Senin, 01 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 08
-------------------
By. Aby Anggara
=====================

"Tapi aku bener-bener gak tau, Kak!" mata Reza mulai berkaca-kaca.

"Ada apa sih, Fan...? Kok kamu kasar gitu sama Adik kamu" Melinda yang mendengar keributan di kamar Reza segera menghampiri mereka berdua.

"Nih Ma, si Reza pasti dia yang ambil kalungnya Alfan, karna dia kemarin yang nanyain kalung itu sama Alfan" Reza menatap Melinda lalu menggelengkan kepalanya.

"Enggak kok Ma, Reza berani sumpah" Reza terlihat sangat sedih, baru saja semalam hubungan mereka mulai membaik, tapi sekarang kembali salah paham.

"Sudah-sudah, lagian kenapa sih Fan kamu kok sibuk cari kalung itu?"

"Aku cuma pengen mastiin aja Ma, ternyata benar kalung yang aku pake dengan temen aku itu sama, tapi pas aku pengen cocokin kalungnya malah ilang"

Melinda terlihat mulai ketakutan, ia takut jika Alfan mengetahui semua rahasia yang sudah tersimpan rapat selama bertahun-tahun. Namun ia berusaha menenangkan dirinya, berusaha terlihat senatural mungkin.

"Mungkin hanya kebetulan saja kali Fan, lagian cuma kalung seperti itu kok di ributin. Sudah-sudah kamu mandi ya, udah mau maghrib"

Dengan rasa kecewa Alfan keluar kamar Reza, Melinda menghapus air mata Reza yang sejak tadi menangis tertahan.

"Sabar ya Za, ucapan Alfan jangan di masukan dalam hati. Dan jangan pernah dendam sama Kakakmu. Ingat ya, biar bagaimapun beliau saudara kamu" Reza mengangguk, lalu memeluk Melinda.

*-*-*

Malam itu keadaan di kamar Alfan terdengar begitu sunyi, ia duduk termenung di teras kamarnya. Kedua tanganya ia tumpuk di atas pagar besi untuk menopang dagunya. Tatapanya kosong, matanya pun tak berkedip dengan durasi yang cukup lama.

"Kenapa saat aku menatap Ibunya Alfin, aku merasakan keadaan yang sangat damai, wajah itu terasa sangat tidak asing bagiku. Aku seperti mengenalnya, tapi dia siapa? Padahal aku baru kemarin melihatnya" Alfan sudah sangat lama berada di teras kamarnya, ia masih merasa kebingunga dengan apa yang sedang melanda hatinya.

Angin malam berhembus menerpa tubuh Alfan yang saat ini masih saja terpaku dalam keheningan malam, namun rasa dingin itu tak ia hiraukan lagi.

Melinda mengetuk pintu kamar Alfan beberapa kali, namun ia tak mendapatkan jawaban. Melinda memutar knop pintu lalu membukanya, pandangan Melinda langsung tertuju pada ranjang tempat tidur Alfan, namun ia tak mendapati sosok yang sedang di carinya. Lalu pandanganya beralih pada sebuah pintu teras kamar Alfan yang setengah terbuka.

Melinda berjalan menuju pintu itu, dan tak perlu waktu lama ia melihat sosok Alfan yang sudah sejak tadi duduk melamun di bangku itu. Melinda masih berdiri diam bersandar di pintu itu. Dihati Melinda merasa sangat khawatir dengan keadaan Alfan, ia takut jika suatu saat nanti Alfan akan meninggalkanya dan kembali pada Ibu kandungnya.

Melinda mendekati Alfan dan duduk di sebelahnya. Alfan yang menyadari kehadiran Mamanya sejenak menoleh Melinda, lalu pandanganya kembali pada posisinya semula.

"Kamu kenapa, Fan?" Melida merangkul bahu Alfan, lalu perlahan membenamkan kepala Alfan didadanya. Dengan penuh kasih sayang Melida mendiamkan kepala Alfan agar bisa merasakan kehangatan dari sosok seorang Ibu yang sudah ia rampas sejak Alfan masih kecil.

"Aku gak papa, Ma" singkatnya. Alfan memejamkan matanya di dada Melinda, berusaha menikmati tulusnya sebuah kasih sayang dari sosok yang memang seharusnya ia dapatkan.

Melinda tersenyum tak percaya. "Kamu yakin gak papa, sayang?" Melinda menatap wajah Alfan, dan Alfan mendongat menatap wajah Melinda, mata keduanya kini saling bertatapan. Wajah Alfan terlihat sayu, lalu Alfan menganggukan kepalanya. "Yakin bukan karna sikap Papa tadi?" lanjut Melinda. Mata mereka masih saling bertatapan, Melinda bisa melihat dengan jelas dari tatapan bola mata Alfan yang ada sebuah kebohongan sedang ia sembunyikan dari Mamanya.

Reza yang saat ingin masuk kekamarnya ia urungkan saat melihat kamar Alfan yang sedang terbuka, ia mendekat pintu itu lalu pandanganya menyapu ruangan kamar Alfan, namun pandanganya tak menemukan seseorang di dalam ruangan itu. Saat ia membalikan tubuhnya, sepintas pandanganya melihat sosok Melinda yang membelakanginya.

Reza berjalan dengan sangat hati-hati, bahkan ia menjinjitkan kakinya agar suara telapak kakinya tak terdengar. Ia berdiri tepat di pintu, dibelakang Mamanya.

"Aku boleh nanya sesuatu sama Mama?" ujar Alfan. Melinda tersenyum, lalu mengangguk tanda mengizinkan.

"Tanya apa, Fan?"

"Kenapa Papa selalu tak pernah adil sama aku Ma, apa karna nilai Reza lebih bagus? Aku bingung sama Papa, sejak dulu ia tak pernah menyayangi aku seperti layaknya menyayangi Reza"

Sejenak suasana menjadi hening, bahkan Melinda masih terdiam memikirkan sesuatu untuk menjelaskan pada Alfan. Alfan yang sudah benerapa detik tak mendapat jawaban lalu mendongakan kepalanya menatap wajah Melinda.

Pertanyaan Alfan sekaligus membuat Reza merasa bersalah, wajahnya terlihat sedih dan matanya mulai memerah.

"Kok Mama diam, jawab dong Ma!"

"Eh nggak ko Fan. Apa yang di ucapin Papa jangan di masukin kedalam hati ya, Papa memang begitu orangnya, tapi sebenernya dia sayang kok sama kamu. Sudah malam sekarang kamu tidur ya!" Melinda menjawab sekaligus mengalihkan pembicaraan agar tak ada pertanyaan-pertanyaan baru lagi dari Alfan. Alfin yang tak mau semakin terbawa suasana akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu.

"Tapi aku belum ngantuk, Ma"

"Fan... Ini sudah malam, kamu tidur ya besok sekolah kan?" perintah Melinda yang halus dan lembut membuat Alfan luluh dan akhirnya ia menganggukan kepalanya menuruti perintah Mamanya. Kini keduanya bangkit dari teras kamar itu. Alfan langsung menuju tempat tidurnya, sedangkan Melinda menutup pintu, lalu menyelimuti tubuh Alfan dengan selimut tebal.

"Selamat tidut ya sayang" Alfan tersenyum, Melinda mengecup kening Alfan dengan penuh kasih sayang. Melinda memandangi wajah Alfan yang sudah terpejam, ia menaruh harapan besar pada sosok Alfan di masa mendatang.

"Mama sayang sama kamu, Fan" ujar Melinda dalam hati, lalu ia mematikan lampu utama di ruangan kamar Alfan, dan menutup pintu.

.

                        = = = =

.

Saat jam pelajaran sekolah tlah usai, Alfan dan Alfin makan di Kantin sekolah bersama. Keduanya terlihat begitu akrab tertawa bahagia. Reza yang menyaksikan mereka dari jarak yang lumayan jauh membuat hatinya terasa bagai teriris, karna Alfan lebih peduli terhadap Alfin dari pada dirinya.

"Kapan Reza bisa kaya gitu, Reza pengen makan bareng, main PS bareng, dan juga Reza pengen ngerjain tugas sekolah bareng Ka Alfan" hati Reza semakin terasa pedih, ia bagaikan saudara yang tak pernah di anggap. Walau hatinya sedang merasakan kekecewaan yang sangat dalam, namun ia berusaha tetap tersenyum lalu pergi meningalkan pemandangan yang membuatnya hatinya terasa sakit.

Reza berjalan dengan penuh rasa keputus asaan, di pikiranya masih teringat dengan jelas saat Alfan tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Rasa cemburu masih menyertai hatinya. Bukan rasa cemburu seperti rasa cinta layaknya orang berpacaran, tetapi rasa cemburu dengan sikap Alfan yang sangat hangat pada Alfin, sedangakan sikap Alfan yang sangat kontras jika dengan Reza. Reza duduk di sebuah halte di depan sekolahnya, menunggu sebuah bus yang akan menghampirinya di halte itu. Iya melirik jam tanganya, karna sudah beberapa menit bus yang ia tunggu-tunggu belum juga datang.

"Hai, Za" ujar seorang laki-laki berteriak sambil melambaikan tanganya. Reza menoleh lalu tersenyum saat melihat Arlan yang sedang tersenyum dan menatapnya dari gerbang sekolahnya. Arlan lalu melajukan sepeda motornya mendekati halte itu.

"Kamu ngapain di sini, Za? Papa kamu mana?" Reza berjalan turun dari halte itu dan mendekati Arlan.

"Papa tadi nelpon Reza Kak, katanya gak bisa jempur karna ada rapat dadakan"

"Yaudah pulang bareng Kak Arlan aja, yuk" Reza tersenyum lalu ia duduk di belakang Arlan. Mereka meningggalkan area sekolahnya dan menuju rumah Reza. Reza merasa sangat bahagia, karna Arlan yang selalu perhatian pada dirinya.

Kendaraan Arlan berhenti saat tiba di halaman parkir Indomaret, Reza yang tak mendapat pemberi tahuan sejak awal tampak bingung dengan maksud Arlan berhenti disini, namun ia menuruti saja dan turun dari sepeda motor Arlan.

"Yuk masuk, Za!" Reza mengangguk dan mereka memasuki sebuah Indomaret yang cukup besar. Saat sudah sampai di dalam, pandangan Arlan langsung tertuju pada sebuah coklat berbentuk persegi empat yang sedikit panjang. Arlan mengambil beberapa batang, lalu pandanganya menatap wajah Reza.

"Kamu mau minum apa, Za?"

"Nggak usah, Kak" ujar Reza dibarengi dengan gelengan kepalanya.

Namun Arlan tetap saja mengambil beberapa miniman kemasan botol. Setetah itu Arlan membeli makanan ringan lainnya, Arlan segera membawanya menuju meja kasir. Setelah semuanya usai di hitung, Arlan segera membayarnya lalu mereka kembali menghampiri sepeda motornya.

"Kak nanti bantuin Reza ngerjain tugas sekolah ya, soalnya Reza kurang paham"

"Tenang Za, Ka Arlan tuh selalu siap kok bantu kamu, jangan pernah sungkan ya" Reza tersenyum lalu mereka melanjutkan perjalan pulang.

Alfan dan Alfin baru saja selesai makan dan keluar dari kantin sekolanya, mereka segera menuju parkir yang telah di sediakan oleh pihak sekolah.

"Fin sesekali mampir kerumah Kakak ya?" ujar Alfan penuh harap. Alfin terdiam sejenak dan terlihat ragu, sebenarnya ia ingin nenolak, tapi ia tak tega membuat Alfan kecewa. "Mau ya, Fin?" lanjut Alfan yang masih menatap wajah Alfin. Alfin lalu membuat senyuman paksa dan mengangguk pelan.

Saat sudah sampai di halaman rumah Alfan, pandangan Alfin melihat hingga kesemua sudut halaman rumah itu. Alfin tampak terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang indah. Desainya tak jauh beda dengan rumah Andre, namun lebih indah rumah Alfan. Alfin mengandenga tangan Alfan, namun Alfan berusaha melepasnya lantaran takut mendapatkan pandangan aneh dari Mamanya.

"Ingat ya Fin, gak boleh macem-macem!" ujar Alfan.

"Yadeh Kak maaf"

"Yasudah, yuk Fin masuk!" setelah melalui halaman yang culup luas, kini mereka sudah tiba di depan pintu rumahnya, Alfan segera masuk dan di ikuti oleh Alfin di belakangnya. Saat berada di rungan tengah di dekat tangga, Alfan melihat Arlan dan Reza yang sedang duduk di lantai dengan meja kaca didepanya. Mereka terlihat sangat dekat, dan Reza sesekali tertawa lepas saat bersama Arlan. Melihat kedekatan mereka, Alfan seperti yang tak menyukainya, ya... Alfan tidak suka dengan kedekatan mereka berdua.

"Eh Alfan udah pulang?" sapa Melinda yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Alfan. Tatapanya kini berpaling pada Melinda yang ada di depanya.

"Udah Ma, baru saja"

"Lah, ini siapa?" ujar Melinda menatap Alfin.

"Oh.. Kenalin Ma, ini Alfin temen sekolahnya Reza yang Ibunya sakit kemarin itu loh" kata Alfan menjelaskan.

"Siang Tante" sapa Alfin ramah sambil menganggukan kepalanya. Melinda menatap Alfin dari bawah hingga ke atas, ia melihat kalung yang melingkar di leher Alfin yang sama persis dengan yang biasa di pakai oleh Alfan. seketika raut wajah Melinda menatap Alfin sangat tajam dan penuh kebencian. Alfin yang merasa ketakutan menundukan pandanganya tak berani menatap wajah Melinda. Seketika otak Melida bekerja, memutar memori yang sudah ia pendam bertahun-tahun.

'Nya aku mohon, kali ini saja izinkan saya bertemu dengan Alfan anak saya'

'Nggak boleh, kita sudah buat kesepakatan hitam di atas putih Maryam'

'Aku tau Nyah, tapi sekali ini saja'

'Sekali enggak tetap enggak, sekarang kamu pergi dari sini!'

Seketika kedua tangan Melinda memegangi kepalanya yang terasa sedikit pusing akibat memaksakan mengingat-ingat kejadian beberapa tahun silam.

"Mama kenapa, Ma?" ujar Alfan keheranan, wajah Melinda terlihat sangat tak bersahabat menatap Alfin penuh amarah.

"Pergi kamu dari sini!!!" ujar Melinda dengan suara lantang dan bergema. Pandangan Melinda mendelik pada Alfin. Alfin yang merasa semakin ketakutan sedikit bergeser bersembunyi di belakang tubuh Alfan.

"Mama kenapa sih, memangnya apa salah Alfin?" Alfan masih terlihat bingung dan tak mengerti kenapa Melinda sebegitu bencinya dengan Alfin.

"Pergi dari sini!" suara Melinda terdengar lebih keras, dan ia berusaha menarik tangan Alfin keluar, namun Alfan berusaha menghalanginya.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar