maafin Alfin Kak, Alfin janji gak akan ngulanginya lagi. Tapi yang Kakak liat gak seperti dengan yang Kakak bayangin, aku dan Andre gak ada hubungan apa-apa Kak, hanya sebatas teman"

"Aku gak butuh janji Fin, tapi buktikan kalo omonganmu itu benar"

"Baiklah Kak aku pasti bisa membuktikanya"

*-*-*

Saat Alfin sudah selesai memakai seragam sekolanyan, ia segera menuju dapur untuk membantu Ibunya menyiapkan sarapan pagi, membawa beberapa minuman hangat ke meja makan yang sangat sedehana. Setelah semuanya selesai, Alfin, Ibu dan Neneknya duduk mengelilingi meja makan itu.

"Fin... Apa Ibu boleh tanya sesuatu?"

"Tanya apa, Buk?" ujar Alfin yang lalu mengambil segelas minuman hangat miliknya.

"Kamu waktu itu kerja apa sampai bisa bayar biaya rumah sakit yang sebegitu mahalnya?"

"Uhuk... Uhuk..." Alfin terbatuk saat sedang menikmati minuman hangatnya.

"Pelan-pelan dong Fin!" ujar sang Nenek perhatian.

Alfin tak menyangka jika Ibunya akan menanyakan hal ini, lantaran sudah beberapa hari sejak Ibunya pulang dari rumah sakit dan tak menanyakan hal ini. Wajah Maryam masih menatap Alfin, sebagai orang tua rasa ingin tau tentu saja, apalagi pada anaknya sendiri.

"Em... Anu Buk, Alfin.... Alfin kerja di rumah makan, iya di rumah makan" jawabnya gugup, namun sesudahnya ia terlihat cengengesan. Ibunya mengerutkan keningnya.

"Rumah makan?" ulangnya tak percaya.

"Iya, memangnya kenapa, Buk?"

"Memangnya berapa bayaranya sampai bisa bayar rumah sakit semahal itu?" Alfin terdiam, jika di fikir-fikir jawaban yang ia katakan pada Ibunya memang tak masuk akal.

Alfin menggaruk kepalanya, mencari ide lain yang lebih masuk akal. "Sebenernya Ka Al dan Andre yang bantuin bayar biaya rumah sakit Buk" ujar Alfin yang akhirnya menemukan alasan.

"Iyakah? Mereka baik banget yah? Kalo gitu nanti malem suruh pada datang ya, Ibu mau ngucapin terima kasih, sekalian makan melam sama-sama"

"Wah Nenek setuju dengan ide Ibumu Fin"

"Iya Nek, nanti aku sampein sama mereka"

"Yasudah kalo gitu, Ibu mau ambil pakaian dulu, kamu lanjutin sapan ya!" Maryam kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Alfin dan Neneknya kemudian melanjutkan sarapan paginya, namun Alktivitas Alfin terhenti saat tiba-tiba suara ponselnya berdering. Alfin berjalan menjauh dari Neneknya.

"Ya halo, Ndre?"

"Pagi Fin, lagi apa?"

"Lagi sarapan Ndre, kamu sudah sarapan?"

"Belum Fin, gue pengen ngomong sesuatu Fin"

"Ngomong apa Ndre?"

"Sebenernya semalem gue mau ngomong Fin, tapi gara-gara ada anak sialan itu gak jadi deh. Gue... Gue sayang sama lo Fin, saat gue jauh dari lo, gue selalu kangen pengen deket terus, dan gue pengen lo jadi pacar gue" Alfin masih terdiam tak menjawab pernyataan Andre, ia sempat tak percaya jika Andre mempunyai rasa seperti itu. "Fin..?" panggil Andre, seketika Alfin tersadar dari lamunanya.

"Ya Ndre kenapa?"

"Gue butuh jawaban lo Fin"

"Em... Maaf Ndre, aku sudah jadian sama Kak Alfan, lebih baik kita temenan saja ya? Ndre sudah dulu ya, aku mau berangkat sekolah takut telat, dah Andre sampai nanti" Alfin lalu memutuskan sambungan teleponya karna ia menyadari kedatangan Alfan. Alfin tersenyum saat melihat Alfan yang baru saja tiba di rumahnya, ia segera menuju kamarnya dan mengambil tas sekolahnya.

"Alfin berangkat dulu ya, Nek" ujar Alfin sembari mencium tangan Neneknya.

"Hati-hati!"

Alfin langsung menuju keluar rumah menghampiri Alfan. Tanpa rasa canggung ai langsung duduk di belakangnya dan merangkul di perut Alfan.

"Tangan kamu panas banget Fin, kamu sakit?" tanya Alfan Perhatian. Alfan lalu turun dari sepeda motornya dan memegang kening Alfin. "Ya ampun badan kamu panas banget, Fin" ujar Alfan yang mulai panik. Wajah Alfin juga terlihat lemah tak bersemangat.

"Aku gak papa kok Kak, yuk lanjut!" ujarnya enteng.

"Gak papa gimana, wajah kamu juga terlihat pucat Fin, kamu sudah sarapan?"

"Sudah Kak, tapi dikit"

"Mendingan kamu gak usah sekolah ya, istirahat saja di rumah!"

"Is Kakak apaan sih lebay deh"

"Fin... Kakak serius"

"Uda ah Kak yuk berangkat, nanti kita telat loh"

Dengan berat hati akhirnya Alfan mengalah, ia menuruti kemauan Alfin yang selalu keras kepala. Saat di perjalanan menuju sekolah, Alfin juga terdengar batuk yang tak biasa-biasanya, ia seperti orang yang terkena penyakit flu.

Sesampainya di sekolah Alfin menunggu Alfan yang sedang memarkirkan kendaraanya, padahal jelas-jelas kelas mereka berbeda, tapi Alfin yang selalu tak mau jauh dari Alfan setia menunggunya.

"Yuk kekelas" ajak Alfan. Alfin lagi-lagi menggandeng tangan Alfan. "Eh.. Masih ingat perjanjian kita?"

"Ka Al pelit banget sih, masa pegangan tangan aja gak boleh?"

"Fin... Bukanya gak boleh, tapi kamu harus liat sikon juga dong. Ini tempat umum kan?"

"Yadeh maaf" ujar Alfin sambil bergerutu. "Eh Kak tar malem datang kerumah ya, Ibuk pengen ngobrol-ngobrol sama Kakak"

"Hah..?" ujar Alfan kaget, ia menghentikan langkah kakinya menatap wajah Alfin dengan serius.

"Kenapa kaget, Kak?"

"Nggak... Nggak Papa, Kakak pasti datang kok"

Alfin tersenyum, kemudian mereka melanjutkan perjalananya.

*-*-*

-Flashback-

"Hasilnya masih sama seperti bulan lalu Buk, saya sarankan jangan sampai kelelahan dan juga stes, karna itu bisa berdampak buruk" ujar Dokter menjelaskan. Wajah Melinda tertunduk tak bersemangat, rasanya sudah tak sabar ia ingin mempunya seorang anak.

"Apa saya benar-benar tidak bisa mempunyai anak Dok?"

"Kemungkinan untuk mengandung masih sangat besar, karna sama sekali tidak ada masalah. Sabar ya Pak, Buk, berdoa pada Tuhan semoga di karuniai keturunan" ujur Dokter memberi semangat.

"Baik Dok makasih, kalo begitu.. Kita pamit dulu"

"Silahkan!"

"Yuk, Ma"

Melinda dan suaminya segera keluar dari ruangan Dokter, lagi-lagi hasil tes kandunganya selalu tak membawa kabar gembira. Saat baru bebera menit mereka keluar dari ruangan Dokter, Melinda melihat seorang suami istri yang duduk di kursi tunggu dan terlihat sangat sedih, dengan seorang bayi yang di pangku oleh seorang perempuan itu. Melinda yang merasa iba dengan perlahan menghampirinya.

"Kenapa sedih, Buk?" tanya Melinda yang ingin tau. Wanita itu lalu menatap wajah Melinda yang baru saja membuyarkan lamunanya.

"Anak saya, mengalami kelainan jantung dan harus segera di operasi" jelas wanita itu.

"Terus, kenapa tidak segera dilakukan, kasihan dia" Wanita itu seketika menatap suaminya, tatapanya sayu penuh kesedihan.

"Kami tidak mempunyai biaya untuk operasinya" seketika Melinda menatap suaminya, ia tersenyum saat mempunyai sebuah ide yang bagus menurutnya.

"Em.. Begini saja, gimana kalau saya yang membiayainya, tapi setelah sembuh anak Ibu menjadi milik saya, dan kita buat kesepakatan bermaterai?"

"Mama apa-apaan sih?" ujar suami Melinda tak setuju.

"Papa diem deh!"

Mendengar ucapan Melinda barusan, wanita itu kembali menatap suaminya. Ada raut kesedihan dan rasa tak rela di hati wanita itu, namun suaminya mengangguk tapi ragu. Sejenak wanita itu masih terdiam walau suaminya telah menyetujuinya, bagai mana tidak, orang tua mana yang rela berpisah dengan anaknya, apalagi masih bayi yang masih membutuhkan ASI Ibunya.

"Jangan kelamaan, Ibu gak kasihan kalo nanti anak Ibu meninggal gara-gara gak segera mendapat perawatan?" Melinda semakin mendesak wanita itu, nampaknya ia semakin ketakutan oleh perkataan Melinda.

"Baiklah kalo gitu kami setuju, yang penting putra kami bisa selamat"

Melinda tersenyum bahagia mendengar kabar baik itu, dengan cepat Melinda mengurus administrasinya agar bayi itu segera mendapatkan perawatan sesuai kebutuhanya.

Saat bayi itu sudah sembuh dan sudah di bawa pulang, kini Melinda mendapat kesibukan baru mengurus anak angkat yang ia anggap seperti anaknya sendiri, ia sangat bahagia karna sejak menikah belum juga dikaruniai keturunan. Pagi itu ia sedang sibuk memberi makan anaknya, tiba-tiba terdengar suara menandakan ada tamu yang datang di rumahnya. Ia meletakan bayinya dan berjalan menuju pintu rumahnya. Matanya membulat saat mendapati Maryam yang sudah ada di depan pintu rumahnya.

"Mau ngapain lagi kamu?"

"Nyah izinkan saya bertemu dengan anak saya, sebentar saja"

"Kamu lupa ya, kita sudah buat kesepakatan hitam di atas putih?"

"Tapi Nyah, kali ini saja saya mohon"

"Sekali ngak tetap nggak, pergi kamu dari sini!"

"Saya mohon Nyah, izinkan saya bertemu dengan Alfan" Maryam berlutut di kaki Melinda penuh harap, karna ia sangat ingin bertemu dengan anak sulungnya. Melinda dengan tanpa rasa iba menarik satu kakinya dengan kasar hingga membuat Maryam terjatuh.

"Pergi kamu dari sini!" Maryam menangis, wajahnya di penuhi air mata. Rambut lurusnya kini sudah tak lagi tertata bagai seorang gelandangan. Seorang Ibu yang menyayangi anaknya tentu saja tak mau bila di pisahkan, tapi takdir berkata lain, walau sebenarnya ia belum bisa menerima kenyataan yang sudah ia setujui sejak awal.

Maryam masih terkulai di lantai, Melinda berpangku tangan sembari menatap Maryam dengan tatapan sinis. Maryam mendongak dan menatap Melinda penuh harap, namun Melinda menatapnya penuh amarah seolah memupuskan harapanya. Maryam perlahan berdiri dan membuka sebuah dompet kecilnya. Ia mengeluarkan sebuah kalung yang sangat sederhana.

"Baiklah kalo gitu Nyah, rawat Alfan seperti anak kandung Nyonya sendiri, dan saya mohon.... Dengan penuh kerendahan hati saya. Berikan kalung ini pada Alfan saat busianya genap mencapai 15 tahun" dengan tangan bergetar Maryam menyerahkan kalung itu, namun dengan cepat Maryam menyambarnya.

"Sekarang kamu pergi!"

"Baiklah, saya permisi"

Dengan berat hati Maryam melangkahkan kakinya, rasa sesal dan bersalah masih menyertai hatinya, namun ia tak mempunyai pilihan lain kala itu. Yang harus ia lakukan saat ini adalah berusaha meng ihklaskan anaknya hidup dengan orang lain, tetapi yang lebih penting adalah Melinda yang menyayangi Alfan seperti anaknya sendiri.

