Senin, 01 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 07
-------------------
By. Aby Anggara
=====================

*-*-*

Alfan masih menatap kearah Alfin dengan penuh tanda tanya, begitu juga dengan Alfin yang belum mengetahui siapa Alfan sebenarnya. Alfin berjalan mendekat ke arah Ibunya, dengan Andre yang mengikuti di belakangnya.

"Ka Al kok bisa disini?" tanya Alfin keheranan. Ia masih menatap Alfan, lalu pandanganya tertuju pada Reza.

"Aku disuruh mama nemenin Reza, lah kamu sendiri kok bisa ada di sini?" ujar Alfan balik bertanya. Alfin terkekeh, Alfan mengerutkan keningnya.

"Lah kan ini yang sakit Ibu aku, Kak" ujar Alfin menjelaskan, Alfan yang baru mengerti hanya manggut-manggut.

"Kalian udah saling kenal?" ujar Reza ikut angkat bicara. Reza menatap Alfin dan Alfan secara bergantian.

"Sudah Za, bahkan aku sama Ka Al sudah sangat deket kok" seketika senyuman yang dipaksa terlihat di wajah Reza, kata-kata Alfin barusan terdengar seperti menusuk hatinya. Reza sangat iri mendengar kata-kata itu, sedangkan Alfan terhadap dirinya sampai saat ini masih saja bersikap dingin. Sejenak suasana menjadi hening, membuat Maryam merasa bingung antara teman anaknya yang seperti sedang salah paham.

*-*-*

Malam itu Melinda terlihat sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarganya, jarum jam sudah menunjukan pukul 18:45. Reza yang baru saja datang kedapur melihat Mamanya sembari tersenyum bangga. Reza kemuadian tanpa disuruh langsung duduk di kursi meja makan, membuat Melinda merasa kaget saat ia membawa sebuah nampan ke meja makan.

"Ya ampun Reza ngagetin Mama saja" keluh Melinda. Reza hanya terkekeh sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kananya.

"Abisnya Mama kalo sudah masak tuh kek nya asik... Banget, jadi kaget kan kalo liat orang yang tiba-tiba datang"

"Ah kamu bisa saja Za, oya gimana keadaan Ibunya teman sekolahmu?"

"Alhamdulillah Ma, sudah baikan ko, bahkan tadi kita sempet kenalan dan ngobrol-ngobrol bareng sama Ibu Alfin. Kalo gak salah tadi namanya Ibu Marya, dia baik banget loh Ma, dan sepertinya seorang Ibu yang sangat penyayang. Tadinya sih Reza panggilnya Tante, tapi dia gak mau di panggil Tante, malah suruh panggilnya Ibuk saja"

"Maryam?" ujar Melinda meyakinkan, seketika raut wajah Melinda terlihat sangat khawatir dan ketakutan. Melinda masih menatap Reza, lalu Reza mengangguk.

"Kenapa Ma, kok Mama kaget gitu?"

"Ah engak, Mama gak papa kok" elaknya. Pandangan Melinda kini beralih pada Alfan yang baru saja datang, Melinda menatap Alfan dengan tatapan penuh ke khawatiran.

"Malem, Ma..?" sapa Alfan ramah, Melinda tersenyum. Alfan lalu duduk di depan Mamanya.

"Hei ternyata sudah pada ngumpul ya? Maaf Papa telat"

"Gak papa Mas, lagian kita juga lagi ngobrol ringan sambil nungguin kamu, oya itu apa Mas?" ujar Melinda penasaran dengan apa yang di bawa oleh suaminya.

"Oh ini smartphone terbaru, Papa sengaja beli buat Reza. Nih Za buat kamu" Papanya menyodorkan smarphone yang masih berada didalam kotaknya. Reza menoleh pada Melinda, lalu pandanganya beralih melirik Alfan.

"Em... Maaf Pa, Reza gak bisa terima hp itu, lagian hp Reza masih bagus kok, Pa"

"Loh kenapa sayang, kalo kamu gak terima Papa kecewa loh"

Reza kini terlihat sangat bingung dengan sikap Papanya, di sisi lain ia tak mau membuat Alfan selalu iri atas perlakuan Papa terhadapnya, namun disisi lain Reza juga tak mau membuat Papanya kecewa atas sikapnya yang terkesan seperti tak menghargai Papanya.

Seketika suasana diruangan itu terdengar hening, Reza masih tampak bingung. Reza menatap Melinda, pandanganya seperti isyarat tanda tanya. Sedangkan Alfan hanya diam berusaha menahan rasa cemburu atas perlakuan yang tak pernah adil dari Papanya.

"Ehm.. Gini Mas, kita itu gak boleh manjain anak berlebihan, gak baik Mas. Lagian yang dikatakan Reza itu benar, hp nya dia masih bagus dan lebih baik uangnya di tabung buat masa depan mereka" Reza merasa legah karna Melinda secara tidak langsung mengalihkan pertanyaan Papanya yang belum bisa ia jawab.

"Papa heran deh sama Mama, kenapa sih manjan anak sendiri gak boleh? Ingat ya, jangan salahin Papa kalo nanti Papa gak pernah perhatian sama kalian"

"Pa... Bukan begitu, tapi kita ju-"

"Cukup! Papa jadi gak nafsu makan" ujarnya menaruh smartphone yang masih dalam kotaknya di atas mej lalu ia pergi meninggalkan meja makan. Saat ini Alfan merasa bersalah, karna ia yakin kalo Reza menolak pemberian Papa nya karna menjaga perasaanya, namun saat ini ia tak mampu berkata-kata, yang ia tangkap adalah Reza menunjukan kesungguhanya jika ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan saudara di antara mereka.

"Kalian makan saja dualuan, Mama mau bicara sama Papa" ujar Melinda. Reza mengangguk dan kini Melinda meninggalkan meja makan itu dan menemui suaminya.

Kini tinggal Reza dan Alfan yang tersisa di meja makan itu, Reza melirik kearah Alfan yang kini masih tampak diam tampa kata, lalu Alfan kembali membalikan piring yang tadinya sudah hampir di isi oleh makanan yang sudah terhidang di meja makan.

"Ka Alfin gak jadi makan?" tanya Reza perhatian. Reza menoleh Alfan yang ada disebelahnya, namun Alfan masih tampak diam, pandanganya menatap kedepan. "Aku ambilin ya, Kak?" lanjut Reza. Alfan lalu menoleh pada Reza, di mata Reza terlihat jelas sebuah ketulusan.

"Kenapa kamu gak terima pemberian Papa tadi?" ujar Alfan. Ia bukanya menjawab pertanyaan Reza, justru malah berbalik tanya pada Reza.

Reza tersenyum. "Hp aku masih bagus kok Kak" jawab Reza singkat. Namun Alfan sebenarnya sudah mengetahui jawaban yang sebenarnya. Reza terlihat sangat senang, karna baru kali ini Alfan berbicara padanya tidak dengan menggunakan nada tinggi dan dingin.

"Aku boleh nanya susuatu gak, Kak?" ujar Reza yang tak mau menyia-nyiakan keadaan yang sangat langkah ini, Alfan mengeryik.

"Tanya apa?"

"Tadi pas dirumah sakit Reza perhatiin kok kalung yang di pake Ka Alfan sama yang di pake Alfin sama?" seketika Alfan memegang kalung yang ada di lehernya, namun ia sendiri belum menyadari kalau kalung yang ia pakai ternyata sama dengan yang di pake oleh Alfin.

"Gak tau, aku juga belum liat kalo Alfin pake kakung ini juga" Alfan lalu bangkit dari tempat duduknya.

"Ka Alfan mau kemana?"

"Kamu makan saja duluan, aku mau kekamar"

Reza tersenyum bahagia, walau Alfan belum benar-benar memafakanya, tapi setidaknya Alfan sudah tidak dengan nada tinggi saat bicara padanya, dan ini menjadi awal yang baik untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih baik.

.

                     = = = =

.

Malam sudah begitu larut, Alfan terlihat sudah berbaring terlentang dengan pulasnya. Perlahan Melinda membuka pintu kamar Alfan dan pandanganya langsung tertuju pada Alfan. Melinda melangkah mendekati Alfan, lalu duduk di sebelahnya.

"Mama sayang sama kamu Fan, Mama sudah menganggap kamu seperti anak Mama sendiri. Maafin Papa kamu ya, sampai saat ini beliau belum bisa memposisikan kamu sama seperti Reza. Tapi jangan khawatir.. Mama sangat menyayangi kamu, dan sama seperti Mama menyayangi Reza" Melinda menitihkan air mata, wajahnya tersenyum menatap Alfan yang masih tertidur pulas.

"Maafin Mama ya, Mama gak pernah bercerita tentang kamu yang sebenarnya, dan maafin Mama juga, Mama akan menjaukan hal-hal yang bakal membuat mu bertemu dengan Ibu kamu"

Dengan sangat hati-hati Melinda melepas kalung yang masih melingkar di leher Alfan. Kalung itu bertali hitam dengan bandul huruf A dan F yang tergabung seperti huruf latin.

"Selamat tidur ya sayang!" Melinda mengusap rambut Alfan, lalu mengecup keningnya.

"Fin tunggu!" seru Alfan. Alfin menoleh kebelakang, lalu ia tersenyum saat menatap wajah Alfan.

"Ada apa, Kak?"

"Ka Al mau bicara sama kamu, Fin"

"Bicara apa?"

"Sebaiknya jangan bicara disini, ayo naik! Mau kan di anter sama Kakak lagi?" Alfin tak menjawab, ia hanya diam dengan wajah menatap Alfan dalam-dalam. "Ayolah Fi, mau ya?" lanjut Alfan penuh harap. Alfin masih tampak diam, namun tak lama ia mengangguk.

Alfan tersenyum bahagia, akhirnya mereka bisa pulang bersama-sama lagi. Tangan Alfin melingkar erat meluk Alfan, Alfan sempat kaget, namun ia hanya tersenyum dan membiarkanya.

Sampai di rumah Alfin, Alfan pun ikut turun dan masuk kedalam rumah. Alfin menyuguhkan air putih diatas meja, lalu la ikut duduk di sebelah Alfan.

"Kamu kenapa gak cerita kalo Ibu kamu di rumah sakit, Fin?"

Alfin mendengus kesal. "Gimana mau cerita, orang Ka Al aja gak pernah mau dengerin kalo Alfin mau jelasin"

"Jadi karna Ibuk, kamu sampai jual diri?" seketika wajah Alfin tertunduk menahan rasa antara sedih dan malu.

"Iya Kak, Ibuk baru saja operasi dan Alfin kan butuh uang banyak" Alfan tersenyum lalu merangkul bahu Alfin.

"Ka Al boleh minta sesuatu?" Alfan menatap serius kewajah Alfin.

"Minta apa, Kak?"

"Kakak minta kamu berhenti kerja seperti itu Fin, itu gak baik buat kamu, apa lagi kalo sampai Ibu kamu tau, beliau pasti bakalan kecewa" Alfin terlihat tampak bingung, tanganya mengusap wajahnya lalu menarik keatas bagian rambutnya.

"Trus bagai mana Alfin bayar biaya rumah sakit, Kak?"

"Kakak ada sedikit tabungan, nanti uang itu bisa buat bayar sisahnya" tiba-tiba wajah Alfin tersenyum seperti orang yang baru saja mendapatkan ide.

"Ets tapi ada syaratnya loh Kak"

"Apa memangnya?"

"Ka Al harus jadi pacarnya Alfin" ujar Alfin sambil terkekeh. Mata Alfan membulat tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kok Kakak kaget? Jadi gak mau nih? Yaudah kalo gitu Alfin juga gak mau berhenti" ancamnya. Alfan menggeleng heran.

"Fin... Kita itu sama-sama laki-laki, masa iya pacaran?"

"Kalo Ka Al gak mau, Alfin gak maksa kok Kak"

"Trus kamu masih mau lanjutik kerja kamu itu?"

"Iyalah, Ka Al aja gak mau nurutin permintaan Alfin, ya Alfin juga males nurutin permintaan Kakak" Alfan terlihat kesal dengan tingkah Alfin yang keras kepala, ia menghela nafas dengan panjang.

"Iya deh kolo gitu, tapi janji yah harus berhenti sekarang juga?" Alfin mengangguk penuh semangat lalu dengan cepat mencium pipi Alfan.

"Iya aku janji Kakak" ujar Alfin. Alfan terlihat membuat senyuman paksa, dengan menahan rasa malu atas perlakuan Alfin yang membuatnya sedikit risih.

"Is apaan main cium sembarangan" protes Alfan.

"Kan kita pacaran Kak? Masa iya cuma cium aja gak boleh?"

"Pokonya gak boleh, inget ya kamu masih kecil dan selama pacaran gak boleh yang aneh-aneh"

"Yah... Kakak, trus sampai kapan dong bolehnya?"

"Sampai kamu kelas 11" ujar Alfan mantap. Alfin menggerutu seperti dukun yang sedang membaca mantra, namun kali ini ia pasrah mengikuti kesepakatan yang baru saja di buat oleh Alfan.

*-*-*

Alfin baru saja turun dari sebuah mobil taxi, ia tersenyum menatap rumah Andre sambil membenarkan kerah bajunya. Ia segera menuju rumah Andre, lalu mengirimkan pesan singkat berupa pemberitahuan jika ia sudah berada di depan rumah Andre. Tak lama pintu rumah itu terbuka, dan terlihat sosok Andre tersenyum menyambut kedatanganya. Andre terlihat sexi dengan baju kaos tanpa lengan yang menjadi favoritnya.

"Maaf ya Ndre aku telat" ujar Alfin memulai perkataanya.

"Ayo Fin langsung kekamar gue aja, Om Reno udah nungguin lo dari tadi. Dia masih muda dan cakep loh" Alfin menggelengkan kepalanya, tatapanya sayu lalu ia tanpak diam tak bergeming.

"Lo kenapa Fin, sakit?" ujar Andre keheranan. Perlahan Alfin berjalan menuju kursi ruang tamu yang berada tak jauh dari pintu itu, lalu ia mendudukinya. Andre pun ikut duduk di kursi yang berada di depan Alfin.

"Aku mau ngomong sesuatu Ndre" ujar Alfin pelan, Andre masih tampak diam menunggu apa yang akan di sampaikan oleh Alfin. "Aku... Aku mau berhenti dengan kerjaan seperti ini Ndre. Aku pengen hidup seperti biasa lagi, lagian aku gak tahan dengan rasa sakit setelah di anal. Apa kamu gak merasakan sakit setelah di anal sama Om-om, Ndre?"

"Gue gak pernah merasakan sakit Fin karna gue berperan sebagai seme, sedangkan Om-om yang main sama gue selalu berperan sebagai uke. Tapi.. Tapi kenapa musti sekerang lo berhenti Fin? Lo yakin?" ujar Andre memastikan. Alfin mengangguk ragu.

"Makasih atas selama ini karna kamu udah banyak bantuin aku Ndre, aku gak akan pernah lupa sama kamu"

"Tapi kita masih bisa berteman kan, Fin?" ujar Andre menatap Alfin dalam-dalam, Alfin mengangguk. Raut wajah Andre terlihat sangat sedih, ia tak rela jika setelah ini hubungan mereka tak terlihat akrab seperti biasanya.

"Yasudah aku pulang dulu ya Ndre, mau jenguk Ibuk" Alfin lalu bangkit dari tempat duduknya dan berpamitan pada Andre, setelah itu Alfin keluar dari pintu rumah Andre dan berjalan menuju pintu gerbang.

"Fin..." panggil Andre. Alfin berhenti lalu menoleh kebelakang. Terlihat dari wajah Andre yang masih belum bisa melepas kepergian Alfin.

"Ya, Ndre?"

"Hati-hati ya Fin, kasi kabar kalo sudah sampai di rumah sakit!" Alfin tersenyum lalu mengangguk. Alfin kemudian melanjutkan langkah kakinya dan menghadang taxi untuknya menuju kerumah sakit.

Sesampai di rumah sakit ia langsung kekamar Ibunya di rawat. Saat ia membuka pintu kamar itu, ia tak menyangka kalau Alfan ternyata sudah berada di dalam dan terlihat sangat akrab dengan Ibunya Alfin.

"Ka Al udah disini?" tanya Alfin keheranan. Ia lalu menutup pintu dan berjalan mendekati kearah Alfan dan Maryam.

"Kakak sengaja kesini gak bilang-bilang sama kamu"

"Yaampun... Gak nyangka kalian bisa seakrab ini, selama disini Alfin belum pernah loh punya teman sebaik nak Alfan, karna Alfin yang tergolong anak orang miskin jadi pada gak mau deket-deket" ujar Maryam tampak bahagia.

"Ah Ibu bisa saja. Oya Fin, tadi kata Dokter Ibu kamu udah boleh pulang hari ini"

"Masa sih Kak? Apa yang di bilang ama Ka Al bener ya, Buk?" ujar Alfin yang sedikit ragu pada Alfan. Maryam mengangguk. "Asik..." seru Alfin kegirangan.

Tiba-tiba ponsel Alfan bergetar ada sebuah pesan singkat dari Alfin. Alfan menatap Alfin dan mengerutkan keningnya, lalu pandanganya kembali pada layar ponselnya.

'Gimana biaya rumah sakitnya, Kak?'

'Udah jangan khawatir, tadi Ka Al udah lunasi sisanya'

Alfin mengacungkan ibu jarinya dan bermain mata pada Afan. Maryam yang merasa kebingungan tak mengerti dengan tingkah Alfan dan Alfin. Ia hanya menatap wajah mereka berdua secara bergantian.

"Kalian kenapa?" tanya Maryam keheranan. Alfin malah terkekeh.

"Ngagak papa kok Buk, yasudah ayo Kak siap-siap kita pulang?" Alfan mengangguk. Namun senyuman Alfan perlahan memudar saat pandanganya menatap kearah leher Alfin, ia baru menyadari kalau ternyata yang di katakan Reza benar, Alfin memakai kalung yang sama denganya. Alfan lalu memegang lehernya, ia sangat kaget saat baru menyadari kalung yang biasanya melingkar dilehernya kini entah kemana. Alfan masih meraba-raba lehernya secara berulang.

"Ka, Ak kenapa?" tanya Alfin memberhentikan aktivitasnya.

"Eh.. Gak papa kok, yasudah yuk kita siap-siap Fin" Alfin tersenyum lalu kembali melanjutkan aktivitasnya mengemas pakaian kedalam koper.

*-*-*

Alfan pulang kerumahnya dengan rasa penuh amarah didadanya, hingga ia melajukan kendaraanya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya dirumah ia manaiki anak tangga sambil berlari lalu menuju kamar Reza. Alfan membuka pintu kamar Reza dengan kasar, membuat Reza yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya merasa kaget dan pandanganya langsung tertuju pada Alfan yang masih berdiri di pintu kamarnya.

Reza merasa takut saat melihat tatapan Alfan yang begitu tajam penuh amarah, karna ia sendiri tak mengetahui apa salahnya hingga Alfan terlihat sangat murka padanya.

Alfan berjalan mendekat pada Reza, membuat Reza menelan ludah ketakutan.

"Kamu ya Za yang ambil kalung aku?" ujar Alfan sambil menatap Reza penuh amarah, Reza menggeleng.

 "Nggak kok Kak, Reza gak tau"

"Kamu gak usah bohong, Za" Alfan memukul meja belajar Reza sangat kuat dengan kedua telapak tanganya, membuat Reza semakin ketakutan.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar