Rabu, 03 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 10
--------------------
By. Aby Anggara
========================

*-*-*

Alfin sangat kaget dan tak menyangka jika Alfan akan datang kerumahnya. Raut wajahnya ketakutan, ia takut jika Alfan akan memarahinya. Namun Andre bersikap datar seolah tak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Alfan menatap Andre dengan tatapan sinis, sedangkan wajah Alfin diam dan tertunduk.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Alfan ingin tau. Alfin melirik Andre yang sedang berpangku tangan dengan santainya, seolah menyuruh Andre yang menjawab pertanyaan dari Alfan.

"Memangnya apa urusan, lo?" ketus Andre.

"Aku sudah tanya baik-baik, tapi kamu malah nyolot" Alfan dengan geramnya memegang kerah baju Andre dengan kedua tanganya.

"Kak Al aku mohon jangan buat keributan di sini, Alfin takut Mama sama Nenek tau Kak" Alfan menuruti permintaan Alfin. Dengan kasarnya Alfan melepaskan kedua tanganya dari kerah baju Andre.

"Lo lagi lo lagi, kalo boleh jujur sih gue bosan dengan wajah lo" ujar Andre ketus. Alfan yang kesal dengan ucapan Andre segera menggenggamkan kedua tanganya dengan keras, tanpa babibu ia langsung mendaratkan satu pukulanya di pipi sebelah kiri Andre.

"Brengsek" keluh Andre sambil memegangi pipinya, Andre mulai emosi dengan keadaan yang semakin memanas.

"Ndre aku mohon jangan membuat keadaan tambah rumit. Sekarang mendingan kamu pulang ya!" ujar Alfin memohon.

"Awas ya, urusan kita belum selesai" ancam Andre sambil menuding wajah Alfan. Andre kemudian melewati Alfan sambil sedikit menabrakan tubuhnya pada tubuh Alfan, membuat Alfan sedikit bergeser akibat tertumbur oleh tubuh Andre. Andre lalu masuk kedalam mobilnya dan melaju dengan cepat.

"Ka Al kok kesini gak bilang-bilang?" tanya Alfin. Alfan masih terpaku dengan keadaanya yang baru saja membuat hatinya tersakiti, rasa cemburu tentu saja, mungkin kali ini ia sudah mulai mencintai Alfin layaknya seorang perempuan yang pernah ia cintai tahun lalu. "Kak?" sapa Alfin lembut. Alfan melirik pada Alfin, lalu ia duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Andre.

"Apa-apaan kamu tadi Fin?"

"Maksud Kakak apa?" ujar Alfin yang pura-pura tidak tahu.

"Kamu itu sudah punya pacar Fin, ngapain kamu seperti tadi?" Wajah Alfin tertunduk penuh penyesalan.

"Maafin Alfin Kak, Alfin janji gak akan ngulanginya lagi. Tapi yang Kakak liat gak seperti dengan yang Kakak bayangin, aku dan Andre gak ada hubungan apa-apa Kak, hanya sebatas teman"

"Aku gak butuh janji Fin, tapi buktikan kalo omonganmu itu benar"

"Baiklah Kak aku pasti bisa membuktikanya"

*-*-*

Saat Alfin sudah selesai memakai seragam sekolanyan, ia segera menuju dapur untuk membantu Ibunya menyiapkan sarapan pagi, membawa beberapa minuman hangat ke meja makan yang sangat sedehana. Setelah semuanya selesai, Alfin, Ibu dan Neneknya duduk mengelilingi meja makan itu.

"Fin... Apa Ibu boleh tanya sesuatu?"

"Tanya apa, Buk?" ujar Alfin yang lalu mengambil segelas minuman hangat miliknya.

"Kamu waktu itu kerja apa sampai bisa bayar biaya rumah sakit yang sebegitu mahalnya?"

"Uhuk... Uhuk..." Alfin terbatuk saat sedang menikmati minuman hangatnya.

"Pelan-pelan dong Fin!" ujar sang Nenek perhatian.

Alfin tak menyangka jika Ibunya akan menanyakan hal ini, lantaran sudah beberapa hari sejak Ibunya pulang dari rumah sakit dan tak menanyakan hal ini. Wajah Maryam masih menatap Alfin, sebagai orang tua rasa ingin tau tentu saja, apalagi pada anaknya sendiri.