Maryam menoleh kebelakang, terasa sangat berat untuk meninggalkan tempat itu, namun ia berusaha menguatkan langkahnya untuk kembali melangkah meninggalkan halaman rumah yang mewah itu.

*-*-*

Malam itu Alfin membantu Ibunya menyiapkan makan malam, hidangan makan malam dirumahnya kali ini tak seperti biasanya, Maryam sengaja masak sedikit lebih mewah untuk menyambut kedatangan Alfan dan Andre. Dengan rasa penuh bahagia Alfin membawa makanan ke meja makan. Ia sudah tak sabar ingin makan bersama dengan Alfan seorang yang spesial di hatinya.

Alfin berlari kedepan saat mendengar suara klason mobil, ternyata Andre tiba lebih dulu. Andre tersenyum saat baru saja turun dari mobilnya, hatinya merasa bahagia bisa kembali bertemu dengan Alfin. Andre segera berjalan mendekat ke Alfin. Tak lama dari itu, Alfan pun tiba dengan mengendarai sepeda motornya.

"Kenapa tuh anak ada di sini lagi?" gerutu Alfan dalam hati. Alfan sangat tak suka jika Alfin berdekatan dengan Andre, rasa cemburu kembali merasuki hatinya, dengan rasa kesal Alfan melepas helmnya dan berjalan mendekati Alfin dan Andre.

Bersambung...

Senin, 01 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 09
-------------------
By. Aby Anggara
======================

*-*-*

"Ma ada apa ini sebenarnya, kenapa Mama gak suka dengan Alfin?" Melinda tak menghiraukan pertanyaan Alfan, ia berusaha sekuat mungkin menarik tangan Alfan memisahkanya dari Alfin. Alfin yang tak tau apa-apa hanya bisa pasrah dan tak berusaha memegang tangan Alfan, sedangkan Alfan masih tetap bersikeras tak mau di pisahkan dari Alfin. Alfin menangis, matanya memerah penuh ketakutan.

Karna tangan Alfin yang tak ikut bertahan, akhirnya Melinda bisa melepaskan dan memisahkan mereka berdua.

"Cukup Ma, cukup!!!" suara Alfan kini yang terdengar lantang dan bergema. Mendengar keributan itu, kini Arlan dan Reza ikut mendekati mereka bertiga. "Sebenarnya ada apa, dan kenapa Mama bencin sama Alfin?" Alfan menatap wajah Melinda menunggu jawaban yang membuat hatinya semakin janggal, namun Melinda masih menatap Alfin penuh kebencian. Alfin yang saat itu masih diam terpaku hanya menundukan kepalanya tak ada keberanian menatap mata tajam Melinda.

"Kenapa Mama marah-marah sama Alfin, memang apa salah Alfin, Ma? Dia anak yang baik kok Ma" suara Reza memalingkan pandangan Melinda yang kini beralih menatap wajah Reza anaknya. Suasana seketika menjadi hening, bahkan Melinda sendiri diam tak bisa menjawab pertanyan dari Alfan dan Reza.

"Maaf kalo Alfin sudah buat Ka Alfan dan Tante jadi bertengkar, tapi sumpah Alfin gak tau apa salah Alfin sampai Tante benci sama Alfin. Kalo Alfin punya salah, Alfin minta maaf pada semuanya. Buat Ka Alfan makasih ya atas kebaikan Kakak selama ini, sebaiknya Alfin pulang saja, permisi..." ujar Alfin dengan suara sesegukan, Alfin memejamkan matanya sekejap membuat air matanya semakin mengalir. Di dalam hatinya ikut merasakan sakit yang tanpa tau apa permasalahnya. Alfin memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu keluar.

"Fin tunggu Fin!" teriak Alfan sembari berlari kecil mengejar Alfin. Alfin berhenti dan menoleh kebelakang.

"Alfan!!!" teriak Melinda kencang. Alfan seketika berhenti, namun ia masih diam tanpa menoleh Mamanya. "Sekali lagi kamu melangkah, Mama gak pernah izinin kamu kembali lagi kerumah ini"ucapan Melinda membuat hati Alfan dilema. Disisi lain ia ingin membuat Alfin tenang akibat ulah Mamanya, tapi di sisi lain ia juga tak mau durhaka pada Mamanya. Arlan yang menyaksikan kejadian itu hanya diam seolah tak mau ikut campur masalah yang ia sendiri tak mengetahuinya. Alfan masih terpaku dengan suasana yang hening. Hatinya terasa pilu dan kini matanya menatap wajah Alfin, tatapanya sayu penuh penyesalan.

"Aku pulang dulu Kak" kata Alfin yang kini tanpa ragu ia melangkahkan kaki keluar rumah itu. Kini Alfan memutar tubuhnya, menatap Melinda dengan punuh rasa kekecewaan.

"Aku kecewa sama Mama" Alfan lalu berlari menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamar dengan kasar, lalu ia menuju teras kamarnya memperhatikan Alfin yang baru saja sampai di pintu gerbang rumahnya. Dari atas sana Alfan sesekali melihat tangan Alfin menyeka air matanya. Kesedihat kini menghampirinya, ia tak menyangka jika akan seperti ini jadinya.

"Maafin Kakak ya Fin, ini semua terjadi diluar dugaan Kakak" Alfan masih terus memperhtikan Alfin, hingga Alfin menghilang tak terlihat saat baru saja naik kesebuah bus.

Suara pintu kamar Alfan terdengar ada yang mengetuknya, Alfan segera masuk membaringkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan satu bantal. Melinda yang tak mendapatkan jawaban dari dalam kamar lalu masuk dan mendekati ranjang tempat tidur Alfan. Perlahan ia duduk di tepi ranjang. Melinda menatap wajah Alfan yang tertutup oleh bantal, namun ia masih bisa mendengar jelas nafas Alfan yang masih terasa berat.

"Fan... " sapa Melinda dengan lembut. Melinda berharap Alfan akan membuka wajahnya dan menatap dirinya, namun sudah beberapa detik Melinda menunggu, Alfan tak juga mempedulikan kehadiran Mamanya. Pandangan Melinda lalu tertuju pada sepatu Alfan yang masih terpasang rapi dikaki anaknya, Melinda mendekat kekaki Alfan dan melepas sepatu serta kaos kakinya. Alfan yang menyadari perlakuan Mamanya hanya diam tanpa protes sedikitpun, bahkan ia makin terisak merasakan begitu sayang Mama pada dirinya, juga begitu tulusnya kasih sayang yang ia rasakan dari Mamanya. Namun tetap saja, hatinya masih terasa kesal dengan tingkah Mamanya yang sampai saat ia sendiri belum tau permasalahan yang sebenarnya.

"Mama tau kamu masih marah sama Mama, tapi ini semua demi kebaikan kamu Fan. Mama sayang sama kamu dan Mama gak mau kehilangan kamu" suara Melinda terdengar sedikit terbata, namun Alfan masih tak mempedulikanya. "Fan... Kamu pasti belum makan siang kan? Ganti baju dulu ya, kita makan sama-sama"

Alfan seketika membuka bantal yang sejak tadi menutupi wajahnya, pandanganya menatap Melinda penuh tanya. "Kenapa Mama sebegitu bencinya sama Alfin, memangnya dia salah apa, Ma?" lagi-lagi pertanyaan itu terlontar dari mulut Alfan yang sejak tadi belum mendapatkan jawaban dari Melinda, namun lagi-lagi Melinda hanya dia tak bisa menjawab pertanyaan yang memang tak mungkin ia jawab. "Kenapa diam, jawab, Ma!"

"Fan.. Mama... Mama ngelakuin ini karna-" Melinda tiba-tiba terdiam dan tak mampu lagi melanjutkan perkataanya.

"Karna apa, Ma?"

"Karna Mama sayang sama kamu Fan"

"Nggak, aku gak percaya, Mama pasti bohong. Sekarang mendingan Mama keluar!"

"Tapi Fan-"

"Keluar Ma!!!"

Dengan penuh rasa kekecewaan akhirnya Melinda mengalah dan memilih untuk keluar dari kamar anaknya. Alfan kembali terdiam, ia menyandarkan tubuhnya di bagian kepala ranjang. Matanya kini tertuju pada sebuah bingkai foto yang ada di atas meja kecil di sebelah lampu tidurnya. Perlahan tanganya meraih bingkai foto itu. Alfan meraba fotonya saat ia menggunakan seragam sekolahnya dengan posisi foto hanya sebatas bagian perutnya keatas. Ia memperhatikan kembali memperhatikan kalung yang saat itu masih terlihat di kehernya.

"Aku yakin Mama pasti nyembunyiin seseuatu. Tapi apa? Kalo memang iya apa untungnya buat Mama? Tapi yang terlihat ganjil saat sikap Mama ke Alfin, sangat-sangat mencurigakan"

Pintu kamar Alfan kembali ada yang mengetuknya membuat Alfan langsung mengalihkan pandanganya pada pintu kamarnya dan sekaligus membuyarkan konsentrasinya. Alfan yang masih engan berkata-kata tetap diam tanpa menanggapi orang di luar kamarnya, namun walau tanpa mendapatkan izin dari pemilik sang pemilik kamar, Arlan tetap saja memutar gagang pintu dan masuk. Pandangan matanya langsung tertuju pada Alfan yang masih menyandarkan tubuhnya di tempat tidurnya. Arlan berjalan pelan menuju Alfan dan duduk di sebelahnya. Tatapan mata Alfan lurus kedapat namun tatapanya kosong, bahkan ia seolah tak mempedulikan kedatangan sahabatnya sendiri.

"Sabar ya Fan, aku tau kamu pasti masih marah sama Tante Meli, tapi biasanya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua itu yang terbaik buat kita Fan"

Mendengar perkataan Arlan, Alfan langsung memalingkan pandanganya menatap wajah Arlan. "Termasuk Papa yang gak pernah adil sama aku? Dan juga Mama yang tiba-tiba marah sama Alfin tanpa alasan yang jelas?" Alfan masi menatap wajah Arlan dengan tajam, ia seolah sudah tak sabar mendapat jawaban atas perkataanya barusan.

"Fan... Aku tau dan aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, tapi-"

"Tapi sayangnya kamu gak berada di posisi aku Ar, jadi kamu hanya mengira-ngira"

"Fan dengerin aku dulu!"

"Cukup Ar, tolong tinggalin aku sendirian!"

Arlan yang tak mau ada kesalah pahaman lagi akhirnya menuruti kemauan Alfan, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar kamar Alfan. Dengan sangat hati-hati ia menutup pintu kamar itu dan kembali berjalan menuruni anak tangga.

Arlan langsung menuju kursi yang ad di ruang tengah di dekat tangga, disana sudah terlihat Reza dan Mamanya.

"Gimana Ar?" tanya Melinda yang sudah tak sabar. Wajah Arlan terlihat tak bersemangat, lalu ia duduk di kursi yang ada di depan Melinda. Reza yang duduk di sebelah Mamanya tampak santai memangku bantal dengan tangan kanan yang menyangga dagunya.

"Maaf Tan, aku gak berhasil ngeyaknin Alfan" ungkapnya tak percaya diri, namun Melinda tetap tersenyum.

"Yasudah gak papa Ar, kita biarkan Arlan sendiri dulu ya!" Arlan mengangguk, sedangkan Reza menatap Arlan dan Mamanya secara bergantian. "Yasudah kalo gitu Tante tinggal dulu ya Ar?"

"Ya, Tante"

Setelah Melinda bengkit dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka berdua, Reza terkekeh sambil menutup mulut menahan tawanya. Arlan yang tak mengetahui maksud Reza hanya mengangkat kedua bahunya.

"Kamu kenapa, Za?" tanya Arlan yang masih merasa bingung. Reza malah semakin terkekeh.

"Gak papa kok Kak, Kakak keliatan aneh aja pas jawab pertanyaan Mama tadi, wajahnya pucat-pucat gimana gitu"

Arlan mendengus kesal lalu ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Reza. Arlan memeluk Reza dari belakang dengan kedua tangan Arlan bermain di perut Reza membuat Reza merasakan geli di sekujur tubuhnya.

"Kak ampun Kak" rintih Reza. Arlan seolah tak mempedulikan ucapan Reza, ia terus membuat Reza yang semakin meronta-ronta berusaha melepaskan dari cengkraman Arlan. "Kak Arlan ampun..." rintihnya lagi.

"Mau nakal lagi gak?"

"Nggak Kak, Reza janji"

Seketika Arlan melepaskan kedua tanganya, ia menatap Reza dengan rasa penuh simpati. Nafas Reza tersengal tak beraturan, keningnya di penuhi oleh bintik-bintik keringat dan baju yang ia pakai juga terlihat berantakan tak beraturan. Reza masih mengatur nafasnya agar terasa stabil, detak jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Ih Kaka nakal dah, kan aku capek tau Kak" keluhnya.

Arlan terkekeh mendengar keluhan Reza, namun di dalam hatinya merasa kasihan dengan orang yang ada di depanya. Arlan mengambil beberapa helai tisu yang sudah ada di atas meja, lalu menyapu keringat yang memenuhi kening Reza. Seketika Reza merasa canggung dengan perlakuan Arlan yang tak biasa, wajahnya masih menatap Arlan tak berkedip untuk beberapa detik. Didalam hati Reza merasakan antara rasa malu dan bahagia. Arlan lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Reza dengan sangat perlahan, mata mereka saling bertatapan semakin dekat membuat keduanya merasakan deg-degan. Semakin lama wajah meraka semakin mendekat hingga Reza bisa mendengar hembusan nafas Arlan yang mulai terasa berat. Namun dengan cepat Reza memalingkan pandanganya membuang muka, membuat Arlan terlihat sedikit kecewa.

"Maaf, Kak" ujar Reza tiba-tiba.

Arlan tersenyum meski hatinya masih sedikit kecewa. Saat ini suasana diruangan itu menjadi hening dan terasa canggung di antara keduanya, Reza menunduka wajahnya pura-pura terlihat sibuk dengan ponselnya walau sebenarnya tak ada yang ia kerjakan, hal itu ia lakukan hanya untuk memalingkan pandangnya pada wajah Arlan.

"Maafin Kakak ya, Za" suara Arlan tiba-tiba terdengar, membuat Reza mengangkat wajahnya menatap Arlan.

"Gak papa kok, Kak"

"Yasudah kalo gitu Kakak pulang dulu, ya?"

Reza tersenyum lalu mengantarkan Arlan hingga di depan rumahnya. Sesampainya di teras rumah yang terlihat cukup besar itu Reza dan Arlan berhennti, mereka saling bertatapan.

"Makasih banyak ya, Kak" ujar Reza. Alfan yang belum mengetahui maksud Alfin mengerutkan keningnya.

"Makasih buat apa, Za?"

"Makasih karna Kakak udah bantuin Reza ngerjain tugas sekolah Reza loh"

"Oh.. Iya sama-sama. Lain kali kalo butuh bantuan jangan sungkan sungkan ya Za, bilang saja dan Kakak pasti gak keberatan kok"

Reza tersenyum. "Sekali lagi makasih banyak Kak"

"Yaudah Kakak pulang dulu ya?" Reza mengangguk.

"Hati-hati Kak!"

Arlan lalu memakai helm nya dan meninggalkan halaman rumah Reza.

*-*-*

Kini Alfin baru saja sampai dirumahnya, ia menyalami tangan Nenek dan Ibunya lalu segera menuju kamarnya. Alfin menggantungkan tas sekolahnya lalu berganti pakaian. Saat ia sedang mengantung baju sekolahnya, ponselnya berdring. Pandanganya langsung tertuju pada ponsel yang baru saja ia letakan di atas kasur lantainya. Terlihat nama Alfan yang tertera di layar ponselnya. Alfin sempat berfikir sejenak sebelum mengangangkatnya, namun akhirnya ia memutuskan untuk menjawab panggilan masuk itu.

"Ya halo, Kak" seru Alfin memulai percakapanya, namun Alfan masih diam dan tak terdengar menjawab sapaan Alfin. Tak lama suara isak dengan nafas berat terdengar dari ponselnya membuat Alfin lebih mengamati agar ia tak salah dengar. "Ka Al masih nangis?" lanjut Alfin.

"Maafin Mamanya Ka Al ya Fin, Kakak bener-bener gatau kalo kejadianya bakal seperti ini"

"Kak... Sudah lupakan saja, Alfin sudah biasa kok dapet perlakuan seperti itu, hanya saja yang Alfin bingung kenapa Mamanya Ka Al marah sama Alfin, memangnya Alfin salah apa? Lagian ketemu aja baru tadi. Tapi ya sudah masalah ini jangan di perpanjang lagi"

"Iya Fin, Kakak aja masih bingung sama tingkah Mama, sekali lagi maafin Mama ya?"

"Iya Kak, gak papa kok" Alfan kemudian memutus panggilanya.

Tok tok tok !!!

"Fin..." panggil Maryam dari luar kamar anaknya. Alfin segera memakai baju kaos warna putih dan membukakan pintu kamarnya.

"Ya, Buk?"

"sekarang makan dulu ya, Ibu sudah masak sayur sup kesukaanmu!"

"Alfin seneng banget sekarang Ibuk sudah sembuh dan kembali tersenyum lagi, Iya Buk nanti Alfin makan kok"

"Yasudah, Ibuk tinggal dulu ya, Ibu mau nganterin bajunya Bu RT yang baru selesai Ibu setrika, soalnya tadi pagi pesenya jangan sampe kesorean katanya"

"Iya Buk" Marya kemudian meninggalkan Alfin.

"Astaga, aku kan ada tugas sekolah mampus deh belum di kerjain" Alfin kembali mengambil tas sekolah yang belum lama ia gantung, kemudian membawanya menuju meja belajarnya.

Di temani dengan music dari ponselnya, Alfin mengerjakan tugas sekolahnya dengan seksama, namun konsentrasinya buyar saat suara music dari smartphone berhenti sejenak dan terdengar nada pesan. Ia melirik pada dua ponsel yang ia letakan bersebelahan, namun kali ini yang berbunyi adalah smarphone pemberian dari Andre.

"Andre?" ujar Alfin, kemudian ia segera membuka pesan singkat itu.

'Siang Fin, gimana kabarnya? Udah tiga hari gak pernah ketemu sama lo gue kangen banget' Alfin tersenyum setelah membaca pesan dari Andre yang entah hanya berbasa-basi atau memang sungguhan.

'Siang juga Ndre, aku baik-baik aja kok. Masa kangen? Beneran?'

'Iya gue beneran Fin, tar malem gue main kerumah lo ya?'

'Boleh kok Ndre siapa yang ngelarang'

'Sip oke makasih, sampai nanti malem ya Fin'

' :) '

Untuk pesan terakhir, Alfin hanya membalas dengan emotion senyum. Alfin kembali tersenyum saat selesai chatting dengan Andre, kemudian ia melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya.

.

                            = = = =

.

Malam itu Andre baru saja sampai dirumah Alfin. Saat baru saja keluar dari mobilnya ia tersenyum bahagia setelah beberapa hari tak pernah berkunjung ke rumah Alfin lagi. Tak lama Alfin membuka pintu dan ikut tersenyum saat melihat kedatangan Andre.

"Yuk Ndre masuk!" ujar Alfin ramah.

"Gak usah Fin, kita ngobrol di luar saja ya?"

Alfin menengokan kepalanya dari balik pintu, dari pandanganya ia tak mendapati sosok Nenek dan Ibunya lalu ia segera menutup pintu dan menuju teras rumahnya. Andre yang sudah duduk lebih dulu terlihat senyum mesum menatap wajah Alfin.

"Gimana dengan kerjaan kamu Ndre?" ujar Alfin yang baru saja duduk di kursi yang berada di depan Andre.

"Baik-baik saja Fin. Gue kangen Fin sama lo" tangan Andre mulai memegang jemari tangan Alfin, namun Alfin hanya diam saja seolah tak mau membuat Andre kecewa.

Kedatangan Alfan yang secara tiba-tiba dan melihat mereka berdua membuat Alfan murka. Alfin segera menarik tanganya dari tangan Andre. Sedangkan Alfan segera menyandarkan sepeda motornya dan menghampiri mereka berdua.

Bersambung...