Senin, 01 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 09
-------------------
By. Aby Anggara
======================

*-*-*

"Ma ada apa ini sebenarnya, kenapa Mama gak suka dengan Alfin?" Melinda tak menghiraukan pertanyaan Alfan, ia berusaha sekuat mungkin menarik tangan Alfan memisahkanya dari Alfin. Alfin yang tak tau apa-apa hanya bisa pasrah dan tak berusaha memegang tangan Alfan, sedangkan Alfan masih tetap bersikeras tak mau di pisahkan dari Alfin. Alfin menangis, matanya memerah penuh ketakutan.

Karna tangan Alfin yang tak ikut bertahan, akhirnya Melinda bisa melepaskan dan memisahkan mereka berdua.

"Cukup Ma, cukup!!!" suara Alfan kini yang terdengar lantang dan bergema. Mendengar keributan itu, kini Arlan dan Reza ikut mendekati mereka bertiga. "Sebenarnya ada apa, dan kenapa Mama bencin sama Alfin?" Alfan menatap wajah Melinda menunggu jawaban yang membuat hatinya semakin janggal, namun Melinda masih menatap Alfin penuh kebencian. Alfin yang saat itu masih diam terpaku hanya menundukan kepalanya tak ada keberanian menatap mata tajam Melinda.

"Kenapa Mama marah-marah sama Alfin, memang apa salah Alfin, Ma? Dia anak yang baik kok Ma" suara Reza memalingkan pandangan Melinda yang kini beralih menatap wajah Reza anaknya. Suasana seketika menjadi hening, bahkan Melinda sendiri diam tak bisa menjawab pertanyan dari Alfan dan Reza.

"Maaf kalo Alfin sudah buat Ka Alfan dan Tante jadi bertengkar, tapi sumpah Alfin gak tau apa salah Alfin sampai Tante benci sama Alfin. Kalo Alfin punya salah, Alfin minta maaf pada semuanya. Buat Ka Alfan makasih ya atas kebaikan Kakak selama ini, sebaiknya Alfin pulang saja, permisi..." ujar Alfin dengan suara sesegukan, Alfin memejamkan matanya sekejap membuat air matanya semakin mengalir. Di dalam hatinya ikut merasakan sakit yang tanpa tau apa permasalahnya. Alfin memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu keluar.

"Fin tunggu Fin!" teriak Alfan sembari berlari kecil mengejar Alfin. Alfin berhenti dan menoleh kebelakang.

"Alfan!!!" teriak Melinda kencang. Alfan seketika berhenti, namun ia masih diam tanpa menoleh Mamanya. "Sekali lagi kamu melangkah, Mama gak pernah izinin kamu kembali lagi kerumah ini"ucapan Melinda membuat hati Alfan dilema. Disisi lain ia ingin membuat Alfin tenang akibat ulah Mamanya, tapi di sisi lain ia juga tak mau durhaka pada Mamanya. Arlan yang menyaksikan kejadian itu hanya diam seolah tak mau ikut campur masalah yang ia sendiri tak mengetahuinya. Alfan masih terpaku dengan suasana yang hening. Hatinya terasa pilu dan kini matanya menatap wajah Alfin, tatapanya sayu penuh penyesalan.

"Aku pulang dulu Kak" kata Alfin yang kini tanpa ragu ia melangkahkan kaki keluar rumah itu. Kini Alfan memutar tubuhnya, menatap Melinda dengan punuh rasa kekecewaan.

"Aku kecewa sama Mama" Alfan lalu berlari menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamar dengan kasar, lalu ia menuju teras kamarnya memperhatikan Alfin yang baru saja sampai di pintu gerbang rumahnya. Dari atas sana Alfan sesekali melihat tangan Alfin menyeka air matanya. Kesedihat kini menghampirinya, ia tak menyangka jika akan seperti ini jadinya.

"Maafin Kakak ya Fin, ini semua terjadi diluar dugaan Kakak" Alfan masih terus memperhtikan Alfin, hingga Alfin menghilang tak terlihat saat baru saja naik kesebuah bus.

Suara pintu kamar Alfan terdengar ada yang mengetuknya, Alfan segera masuk membaringkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan satu bantal. Melinda yang tak mendapatkan jawaban dari dalam kamar lalu masuk dan mendekati ranjang tempat tidur Alfan. Perlahan ia duduk di tepi ranjang. Melinda menatap wajah Alfan yang tertutup oleh bantal, namun ia masih bisa mendengar jelas nafas Alfan yang masih terasa berat.

"Fan... " sapa Melinda dengan lembut. Melinda berharap Alfan akan membuka wajahnya dan menatap dirinya, namun sudah beberapa detik Melinda menunggu, Alfan tak juga mempedulikan kehadiran Mamanya. Pandangan Melinda lalu tertuju pada sepatu Alfan yang masih terpasang rapi dikaki anaknya, Melinda mendekat kekaki Alfan dan melepas sepatu serta kaos kakinya. Alfan yang menyadari perlakuan Mamanya hanya diam tanpa protes sedikitpun, bahkan ia makin terisak merasakan begitu sayang Mama pada dirinya, juga begitu tulusnya kasih sayang yang ia rasakan dari Mamanya. Namun tetap saja, hatinya masih terasa kesal dengan tingkah Mamanya yang sampai saat ia sendiri belum tau permasalahan yang sebenarnya.

"Mama tau kamu masih marah sama Mama, tapi ini semua demi kebaikan kamu Fan. Mama sayang sama kamu dan Mama gak mau kehilangan kamu" suara Melinda terdengar sedikit terbata, namun Alfan masih tak mempedulikanya. "Fan... Kamu pasti belum makan siang kan? Ganti baju dulu ya, kita makan sama-sama"

Alfan seketika membuka bantal yang sejak tadi menutupi wajahnya, pandanganya menatap Melinda penuh tanya. "Kenapa Mama sebegitu bencinya sama Alfin, memangnya dia salah apa, Ma?" lagi-lagi pertanyaan itu terlontar dari mulut Alfan yang sejak tadi belum mendapatkan jawaban dari Melinda, namun lagi-lagi Melinda hanya dia tak bisa menjawab pertanyaan yang memang tak mungkin ia jawab. "Kenapa diam, jawab, Ma!"

"Fan.. Mama... Mama ngelakuin ini karna-" Melinda tiba-tiba terdiam dan tak mampu lagi melanjutkan perkataanya.

"Karna apa, Ma?"

"Karna Mama sayang sama kamu Fan"

"Nggak, aku gak percaya, Mama pasti bohong. Sekarang mendingan Mama keluar!"

"Tapi Fan-"

"Keluar Ma!!!"

Dengan penuh rasa kekecewaan akhirnya Melinda mengalah dan memilih untuk keluar dari kamar anaknya. Alfan kembali terdiam, ia menyandarkan tubuhnya di bagian kepala ranjang. Matanya kini tertuju pada sebuah bingkai foto yang ada di atas meja kecil di sebelah lampu tidurnya. Perlahan tanganya meraih bingkai foto itu. Alfan meraba fotonya saat ia menggunakan seragam sekolahnya dengan posisi foto hanya sebatas bagian perutnya keatas. Ia memperhatikan kembali memperhatikan kalung yang saat itu masih terlihat di kehernya.

"Aku yakin Mama pasti nyembunyiin seseuatu. Tapi apa? Kalo memang iya apa untungnya buat Mama? Tapi yang terlihat ganjil saat sikap Mama ke Alfin, sangat-sangat mencurigakan"

Pintu kamar Alfan kembali ada yang mengetuknya membuat Alfan langsung mengalihkan pandanganya pada pintu kamarnya dan sekaligus membuyarkan konsentrasinya. Alfan yang masih engan berkata-kata tetap diam tanpa menanggapi orang di luar kamarnya, namun walau tanpa mendapatkan izin dari pemilik sang pemilik kamar, Arlan tetap saja memutar gagang pintu dan masuk. Pandangan matanya langsung tertuju pada Alfan yang masih menyandarkan tubuhnya di tempat tidurnya. Arlan berjalan pelan menuju Alfan dan duduk di sebelahnya. Tatapan mata Alfan lurus kedapat namun tatapanya kosong, bahkan ia seolah tak mempedulikan kedatangan sahabatnya sendiri.

"Sabar ya Fan, aku tau kamu pasti masih marah sama Tante Meli, tapi biasanya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua itu yang terbaik buat kita Fan"

Mendengar perkataan Arlan, Alfan langsung memalingkan pandanganya menatap wajah Arlan. "Termasuk Papa yang gak pernah adil sama aku? Dan juga Mama yang tiba-tiba marah sama Alfin tanpa alasan yang jelas?" Alfan masi menatap wajah Arlan dengan tajam, ia seolah sudah tak sabar mendapat jawaban atas perkataanya barusan.

"Fan... Aku tau dan aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, tapi-"

"Tapi sayangnya kamu gak berada di posisi aku Ar, jadi kamu hanya mengira-ngira"

"Fan dengerin aku dulu!"

"Cukup Ar, tolong tinggalin aku sendirian!"

Arlan yang tak mau ada kesalah pahaman lagi akhirnya menuruti kemauan Alfan, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar kamar Alfan. Dengan sangat hati-hati ia menutup pintu kamar itu dan kembali berjalan menuruni anak tangga.

Arlan langsung menuju kursi yang ad di ruang tengah di dekat tangga, disana sudah terlihat Reza dan Mamanya.

"Gimana Ar?" tanya Melinda yang sudah tak sabar. Wajah Arlan terlihat tak bersemangat, lalu ia duduk di kursi yang ada di depan Melinda. Reza yang duduk di sebelah Mamanya tampak santai memangku bantal dengan tangan kanan yang menyangga dagunya.

"Maaf Tan, aku gak berhasil ngeyaknin Alfan" ungkapnya tak percaya diri, namun Melinda tetap tersenyum.

"Yasudah gak papa Ar, kita biarkan Arlan sendiri dulu ya!" Arlan mengangguk, sedangkan Reza menatap Arlan dan Mamanya secara bergantian. "Yasudah kalo gitu Tante tinggal dulu ya Ar?"

"Ya, Tante"

Setelah Melinda bengkit dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka berdua, Reza terkekeh sambil menutup mulut menahan tawanya. Arlan yang tak mengetahui maksud Reza hanya mengangkat kedua bahunya.

"Kamu kenapa, Za?" tanya Arlan yang masih merasa bingung. Reza malah semakin terkekeh.

"Gak papa kok Kak, Kakak keliatan aneh aja pas jawab pertanyaan Mama tadi, wajahnya pucat-pucat gimana gitu"

Arlan mendengus kesal lalu ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Reza. Arlan memeluk Reza dari belakang dengan kedua tangan Arlan bermain di perut Reza membuat Reza merasakan geli di sekujur tubuhnya.

"Kak ampun Kak" rintih Reza. Arlan seolah tak mempedulikan ucapan Reza, ia terus membuat Reza yang semakin meronta-ronta berusaha melepaskan dari cengkraman Arlan. "Kak Arlan ampun..." rintihnya lagi.

"Mau nakal lagi gak?"

"Nggak Kak, Reza janji"

Seketika Arlan melepaskan kedua tanganya, ia menatap Reza dengan rasa penuh simpati. Nafas Reza tersengal tak beraturan, keningnya di penuhi oleh bintik-bintik keringat dan baju yang ia pakai juga terlihat berantakan tak beraturan. Reza masih mengatur nafasnya agar terasa stabil, detak jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Ih Kaka nakal dah, kan aku capek tau Kak" keluhnya.

Arlan terkekeh mendengar keluhan Reza, namun di dalam hatinya merasa kasihan dengan orang yang ada di depanya. Arlan mengambil beberapa helai tisu yang sudah ada di atas meja, lalu menyapu keringat yang memenuhi kening Reza. Seketika Reza merasa canggung dengan perlakuan Arlan yang tak biasa, wajahnya masih menatap Arlan tak berkedip untuk beberapa detik. Didalam hati Reza merasakan antara rasa malu dan bahagia. Arlan lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Reza dengan sangat perlahan, mata mereka saling bertatapan semakin dekat membuat keduanya merasakan deg-degan. Semakin lama wajah meraka semakin mendekat hingga Reza bisa mendengar hembusan nafas Arlan yang mulai terasa berat. Namun dengan cepat Reza memalingkan pandanganya membuang muka, membuat Arlan terlihat sedikit kecewa.

"Maaf, Kak" ujar Reza tiba-tiba.

Arlan tersenyum meski hatinya masih sedikit kecewa. Saat ini suasana diruangan itu menjadi hening dan terasa canggung di antara keduanya, Reza menunduka wajahnya pura-pura terlihat sibuk dengan ponselnya walau sebenarnya tak ada yang ia kerjakan, hal itu ia lakukan hanya untuk memalingkan pandangnya pada wajah Arlan.

"Maafin Kakak ya, Za" suara Arlan tiba-tiba terdengar, membuat Reza mengangkat wajahnya menatap Arlan.

"Gak papa kok, Kak"

"Yasudah kalo gitu Kakak pulang dulu, ya?"

Reza tersenyum lalu mengantarkan Arlan hingga di depan rumahnya. Sesampainya di teras rumah yang terlihat cukup besar itu Reza dan Arlan berhennti, mereka saling bertatapan.

"Makasih banyak ya, Kak" ujar Reza. Alfan yang belum mengetahui maksud Alfin mengerutkan keningnya.

"Makasih buat apa, Za?"

"Makasih karna Kakak udah bantuin Reza ngerjain tugas sekolah Reza loh"

"Oh.. Iya sama-sama. Lain kali kalo butuh bantuan jangan sungkan sungkan ya Za, bilang saja dan Kakak pasti gak keberatan kok"

Reza tersenyum. "Sekali lagi makasih banyak Kak"

"Yaudah Kakak pulang dulu ya?" Reza mengangguk.

"Hati-hati Kak!"

Arlan lalu memakai helm nya dan meninggalkan halaman rumah Reza.

*-*-*

Kini Alfin baru saja sampai dirumahnya, ia menyalami tangan Nenek dan Ibunya lalu segera menuju kamarnya. Alfin menggantungkan tas sekolahnya lalu berganti pakaian. Saat ia sedang mengantung baju sekolahnya, ponselnya berdring. Pandanganya langsung tertuju pada ponsel yang baru saja ia letakan di atas kasur lantainya. Terlihat nama Alfan yang tertera di layar ponselnya. Alfin sempat berfikir sejenak sebelum mengangangkatnya, namun akhirnya ia memutuskan untuk menjawab panggilan masuk itu.

"Ya halo, Kak" seru Alfin memulai percakapanya, namun Alfan masih diam dan tak terdengar menjawab sapaan Alfin. Tak lama suara isak dengan nafas berat terdengar dari ponselnya membuat Alfin lebih mengamati agar ia tak salah dengar. "Ka Al masih nangis?" lanjut Alfin.

"Maafin Mamanya Ka Al ya Fin, Kakak bener-bener gatau kalo kejadianya bakal seperti ini"

"Kak... Sudah lupakan saja, Alfin sudah biasa kok dapet perlakuan seperti itu, hanya saja yang Alfin bingung kenapa Mamanya Ka Al marah sama Alfin, memangnya Alfin salah apa? Lagian ketemu aja baru tadi. Tapi ya sudah masalah ini jangan di perpanjang lagi"

"Iya Fin, Kakak aja masih bingung sama tingkah Mama, sekali lagi maafin Mama ya?"

"Iya Kak, gak papa kok" Alfan kemudian memutus panggilanya.

Tok tok tok !!!

"Fin..." panggil Maryam dari luar kamar anaknya. Alfin segera memakai baju kaos warna putih dan membukakan pintu kamarnya.

"Ya, Buk?"

"sekarang makan dulu ya, Ibu sudah masak sayur sup kesukaanmu!"

"Alfin seneng banget sekarang Ibuk sudah sembuh dan kembali tersenyum lagi, Iya Buk nanti Alfin makan kok"

"Yasudah, Ibuk tinggal dulu ya, Ibu mau nganterin bajunya Bu RT yang baru selesai Ibu setrika, soalnya tadi pagi pesenya jangan sampe kesorean katanya"

"Iya Buk" Marya kemudian meninggalkan Alfin.

"Astaga, aku kan ada tugas sekolah mampus deh belum di kerjain" Alfin kembali mengambil tas sekolah yang belum lama ia gantung, kemudian membawanya menuju meja belajarnya.

Di temani dengan music dari ponselnya, Alfin mengerjakan tugas sekolahnya dengan seksama, namun konsentrasinya buyar saat suara music dari smartphone berhenti sejenak dan terdengar nada pesan. Ia melirik pada dua ponsel yang ia letakan bersebelahan, namun kali ini yang berbunyi adalah smarphone pemberian dari Andre.

"Andre?" ujar Alfin, kemudian ia segera membuka pesan singkat itu.

'Siang Fin, gimana kabarnya? Udah tiga hari gak pernah ketemu sama lo gue kangen banget' Alfin tersenyum setelah membaca pesan dari Andre yang entah hanya berbasa-basi atau memang sungguhan.

'Siang juga Ndre, aku baik-baik aja kok. Masa kangen? Beneran?'

'Iya gue beneran Fin, tar malem gue main kerumah lo ya?'

'Boleh kok Ndre siapa yang ngelarang'

'Sip oke makasih, sampai nanti malem ya Fin'

' :) '

Untuk pesan terakhir, Alfin hanya membalas dengan emotion senyum. Alfin kembali tersenyum saat selesai chatting dengan Andre, kemudian ia melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya.

.

                            = = = =

.

Malam itu Andre baru saja sampai dirumah Alfin. Saat baru saja keluar dari mobilnya ia tersenyum bahagia setelah beberapa hari tak pernah berkunjung ke rumah Alfin lagi. Tak lama Alfin membuka pintu dan ikut tersenyum saat melihat kedatangan Andre.

"Yuk Ndre masuk!" ujar Alfin ramah.

"Gak usah Fin, kita ngobrol di luar saja ya?"

Alfin menengokan kepalanya dari balik pintu, dari pandanganya ia tak mendapati sosok Nenek dan Ibunya lalu ia segera menutup pintu dan menuju teras rumahnya. Andre yang sudah duduk lebih dulu terlihat senyum mesum menatap wajah Alfin.

"Gimana dengan kerjaan kamu Ndre?" ujar Alfin yang baru saja duduk di kursi yang berada di depan Andre.

"Baik-baik saja Fin. Gue kangen Fin sama lo" tangan Andre mulai memegang jemari tangan Alfin, namun Alfin hanya diam saja seolah tak mau membuat Andre kecewa.

Kedatangan Alfan yang secara tiba-tiba dan melihat mereka berdua membuat Alfan murka. Alfin segera menarik tanganya dari tangan Andre. Sedangkan Alfan segera menyandarkan sepeda motornya dan menghampiri mereka berdua.

Bersambung...

2 komentar:

  1. Di tunggu part 10 nya di CDP..hehe. (By Andhy Thea Rz.)

    BalasHapus
  2. Hehe sabar ya, pasti Aby lanjutin kok. Lov yu dah mau mampir di blognya Aby :*

    BalasHapus