"Em... Anu Buk, Alfin.... Alfin kerja di rumah makan, iya di rumah makan" jawabnya gugup, namun sesudahnya ia terlihat cengengesan. Ibunya mengerutkan keningnya.

"Rumah makan?" ulangnya tak percaya.

"Iya, memangnya kenapa, Buk?"

"Memangnya berapa bayaranya sampai bisa bayar rumah sakit semahal itu?" Alfin terdiam, jika di fikir-fikir jawaban yang ia katakan pada Ibunya memang tak masuk akal.

Alfin menggaruk kepalanya, mencari ide lain yang lebih masuk akal. "Sebenernya Ka Al dan Andre yang bantuin bayar biaya rumah sakit Buk" ujar Alfin yang akhirnya menemukan alasan.

"Iyakah? Mereka baik banget yah? Kalo gitu nanti malem suruh pada datang ya, Ibu mau ngucapin terima kasih, sekalian makan melam sama-sama"

"Wah Nenek setuju dengan ide Ibumu Fin"

"Iya Nek, nanti aku sampein sama mereka"

"Yasudah kalo gitu, Ibu mau ambil pakaian dulu, kamu lanjutin sapan ya!" Maryam kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Alfin dan Neneknya kemudian melanjutkan sarapan paginya, namun Alktivitas Alfin terhenti saat tiba-tiba suara ponselnya berdering. Alfin berjalan menjauh dari Neneknya.

"Ya halo, Ndre?"

"Pagi Fin, lagi apa?"

"Lagi sarapan Ndre, kamu sudah sarapan?"

"Belum Fin, gue pengen ngomong sesuatu Fin"

"Ngomong apa Ndre?"

"Sebenernya semalem gue mau ngomong Fin, tapi gara-gara ada anak sialan itu gak jadi deh. Gue... Gue sayang sama lo Fin, saat gue jauh dari lo, gue selalu kangen pengen deket terus, dan gue pengen lo jadi pacar gue" Alfin masih terdiam tak menjawab pernyataan Andre, ia sempat tak percaya jika Andre mempunyai rasa seperti itu. "Fin..?" panggil Andre, seketika Alfin tersadar dari lamunanya.

"Ya Ndre kenapa?"

"Gue butuh jawaban lo Fin"

"Em... Maaf Ndre, aku sudah jadian sama Kak Alfan, lebih baik kita temenan saja ya? Ndre sudah dulu ya, aku mau berangkat sekolah takut telat, dah Andre sampai nanti" Alfin lalu memutuskan sambungan teleponya karna ia menyadari kedatangan Alfan. Alfin tersenyum saat melihat Alfan yang baru saja tiba di rumahnya, ia segera menuju kamarnya dan mengambil tas sekolahnya.

"Alfin berangkat dulu ya, Nek" ujar Alfin sembari mencium tangan Neneknya.

"Hati-hati!"

Alfin langsung menuju keluar rumah menghampiri Alfan. Tanpa rasa canggung ai langsung duduk di belakangnya dan merangkul di perut Alfan.

"Tangan kamu panas banget Fin, kamu sakit?" tanya Alfan Perhatian. Alfan lalu turun dari sepeda motornya dan memegang kening Alfin. "Ya ampun badan kamu panas banget, Fin" ujar Alfan yang mulai panik. Wajah Alfin juga terlihat lemah tak bersemangat.

"Aku gak papa kok Kak, yuk lanjut!" ujarnya enteng.

"Gak papa gimana, wajah kamu juga terlihat pucat Fin, kamu sudah sarapan?"

"Sudah Kak, tapi dikit"

"Mendingan kamu gak usah sekolah ya, istirahat saja di rumah!"

"Is Kakak apaan sih lebay deh"

"Fin... Kakak serius"

"Uda ah Kak yuk berangkat, nanti kita telat loh"

Dengan berat hati akhirnya Alfan mengalah, ia menuruti kemauan Alfin yang selalu keras kepala. Saat di perjalanan menuju sekolah, Alfin juga terdengar batuk yang tak biasa-biasanya, ia seperti orang yang terkena penyakit flu.

Sesampainya di sekolah Alfin menunggu Alfan yang sedang memarkirkan kendaraanya, padahal jelas-jelas kelas mereka berbeda, tapi Alfin yang selalu tak mau jauh dari Alfan setia menunggunya.

"Yuk kekelas" ajak Alfan. Alfin lagi-lagi menggandeng tangan Alfan. "Eh.. Masih ingat perjanjian kita?"

"Ka Al pelit banget sih, masa pegangan tangan aja gak boleh?"

"Fin... Bukanya gak boleh, tapi kamu harus liat sikon juga dong. Ini tempat umum kan?"

"Yadeh maaf" ujar Alfin sambil bergerutu. "Eh Kak tar malem datang kerumah ya, Ibuk pengen ngobrol-ngobrol sama Kakak"

"Hah..?" ujar Alfan kaget, ia menghentikan langkah kakinya menatap wajah Alfin dengan serius.

"Kenapa kaget, Kak?"

"Nggak... Nggak Papa, Kakak pasti datang kok"

Alfin tersenyum, kemudian mereka melanjutkan perjalananya.

*-*-*

-Flashback-

"Hasilnya masih sama seperti bulan lalu Buk, saya sarankan jangan sampai kelelahan dan juga stes, karna itu bisa berdampak buruk" ujar Dokter menjelaskan. Wajah Melinda tertunduk tak bersemangat, rasanya sudah tak sabar ia ingin mempunya seorang anak.

"Apa saya benar-benar tidak bisa mempunyai anak Dok?"

"Kemungkinan untuk mengandung masih sangat besar, karna sama sekali tidak ada masalah. Sabar ya Pak, Buk, berdoa pada Tuhan semoga di karuniai keturunan" ujur Dokter memberi semangat.

"Baik Dok makasih, kalo begitu.. Kita pamit dulu"

"Silahkan!"

"Yuk, Ma"

Melinda dan suaminya segera keluar dari ruangan Dokter, lagi-lagi hasil tes kandunganya selalu tak membawa kabar gembira. Saat baru bebera menit mereka keluar dari ruangan Dokter, Melinda melihat seorang suami istri yang duduk di kursi tunggu dan terlihat sangat sedih, dengan seorang bayi yang di pangku oleh seorang perempuan itu. Melinda yang merasa iba dengan perlahan menghampirinya.

"Kenapa sedih, Buk?" tanya Melinda yang ingin tau. Wanita itu lalu menatap wajah Melinda yang baru saja membuyarkan lamunanya.

"Anak saya, mengalami kelainan jantung dan harus segera di operasi" jelas wanita itu.

"Terus, kenapa tidak segera dilakukan, kasihan dia" Wanita itu seketika menatap suaminya, tatapanya sayu penuh kesedihan.

"Kami tidak mempunyai biaya untuk operasinya" seketika Melinda menatap suaminya, ia tersenyum saat mempunyai sebuah ide yang bagus menurutnya.

"Em.. Begini saja, gimana kalau saya yang membiayainya, tapi setelah sembuh anak Ibu menjadi milik saya, dan kita buat kesepakatan bermaterai?"

"Mama apa-apaan sih?" ujar suami Melinda tak setuju.

"Papa diem deh!"

Mendengar ucapan Melinda barusan, wanita itu kembali menatap suaminya. Ada raut kesedihan dan rasa tak rela di hati wanita itu, namun suaminya mengangguk tapi ragu. Sejenak wanita itu masih terdiam walau suaminya telah menyetujuinya, bagai mana tidak, orang tua mana yang rela berpisah dengan anaknya, apalagi masih bayi yang masih membutuhkan ASI Ibunya.

"Jangan kelamaan, Ibu gak kasihan kalo nanti anak Ibu meninggal gara-gara gak segera mendapat perawatan?" Melinda semakin mendesak wanita itu, nampaknya ia semakin ketakutan oleh perkataan Melinda.

"Baiklah kalo gitu kami setuju, yang penting putra kami bisa selamat"

Melinda tersenyum bahagia mendengar kabar baik itu, dengan cepat Melinda mengurus administrasinya agar bayi itu segera mendapatkan perawatan sesuai kebutuhanya.

Saat bayi itu sudah sembuh dan sudah di bawa pulang, kini Melinda mendapat kesibukan baru mengurus anak angkat yang ia anggap seperti anaknya sendiri, ia sangat bahagia karna sejak menikah belum juga dikaruniai keturunan. Pagi itu ia sedang sibuk memberi makan anaknya, tiba-tiba terdengar suara menandakan ada tamu yang datang di rumahnya. Ia meletakan bayinya dan berjalan menuju pintu rumahnya. Matanya membulat saat mendapati Maryam yang sudah ada di depan pintu rumahnya.

"Mau ngapain lagi kamu?"

"Nyah izinkan saya bertemu dengan anak saya, sebentar saja"

"Kamu lupa ya, kita sudah buat kesepakatan hitam di atas putih?"

"Tapi Nyah, kali ini saja saya mohon"

"Sekali ngak tetap nggak, pergi kamu dari sini!"

"Saya mohon Nyah, izinkan saya bertemu dengan Alfan" Maryam berlutut di kaki Melinda penuh harap, karna ia sangat ingin bertemu dengan anak sulungnya. Melinda dengan tanpa rasa iba menarik satu kakinya dengan kasar hingga membuat Maryam terjatuh.

"Pergi kamu dari sini!" Maryam menangis, wajahnya di penuhi air mata. Rambut lurusnya kini sudah tak lagi tertata bagai seorang gelandangan. Seorang Ibu yang menyayangi anaknya tentu saja tak mau bila di pisahkan, tapi takdir berkata lain, walau sebenarnya ia belum bisa menerima kenyataan yang sudah ia setujui sejak awal.

Maryam masih terkulai di lantai, Melinda berpangku tangan sembari menatap Maryam dengan tatapan sinis. Maryam mendongak dan menatap Melinda penuh harap, namun Melinda menatapnya penuh amarah seolah memupuskan harapanya. Maryam perlahan berdiri dan membuka sebuah dompet kecilnya. Ia mengeluarkan sebuah kalung yang sangat sederhana.

"Baiklah kalo gitu Nyah, rawat Alfan seperti anak kandung Nyonya sendiri, dan saya mohon.... Dengan penuh kerendahan hati saya. Berikan kalung ini pada Alfan saat busianya genap mencapai 15 tahun" dengan tangan bergetar Maryam menyerahkan kalung itu, namun dengan cepat Maryam menyambarnya.

"Sekarang kamu pergi!"

"Baiklah, saya permisi"

Dengan berat hati Maryam melangkahkan kakinya, rasa sesal dan bersalah masih menyertai hatinya, namun ia tak mempunyai pilihan lain kala itu. Yang harus ia lakukan saat ini adalah berusaha meng ihklaskan anaknya hidup dengan orang lain, tetapi yang lebih penting adalah Melinda yang menyayangi Alfan seperti anaknya sendiri.

Maryam menoleh kebelakang, terasa sangat berat untuk meninggalkan tempat itu, namun ia berusaha menguatkan langkahnya untuk kembali melangkah meninggalkan halaman rumah yang mewah itu.

*-*-*

Malam itu Alfin membantu Ibunya menyiapkan makan malam, hidangan makan malam dirumahnya kali ini tak seperti biasanya, Maryam sengaja masak sedikit lebih mewah untuk menyambut kedatangan Alfan dan Andre. Dengan rasa penuh bahagia Alfin membawa makanan ke meja makan. Ia sudah tak sabar ingin makan bersama dengan Alfan seorang yang spesial di hatinya.

Alfin berlari kedepan saat mendengar suara klason mobil, ternyata Andre tiba lebih dulu. Andre tersenyum saat baru saja turun dari mobilnya, hatinya merasa bahagia bisa kembali bertemu dengan Alfin. Andre segera berjalan mendekat ke Alfin. Tak lama dari itu, Alfan pun tiba dengan mengendarai sepeda motornya.

"Kenapa tuh anak ada di sini lagi?" gerutu Alfan dalam hati. Alfan sangat tak suka jika Alfin berdekatan dengan Andre, rasa cemburu kembali merasuki hatinya, dengan rasa kesal Alfan melepas helmnya dan berjalan mendekati Alfin dan Andre.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar