Selasa, 09 Februari 2016

Percintaa Sedarah
Epesode 13
------------------
By. Aby Anggara
=======================

*-*-*

Di dalam hati Alfan penuh dengan rasa ke khawatiran, ia takut terjadi sesuatu dengan Reza. Di pagi itu jalanan sedikit macet, selain jam berangkat sekolah, jalanan juga di penuhi dengan orang-orang yang berangkat ke tempat aktivitasnya masing-masing. Suara klakson motor dan mobil terdengar saling bersahutan saat lampu rambo baru saja berubah menjadi hijau. Sedangkang Alfan sesekali menengokan pandangnya di sekitar pinggir jalan.

Alfan berhenti di satu tempat keramaian, ia mendekati segerombolan orang yang sedang menikmati sarapan paginya di warung pinggiran jalan.

"Maaf bang numpang nanya, pernah liat orang yang seperti di foto ini gak?" Alfan menyodorkan foto Reza pada salah satu di antara mereka.

"Oh maaf saya gak pernah liat"

"Yaudah makasih"

Alfan kemudian kembali berjalan mendekati ke gerombolan lain dan menanyakan hal serupa, namun tetap saja, setiap orang yang ia tanya pasti menggelengkan kepalanya. Alfan kemudian kembali berjalan mendekati sepeda motornya dengan langkah tak bersemangat, di hatinya terasa sesak akibat rasa bersalahnya.

Ia kembali memakai helm nya, tak lama ia segera meninggalkan tempat itu. Sudah beberapa jam ia berkeliling jalanan raya penuh keramaian, namun belum juga ia menemukan seseorang yang ia cari. Alfan kemudian kembali berhenti.

"Sepertinya aku butuh bantuan Arlan" ujar Alfan dengan pelan, ia kemudian merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada kontak Arlan.

"Ya, Fan?"

"Reza kabur dari rumah Ar, apa dia dirumahmu?"

"Reza kabur dari rumah? Aku gak tau Fan, dari kamarin hp nya memang gak aktif"

"Yaudah kalo gitu, makasih informasinya"

"Oke aku cabut dari sekolah sekarang, aku juga mau cari Reza"

"Gak usah Ar, biar aku aja"

"Sudah tenang saja"

Tut... Tut... Tut...

Dengan sepihak Arlan memutuskan panggilanya.

"Dasar kerasa kepala" gumam Alfan. Ia kemudian melanjutkan perjalananya. Namun baru saja ia memutar kuci kontak sepeda motornya ke posisi 'ON' ponselnya bergetar, Alfan kemudian melihatnya. Nama Alfin pun tertera di layar ponselnya. Alfan terdiam dan tak ada keberanian untuk menjawab panggilan itu, selain ia masih kesal dengan Ibunya, ia juga masih merasa malu saat teringat hubungan asmaranya dengan Alfin.

Suara dering pun terhenti saat ia tak menjawab panggilan itu, namun beberapa saat kemudian ponselnya kembali berdering. Lagi-lagi Alfan hanya melihatnya, ia belum ada keberanian untuk mendengar suara Alfin.

"Maafin Kakak Fin, Kakak malu sama kamu" ucapnya lirih.

Tak lama ponsel kembali berdering namun singkat, menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Alfan segera membukanya.

Dari : Alfin
07:30

Kenapa Ka Al gak mau angkat telepon dari Alfin? Kakak masih marah sama Ibuk dan juga Alfin? Atau Kakak malu punya keluarga yang miskin?

Pulang Kak, Ibu dari tadi menangis.

----

Rasa sedih kembali menyusup di hati Alfan, ada rasa benci, kesal dan juga malu kini bercampur menjati satu, terlebih ia juga masih merasa bersalah pada Reza, hingga membuat hatinya semakin kacau.

"Sesulit ini kah masalahku saat ini? Aku benar-benar bingung harus kemana aku melangkah. Aku bukan malu punya seorang Ibu yang miskin, tapi aku belum bisa menerima kenapa Ibu tak merawatku sejak kecil? Kenapa aku malah di besarkan dengan orang lain yang justru sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri? Walau aku sering menyakiti hatinya, tapi Mama Meli tetap saja tak pernah marah sedikitpun denganku. Bagiku hanya dialah seorang Ibu yang sempurna di mataku, yang tak pernah lelah menyayangiku, selalu membelaku saat Papa tak pernah berpihak padaku, dan Mama Meli tak pernah membentaku walau hanya sekalipun. Tapi kenapa, jika Ibu Maryam benar-bener Ibuku malah tak merawatku sejak aku kecil? Kenapa dia mengaku saat aku sudah sebesar ini? Saat aku kecil, dia kemana?. Entahlah aku juga belum mengetahuinya, tapi yang pasti, aku tak mau menganggapnya sebagai seorang Ibu. Seorang Ibu tak akan pernah membuang anaknya" mata Alfan mulai memerah, namun sekali lagi ia tak membalas pesan dari Alfin dan kembali menaruh ponsel di saku celananya.

Alfan kemudian melanjutkan perjalananya, menyusuri keramaian kota yang sangat padat itu, di benaknya kini hanya ingin segera bertemu dengan Reza dan meminta maaf.

Waktu begitu cepat berlalu, hingga siangpun telah menjumpainya. Sejak pagi sampai saat ini Alfan belum beristirahat, tubuhnya mulai terasa dahaga dan perutnya sudah mulai berbunyi karena kelaparan. Alfan berhenti di sebuah terminal, ia memesan minuman dingin di sertai makanan ringan.

Alfan mengeluarkan ponselnya, berusaha menelpon nomor Reza. Namun tetap saja, nomor itu belum juga aktif. Kemudian ia menoleh ke sekitarnya, namun ia juga tak mendapati sosok Reza. Di bawah pohon yang besar itu, Alfan duduk bersantai sembari menunggu pesananya datang, namun sekilas matanya menangkap sosok yang tak asing baginya, walau dengan pakaian yang sudah lusuh, tetapi dari gerak-geriknya Alfan seperti tak asing lagi baginya.

Dengan penuh rasa penasaran Alfan masih terus memperhatikan anak itu, seseorang yang sedang mengangkat barang bawaan yang berada di dalam karung berukuran lumayan besar, anak itu merasakan betapa beratnya barang yang ia bawa, bahkan sesekali ia menurunkan barang bawaanya dan mengusap keringat yang mengalir dari dahinya.

Mata Alfan memerah saat mendapati sosok Reza yang sedang berusaha mendapatkan uang demi sesuap nasi, padahal di rumah, Reza tak pernah mengangkat beban seberat itu. Air mata Alfan mengalir tanpa ia sadari, dadanya terasa sesak karna rasa bersalahnya. Alfan kemudian berjalan menghampiri anak itu.

"Reza..." teriak Alfan dari kejauhan, ia sedikit berlari kecil. Reza yang mendengar panggilan Alfan segera menoleh dan ia menundukan kepalanya saat Alfan sudah hampir sampai di depanya. Reza masih terdiam tak berani mengangkat kepalanya, karna ia sudah yakin jika Alfan pasti akan memarahinya.

Saat ini suasana menjadi hening, Alfan menangis dengan suara tertahan, memperhatikan Reza dengan baju yang lusuh dan terlihat sangat kotor. Tangan Reza yang biasanya berwarna putih bersih kini menjadi kemerahan saat terkena teriknya sinar matahari yang sangat panas.

"Maafin Kakak ya, Za" ujar Alfan memeluk tubuh Reza dengan erat. Seketika tangisan Alfan pecah di pelukan Reza. Reza sangat tak menyangka jika Alfan akan melakukan hal ini padanya. Perlahan, Reza membalas pelukan Alfan dan ia ikut menangis.

"Kakak kenapa menangis?" ujar Reza yang masih terlihat bingung. Ia melepaskan pelukanya, kemudian menatap wajah Alfan, dan perlahan Reza menghapus air mata Alfan.

"Maafin Kakak Za, Ka Alfan menyesal telah menyia-nyiakan orang sebaik kamu Za" ujar Alfan, Reza menggelengkan kepalanya.

"Nggak kok Kak, Reza selalu maafin Kakak" jawabnya, Reza berusaha tersenyum walau dalam isak tangisanya. Dengan sangat hati-hati, kedua tangan Alfan menyeka air mata itu, Reza sangat bahagia saat mendapat perlakuan yang belum pernah ia dapatkan selama ini.

"Sekarang kita pulang ya Za, Mama sama Papa sudah nungguin kamu dirumah" Reza mengangguk bahagia. "Karung ini mau di bawa kemana Za?"

"Ke truk yang ada di sana Kak" ujar Reza menunjuk sebuah truk berwarna kuning. Pandangan Alfan kini secara bergantian menatap truk itu dan karung yang ada di depanya, jaraknya lumayan jauh. Alfan segera mengangkat karung itu, di ikuti oleh Reza yang berjalan di belakangnya.

"Nih upahnya Dek" kata seorang laki-laki dewasa itu.

"Nggak usah Pak, makasih kami pergi dulu" Reza dan Alfan kini pergi meninggalkan truk itu dan kembali menuju warung tempat ia memesan makanan tadi.

"Kamu pasti belum makan siang kan, Za?" tanya Alfan, Reza mengangguk.

"Buk pesan satu porsi lagi ya!"

"Iya, Dek"

"Kamu makan saja dulu Za, ini makanan yang udah Ka Alfan pesan sejak tadi, sekarang kamu makan ya!" Reza mengangguk kemudian ia segera makan dengan sangat lahap, sepertinya Reza memang sedang kelaparan, karna ia tak biasanya makan seperti orang yang rakus. Alfan tersenyum, sembari terus menyaksikan Reza yang sedang lahap dengan makan siangnya.

*-*-*

Pagi itu terlihat tak seperti biasanya, Reza yang terlihat sangat akrab saat di meja makan, bahkan sesekali Alfan mengambil makanan yang ada di piring Reza. Melinda tersenyum bahagia saat melihat keduanya bisa sangat rukun seperti ini.

"Kak udah dong kalo gini terus, tar Reza gak jadi makan dong" keluh Reza dengan bibir sedikit manyun. Melinda menggelengkan kepalanya heran menyaksikan keduanya. Sedangkan Alfan malah semakin terkekeh melihat keluhan Reza.

"Sudah-sudah jangan becanda mulu, ayo buruan makan nanti kalian telat berangkat sekolah loh" ujar Melinda melerai mereka.

"Ma, mulai hari ini Reza berangkat sekolahnya sama aku saja ya?" pinta Alfan. Sontak semua mata tertuju pada Papanya seolah meminta persetujuan.

"Boleh ya, Pa?" rinti Reza.

"Iya boleh, tapi Alfan bawa motornya jangan ngebut-ngebut ya!"

"Siap, Pa" ujar Alfan di barengi mengangkat tangan sejajar dengan telinganya seperti hormat bendera, hal itu membuat Reza terkekeh.

Sarapan pagi sudah selesai, kini saatnya Alfan dan Reza berangkat kesekolah bersama. Saat Alfan berjalan menuju pintu keluar, ponselnya bergetar. Ia segera melihatnya, lagi-lagi Alfin meneponya. Namun lagi-lagi Alfan belum ada keberanian untuk menjawab telepon itu, ia kembali menaruh ponselnya dalam saku celananya.

"Ayo Za naik!" perintah Alfan.

"Tapi jangan kejut-kejutan lagi seperti waktu lalu ya Kak? Aku takut jatuh" pinta Reza memohon, seketika Alfan terkekeh, dan tak lama mereka meninggalkan halaman rumahnya, segera menuju Sekolahnya.

.

                          = = = = =

.

"Cie.. Yang sudah pada akur, aku ampe di lupain" keluh Arlan yang baru saja datang ke Kantin sekolahnya, ia kemudian duduk di kursi yang masih kosong.

"Eh kata siapa, tadi Reza cariin Ka Arlan loh pengen ajakin makan bareng, sampe Reza cepek tapi gak ketemu-ketemu, yaudah Reza berdua aja ama Ka Alfan" jelas Reza, Alfan terkekeh.

"Yadeh-yadeh percaya, tapi besok-besok jangan main kabur-kaburan lagi ya, Ka Arlan khawatir tau" kata Arlan sambil mencubit kecil hidung Reza, Reza tersipu atas perlakuan Arlan padanya.

Siang itu mereka makan bersama, Reza terlihat sangat bahagia dengan perubahan sikap Alfan yang saat ini sangat menyayanginya dan bersikap sangat hangat. Tiba-tiba terdengar suara ponsel Reza berdering, dan ia segera menjawab panggilan masuk itu.

"Ya halo, Pa"

"Papa jemputnya agak telat sayang, Papa lagi di bengkel ban mobilnya bocor"

"Papa gak usah jemput Pa, Reza pulang sama Ka Alfan saja"

"Kamu yakin?"

"Iya Pa"

"Yasudah kalo gitu"

"Cie yang mau pulang bareng, awas loh Za, tar tiba-tiba si Al galak di tengah jalan gimana?" goda Arlan.

"Gak lah Kak, Kak Alfan itu sekarang baik banget loh, Reza jadi seneng banget" ujar Reza.

"Pada ngomongin apaan sih kalian, yasudah ayo pulang!"

Tak lama mereka pun meninggalkan sekolahnya dan segera pulang. Saat di perjalanan, kedua tangan Reza memeluk erat di perut Alfan. Momen seperti ini sudah lama ia nantikan, namun baru kali ini ia bisa merasakan mempunya Kakak yang bisa membuatnya aman dan nyaman. Mereka sudah sampai di rumahnya, Reza segera turun di ikuti dengan Alfan di belakangnya, mereka segera menuju kamarnya masing-masing.

Alfan segera mengganti seragam sekolahnya, kemudian ia berbaring terlenteng dengan menjadikan kedua tanganya sebagai bantal untuk kepalanya. Tatapanya kosong, pikiranya kembali teringat dengan kejadian saat ia di rumah Alfin kemarin.

"Bagai mana keadaan adiku Alfin? Apa dia sudah membaik? Aku sangat merindukanya, tapi aku belum punya keberanian untuk menemuinya. Aku malu untuk bertemu denganya. Kakak macam apa aku ini, yang menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Mau di taruh di mana mukaku? Astaga aku hampir lupa, hari ini kan aku harus mengambil hasil tes Alfin kemarin di rumah sakit"

Alfan segera bangkit dari tempat tidurnya, ia kembali mengganti pakaianya dan bersiap-siap menuju rumah sakit, namun pada saat ia baru saja membuka pintu kamarnya, ia mendapati sosok Reza dengan membawa beberapa buku sekolahnya.

"Ka Alfan mau kemana, rapi amat?" ujar Reza yang memperhatika Alfan dari atas hingga kebawah.

Alfan nyengir membuat senyuman paksa di wajahnya. "Gak kemana-mana kok, oya Reza mau ngapain?"

"Bantuin ngerjain tugas sekolah dong Kak, Reza kan gak tau gimana cara ngerjainya" ucap Reza manja dengan wajah memelas, Alfan terlihat berfikir dan menggaruk kepalanya.

"Yasudah ayo masuk!"

"Ye... Asik" ujar Reza kegirangan. Alfan dan Reza kemudian menuju meja belajar itu dan mengerjakan tugas sekolahnya. Melinda yang bersandar di pintu kamar Alfan dan memangku kedua tanganya. Ia tersenyum saat menyaksikan keduanya terlihat sangat akrab hingga tercipta cinta dan kehangatan di antara keduanya.

*-*-*

"HIV Dok? Apa ini gak salah?" ujar Alfan tak percaya.

"Ini hasil tes laboratorium, dan gak mungkin salah. Saran saya penderita harus segera mendapat perawatan agar segera bisa di tangani"

Alfan masih terdiam, ia masih memperhatikan lembaran kertas yang ada di tanganya. "Baik Dok, kalo begitu saya pamit dulu"

Pikiran Alfan semakin tak karuan, ia memutuskan untuk segera menuju kerumah Alfin. Rasa takut dan malunya kali ini terkalahkan oleh rasa ke khawatira yang menyangkut keselamatan Adik kandungnya itu. Ia segera mengetuk pintu rumah Alfin, tak lama Alfin lah yang membukakan pintu untuknya.

Tanpa mengeluarkan sebuah kata, Alfan segera memeluk Alfin dengan sangat erat, ia pun menangis di pelukan Alfin.

"Kakak kenapa?" ucap Alfin kebingungan. Namun Alfan makin terisak di pelukan Adik kandungnya itu. Ia masih dengan sangat kencang memeluk tubuh Alfin, kemudian dengan perlahan ia melepaskan pelukanya.

"Kamu.. Kamu mau kan Fin di rawat di rumah sakit supaya kamu cepat sembuh?" ujar Alfan dengan suara terbata. Matanya merabak menatap wajah Alfin yang masih terlihat bingung.

"Alfin gak mau Kak, Alfin takut"

Alfan menggeleng. "Jangan takut Fin, Kakak akan selalu temenin kamu kok"

"Memangnya Alfin sakit apa Kak, kenapa musti di rawat di rumah sakit?" mendengar pertanyaan itu, dada Alfan terasa sesak, tangisanya semakin menjadi. Ia tak mampu untuk mengatakan yang sebenarnya.
Mendengar keributan di luar, Andre segera keluar dari kamar Alfin. Seketika kedua mata Alfan tertuju pada sosok Andre yang baru hadir di ruangan itu, ia menatap Andre dengan tatapan tajam.

"Ini semua gara-gara kamu" ujar Alfan dengan memegang kerah baju Andre. Wajah keduanya kini sangat dekat, tatapan Alfan kini menjadi tatapan penuh kebencian, terlihat amat murka dan penuh amarah.

"Me.. Memangnya gue salah apa?" ujar Andre bingung.

"Baca ini!" Alfan menyodorkan sebuah amplop pada Andre dengan tangan bergetar, dengan sangat hati-hati Andre menerima dan membaca lembaran kertas itu. "Puas kan kamu sekarang buat Adik saya menderita? Puas?"

"Maafin gue, tapi gue gak-"

"Diam!!!" serga Alfan dengan suara keras, seketika membuat Andre pun terdiam dan tak melanjutkan perkataanya.

"Aku boleh baca kertas itu? Memangnya itu kertas apa?" pinta Alfin memohon. Kini Alfan dan Andre masih terdiam, sementara Alfin mengambil lembaran kertas itu dari tangan Andre.

"HIV?" ujar Alfin seketika menatap wajah Alfan. "Alfin mengidap HIV ya, Kak?" lanjutnya tak percaya. "Kak jawab kak!!" Alfin menggucang-guncang tubuh Alfan, namun Alfan masih terdiam tak mampu untuk mengatakanya.

"Ya Allah anak Ibuk sudah pulang?" teriak Maryam lalu mendekati kedua anaknya.

"Stop jangan dekati saya!!! Aku bukan anak Ibuk. Mana ada orang tua yang gak ngurusin anaknya"

"Ibu bisa jelasin semunya Nak" ujar Maryam dengan suara lirih, ia pun ikut menangis merasakan betapa sakitnya seorang Ibu yang tak di anggap.

"Aku gak butuh penjelasan kamu" ujar Alfan dengan bibir bergetar. Alfin memandangi keduanya secara bergantian. Di hatinya merasakan dilema harus berpihak di poisis yang mana, Alfan atau Ibunya.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar