Rabu, 27 Januari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 06
-------------------
By. Aby Anggara
======================

*-*-*

Mata Alfin membulat melihat Alfan yang kini berjalan ke arahnya, ia terlihat sangat kaget dan gugup. Dengan tanpa sebuah kata, Alfan menarik tangan Alfin keluar dari ruangan itu, dengan Andre yang langsung mengikuti langkah mereka di belakangnya. Alfan terus menarik tangan Alfin dengan sangat kencang hingga membuat Alfin meringis menahan sakit dan memilih menuruti kemana langkah kaki Alfan.

"Kamu apa-apaan sih Fin, ngapain coba di tempat seperti ini?" wajah Alfan menatap Alfin dengan tajam, raut wajahnya penuh kekecewaan dan amarah yang masih berkejolak di dadanya.

"Ma- maaf Kak, Alfin... Alfin terpaksa ngelakuin ini" wajah Alfin tertunduk ketakutan melihat wajah Alfan yang terlihat penuh amarah.

"Terpaksa? Karna apa? Karna uang, iya?" suara Alfan terdengar sangat lantang.

"Woi-woi ngapain lagi sih lo ganggu aja, lagian Alfin siapa lo sampai lo sebegitu kecewanya dengan sikap dia. Lo rugi liat Alfin kaya gini?" Andre yang berada di sebelah mereka ikut bicara berusaha membela Alfin.

"Diam kamu! Gak usah ikut campur!!! Ternyata dugaanku benar, kamu memang bukan anak baik-baik. Kalian tuh murahan!"

"Eh jaga ya mulut lo!" tukas Andre tak terima.

"Sudah-sudah stop! sekarang Ka Al udah tau kan tentang Alfin yang sebenarnya? Sekarang terserah Kakak kalo mau benci sama Alfin, atau bahkan mungkin malah jijik liat Alfin yang murahan. Tapi Ka Al harus tau, ini bukan kemauan Alfin Kak.. Alfin ngelakuin ini karna suatu keadaan. Maaf Kak, Alfin masuk dulu ya? Sekarang Kak Al pulang saja! Yuk Ndre!" Alfin dan Andre lalu meninggalkan Alfan.

Alfan masih diam tak bergeming dari posisinya, ia masih terpaku menatap Alfin yang berjalan di sebelah Andre. Didalah hatinya terasa ingin berteriak dengan keras, tapi saat ini sebisa mingkin ia menahanya. Kaki Alfan saat ini terasa sangat lemas tak bisa melangkah, terasa seperti tak bertulang. Perlahan Alfan terkulai hingga kini ia berdiri dengan kedua lututnya. Matanya mulai di basahi dengan air mata, kekecewaan terasa menghantam tubuhnya bagai hancur tanpa harapan.

"Kenapa ini terjadi sama kamu Fin, sungguh aku tak pernah rela. Kita memang belum lama kenal, tapi aku... Aku merasa kita begitu dekat. Aku juga tak tau ini rasa apa, tapi yang pasti aku tak pernah rela sesuatu yang buruk menimpamu seperti ini"

Entah sudah berapa lama Alfan berdiri dengan kedua lututnya hingga pipinya basah kuyup karna deraian air matanya, ia mulai bangkit dan menuju sepeda motornya. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Alfan sekali lagi menoleh ke arah gedung itu, tatapanya sayu, namun penuh arti.

*-*-*

Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam, Alfin dan Andre segera menuju rumah sakit untuk menjenguk Ibunya. Didalam mobil, Alfin sudah terasa tak sabar ingin tau keadaan Ibunya.

"Ndre kita bisa lebih cepat kan? Aku gak sabar pengen liat Ibuk!"

"Iya Fin sabar ya, ini juga aku tambah kecepatannya kok" perlahan Andre menambah kecepatan kendaraanya hingga tak lama mereka tiba di area parkir rumah sakit. Alfin yang sudah terlihat tak sabar turun lebih dulu, kemudia di ikuti oleh Andre. Alfin berjalan tergesah-gesah hingga Andre tertinggal di belakangnya.

"Fin tungguin dong!"

"Ih... Makanya buruan!!"

Andre yang tak ingin tertinggalpun ikut mempetcepat langkahnya, hingga kini mereka jalan bersebelahan. Alfin dengan cepat memutar gagang pintu dan seketika Nenek dan Ibunya menoleh pada mereka berdua.

"Yaampun Alfin kemana saja jam segini baru datang?" tanya Ibunya khawatir. Alfin menyalami tangan Ibunya yang masih berbaring lalu memeluk Ibunya dengan manja.

"Maafin Alfin Buk, Alfin kan musti kerja buat biaya rumah sakit ini. Syukurlah Ibuk sudah sadar"

Ibunya tersenyum bangga pada Alfin, tangan nya mengusap punggung Alfin dengan penuh kasih sayang. Andre pun ikut tersenyum legah karna Ibu nya Alfin sudah tampak lebih baik dari hari kemarin. Alfin melepas pelukanya lalu berdiri disebelah kanan Ibunya. Ia tersenyum melihat Ibunya yang sudah siuman paska operasi kemarin. Mata sang Nenek terlihat berkaca-kaca terharu sekaligus bahagia melihat cucu dan anaknya yang kini bisa tersenyum bahagia kembali.

"Alfin seneng banget liat Ibuk sudah baikan, Ibuk cepet sembuh ya biar bisa cepat pulang!" ujar Alfin menatap wajah Ibunya. Ibunya tersenyum bangga pada anaknya yang terlihat berbakti pada orang tuanya.

"Iya sayang... Doain Ibuk, ya!"

Alfin mengangguk lalu kembali memeluk Ibunya dan menenggelamkan kepalanya di dada Ibunya.

.

                       = = =

.

Alfan pagi itu sudah tiba di rumah Alfin, setelah beberapa hari ia sengaja tak menjemput Alfin, pagi ini ia ingin seprti biasa yang mengajak Alfin berangkat sekolah sama-sama. Alfan membuka helm nya lalu berjalan menuju pintu rumah Alfin. Rumah itu terlihat sangat sepi seperti tak ada penghuninya. Alfan mencoba mengetuknya, tapi sampai beberapa kali ia sama sekali tak mendapatkan jawaban dari dalam sana.

Alfan melirik ke jam tanganya. "Apa Alfin sudah berangkat sekolah ya? Padahal masih sangat pagi. Apa Alfin sudah di jemput sama anak sok gaul itu? Tapi kalo iya Ibu dan Neneknya kemana?"

Alfan tampak bingung yang tak mengetahui kejadian yang sebenarnya, didalam hatinya dipenuhi tanda tanya yang belum mendapatkan jawaban, bahkan sekalipun ia melihat Ibunya Alfin ia tak akan pernah mengenalnya, karna ia memang belum pernah melihat sosok Ibunya Alfin. Alfan kemudia kembali memakai helm nya dan melanjutkan perjalanan kesekolahnya. Saat ia baru saja sampai di pintu gerbang sekolahnya, ia melihat mobil yang baru saja berhenti didepan sekolahnya pula, Alfan merasa sudah tak asing lagi melihat mobil itu, karna Alfin sering terlihat keluar dari dalam sana.

Alfan segera behenti dan menatap mobil itu dengan seksama, ternyata benar itu adalah mobil Andre yang mengantarkan Alfin kesekolahnya. Seketika Alfan terlihat sangat tak suka dengan Andre yang lagi-lagi masih saja berhubungan dengan Alfin. Alfan mendengus kesal, ia menyandarkan sepeda motornya lalu medekat kearah mereka. Alafan terlihat sangat emosi, wajahnya semringah seprti srigala yang ingin menelan mangsanya. Tatapan Alfan sangat tajam kearah Andre dengan kedua tanganya menggenggam sangat keras.

"Ka Al aku mohon jangan buat keributan disini, aku tau Kakak pasti mau marah sama Andre kan? Andre gak salah Kak, kalo mau marah silahkan marah sama Alfin sepuas Kakak!" Alfin terlihat sangat memohon pada Alfan, namun Alfan masih dia tampak sedang mencerna kata-kata Alfin. "Andre sudah sangat baik Kak, bahkan dia yang sudah bantuin Alfin selama ini"

Alfan terlihat luluh, tatapanya kini perlahan berubah menjadi datar. Kedua tangan nya pun perlahan melepaskan genggamanya. Namun ia masih diam dengan seribu bahasa.

"Ndre aku masuk dulu ya? Dan makasih sudah mau repot-repot anterin aku kesekolah" Andre mengangguk diberengi dengan senyuman lalu Alfin perlahan memegang tangan Alfan mengajaknya masuk kesekolah.

Entah kenapa Alfan masih saja terdiam tanpa kata, ia masih melangkahkan kakinya disebelah Alfin. Setelah sampai di pintu gerbang sekolahnya, ia melepaskan tangan Alfin dan kembali menghampiri sepeda motornya. Alfan masih tampak diam, sepertinya dia memang sedang enggan berbicara untuk saat ini.

Saat Alfan sudah duduk di atas sepeda motornya, ia menatap Alfin yang kini berjalan membelakanginya, tampak kesedihan terlihat di wajah Alfan saat teringat tentang apa yang ia lihat secara langsung tadi malam.

"Kenapa dadaku terasa sesak saat aku melihat Alfin sedang berada dijalan yang penuh berduri itu? Semakin hari aku semakin menyayanginya. Ada apa dengan diriku? Aku sungguh tak akan pernah rela jika ia membagi tubuhnya dengan gadun-gadun mesum seperti tadi malam. Tuhan... Beri aku kekuatan untuk menuntun nya agar ia selamat dari pekerjaan yang sangat murahan itu. Sungguh hatiku ikut menangis merasakan penderitaanya"

Tanpa sadar bola mata Alfan terlihat memerah dan berkaca-kaca, sungguh ia tak pernah rela jika Alfin sudah melangkah sampai sejauh itu.

"Woi.. Pagi-pagi sudah bengong" Alfan tersadar dari lamunanya saat Arlan yang baru saja datang mengagetkanya.

"Eh kamu Lan?" dengan cepar Alfan lalu menghapus air matanya.

"Kamu kenapa, Fan?" tanya Arlan yang mengetahui Alfan baru saja menghapus air matanya.

"Gak kok Ar, gak papa. Yuk kekelas" Arlan tersenyum lalu ikut duduk di belakang Alfan.

.

*-*-*

.

Siang itu jam dinding menunjukan jam dua siang, Reza dan Mamanya kini terlihat sedang menyantap makan siang bersama. Ke akraban di antara keduanya begitu terasa, apalagi Melinda yang memang selalu menyayangi anak-anaknya.

"Ma, nanti sehabis ini Reza mau kerumah sakit ya, temen Reza Ibunya lagi dirawat di rumah sakit Ma, kasihan dan Reza pengen jenguk bole ya, Ma?" pinta Reza pada Mamanya. Melinda sejenak terdiam terlihat sedang berfikir.

"Em.. Gini sayang.. Bukan Mama gak izinin, tapi Mama khawatir sama kamu takut terjadi apa-apa. Kamu masih terlalu kecil untuk berkeliaran di luar rumah sendirian"

"Yah Mama... Please deh Ma, siang ini Reza udah janji sama temen Reza bakalan jenguk Ibunya yang sedang sakit"

"Yasudah kalo gitu nanti Mama suruh Kakak mu yang bakalan antar kamu kerumah sakit, karna Mama gak bakalan izinin kalo kamu pergi sendirian"

"Mama yakin Kak Alfan bakalan mau?"

Melinda tersenyum lalu mengusap kepala Reza dengan penuh kasih sayang. "Tunggu sebentar ya Za!" Melinda kemudia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar Alfan. Dengan beberapa ketukan Alfan lalu membukakan pintu kamarnya.

"Ada apa, Ma?" tanya Alfan yang lalu meninggalkan pintu kamarnya dan kembali duduk di tepi ranjangnya. Melinda pun mengikuti Alfan dan duduk di sebelahnya.

"Gini Fan, Adik mu mau jenguk Ibu temen sekolahnya di rumah sakit, tapi Mama gak tega ngebiarin dia sendirian kesana, kamu mau kan nemenin Adik kamu?" pinta Mamanya menatap Alfan penuh harap, Alfan menghembuskan nafas nya dengan kasar, lalu membenarkan posisi duduknya. Dari tatapan wajahnya, tampak terlihat Alfan sudah pasti akan menolaknya.

"Kenapa harus Alfan sih Ma? Orang dia yang mau jenguk kok aku yang ikutan repot?" Alfan tak menoleh Mamanya, pandanganya kembali pada layar ponsel yang sudah sejak tadi ia mainkan.

Mamanya menggelengkan kepala heran. "Fan.... Kenapa sih kamu selalu dingin sama Adik kamu? Dia saudara kamu dan kamu gak boleh terus-terusan membenci Reza"

"Alfan tau Ma kalo Reza Adeknya Alfan, tapi.." ucapan Alfan seketika terhenti dan ia menatap wajah Mamanya yang masih memperhatikanya. Melinda masih tampak diam, ia masih berharap Alfan akan melanjutkan perkatataanya lagi, namun sudah beberapa saat Alfan tak kunjung melanjutkanya.

"Tapi kenapa, Fan..?"

"Enggak kok Ma, gak papa" ujar Alfan cengengesan.

"Kalo ngak papa berarti mau dong?" ujar Melindan. Alfan memutar kedua bola matanya, dengan mulut yang terlihat bergerutu kesal ia akhirnya mengalah dan memilih mengikuti perintah Mamanya.

Alfan sudah siap di depan rumahnya, ia menyalakan sepeda motornya dan menunggu kedatangan Reza yang masih bersiap-siap di dalam kamarnya. Saat baru saja Reza keluar dari pintu rumahnya, ia terlihat sangat canggung dengan Alfan, karna mereka memang sangat jarang terlihat bersama seperti saat ini.

"Kita berangkat sekarang ya, Kak?" tanya Reza penuh hati-hati. Sangking takutnya berhadapan dengan Alfan saja Reza seperti berada di depan induk srigala yang siap menerkamnya.

"Ya sekarang lah masa iya tahun depan" Serga Alfan dengan suara lantang. Reza seketika hanya tertunduk diam tanpa kata lalu segera naik dibelakang Alfan.

"Kak nanti kita beli buah dulu ya?" ujar Reza memberanikan diri untuk berkata lagi, karna ia tak mungkin menjenguk orang sakit tanpa membawa buah tangan. Alfan yang mendengar ucapan Reza hanya diam tak menimpalinya, namun Reza pun tak berani untuk berkata dua kali. Didalam hati Reza bertanya-tanya, Alfan yang hanya diam sengaja tak menjawab perkataanya atau memang tak mendengar perkataanya. Namun tak lama Reza tersenyum saat Alfan berhenti disebuah toko buah.

Dengan sigap Reza memilih buah yang sudah di rangkai dalam keranjang dan terbungkus dengan rapi, lalu ia membayarnya. Alfan dan Reza kemudian melanjutkan perjalananya hingga tak lama mereka sampai di sebuah rumah sakit swasta yang sangat besar dan tempat parkir kendaraanya juga sangat luas.

Mereka segera memasuki rumah sakit itu, pagi tadi saat di sekolah Alfin sudah memberi tahu pada Reza di kamar mana Ibunya dirawat. Namun Reza yang masih bingung arah kamar itu akhirnya mengahampiri resepsionis untuk menanyakan arah kamar yang di maksud. Setelah mendapatkan petunjuk, Reza dan Alfan segera menuju kamar rawat Ibunya Alfin. Sesampai di depan pintu kamar itu Reza langsung memutar gagang pintu dan masuk, namun Alfan berhenti sejenak. Matanya tertuju pada sosok wanita paru baya yang sedang terbaring memejamkan matanya. Maryam hanya terlihat sendirian, tanpa terlihat sang Nenek yang biasa menjaga wanita itu.

Perlahan Alfan ikut masuk kedalam ruangan itu, wajahnya menatap sosok wanita yang terlihat sangat menyejukan hatinya. Ia memang tak mengenali wajah Maryam yang sedang terpejam itu, tapi baginya wajah itu sangat tak asing di matanya.

Reza meletakan buah yang di belinya tadi diatas meja kecil di sebelah ranjang Ibunya Alfin, wajanhnya tersenyum sambil memandangi wajah Maryam yang masih terlelap dalam tidurnya. Reza kemudian memegang tangan wanita itu.

"Aku Reza temenya anak Tante, dia satu kelas denganku, bahkan kita satu meja" ujar Reza bercerita sendiri. "Soga cepat sembuh ya Tante!" Reza tersenyum lalu melepaskan tanganya dari wanita itu.

*-*-*

"Gila Ndre, Om Dodi mainya kasar banget. Aku sampai kewalahan, mana masih terasa sakit" ujar Alfin yang baru saja keluar dari kamar mandi. Alfin meringis menahan sakit akibat perlakuan Om Dodi tadi.

"Iya kah?" Andre terkekeh mendengar keluhan Alfin, lalu pandanganya kembali fokus pada layar ponselnya.

"Is kamu kek nya seneng amat sih Ndre liat aku menderita" ujar Alfin kesal. Ia lalu mengusap rambutnya dengan handuk.

"Yedeh-yadeh maaf"

"Ndre sekarang kita kerumah sakit dulu ya? Please... Ada temen ku yang mau jenguk Ibuk, kan gak enak kalo dia datang aku nya malah ga ada"

"Hem..."

"Ayolah Ndre, aku mohon sekali ini saja. Besok-besok aku janji deh setelah pulang kerja malem baru kerumah sakitnya. Boleh ya Ndre, ya ya ya?" ujar Alfin penuh harap. Ia menguncang-guncang bahu Andre. Andre masih diam tampak berfikir beberapa saat, sedangkan Alfin masih memandangi wajah Andre tak sabar menanti jawaban.

"Oke gue izinin, tapi sekali ini saja ya?"

"Makasih banyak, Ndre" Alfin yang merasa kegirangan tanpa sadar memeluk tubuh Andre, setelah sadar dengan perlakuanya, dengan cepat Alfin melepaskan pelukanya. Di wajah Alfin terlihat tampak menahan rasa malu, tapi berbeda dengan Andre yang merasa tampak bahagia sambil tersenyum-senyum yang Alfin sendiri tak bisa mengartikanya.

Setelah semuanya siap, mereka lalu segera pergi menuju rumah sakit. Hanya beberapa menit mereka sudah sampai di rumah sakit dimana Ibunya Alfin dirawat. Mereka segera menuju kamar rawat Ibunya Alfin, dan saat sampai di pintu kamar itu Alfin segera membuka pintu kamarnya. Terdengan suara pintu yang terbuka, pandangan Alfan dan Reza langsung tertuju pada sosok yang muncul dari balik pintu itu. Mata Alfan membulat terbelalak saat melihat Alfin dan Andre yang baru saja tiba, lalu pandangan Alfan berpindah pada wanita yang saat ini sudah membuka matanya sejak beberapa waktu lalu. Alfan masih terlihat bingung dan tak mengetahui kenapa Alfin dan Andre bisa berada di ruangan ini, begitu juga dengan Alfin yang juga merasa bingung atas kehadiran Alfan yang saat ini berada di sebelah Reza.

Bersambung...
Percintaan sedarah
Epesode 05
-------------------
By. Aby Anggara
=====================

*-*-*

Andre pun ikut turun dari mobilnya, membuat Alfan terlihat sangat kecewa pada Alfin. Andre dan Alfin berjalan menuju rumah Alfin, sedangnkan Alfan yang masih diam terpaku tampak tak berkedip memandangi Alfin yang terlihat begitu akrab dengan Andre. Saat mereka sudah sampai di teras rumah itu, Alfin terlihat sangat gugup, karna Alfan pasti akan menanyakan atas kepulangannya.

"Ka Al udah dari tadi ya?" tanya Alfin penuh rasa bersalah. Alfan tak menjawabnya, tatapan matanya menatap tajam pada Andre kemudia tatapannya berpindah pada Alfin yang terlihat sedikit tertunduk. Tatapan itu seolah menanyakan siapa orang yang berada di sebalahnya, tapi Alfan tak mampu untuk mengatakannya.

"Jadi ini alasanya kenapa gak mau di ajak jalan sama Kakak? Ternyata jalan sama cowok lain?" Alfin menggelengkan kepalanya seolah membela dirinya.

"Nggak kok Kak, ini cuma salah paham" Alfin terlihat gugup, sedangkan Andre hanya diam saja seolah tak mau ikut campur urusan mereka.

"Sudahlah Fin, aku tau kok dan aku sudah liat sendiri"

"Ka Alfin, tunggu Kak!" ucap Alfin setengah berteriak, Alfin berusaha mengejar Alfan yang masih berjalan meninggalkan mereka berdua, tapi Andre manahan tangan Alfin lalu menggelengkan kepalanya. Alfinpun terhenti dan kini hanya menyaksikan kepergian Alfan yang penuh kekecewaan.

"Kamu kenapa tarik tangan aku Ndre?"

"Husssttt!!!" Andre menaruh satu jarinya di bibir Alfin agar terlihat lebih tenang. "Gak usah urusin cowok kayak dia, ingat Fin lo masih ada urusan yang lebih penting. Kita pulang mau ambil baju Ibu mu dan kerumah sakit kan?" ujar Andre mengingatkan. Alfin mengangguk dan kini mereka segera masuk kedalam rumahnya dan membawa beberapa helai baju, setelah selesai mereka segera kembali ke mobil Andre dan segera berangkat kerumah sakit.

Selama perjalanan kerumah sakit, Alfin terlihat tampak diam tak bersuara, ia masih teringat pada kejadian barusan yang membuat kedekatan mereka sudah pasti akan terancam. Sebenarnya ia ingin menjelaskan agar Alfan tak salah paham padanya, tapi Alfan tak memberikan kesempatan pada Alfin.

"Baru saja ada orang yang perhatian padaku dan aku sangat senang dan merasa nyaman, tapi lagi-lagi cobaan selalu datang mengujiku" ujar Alfin dalam hati. Ia mengeluarkan ponselnya, dengan rasa penuh ragu ia menekan gagang telepon berwarna hijau pada nomor telepon Alfan, sejenak terdengar nada tunggu, namun sampai nada berakhir panggilannya pun tak ada respon. Ia mengulanginya lagi, dan kembali menaruh ponselnya di telinganya.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar service area, cobalah beberapa saat lagi"

Alfin terlihat putus asa saat mendengar nomor Alfan yang baru saja dinonaktifkan, padahal baru saja ia menelponnya masih tersambung. Dengan punuh rasa malas ia menaruhkan kemabali ponsenya kedalan saku celananya.

"Lo kenapa Fin? Kok kek yang lagi frustasi gitu? Wajah lo kusut banget tau"

"Maaf Ndre, aku lagi males ngomong, kita lanjut nanti aja ya, aku pengen cepat sampai rumah sakit Ndre, pengen tau perkembangan Ibuk"

"Oke-oke" ujar Andre santai, kemudian ia menambah kecepatan laju mobilnya.

*-*-*

Di jam istirahat sekolah Alfin berusah mencari Alfan yang tak biasa-biasanya tak memberi kabar padanya, bahkan pagi tadi pun berangkat ke Sekolah ia tak menjemput Alfin seperti biasanya. Alfin tersenyum saat menemukan Alfan yang sedang duduk sendirian membelakanginya. Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya mendekati Alfan dan duduk di sebalahnya. Alfan yang baru menyadari kedatangan Alfin sepertinya tak keberatan Alfin duduk disebelahnya, tapi ia tampak acuh seperti tak menganggap kedatangan Alfin yang tak pernah di undang.

"Ka Al kok tumben tadi pagi gak jemput aku? Kakak masih marah ya?" Alfin menoleh wajah Alfan yang terlihat datar namun tak bisa diartikan. Alfan masih tampak diam tak berusik dari posisinya, pandanganya tampak kosong menatap lurus kearah depan. "Kak jawab, aku lagi ngomong sama Kakak" lanjut Alfin yang tak terima diacuhkan. Perlahan Alfan menoleh wajah Alfin sebentar, lalu pandanganya keposisi semula.

"Memangnya aku pernah penting buat kamu, enggak kan?"

"Kak.. Aku tau aku salah, tapi aku ada alasan unt-..."

"Cukup!" jawab Alfan cepat. Alfan lalu bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Alfin. Alfin hanya bisa pasrah atas kelakuan Alfan barusan, ia menyadari ini kesalahannya, tapi sebenarnya Alfin mau menjelaskan pada Alfan, namun Alfan tak sedikitpun memberi waktu untuknya.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak Aktif atau berada di luar service area, cobalah beberapa saat lagi. Terdengar suara operator yang khas dan tak asing lagi bagi Alfin, dengan wajah penuh putus asa Alfi menjaukan ponsel dari telinganya, mungkin Alfan memang benar-benar sedang marah padanya hingga ia bener-bener memutus jalur komunikasinya.

"Kamu kelihatan lagi sedih Fin, ada apa?" ujar laki-laki yang baru saja duduk disebelahnya, Alfin tampak menoleh pada sosok itu, dan ternyata dia adalah Reza.

"Iya Za, bahkan banget. Disekolah ini cuma kamu sama dia yang peduli sama aku, tapi sekarang dia sedang marah gara-gara salah paham. Aku ngerasa kehilangan banget, dia yang selalu perhatian Za, tapi.... Sekarang entahlah, aku bisa baikan lagi atau nggak sama dia"

Reza tersenyum lalu memegang bahu Alfin dengan lembut. "Sabar ya Fin, semua itu cuma unjian doang kok, pasti dengan berjalannya waktu dia bakalan ngerti kok aku yakin itu, karna aku juga sama Fin, aku sama Kakak ku juga sedang tidak baik, tapi aku sabar dan aku yakin suatu saat dia bakalan bisa berubah dan gak bersikap dingin lagi sama aku"

"Iya Za semoga saja, entahlah aku juga gak tau kenapa aku ngerasa nyaman banget sama dia, mungkin karna dia baik kali, kayak kamu" ujar Alfin sambil sedikit senyum.

"Ah kamu ada-ada saja Fin, oya kita ke Kantin yuk, aku laper"

"Yuk Za, kebetulan nih" ujar Alfin penuh semangat, mereka segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju Kantin sekolah.

.

                  = = =

.

"Kamu...?" Alfan terlihat kaget saat ia mendapati Andre berada di seberang jalan Area sekolahnya, tatapannya tajam penuh kebencian. Andre menyambut Alfan dengan senyuman indah yang sangat bersahabat, ia bersandar di pintu mobilnya sembari melipatkan kedua tanganya.

"Kenapa kaget? Santai saja Men!"

"Kamu ngapain disini?" tanya Alfan ingin tau, karna ia yakin kehadirannya di sini pasti ada hubunganya dengan Alfin. Andre tampak senyum sambil menggelengkan kepalanya heran.

"Santai bro... Jangan emosi gitu dong"

"Gak usah sok baik deh, aku tau kok kamu bukan orang baik-baik kan?" serga Alfan yang tak mau di ajak bicara baik-baik.

"Eh kalo ngomong hati-hati ya, jaga tuh mulut. Gue udah berusaha baik tapi lo malah nyolot. Lagian ini tempat umum kan? Jadi bebas dong gue mau ngapain aja. Memangnya ini sekolah milik Bokap lo? Nggak kan?" Andre tampaknya mulai emosi dengan sikap Alfan yang tak mau bersahabat denganya.

"Iya aku tau ini tempat umum. Tapi cuma satu yang aku minta sama kamu, awas ya kalo kamu berani-berani buat Alfin celaka, karna dari tampang kamu aku yakin banget kalo kamu bukan anak baik-baik"

"Lo ngancem gue? Memangnya dia siapa lo? Hah..? Oh... Gue tau, lo cemburu liat gue deket-deket sama Alfin, iya?"

"Hah cemburu? Eh denger ya, aku masih normal dan aku masih suka sama cewek" ujar Alfan yang lalu pergi meninggalkan Andre. Entah kenapa Alfan sangat tak suka jika Alfin dekat-dekat dengan Andre.

Andre masih terlihat tampak kesal dengan Alfan yang melarangnya berdekatan dengan Alfin, entah kenapa ia sangat tak suka dilarang seperti itu, mungkin karna Alfin bisa menjadi sumber penambahan kemasukan keuangannya hingga ia tak akan pernah takut dengan ancaman Alfan.

Alfin yang berjalan diantara beberapa siswa lainya terlihat melambaikan tangan pada Andre, ternyata mereka sudah membuat janji. Andre yang melihat Alfin pun ikut tersenyum tak sabar Alfin agar segera menghampirinya.

"Udah nunggu lama ya, Ndre?"

"Nggak kok Fin, gue belum lama sampai kok"

"Oh syukur deh kalo gitu, oya kita langsung ke rumah sakit dulu ya Ndre?"

"Sebaiknya kita masuk kemobil dulu Fin, kita bicara di dalem saja" Alfin menuruti perintah Andre yang langsung masuk kedalam mobil Andre kemudian di ikuti oleh Andre. "Em... Sebenernya sih jadwal lo hari ini banyak Fin, yang udah boking lewat ponsel gue aja udah numpuk banget, keknya mulai sore sampai malem lo harus siap mental, karna lo pasti akan di gilir" ujar Andre. wajah Alfin tertunduk lesu, ia terlihat tampak tak ikhlas jika tubuhnya bakalan di nikmati oleh gadun-gadun secara bergantian.

"Kenapa lo terlihat sedih Fin, bukannya bagus karna lo bakalan dapet uang banyak?" Alfin membuang nafas dengan berat, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi mobil Andre dengan penuh.

"Asal kamu tau Ndre, sebenarnya aku melakukan ini sangat terpakasa, kalo saja Ibuku tak memerlukan uang banyak, aku tak akan rela tubuhku di nikmati oleh Om-om secara bergantian, belum lagi aku harus merasakan sakit sesudah itu"

Andre tersenyum lalu memegang bahu Alfin dengan sangat penuh hati-hati. "Fin... Lo itu masih baru didunia pelangi, makanya masih belum bisa menikmati pekerjaan ini, tapi gue yakin suatu saat lo bakalan nyaman dengan pekerjaan lo ini" Andre berusaha meyakinkan Alfin, biar bagaimanapun Alfin sudah terlanjur terjun di dunia pelangi yang penuh warna, karna disamping itu juga peran Alfin sangat menguntungkan bagi Andre, makanya ia tak akan melepaskan Alfin begitu saja.

"Tapi Ndre ak-"

"Hussst!!! Om Ridwan sudah nunggu di rumah gue, kita langsung pulang ya, dan lo harus layani Om Ridwan dengan baik, dia udah bayar mahal loh"

"Tapi aku mau kerumas sakit dulu Ndre, mau lihat keadaan Ibuk"

"Fin... Bisa perofesional gak? Jenguk Ibu bisa nanti malam selepas pulang kerja kan? Lagian yang udah nungguin lo itu banyak, bahkan gue ampe pusing ngatur jamnya. Oke sekarang gini deh, lo pilih jenguk Ibu lo sekarang atau lo gak bakalan dapet duit dan kehilangan kerjaan lo selamanya?" Ucap Andre dengan sedikit kesal, pandanganya menatap wajah Alfin yang saat ini berada disebelahnya.

"Baiklah Ndre, aku nurut aja deh sama kamu" dengan berat hati Alfin harus mengalah, tak lain ini ia lakukan demi kesembuhan Ibunya.

"Bagus! Nah kalo gini gue suka dengan sikap lo Fin, oya ingat ya Fin, nanti dirumah gue lo harus ramah sama Om Ridwan, gue gak mau ada kesan ketidak puasan dari dia" Alfin mengangguk pelan menandakan ia mengerti dengan ucapan Andre, setelah itu Andre melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.

Suasana di dalam mobil Andre kini terdengar sunyi, nampaknya Alfin lebih memilih untuk diam. Sesekali Andre menoleh pada Alfin yang dari tadi tampak menatap kearah jendela pintu yang ada disebelahnya hingga tubuhnya membelakangi Andre.

"Lo sudah masuk perangkap gue Fin, dan gue gak akan lepasin lo begitu saja" ucap Andre dalam hati, ia tersenyum licik penuh kemenangan.

Tak berselang lama mobil Andre sampai di depan rumah yang sangat besar, berlantai dua dengan halaman rumah yang sangat luas. Andre segera membuka pintu mobilnya dan keluar, tak berselang lama pun Alfin mengikutinya. Pandangan Alfin tampak terkagum-kagum saat melihat rumah yang sangat besar, ditambah tanaman bunga yang tertata rapi membuat suasana rumah itu menjadi terkasan sangat indah.

Andre berjalan menuju pintu rumahnya, dan Alfin tampak berjalan di belakangnya. Saat sampai di pintu masuk Alfin dengan sigap menujukan matanya pada semua yang ada didalamnya, terlihat yang ada di dalamnya barang-barang yang sangat mahal. Andre tetap melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju lantai atas, dengan Alfin yang masih setia berjalan di belakangnya. Alfin masih belum puas dengan melihat semua isi rumah itu, hingga kakinya hapir saja terpeleset saat mengijak tangga yang belum sampai.

"Sekarang lo ganti baju dulu!" Andre membuka almarinya, memberikan celana boxer dan baju kaos tanpa lengan. Kebetulan tubuh mereka sama hingga ukuran baju mereka juga sama.

"Pake baju ini Ndre?" tanya Alfin sedikit risih.

"Iya memangnya kenapa?"

"Aku gak biasa Ndre pake baju yang tanpa lengan, jadi kesannya aneh aja"

"Udah.. Jangan bawel, justru dengan baju ini lo bakalan terlihat lebih sexi"

Alfin menerima baju itu, ia tak mau membuat Andre mulai emosi lagi seperti tadi. Hanya dengan handuk ia melepas celana seragam sekolahnya, kemudian mengantinya dengan boxer mini yang tampak terlihat sedikit ketat. Tentu saja membuat sebuah tonjolan di selakangan Alfin tak bisa di sembunyikan lagi.

"Aku boleh tanya sesuatu?" Alfin menoleh pada Andre yang yang sedang bersandar pada tempat tidurnya dengan kedua tangan yang sedang sibuk memainkan smartphone mahalnya.

"Tanya apa?"

"Kok rumah mu sepi Ndre, memangnya Mama sama Papa kamu pada kemana?"

"Mereka sudah meninggal Fin. Mama meninggal setelah melahirkan adik kandung gue, dan selang beberapa jam Adik kandung gue juga raib"

"Trus Papa kamu?"

Andre tampak menghela nafas panjang, lalu membenarkan posisi duduknya. "Dulu.. Gue orang yang sangat miskin Fin, Papa gue terkena serangan jantung, dan gue gak punya uang buat berobat Papa, hingga gue rela jual diri lalu setelah gue udah punya uang, gue bawa Papa kerumah sakit, tapi kata Dokter sayangnya gue terlambat bawa Papa hingga tak bisa di selamatkan lagi"

Seketika cerita Andre mengingatkan Alfin pada Ibunya, ia tak mau jika Ibunya bernasip sama dengan Papanya Andre yang tak bisa dirawat hanya gara-gara ia tak mempunyai uang untuk membayar biaya pihak rumah sakit.

"Msaf ya Ndre aku gak bermaksud membuat kamu sedih karna teringat masa lalu mu"

"Sudahlah lupakan saja, semua sudah menjadi masalalu gue yang amat pedih"

"Trus kamu dirumah sebesar ini tinggal sama siapa Ndre?"

"Gue, Mang Somat dan Bik Darmi. Mereka sudah lama kerja di rumah gue"

"Oh..." kata Alfin ber O panjang.

"Sudah siap?"

"Sudah Ndre"

"Ayo ikut gue!"

Andre berjalan keluar dari kamarnya, lalu ia menuju pintu belakang yang langsung terpampang kolam renang yang cukup luas. Airnya tampak terlihat sangat jernih hingga lantai bawahnya terlihat dengan jelas. Di sudut kolam terlihat orang dewasa yang sedang terbaring santai dengan kaca mata hitam, tubuhnya telanjang dada dan celana renang merah yang sangat ketat. Di atas meja sudah ada tiga orange jus yang tampak seperti sudah di siapkan.

"Halo... Om.." sapa Andre ramah.

"Hei Andre" Om Ridwan lalu bangkit dari tempat santainya.

"Sorry ya Om kalo sampe nunggu lama, biasa jalanan macet Om" ujar Andre berbohong. Andre lalu duduk di kursi bermeja bundar dengan payung diatasnya, namun Alfin yang tampak canggung masih berdiri disebalah Andre.

"Ini yang namanya Alfin, ya Ndre?"

"Iya, Om"

"Hei Alfin, duduk sini doang!" seru Om Ridwan ramah, seulas senyuman paksa tergambar di wajah Alfin.

"I.. Iya, Om" Alfin lalu duduk di antara Andre dan Om Ridwan.

"Wah ternyata benar yang dikatakan Andre" Om Ridwan melirik paha Alfin, ia menggigit bibir bawahnya dan terlihat senyum mesum di wajahnya. Alfin yang tampak risih oleh tatapan Om Ridwan menarik celana boxernya berharap bisa menutupi pahanya, namun harapannya tak terkabul, berulang kali ia menarik celana boxer itu pun masih saja kembali seperti semula saat ia melepaskan tanganya.

"Jangan takut anak manis" Om Ridwan memagang dagu Alfin, seketika membuat Alfin deg-degan tak menentu. "Sini duduk di pangkuan Om!" perinta Om Ridwan. Alfin menoleh Andre, Andre pun mengangguk. Alfin memejamkan matanya menghilangkan ketakutan di hatinya. Didalam hatinya berdoa agar dia baik-baik saja. Alfin lalu berdiri dari tempat duduknya dan berusaha menuruti pesan Andre yang tak boleh mengecewakan pelangganya. Didalam dadanya denyut jantungnya semakin kuat penuh ketakutan, ia belum terbiasa dengan hal seperti ini karna ini baru yang kedua kalinya.

*-*-*

Tok tok tok . . . !!!

"Masuk!" jawab Alfan dari dalam kamarnya, seketika pintu kamar Alfan terbuka dan sosok Reza muncul dari balik pintu. Reza perlahan berjalan dan tanpa mendapat perintah ia duduk di tepi ranjang tempat tidur Alfan. Alfan tampaknya tak menganggap kedatangan Reza, ia masih tampak sibuk bermain dengan ponselnya.

"Kak..." sapa Reza pelan. Reza menatap wajah Alfan yang masih tertuju pada ponselnya. "Reza tau Ka Alfan benci sama Reza gara-gara Papa selalu manjain Reza kan?" Alfan masih terdiam, sampai detik ini ia menganggap Reza tak pernah ada disebelahnya.

"Kak jawab Reza dong!" ujar Reza penuh harap, Alfan menoleh Reza, tatapannya sungguh tak bisa diartikan.

"Puas kan Za kamu sudah mendapatkan perhatian dari semuanya, termasuk Papa? Oke sekarang aku ngaku aku kalah, karna Papa lebih sayang sama kamu ketimbang sama aku. Enak ya pengen ini dibeliin, pengen itu dituruti udah kayak anak raja. Ingat ya Za, dirumah ini tuh anak mereka bukan cuma kamu, tapi masih ada aku, tapi aku heran kenapa Papa lebih sayang sa kamu. Apa... Karna nilai mu lebih bagus?"

"Kak sumpah Reza gapernah minta ini dan itu dari Papa, oke Reza akan balikin ke Papa semua barang yang sudah di kasih ke Reza, tapi Reza mohon Kak kita bisa akur kan? Kita itu saudara gak baik kalo terus-terusan berantem hanya gara-gar-"

"Cukup! Mendingan sekarang kamu keluar, Za!"

"Tapi Kak?"

"Keluar!!!"

Alfan berkata dengan lantang hingga membuat Reza tersentak kaget. Dengan mata berkaca-kaca Reza bangkit dari tempat duduknya dan perlahan meninggalkan kamar Alfan.

"Arrrghhhht..." Alfan mengerang kesal sambil kedua tangannya menarik rambunya dengan keras.

"Kenapa sih aku gak bisa terima kalo Papa lebih sayang sama Reza? Dan kenapa juga Papa gak pernah adil denganku? Aku juga pengen di perhatiin sama Papa, tapi... Ah brengsek!! Semuanya menyebalkan"

Alfan segera bangkit dari ranjangnya dan menuju almari mengambil sebuah jaket levis tebal lalu berjalan menuju keluar rumah. Keadaan dirumahnya membuatnya bosan hingga ia memilih keluar untuk mencari hiburan agar bisa mengobati rasa sakit hati yang menyusup di hatinya.

Laju kendaraanya yang santai hingga matanya bisa mendapati Alfin dan Andre yang baru saja keluar dari mini market. Alfan membuka kaca helm nya memastikan ia tak salah lihat, namun yang di lihatnya memang benar-benar Alfin dan sosok disebelahnya adalah orang yang ia ancam siang tadi di depan sekolah.

Alfan lalu meminggirkan sepeda motornya dan berhenti. Ia menutup kembali kaca helm nya menunggu mobil yang di tumpangi oleh Alfin berlalu. Tak lama mobil yang ia tunggu-tunggu pun melintas di sebalhnya, dengan cepat Alfan mengikutinya dan tak mau kehilangan jejak, walau ia sedang kesal dan marah dengan Alfin, namun ia diam-diam Alfan masih peduli dengan Alfin.

Mobil itu berhenti di salah satu gedung dengan parkiran yang luas, Alfin dan Andre segera masuk kedalam.

"Alfin ngapain disini? Ini kan tempat...? Jangan-jangan.....?" pikiran Alfan sudah menjuru ke hal yang tidak-tidak, ia sangat khawatir jika yang ia perkirakan ternyata benar. Dengan cepat Alfan membuka belm nya dan berjalan menuju pintu masuk, pandanganya langsung menyusuri semua orang-orang yang berada di dalamnya, tak lama pandangan matanya mendapati Alfin yang sedang bergelayutan manja di pangkuan Om-om. Hati Alfan terasa sangat perih, dadanya terasa sesak melihatnya, matanya berkaca-kaca tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat didepan matanya. Dengan penuh amarah Alfan mendekati Alfin yang sedang minum secangkir minuman keras dengan gelas yang di pegang oleh orang dewasa yang memangkunya.

Bersambung...
Percintaan Sedarah
Epesode 04
--------------------
By. Aby Anggara
==================

*-*-*

"Ini uang 10 juta hasil kerja lo" ujar Andre yang hanya memberikan separuhnya. Andre menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat yang lumayan tebal. Alfin mentap amplop itu, kemudian tatapannya berpindah pada wajah Andre. "Ambil, lah!" lanjut Andre. Alfin masih enggan menyambut uang yang dari tadi di ulurkan oleh Andre, hingga dengan paksa Andre yang meraih tangan kanan Alfin dan menaruhnya. "Dan ini hadiah tambahan dari gue" Andre kembali menaruh sebuah kotak di tangan Alfin. Alfin hanya diam tanpa sepatah kata, ia sangat ingin marah pada Andre yang menghancurkan hidup dan masa depannya, tapi di sisi lain ia tak bisa bermunafik jika sebenarnya ia juga sangat membutuhkan uang itu.

"Besok gue hubungi lo" ujar Andre menepuk bahu Alfin pelan lalu meningalkannya. Alfin masih berdiri didepan gedung itu, tatapanya kosong dan tampak seperti orang yang sedang bingung. Entah sudah berapa lama ia berdiri mematung disana, setelah sadar dari lamunannya, ia segera meninggalkan tempat itu.

Alfin terus berjalan, ia masih merasakan sakit di bagian tempat pembuangannya akibat perlakuan Om Irwan. Sesekali wajahnya meringis menahan rasa perih yang sampai saat ini belum juga hilang. Ia segera duduk dan membuka sebuah kota yang di beri oleh Andre tadi, dan saat membukanya, ia mendapati sebuah smart phone yang ukuran layarnya 5 inc dengan desain yang sangat menarik. Alfin lalu menaruh smart phone itu di saku celananya dan membuang kotaknya. Ia kembali berjalan menghadang sebuah taxi yang akan mengantarkan pulang kerumahnya.

Alfin melambailkan tangannya pada sebuah mobil taxi yang bewarna putih, lalu mobil itu pun berhenti.

"Alfin..?" panggil seseorang tiba-tiba. Alfin segera menoleh pada seseorang yang memanggil namanya, dan ia tersenyum saat melihat Alfan yang kini datang menemuinya.

"Maaf Pak gak jadi" ujar Alfin pada sopir taksi itu.

"Yasudah tidak apa-apa" mobil itu kemudian berlalu meninggalkan Alfin yang kini masih berdiri di pinggir jalan. Alfan dengan segera menghampiri Alfin.

"Ka Alfan kok tau kalo Alfin ada di sini?" tanya Alfin heran.

"Sebenernya dari jam istirahat aku cari kamu Fin, tapi gak ada. Di kelas juga gak ada dan aku kerumahmu juga kata Nenek kamu belum pulang jadi aku terus muter-muter cari kamu. Kenapa kamu bolos sekolah Fin? Mana sampai malam gini belum pulang" jawab Alfan panjang lebar.

"Ceriyanya panjang Kak, nanti saja ya ceritanya?"

"Yasudah, kamu pasti belum makan ya? Temenin Ka Al makan ya?"

"Tapi aku ingin pulang sekarang Kak, kasian Ibu dan Nenek pasti nyariin Alfin"

"Oke, kita langsung pulang kalo gitu" Alfin mengangguk. "Pake swaiter ini Fin, nanti kamu sakit kalo kedinginan" ujar Alfan perhatian. Ia melepas swaiternya lalu memberikan pada Alfin. Dengan ragu Alfin menerimanya lalu memakainya.

"Aw..." teriak Alfin saat ia melangkahkan kaki ke atas jok sepeda motor Alfan. Ia pun kembali menurunkan kakinya.

"Kamu kenapa Fin?" tanya Alfan yang sedikit panik. Wajah Alfin terlihat meringis menahan rasa sakit di bagian pembuangannya.

"Aku gak papa kok Kak" jawabnya yang pura-pura baik-baik saja. Alfin kembali melangkahkan kakinya perlahan, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Alfin berusaha tak mengeluarkan suaranya karna ia tak mau jika Alfan sampai tau yang sebenarnya terjadi pada dirinya. "Yuk Kak!" lanjutnya.

Alfan lalu melajukan kendaraanya dan menuju rumah Alfin. Selama dalam perjalanan, hati Alfan terasa sangat senang karna mendapati Alfin baik-baik saja, padahal sejak tadi siang ia sangat panik karna tak mendapatkan kabar dari Alfin.

Kini mereka telah sampai dirumah Alfin, suasananya terlihat sangat sepi dan tak ada suara dari dalam sana.

"Ka Al masuk dulu yuk?" ujar Alfin penuh harap.

Alfan melihat jam di tangannya. "Lain kali saja ya Fin, udah melem"

"Sesekali mampir dong di pondoknya Alfin" rintihnya.

"Iya, nanti kalo ada waktu luang pasti mampir kok. Oya nih Ka Al punya sesuatu buat kamu" Alfan mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas kecil yang ia pakai sejak tadi.

"Hp..?" ujar Alfin kaget karna tak menyangka Alfan akan memberi sebuah ponsel padanya.

"Ambillah!" Alfan mengulurkan kotak yang memang tak terbungkus oleh kertas apapun.

"Tapi kenapa Kakak ngasih aku barang semahal ini? Ini pasti mahal kan?"

"Ka Al gak mau kehilangan kabar lagi seperti tadi siang, jadi dengan hp ini Kakak selalu tau kabar kamu, Fin"

"Tapi bener ya ini gak ngerepotin?" ucap Alfin meyakinkan.

"Iya, percaya deh sama Kakak!"

Alfin tersenyum dan perlahan ia menerima kotak itu. Alfin memandanginya, didalam hatinya merasa sangat bahagia.

"Yasudah kalo gitu Ka Al pulang dulu ya?"

"Hati-hati di jalan, ya Kak!" dengan cepat Alfan memutari halaman rumah Alfin dan meninggalkannya.

"Nek? Nenek...?" seru Alfin dengan suara agak keras. Namun sepertinya ia belum mendengar jawaban dari Neneknya."Nek.....?"

"Iya, iya... Tunggu!" Alfin tersenyum saat ia mendapat jawaban dari dalam rumahnya.

"Ya ampun Alfin.. Dari mana saja? Ibumu dari tadi siang mencemaskanmu"

"Maaf Nek, Alfin pulang telat gak bilang-bilang" jawabnya sambil menyalami tangan Neneknya.

"Yasudah ayo masu!"

Dengan semangat Alfin segera menuju kamar Ibunya, saat tiba di pintu kamar Ibunya, ia diam tertegun terlihat sangat menderita dengan keadaan Ibunya yang masih kesakitan memegangi perutnya. Dengan cepat Ia menghampiri Ibunya dan duduk di sampingnya.

"Perut Ibu masih sakit?" ujar Alfin khawatir. Ibunya mengangguk dengan mata yang masih terpejam karna menahan rasa sakit. "Kita ke rumah sakit saja ya, Buk? Tunggu sebentar!" Alfin lalu berlari keluar rumah dan dengan rasa panik ia di pinggir jalan menunggu sebuah taxi. Tak berapa lama ia mendapatkannya dan ia kembali kerumahnya.

"Nek ayo bawa Ibu kerumah sakit sekarang" ujarnya panik.

"Tapi kan kita gak punya uang, Fin"

"Sudah masalah uang biar Alfin yang urus Nek"

Alfin dan Neneknya segera memapah Ibunya menuju taxi dan segera menuju ke rumah sakit.

"Pak agak cepat sedikit ya Pak, kasian Ibu saya!"

"I.. Iya sabar ya Dek, ini baru lampu hijau jadi masih antri kendaraan yang baru saja mulai berjalan" Alfin sudah merasa tidak sabar, sesekali ia menengokan kepalanya kedepan melihat padatnya kendaraan yang baru saja mulai berjalan. Tak lama daru itu akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang lumayan besar. Para petugas di rumah sakit itu segera membantu membawa Ibunya Alfin keruang UGD. Sekarang Alfin dan Neneknya menunggu di depan ruangan itu, dengan Alfin yang sibuk mondar-mandir di depan pintu dimana Ibunya tangani.

"Ya Tuhan... Semoga Ibu akan baik-baik saja" ucapnya pelan. Terasa ponselnya bergetar di saku celana Alfin dan dengan cepat ia merogohnya. Terlihat nama 'Andre' di layar ponsel itu, Alfin berfikir sebentar lalu berjalan menjauh dari Neneknya dan segera mengangkatnya.

"Ya Ndre ada apa?" ujarnya tanpa basa-basi.

"Oh oh... Santai Fin, jangan dingin kek gitu juga kali"

"Aku gak ada waktu Ndre kalo kamu cuma mau main-main, aku masih ada urusan yang lebih penting!!!" ucapan Alfin terdengar sangat tak bersahabat, ia masih sedikit kesal dengan sikap Andre yang menjualnya ke Om-om.

"Santi Fin...! Gue ada kabar bagus buat lo"

"Apa?"

"Lo tau gak, setelah gue pulang tadi, buaaayakkkk banget yan nelpon gue dan nanyain tentang lo, dan banyak yang mau bayar lo dengan harga tinggi"

"Kamu gila ya Ndre? Kamu gak tau kan bagai mana rasa sakit yang ku alami? Sampai sekarang saja masih belum hilang, trus kamu mau jual aku lagi? Maaf aku gak bisa Ndre"

Alfin segera matikan ponselnya secara sepihak dan kembali mendekati pintu yang masih saja tertutup, ia terlihat sangat gelisah dan tak bisa menenangkan dirinya. Saat pintu terlihat terbukan dan salah seorang Dokter keluar dari ruangan itu, dengan cepat Alfin menghampirinya dan di ikuti oleh Neneknya yang ikut bangkit dari tempat duduknya.

"Gimana Ibu saya Dok?" tanya Alfin tak sabar. Raut wajahnya sangat terlihat penuh harap agar Ibunya baik-baik saja.

"Begini, Ibu Anda mengalami usus buntu dan jalan satu-satunya harus segera di operasi, karna kalau tidak, usunya bisah pecah dan berakibat dangat fatal"

"Operasi Dok?" ulangnya tak percaya. Dokter mengangguk pelan dan pandangan Alfin terlihat putus asa menatap kearah Neneknya. "Lakukan saja yang terbaik Dok buat Ibu saya!"

"Baiklah, kalo begitu silahkan selesaikan administrasinya dulu, Permisi" Dokter itu lalu meninggalkan Alfin dan Neneknya, Alfin masih berdiri terpaku tak percaya dengan apa yang terjadi pada Ibunya. Dengan perlahan ia duduk terlihat putus asa.

"Sesusah inikah menjalani hidup? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasi Ibuk? Untuk operasi pasti biayanya mahal. Uang yang sekarang mana cukup buat bayar biaya operasi Ibuk" ujarnya dalam hati. Wajah Alfin terlihat sangat bingung dan pandanganya kosong. "Andre! Ya, sepertinya cuma dia yang bisa bantu aku"

Alfin terlihat kembali bersemangat, lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana Fin?" ujar Neneknya.

"Tunggu bentar ya Nek, Alfin mau ke toilet dulu"

Alfin lalu pergi menjauh dari Neneknya, meraih ponse dan melakukan panggilan pada nomor yang bertuliskan nama Andre yang sudah di simpan oleh Andre sendiri. Terdengar nada tunggu yang sangat khas, dengan rasa tak sabar Alfin berharap Andre segera menjawab panggilannya.

"Ya halo..."

"Ndre...?"

"Ada apa, Fin?"

Hening... Alfin terdiam tak melanjutkan perkataanya.

Andre menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat layar ponselnya yang ternyata masih terhubung pada Alfin. "Halo??? Fin? Kok diem, ada apa?"

"Aku... Aku lagi butuh uang banyak Ndre, aku terima tawaranmu tadi"

"Gue udah duga, lo pasti bakal hubungi gue lagi. Oke besok gue jemput lo dan kirim saja alamat rumah lo di mana!"

"Baik, Ndre" timpal Alfin. Panggilan terputus, tatapan Alfin terlihat kosong. dengan sangat perlahan ia menjaukan ponsel dari telinganya. "Maafin Alfin Buk, Alfin lakuin semua ini buat Ibuk"

*-*-*

.

                                 = = =

.

Di pagi yang masih terlihat gelap, Alfin baru saja sampai dirumahnya setelah semalaman menunggu Ibunya dirumah sakit. Wajahnya terlihat sangat lelah karena kurang istirahat. Ia berjalan pelan munuju teras rumahnya dan menghampiri kursi yang ada di dekat pintu rumahnya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya sejenak berharap dapat mengusir rasa kantuk dan lelah yang saat ini ia rasakan.

Alfin menghembuskan nafas dengan kasar, tangannya mengambil dua buah ponsel dari saku celananya. Ia memegang ponsel itu di masing-masing tangannya. Terlihat smart phone yang diberi oleh Andre berukuran lebih besar dan elegan. Alfin kembali memandangi secara bergantian dan ia tersenyum saat melihat smart phone bewarna hitam yang ada di tangan kanannya. Smart phone itu adalah pemberian dari Alfan, walau dilihat dari fisik tak semenarik pemberian Andre, tapi Alfin terlihat lebih menyukai pemberian dari Alfan.

"Kok Ka Alfan baik banget ya, sampe mau beli in aku hp segala?" tanya Alfin pada dirinya sendiri, namun walau ia tak mendapat jawaban, tapi ia merasa senang karna masih ada orang yang perhatian pada dirinya.

Smart phone yang berada di tangan kanan Alfin tiba-tiba bergetar, membuat Alfin kaget dan tersadar dari lamunannya. Tertera nama Alfan di layar ponselnya dan dengan semangat Alfin menjawab panggilan masuknya.

"Pagi Ka, Al..?"

"Pagi Fin"

"Ka Al bikin aku kaget loh, oya ada apa Kak pagi-pagi gini nelpon?"

"Gak papa cuma mau mastiian aja kok, em... Tar jam setengah tuju Ka Al jemput kamu ya?"

"Gak ngerepotin ni Kak?"

"Udah tenang saja, oya tar malem jalan yuk Fin?"

Alfin terlihat berfikir sebentar. "Em... Keknya gak bisa deh Kak"

"Oh.. yaudah gak papa, Kakak mau mandi dulu ya, kamu juga pasti belum mandi kan?"

"Ih Ka, Al tau banget kalo aku belum mandi"

"Tau lah kan baunya sampe sini"

"Is Ka, Al masa iya sampe sana?"

"Engga-nggak, becanda kok, yaudah kalo gitu sampe nanti ya Fin"

Alfin tersenyum saat Alfan baru saja menutup panggilannya, untuk saat ini ia bisa melupakan dari masalah yang sedang melanda Ibu dan dirinya. Ia kemudian masuk kedalam rumahnya dan bersiap-siap untuk mandi.

Suasana pagi di rumah Alfan terlihat sangat sepi seperti tak berpenghuni, biasanya Mamanya selalu teriak menyuruh anak-anaknya sarapan, tapi berbeda dengan pagi ini, yang sepertinya sengaja tak ada yang di bangunkan keduanya. Alfan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya segera turun kebawah untuk mengisi perutnya.

"Pagi Ma, Pa" sapa Alfan ramah.

"Pagi juga sayang" Alfan duduk dikursi yang berada di depan Mamanya.

"Loh Adikmu mana Fan, kok gak ikut sarapan?" tanya Mamanya perhatian.

"Ya mana aku tau lah Ma, masih tidur kali" jawab Alfan dengan malas, ia kemudian meraih susu yang sudah berada di depannya.

"Coba liat Fan, ajakin sarapan gih" perintah Mamanya. Nampaknya Melinda ingin Membuat mereka terlihat akrab hingga sengaja membuat keduanya berkomunikasi langsung.

"Tapi, Ma-"

"Fan....!!!" tegur Mamanya lembut. Sepertinya Alfan sedang tak ingin berdebat dangan Mamanya hingga ia memilih mengalah. Dengan malas ia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar atas. Saat berada di depan pintu kamar Reza, Alfan mengetuk pintu itu, dan tak lama Reza keluar dengan tangan yang memegangi dasi yang belum terpasang dengan benar.

"Di tunggu di ruang makan!" ujar Alfan acuh yang lalu membalikan tubuhnya dan meninggalkan Reza.

"Kak...?" Alfan yang sudah berada di anak tangga pertama kembali membalikan tubuhnya dan menoleh Reza yang memanggilnya.
"Ada apa lagi?"

"Bantuin pasang dasi dong Kak, tumben dasinya susah amat dipasang" pinta Reza dengan wajah memelas, tatapannya terlihat sayu. Alfan pun menatap Reza dengan tajam.

"Itu bukan urusan ku, lagian jadi anak manja amat sih" dengan tanpa mempedulikan Reza, Alfan menuruni anak tangga dengan setengah berlari, tak lama ia sampai di ruangan makan kemudian memakai tasnya yang biasa ia taruh di kursi tempat duduknya.

"Loh, gak jadi sarapan Fan?" tanya Papanya.

"Gak Pa, aku sarapan di sekolah saja"

"Loh kenapa Fin?" sambung Mamanya. "Trus Reza mana?"

"Bentar lagi juga dia turun kok, yaudah aku berangkat dulu ya Ma, Pa" tanpa mau mendengar ucapan Mama dan Papanya, Alfan langsung saja meninggalkan ruangan itu dan keluar rumah.

*-*-*

Arlan baru saja tiba dirumah Reza, ia segera turun dari mobil hitamnya. Wajahnya sedikit membungkuk saat wajahnya berkaca di spion mobilnya memastikan penampilanya sudah benar-benar terlihat oke.

Dengan penuh semangat ia berjalan menuju pintu rumah Reza yang masih tertutup rapat. Saat ia sampai di depan pintu itu, seketika pintu rumah itu terbuka dan terlihat Alfan yang baru saja keluar dari dalam rumahnya.

"Mau kemana Fan, rapi amat?" tanya Arlan ingin tau.

"Biasalah, kayak yang baru kenal aja kamu Ar, aku duluan ya?"

"Eh tunggu Fan"

"Ada apa?" ujar Alfan yang membalikan tubuhnya.

"Ada yang mau aku bicarakan, santai aja napa, duduk dulu!"

Alfan kemudian berjalan dan menduduki kursi yang berada di teras rumahnya, kemudian Arlan duduk di sebelah kanannya.

"Mau ngomong apa, Ar?" tanya Alfan menoleh pada Arlan.

"Em... Begini Fan, bukannya aku mau ikut campur, tapi aku cuma mau tau kenapa kamu begitu dingiannya sama Reza? Memangnya dia punya salah apa sama kamu Fan? Jujur sih, aku kasihan liat Reza yang selalu sedih. Dia Adik kamu Fan, dan dia butuh kamu, butuh nasehat dan arahan dari Kakaknya"

"Sudahlah Ar gak usah dipermasalahkan, kalo cuma mau ngomongin masalah ini aku gapunya waktu, aku ada urusan" Alfan kemudian berdiri dari tempat duduknya dan meninggalkan Arlan yang masih duduk di kursi itu, sepertinya Alfan memang tak mau membahasnya jika sudah berhubungan dengan Reza.

"Fan tunggu, Fan!"

Alfan sepertinya sudah tak mendengar suara Arlan karna suara sepeda motornya yang terdengar sudah menyala, tak lama Alfan meninggalkan halaman rumahnya.

Malam ini Alfan mengendarai sepeda motornya menuju rumah Alfin. Wajahnya tersenyum bahagia dan tak sabar ingin segera sampai di rumah Alfin.
Walau pagi tadi Alfin menolak ajakan Alfan, tapi malam ini Alfan tetap ingin bersama dengan Alfin walau mereka hanya akan bersama dirumahnya saja. Alfan berhenti menghampiri pedagang yang menjual nasi goreng dan ia membeli 4 bungkus nasi goreng untuk ia makan bersama di rumah Alfin nanti. Setelah pesananya selesai, ia segera membayarnya dan segera melanjutkan kembali perjalanannya. Tak lamapun ia sudah sampai di depan rumah Alfin. Ia memarkirkan sepeda motornya lalu tersenyum sambil memandangi pintu rumah yang masih tertutup dengan rapat. Alfan kemudian berjalan menuju rumah Alfin dan mengetuknya, namun ia tampak kecewa karna tak mendapati seseorang dirumah itu. Alfan melirik jam di tangan kirinya, dan akhirnya ia memutuskan untuk duduk di kursi teras sembari menunggu pemilik rumah itu pulang.

Alfan tampak semakin gelisah saat sudah dua jam ia menunggu tetapi belum ada tanda-tanda sang pemilik rumah itu datang, namun tak lama ada sinar lampu yang sangat terang yang semakin lama semakin mendekat kearahnya. Sinar itu adalah lampu mobil mewah yang berhenti tepat didepan rumah Alfin. Tak lama pintu mobil itupun terbuka dan sosok seorang laki-laki terlihat sangat kaget saat melihat Alfan sudah berada di teras rumah itu.

Bersambung...
Percintaan Sedarah
Epesode 03
------------
By. Aby Anggara
====================

*-*-*

Suasana pagi itu terlihat sangat cerah, mentari pagi telah bersinar terlihat sangat indah dengan sinar kuning keemasannya. Pagi ini Alfin terlihat sedang sibuk membersihkan rumahnya sebelum berangkat ke sekolah. Semenjak Ibunya mengalami sakit, Alfin sudah mulai terbiasa terlibat dengan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi pekerjaan seorang wanita. Sebenarnya sang Nenek sudah sering melarangnya agar ia tak usah repot-repot membersihkan rumah atau yang lainya, namun ia tak tega jika semua pekerjaan rumah di bebankan pada Neneknya.

Tin...!!!

Suara klakson motor terdengar panjang dan sangat nyaring di depan rumah Alfin, ia segera meletakan sapunya dan berjalan menuju pintu depan. Ia tersenyum saat melihat sosok Alfan yang sudah berada di depan rumahnya.

"Ka Alfan cepat amat sudah sampai sini?" tanya Alfin keheranan, karna ia tak menyangka jika Alfan akan datang lagi kerumahnya.

"Jadi gak boleh nih, ngajakin berangkat Sekolah bareng?"

"Bukan gitu Kak, tapi kan takutnya ngerepotin Kakak"

"Udah tenang saja kok, kalo Kakak ngerasa direpotin, ngapain coba pagi-pagi udah sampai sini?"

"Yaudadeh kalo gitu, bentar ya Kak, Alfin mau ambil sepatu dulu?" Alfan mengangguk dan Alfin segera berjalan menuju kamar Ibunya.

"Alfin berangkat sekolah dulu ya, Buk?" ujar Alfin menyalami tangan Ibunya.

"Hati-hati ya Nak!"

"Iya Buk. Nek titip Ibuk ya?" Alfinpun menyalami Neneknya yang ada di sebelah Ibunya.

"Iya Fin, belajar yang bener ya!"

Alfin segera keluar kamar Ibunya dan menyambar sepatunya kemudian dengan cepat memakainya saat berada di depan pintu rumahnya.

Alfin segera duduk di belakang Alfan dan mereka berangkat bersama. Saat telah sampai di sekolah Alfin segera turun dan tersenyum bahagia.

"Em.. Ka Al, boleh gak minta nomor ponselnya Alfin?" tanya Alfan yang tak mau terlupakan lagi.

"Maaf Kak bukanya gak mau ngasih, tapi hp nya Alfin baru di jual beberapa hari yang lalu" jawabnya jujur.

"Oh.. Yasudah kalo gitu"

"Alfin kekelas dulu ya Kak?"

"Oke, sampai nanti"

Alfin segera menuju kelasnya, baru saja menaruhkan tasnya, ada seorang laki-laki yang mendekatinya.

"Fin, kamu di panggil Pak Zumar di tunggu di ruang guru" ujar lelaki berambut ikal dan berkulit hitam yang belum ia kenal secara akrab.

"Iya saya kesana, makasih ya?" laki-laki itu mengangguk dan Alfin langsung saja menuju ruang Guru. Dengan rasa cemas, takut dan juga deg-degan bercampur saat ia berjalan menuju ruang Guru, karna ia juga tak tau apa sebabnya ia bisa sampai terpanggil.

"Selamat pagi Pak?" sapa Alfin ramah saat baru saja memasuki ruangan itu.

"Pagi, silahkan duduk!"

"Maaf Pak, apa benar Bapak memanggil saya?"

"Iya Fin. Em... Begini, kamu kan siswa baru disini, jadi wajib mempunyai seragam olah raga, batik dan juga seragam muslim"

"Gitu ya Pak, kira-kira aku harus bayar berapa ya Pak?"

"Total semuanya 550.000,- Fin, tapi gak harus sekali gus kok, kamu boleh bayar setengahnya aja dulu kalo keberatan" mata Alfin membulat saat mendengar jumlah yang harus ia bayar, mana mungkin ia bisa membayar sebanyak itu, untuk membeli obat Ibunya saja ia tak mempunyai uang.

"Baiklah Pak, nanti aku usahain" Alfin kemudian kembali kekelasnya, kepalanya terasa sangat pusing memikirkan biaya yang harus ia keluarkan. Di tambah lagi perutnya terasa sakit karna ia juga belum sarapan dari rumahnya. Alfin kembali duduk di kursinya yang saat ini Reza sudah ada di kursi sebelahnya.

"Kamu kenapa Fin?" tanya Reza perhatian saat melihat Alfin yang sedang memegangi perutnya.

"Gak papa kok Za, cuma sedikit mulas doang"

"Kamu lapar?"

"Bukan lapar Za, tapi mulas saja mungkin karna tadi aku makan terlalu pedas. Yaudah aku ke toilet dulu ya Za?" jawabnya berbohong.

"Iya" ujar Reza sambil mengerutkan keningnya dan memandangi Alfin yang jalan terburu-buru dan menghilang di balik pintu.

Alfin kemudian keluar dari kelasnya dan berjalan menuju bangku yang terletak tak jauh dari Kantin. Ia duduk sambil melamun dengan kepala yang sibuk memikirkan sesuatu.

"Kenapa cobaan hidupku begitu berat ya Allah? Aku bingung harus berbuat apa. Ibuk butuh uang buat berobat, sedangkan aku butuh uang juga buat bayar seragam sekolahku. Mana keperluan dirumah juga habis sampai-sampai Nenek tidak membuat sarapan pagi ini. Astaghfirullah kenapa semenjak di tinggal Ayah semuanya jadi gini? Aku sungguh merasa tak berguna, laki-laki macam apa aku ini yang tak mampu merawat Ibu dan Nenek? Apa aku berhenti sekolah saja dan bekerja supaya dapat uang buat berobat Ibuk? Toh aku hanya anak miskin yang tak layak bersekolah?"

Beban yang sangat berat yang harus di pikul seorang diri itu membuat Alfin menitihkan air matanya, ia merasa cobaan ini terlalu berat untuknya. Bagai mana tidak, selain menjadi anak yatim, Alfin saat ini harus menjadi tulang punggung menggantikan Ibunya yang sedang sakit. Selain itu ia juga harus bisa membagi waktu belajar dan tugas rumah yang lainnya.

Tak selamanya hidup seseorang akan bahagia, tak selamanya mereka selalu tertawa, dan tak selamanya keberuntungan berpihak pada semua orang. Sedih, bingung dan juga ketakutan yang dirasakan Alfin saat ini, ia sering mengeluh setelah di tinggal Ayahnya. Ayah yang dahulu selalu mengantarkannya ke Sekolah, Ayah yang selalu memanjakannya sekalipun rasa lelah saat baru pulang dari kerjanya. Namun semuanya saat ini tinggal kenangan yang tak pernah terlupakan olehnya, sosok Ayah yang selalu bertanggung jawab walau hidup dalam kesederhanaan.

Alfin berjalan keluar pintu gerbang sekolahnya yang belum tertutup karna memang jam pelajaran belum di mulai. Ia menaiki sebuah angkot menuju pemakaman umum dimana Ayahnya di makamkan. Sesampainya di sana, ia segera menuju pemakaman Ayahnya. Mengusap batu nisan yang bertuliskan nama seseorang yang selalu mengajarkannya kesabaran. Air matanya jatuh menetes di pemakaman Ayahnya, Alfin menangis tertahan tanpa suara.

"Yah...? Apa Ayah bahagia di sana hingga tak mau berkumpul lagi sama Alfin, Mama dan juga Nenek? Apa Ayah sudah lupa sama kita semua? Alfin sangat rindu sama Ayah. Sudah beberapa hari Ibu sakit dan tak kunjung sembuh Yah. Alfin bingung gak punya uang buat berobat Ibuk, dan maafin Alfin jika Alfin gak bisa jagain Ibu dengan baik Yah. Ayah dengerin Alfin gak sih Yah? Alfin harus bagai mana Yah?"

Wajah Alfin tertunduk tak bersemangat saat ia tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanya, ia kembali mengangkat kepalanya menatap gundukan tanah yang saat ini berada di depannya. Bibirnya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, namun lidahnya sudah terasa keluh dan tak lagi mampu mengatakan semua itu. Ia kemudia beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan mundur menjauh dari makam Ayahnya. Setelah beberapa langkah, ia memutar tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar. Namun sebelum ia benar-benar meninggalkan Area pemakaman itu, sekali lagi ia menoleh kebelakang dan memandangi gundukan tanah yang sudah beberapa tahun menimbun jasad Ayahnya itu. Ia tersenyum walau dalam tangisannya, lalu ia benar-benar meninggalkan area pemakaman itu.

Alfin merogoh saku celananya, jemari tangannya tak lagi menemukan sejumlah uang di dalam saku celananya. Ia menghembuskan nafas kasar saat mengingat ia sudah tak mempunyai uang sepeserpun. Saat ini ia hanya bisa berjalan kaki, karna sudah tak mempunyai uang untuk membayar jasa angkot. Ia terus berjalan tanpa tujuan, menusuri kota yang sangat padat penduduknya. Saat terasa lelah ia duduk di sebuah kursi yang terbuat dari papan, matanya tertuju pada sebuah gudang yang didepannya terdapat sebuah mobil truk yang sedang mombongkar muatannya. Alfin tersenyum saat tiba-tiba mendapatkan sebuah ide, ia berjalan mendekati gudang itu.

"Ayo cepat sedikit suda mau hujan!" seru seseorang yang hanya mengawasi orang-orang yang sedang memikul karung dari mobil menuju gudang. Sontak semua pengangkut beras itu bekerja lebih cepat lagi setelah mendengar seruan pengawasnya.

"Maaf Pak, saya boleh ikut kerja disini?" tanya Alfin pada seseorang yang ia kira pasti mandor disini. Alfin masih menatap wajah laki-laki dewasa itu dengan penuh harap. Laki-laki dewasa itu menatap Alfin dari atas hingga kebawah, ia menggelengkan kepala heran saat melihat Alfin yang masih memakai seragam sekolahnya.

"Hahahaha" ujarnya menimpali pertanyaan Alfin.

"Kenapa Pak?" tanya Alfin yang tak mengetahui maksud dari tawanya.

"Mau kerja disisini, gak salah? Badan kurus dan masih anak-anak. Mana kuat mengangkat beras yang beratnya pasti melebihi berat badan kamu" ejek laki-laki itu. "Kalo disuruh sekolah ya mending sekolah saja, kasian orang tua yang sudah membiayaimu" lanjutnya.

"Tapi Pak, saya benar-bener lagi butuh-"

"Ah... Sudah! Jangan ganggu saya kerja!" ujarnya memotong pembicaraan Alfin yang belum selesai. Alfin tiba-tiba terdiam dan tak berani lagi menimpali perkataan laki-laki itu. Ia kemudian menjauh dan kembali berjalan mengikuti langkah kakinya yang tak tau harus kemana.

Entah sudah berapa lama Alfin berjalan, bahkan ia sudah tak tau lagi saat ini berada di mana. Hari sudah muli gelap dan ia duduk didepan sebuah ruko yang sudah di tutup oleh pemiliknya. Ia memegangi perutnya yang terasa sangat pedih karna seharian ini sama sekali belum terisi makanan. Tiba-tiba orang yang lewat didepnnya menjatuhkan uang lima ribu rupiah tepat didepannya. Alfin membulatkan matanya dan dengan cepat ia mengambil uang itu.

"Hey..?" panggil Alfin pada seseorang yang telah memberi uang padanya. Orang itu menoleh Alfin, lalu Alfin berlari kecil menuju laki-laki itu. "Maaf saya bukan pengemis" ujar Alfin sembari mengembalikan uang yang tadi di campakkan didepannya.

"Maaf saya tidak tahu, saya kira kamu pengemis"

"Yasudah tidak apa-apa" Alfin kemudian meninggalkan laki-laki itu dan kembali lagi berjalan menyusuri keramaian kota. Tubuhnya terasa sangat lemas hingga untuk berjalanpun ia sudah benar-benar tak sanggup lagi. Ia kembali duduk di sebuah kursi yang terletak di depan ruko yang berbeda, dan ia semakin kencang memegangi perutnya yang terasa seperti ditusuk-tusuk oleh jarum.

Alfin tercengang saat ada sebuah tangan yang memberinya sebungkus roti tepat di depan wajahnya, ia tak langsung mengambil roti itu, melainkan menoleh wajah pemilik tangan yang sedang berada di depannya. Seorang laki-laki muda berwajah tampan yang kira-kira usianya sama dengannya dan berambut lurus tapi sedikut pirang yang sedang tersenyum kearahnya.

"Ambil saja, gue tau lo sedang kelaparan kan" kata laki-laki itu.

"Tapi kenapa kamu baik dengan saya, padahal kita belum saling kenal?" tanya Alfin masih kebingungan. Laki-laki itu meraih tangan Alfin dan menaruh sebungkus roti yang dari tadi ia acungkan.

"Baik pada orang tak harus kenal dulu kan?" jawabnya enteng.

"Iya juga sih, makasih ya"

"Tidak usah berterima kasih.. Ini minumnya!" laki-laki itu kembali memberikan sebotol air meneral pada Alfin.

"Sekali lagi terima kasih, namaku Alfin"

"Baiklah, nama gue Andre. Sepertinya lo lagi dalam masalah?" tanyanya lagi. Alfin menundukkan kelpalanya dan ia kembali teringat dengan kesedihan yang sedang melanda keluarganya.

"Iya.. Aku memang sedang dalam masalah"

"Ceritakan saja, siapa tau gue bisa bantu!"

Alfin kembali menundukan kepala, menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan perlahan.

"Sebenernya aku lagi butuh uang buat keperluan keluarga dan juga biaya sekolahku"

"Gue bisa bantu lo buat mendapatkan uang dengan mudah"

"Benarkah, kamu gak bohong kan?" ujar Alfin antusias. Alfin masih menatap wajah Andre tak sabar mendengar jawaban darinya.

"Gue serius" singkatnya.

"Memangnya pekerjaanya apa?"

"Sudah.. Makan saja dulu, nanti gue bakalan ajak lo kesana"

Denga penuh semangat Alfin segera memakan sebungkus roti yang dari tadi sudah di tangannya, berharap setelah ini ia tak merasa kelaparan lagi.

Alfin kemudian berjalan mengikuti Andre menuju mobilnya, mereka segera menaiki mobil putih yang terletak di pinggir jalan tak jauh dari tempat mereka bertemu tadi. Andre segera melajukan mobilnya kesebuah tempat. Sesampainya di sana, mereka turun dan memasuki sebuah gedung. Saat baru saja tiba di pintu masuk, pandangan Alfin segera menyapu semua isi di ruangan itu, pemandangan yang seumur-umur belum pernah ia lihat. Ruangan yang semua isinya adalah orang laki-laki. Ia tak dapat melihat semua wajah orang-orang yang ada di ruangan itu, karna diruangan itu cahayanya sedikit redup dan dihiasi dengan lampu berkelap-kelip dengan indahnya.

"Tunggu di sini ya!" ujar Andre lalu meninggalkan Alfin sendirian. Andre menghampiri seorang laki-laki dewasa yang sedang duduk sendirian dengan kepala mengangguk-angguk mengikuti irama musik.

"Hei.. Sendirian saja ni Om?"

"Hei Andre, iya nih lagi kesepian"

"Mau ditemenin gak? Ada barang baru Om, brondong masih perjaka loh" ujar Andre berbisik di telinga laki-laki itu.

"Beneran? Mana?" tanya laki-laki itu penuh semangat.

"Andre mau denger harga dulu dong Om"

"Mau berapa, 5 juta? Atau 10 juta?"

"Ets.. Kalo Om cuma brani segitu, Andre bakalan kasih ke yang lain loh"

"Liat dulu dong, baru Om brani kasih harga tinggi"

"Coba liat cowok yang pake seragam sekolah di sana!" ujar Andre menoleh Alfin. Laki-laki dewasa itu lalu tersenyum nakal dengan menggigit bibir bawahnya.

"20 juta" ucap laki-laki itu dengan mantap.

"Diel" Andre menyalami tangan laki-laki itu kemudian meninggalkannya dan kembali menghampiri Alfin.

"Yuk ikut gue!" ujar Andre. Dengan polosnya Alfin kemudian berjalan mengekor di belakang Andre.

"Halo anak manis.." sapa ramah laki-laki dewasa itu pada Alfin saat mereka baru saja datang di mejanya.

"Kita mau ngapain disini Ndre?" tanya Alfin polos yang memang tak mengerti maksud Andre.

"Sudah tenang saja, nanti lo juga bakalan tau kok. Gue tinggal dulu ya, disini saja temenin Om Irwan!"

"Tapi aku takut disini Ndre" Andre tak menggubris ucapak Alfin, ia tetap saja pergi meninggalkan Alfin. "Tunggu Ndre aku ikut" ujar Alfin lalu ia bangkit dari tempat duduknya.

"Mau kemana anak manis? Disini saja!" ujar Om Irwan sambil memegang tangan Alfin yang sudah beranjak dari tempat duduknya.

Bersambung...
Percintaan Sedarah
Epesode 02
-----------
By. Aby Anggara
======================

*-*-*

Alfan dan Arlan sudah bersahabat sejak lama, kini mereka bersekolah di salah satu SMA dan sedang menempuh kelas tiga smester awal. Sedangkan Reza dan Alfin masih di kelas satu SMA.

Alfan masih memperhatikan laki-laki itu, dengan baju yang sedikit kusut dan warna yang agak kekuningan. Saat ini, laki-laki itu duduk sendirian di halte itu karna semua orang baru saja menaiki bus yang baru saja berlalu.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Alfan pada laki-laki itu. Ia menoleh Alfan lalu bergeser dari posisinya dan memberi ruang untuk Alfan.

"Silahkan!" singkatnya.

"Aku Alfan" ujar Alfan mengulurkan tangannya. Ia tersenyum lalu ia pun mengulurkan tangannya dan mereka bersalaman.

"Aku Afin Ariski, panggil saja Alfin"

"Hah...kok?" mata Alfan membulat seperti tak percaya.

"Kenapa?"

"Kok nama kita depannya hampir sama?"

"Cuma kebetulan saja kali"

"Oh.. Yasudah tidak apa-apa kamu kelas berapa?"

"Satu"

"Trus, kenapa kamu tak ikut bus yang dari tadi berhenti di halte ini? Bukankah kamu di halte ini sedang menunggu bus?"

Alfin tiba-tiba tertunduk tak bersemangat, wajahnya seperti orang yang sedang merasa kesedihan.

"Aku tidak tahu harus naik bus yang jurusan kemana" jawabnya masih menundukkan kepalanya.

"Memangnya kamu orang baru di sini?"

"Dulu waktu kecil aku tinggal di rumah Nenek, tapi waktu usiaku 12 tahun Ibuk mengajaku pindah ke Bandung dan baru beberapa hari ini kami kembali lagi ke sini, kerumah Nenek"

"Oh gitu" ujar Alfan manggut-manggut memahami perkataan Alfin. "Kamu ingat alamat rumah Nenekmu?" lanjutnya.

"Ingat kok, Jl Mawar Blok H"

"Yasudah ayo ikut aku!" Alfan lalu turun dari halte itu dan menuju sepeda motornya. "Ayo naik!" Alfin segera naik dan duduk di belakang Alfan. Alfan mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang.

Selama dalam perjalanan mereka tak terlibat dalam suatu obrolan, Alfan hanya diam dan begitu juga dengan Alfin. Tak sampai satu jam mereka pun telah sampai di rumah Neneknya Alfin. Bangunan yang berdinding setengah permanen dengan cat warna hijau muda. Atas petunjuk dari Alfin, Alfan berhenti tepat di depan rumah itu, dan seorang Nenek terlihat sedang duduk bersantai di teras rumahnya. Alfin segera turun dan Alfan pun mematikan mesin sepeda motornya.

"Ayo Kak, masuk dulu?"

"Kakak?"

"Eh maaf, gak boleh ya aku panggil Kakak?"

"Boleh kok, panggil saja Kak Al, ya!"

"Iya"

"Yasudah aku pulang dulu ya, Fin?"

"Ka Alfan, eh.. Kak Al gak mau masuk dulu apa?"

"Lain kali saja ya?"

"Yasudah, makasih ya Kak?"

Alfan tersenyum lalu berlalu meninggalkan Alfin yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Alfin kemudian menghampiri Neneknya dan bersalaman mencium tangan Neneknya.

"Ibuk gimana Nek?"

"Ibumu masih di kamar Fin"

"Yasudah Nek, Alfin masuk dulu ya mau ganti baju"

Alfin kemudian masuk kedalam dan menuju kamar Ibunya. Ia perlahan membuka pintu kamar Ibunya dan pandangannya terlihat patah semangat saat ia melihat Ibunya masih terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Ia berjalan dan menghampiri Ibunya yang sedang tertidur pulas. Alfin memegang tangan Ibunya dan menciumnya.

"Maafin Alfin ya Buk, Alfin belum bisa bawa Ibuk kerumah sakit. Alfin sayang sama Ibuk, semoga Tuhan segera memberi rizki untuk kita ya Buk, biar Ibuk bisa segera berobat"

"Kamu sudah pulang Fin?" ujar Maryam yang baru saja terbangun dari tidurnya. Maryam adalah nama Ibunya Alfin yang selalu menyayangi anaknya.

"Iya Buk, Alfin baru saja pulang"

"Ganti baju, lalu makan ya Fin!" ujar Maryam sembari menghapus air mata Alfin.

"Iya Buk, Alfin tinggal dulu ya Buk?" Maryam hanya mengangguk dan Alfinpun segera meninggalkan kamar Ibunya. Saat Alfin sampai di depan pintu kamarnya, seketika ia mencium aroma yang tak asing lagi baginya. Ia segera membuka pintu kamarnya, dan ia tersenyum mencoba menghibur dirinya sendiri lalu berjalan dan duduk di tempat tidurnya yang hanya beralaskan kasur lantai yang sangat tipis. Pandangannya tertuju pada sebuah foto yang ia letakkan di atas meja belajarnya. Ia meraihnya dan matanya kembali berkaca-kaca saat melihat foto itu. Di album berukuran lima in itu terdapat foto Ayahnya yang sedang bersandar di samping mobil truk dengan tangan kanan yang berpegangan kaca spion. Di foto itu Ayahnya tersenyum bahagia dan terlihat sangat gagah.

"Yah..? Kenapa Ayah begitu cepat pergi. Alfin gak sanggup Yah kalo seperti ini terus, andai saja Ayah masih ada, pasti Alfin gak sesusah ini. Alfin bingung Yah mau cari uang kemana buat berobat Ibuk" Alfin menangis sambil memeluk foto Ayahnya.

"Fin....?" panggil Nenek dari luar kamarnya.

"Iya Nek?" dengan cepat Alfin menaruh foto Ayahnya dan menghapus air matnya.

"Setelah ganti baju buruan makan, Nenek sudah masak sayur sup kesukaanmu"

"Iya Nek.." teriak Alfin dari dalam kamarnya, ia kemudian berganti pakaiannya dan keluar kamar menuju dapur. Ayahnya Alfin adalah seorang sopir truk yang selalu membawa muatan beras, namun Ayahnya meninggal akibat kecelakann kerja karna truk yang di kendarai oleh Ayahnya terperosot ke jurang.

*-*-*

Alfan baru saja sampai di rumahnya, dengan cepat ia memasuki rumahnya lalu dengan setengah berlari ia menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sesampai di kamarnya ia melemparkan tas sekolah ke tempat tidurnya, lalu berbaring terlentang dengan kedua kaki yang masih berada di atas lantai. Wajahnya mengadah ke langit-langit kamarnya, dan sesekali wajahnya tersenyum bahagia.

"Ah sial, kenapa aku tadi lupa minta nomor ponselnya?" ujar Alfan menggerutu pada dirinya sendiri. "Ah sudahlah, besok aku masih punya waktu"

Alfan segera bangkit dari tidurnya dan berganti pakaian, setelah selesai ia keluar kamar dan menuju meja makan. Saat ia melihat Mamanya yang sedang menemani Reza makan siang, ia langsung memutar tubuhnya berbalik arah.

"Al..?" sapa Mamanya. Alfan lalu berhenti dengan tubuhnya yang masih membelakangi Mamanya dan Reza.

"Ya, Ma?" Alfan lalu memutarkan tubuhnya kembali mengahadap mereka.

"Kenapa gak jadi makan?"

"Em.. Nanti saja Ma, Alfan belum lapar kok" Alfan lalu berjalan meninggalkan ruangan itu dan menuju pintu belakang. Ia duduk di kursi yang berada tak jauh dari kolam renang.

Tung!!!

Terdengar suara nada bbm di ponselnya, Alfan segera membukanya.

'Main dong Al kerumah, bete nih gak ada temen'

Alfan tersenyum saat mendapat bbm dari Arlan sahabatnya.

'Mau maen apa memangnya?'

'Ya terserahlah, mau tanding ps, Basket, atau apa pokoknya aku layani deh'

'Ogah, lagi gak mood >_< '

'Eh.. Dasar ni anak, gak seru banget dah'

Alfan tak lagi membalasnya, ia hanya tersenyum dan me readnya saja. Ia menaruh kembali ponselnya kedalam saku celananya dan kembali duduk bersantai. Tak berselang lama, Reza pun datang menghampirinya, ia berjalan dengan penuh hati-hati mendekati Alfan.

"Ka Alfan kok tadi gak jadi makan, pasti gara-gara ada Reza ya di meja makan?" Alfan menoleh pada Reza, menatap dari atas sampai kebawah, lalu ia membuang pandangannya membelakangi Reza. "Kak Al kenapa sih selalu cuek sama Reza, aku kan Adiknya Kakak?" protes Reza tak terima. Alfan berbalik arah dan menatap wajah Reza dengan pandangan yang sangat tajam, penuh kebencian.

"Bisa gak sih gak usah ganggu, sebentar saja!" Alfan lalu beranjak dari tempat duduknya dan meningalkan Reza sendirian. Reza menatap Alfan yang meninggalkannya hingga menghilang di balik pintu belakang.

"Kapan sih Ka Al bisa bersikap hangat sama Reza?" ujar Reza lirih, ia kemudian duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Alfan.

"Arlan..?" kata Alfan kaget saat ia melihat Arlan tiba-tiba sudah di depan rumahnya, Arlan yang masih duduk di atas sepeda motornya hanya tersenyum geli saat merasa sudah berhasil membohongi Alfan.

"Kenapa, kaget?"

"Abisnya kamu iseng banget dah, udah di depan rumas saja pake bbm segala"

"Yee.. Gak papa kali, oya Reza mana Al?"

"Di kolam renang"

"Yaudah, aku kesana dulu ya?"

Alfan tak menjawabnya, Arlan langsung masuk kerumah Alfan dan menuju kolam renang yang ada di belakang. Sangking akrabnya dengan Alfan dan Reza, Arlan sudah di anggap seperti anaknya sendiri oleh Mama dan Papanya Alfan.

Arlan berdiri di pintu belakang, melihat Reza yang sedang membelakanginya. Ia duduk dikursi dan merangkul kedua kakinya dengan dagu yang ia letakkan di atas kedua lututnya. Pandangannya kosong dan Reza terlihat sedang merenungi nasipnya yang tak pernah tau kenapa Alfan yang selalu acuh padanya.

Arlan berjalan dengan kaki yang berjinjit agar kakinya tak mengeluarkan suara. Ia tertawa tanpa suara saat sudah berada di belakang Reza. Saat ini Reza masih saja tak bergeming dari posisinya dengan durasi yang sangat lama. Alran tersenyum lalu dengan kedua tangannya ia menutup mata Reza dengan sangat kencang. Reza tersenyum dan memegangi tangan Arlan mencari tau tangan siapa yang sedang menutup kedua matanya.

"Ka Al udah gak marah lagi ya sama Reza?" ucap Reza penuh antusias. Arlan hanya diam tak menjawabnya, dengan tangan yang masih menutup kedua mata Reza. "Kok Kakak malah diam sih? Reza minta maaf ya Kak kalo selama ini Reza punya salah sama Ka Alfan" lanjut Reza. Arlan perlahan melepas tangannya dan duduk di belakang Reza. Dengan cepat Reza menoleh kebelakang, dan senyumannya sedikit demi sedikit memudar saat yang ia dapati bukan Alfan, tetapi seseorang yang bukan ia harapkan yaitu Arlan.

"Ka Arlan? Maaf ya Kak, kirain tadi Ka Alfan" ujar Reza kaget.

"Iya gak papa, Alfan masih dingin yang sama Reza?" Reza mengangguk tak besemangat. "Sabar ya Za, nanti Ka Arlan bicara lagi sama Alfan. Jangan sedih lagi dong, nih Ka Arlan bawain coklat buat Reza" Arlan menyodorkan beberapa batang coklat ke Reza, Reza menatap wajah Arlan dan Arlanpun mengangguk.

"Makasih ya Kak" ujar Reza sambil meraih coklat dari tangan Arlan. Arlan tersenyun lalu mengusap rambut Reza dengan sangat lembut.

*-*-*

"Al...? Buruan turun, waktunya makan malam sayang!"

"Iya Ma, bentar lagi Alfan juga turun ko"

"Yasudah, Mama tunggu di bawah ya?" ujar Mamanya lalu kembali kemeja makan.

Alfan segera turun menuju meja makan, ia langsung saja duduk di depan Mamanya.

"Reza mana Al, kok gak ikutan makan?" tanya Papanya.

"Ya mana Alfan tau lah Pa, orang aku juga gak liat dia kok"

"Malam Ma, Pa" kata Reza yang baru saja datang.

"Malem sayang"

"Eh Za, tadi pas Papa makan di Mall sama klayen, kebetulan Papa liat ada pameran PS keluaran terbaru loh"

"Iyakah?" singkat Reza.

"Iya dan Papa beli buat kamu, tapi awas loh kalo kebanyakan main sampai nilaimu jelek"

"Gak lah Pa, kan Reza rajin belajar"

"Bagus deh kalo gitu, ini baru jagoan Papa"

Tiba-tiba trdengar suara geseran kursi, dan benar saja, Alfan sudah berdiri dari tempat duduknya.

"Mau kemana Al?" tanya Mamanya.

"Mau kekamar Ma, Alfan gak jadi laper" Alfan lalu pergi meninggalkan meja makan yang belum di mulai.

"Al kenapa tuh Ma, kok gak jadi makan?" tanya Papanya heran.

"Pa..? Kenapa sih Papa gak bisa adil sama anak? Jangan cuma Reza dong pa yang selalu di beliin ini, itu. Jadi gini kan?"

"Ma..? Al itu sudah besar, jadi gak sepantasnya dia itu iri sama Adiknya, lagian waktu dia seusia Reza, dia juga sering gonta-ganti PS kan?"

"Tapi kan-"

"Sudah-sudah, nanti saja bicaranya, sekarang kita makan dulu, Papa udah laper"

Suasana di meja makan lagi-lagi berakhir tak menyenangkan, Reza semakin merasa bersalah atas semua ini dan dia baru menyadari kenapa Alfan selalu membencinya.

"Ma, Pa? Reza kekamar dulu ya?"

"Loh kok gak jadi makan Za" tanya Mamanya.

"Reza makannya nanti saja, Ma"

Reza lalu berjalan menuju kamarnya, menaiki tangga dan berhenti di depan kamar Alfan. Ia sangat ingin sekali mengetuk pintu kamar itu dan bicara dengan Alfan, tapi Reza takut kalau Alfan akan memarahinya lagi. Sekali lagi ia menatap pintu kamar itu, namun akhirnya pilihannya jatuh untuk mengurungkan niatnya dan memilih kembali kekamarnya.

Bersambung...
Percintaan Sedarah
Epesode 01
------------
By. Aby Anggara
=================

*-*-*

Alfan duduk bersandar di kursi yang berada di teras kamarnya, pandangannya kosong menatap kearah bulan yang terlihat hanya separuh dan sedikit redup karna tertutup awan kecil. Sudah sejak lama ia menyendiri di sana, dan tampaknya ia memang sedang tak mau di ganggu.

Pintu kamar Alfan terdengar ada yang mengetuknya, namun walau ia mendengar suara itu, tatap saja ia masih tak bergemin untuk membukanya. Walau ia tetap tak menyambut kedatangan tamu yang tak di undang itu, tapi sepertinya orang itu tak berputus asa tetap saja mengetuk pintu kamar Alfan semakin keras. Ketenangan Alfan merasa terganggu hingga dengan rasa kesal ia berjalan menuju pintu kamarnya.

"Ada apa sih, berisik tau!" ketus Alfan saat baru saja membuka pintu. Alfan menatap wajah Reza dengan tajam, hingga pandangannya beralih pada sebuah nampan yang di pegang oleh Reza.

"Maaf Kak, Reza cuma mau antar ini saja kok. Kak Al belum makan malam kan?" ujar Reza sambil sedikit menyodorkan nampan yang di bawanya. Alfan menatap wajah Reza dan nampan yang di bawa oleh Reza secara bergantian, seperti Alfan tetap saja tidak suka dengan perhatian yang di berikan oleh Reza.

"Gak usah sok perhatian deh, aku juga gak bakalan mati kok walau aku gak makan malam ini. Pergi sanah dan jangan ganggu aku, ngeri!"

"Tapi Kak, aku kan cuma-"

"Kamu tuli?" ucap Alfan dengan suara lantang hingga membuat Reza sedikit melunjak karena kaget. Reza menundukkan kepalanya, dan tanpa berani berkata, ia memutar tubuhnya lalu pergi meningalkan kamar Alfan. Saat Reza menuruni anak tangga akan menuju lantai dasar, ia bertemu Mamanya yang baru saja menaiki tangga menuju keatas.

"Loh kenapa kamu nangis, Za?"

"Kenapa sih Ma Ka Alfan selalu jahat sama Reza, memangnya Reza salah apa coba?" Mamanya tersenyum, lalu mengusap rambut Reza dengan perlahan.

"Sudah jangan di masukin dalam hati ya, mungkin Kakakmu sedang kecapean. Yasudah nanti biar Mama yang bicara sama Alfan"

Reza tersenyum walau dalam tangisannya, lalu ia pun melanjutkan langkahnya menuju dapur mengembalikan makanan yang ia bawa tadi.

Tok tok tok!!!

"Berisik tau, kamu budek apa tul-" ucapan Alfan terhenti saat ia membuka pintu kamarnya, tapi yang ia dapati adalah Mamanya. Mamanya segera melipat kedua tangannya menatap Alfan dengan tatapan datar. Alfan yang merasa bersalah dan dengan penuh rasa tidak enak ia memaksa senyum di pipinya dengan tangan kanan yang menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. "Eh Mama, ada apa, Ma?" lanjutnya.

"Kamu ada apa lagi sih Al, sampai tega buat Adikmu nangis?" Alfan bukannya menjawab pertanyaan Mamanya, ia dengan malasnya berjalan menuju tempat tidurnya dan duduk di pinggirnya. Mamanya pun mengikutinya seolah tak mau kalau pertanyaanya tak mendapatkan jawaban.

"Kenapa sih Mama selalu belain dia?"

"Al.. Mama bukan belain Reza, tapi yang Mama heran kenapa kamu selalu gitu dengan Adikmu?"

"Udalah Ma, Alfan ngantuk Alfan mau tidur" tanpa mau mendengarkan jawaban Mamanya, Alfan langsung membaringkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan selimut tebal. Mamanya menggelengkan kepala heran.

"Mama belum selesai bicara Al" ujara Mamanya sembari menarik selimut yang menutup wajah Alfan.

"Mama apaan sih, Alfan ngantuk Ma.." Alfan kembali menarik selimutnya, tapi kali ini ia tak menutup wajahnya, ia menaruh selimut itu di sekujur tubuhnya. Mamanya kali ini menyerah, ia hanya membuang nafas dengan kasar sambil menatap wajah Alfan.

"Selamat tidur ya sayang" ujar Mamanya mengecup kening Alfan, kemudian mematikan lampu utama di kamar Alfan dan menutup pintu.

*-*-*

Pagi itu Reza sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Reza memang anak yang rajin hingga bangun pagi pun sudah menjadi kebiasaanya. Reza masih memperhatikan Mamanya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di meja makan.

"Reza bantuin ya Ma?" ujar Reza saat Mamanya mengantarkan empat gelas minuman hangat dimeja makan.

"Gak usah Za, mending tolongin Mama bangunin Kakakmu saja ya, karna Mama masih banyak kerjaan" Reza hanya mengangguk pasrah oleh perintah Mamanya, walau ia tau Alfan tak pernah menyukai kehadirannya. Reza segera bangkit dari tempat duduknya menuju kamar Alfan yang berada di sebelah kamarnya.

Setelah sampai di depan kamar Alfan, Reza berdiri menatap pintu kamar itu. Ia tak berani mengetuknya karna ia tau Alfan pasti akan marah padanya. Didalah hatinya berperang, sebagian menyuruh mengetuk pintu itu dan yang sebagian lagi mengatakan 'jangan'. Reza melihat jam di tangannya, dan sudah jam setengah tujuh Alfan belum juga siap-siap. Alfan memang punya kebiasaan buruk yang selalu telat saat bangun pagi. Dengan sangat hati-hati Reza mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu itu, tapi saat baru saja ia mau mengetuknya tiba-tiba pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya. Reza sangat kaget saat Alfan tiba-tiba muncul dan berada di depannya.

"Mau ngapain kesini?" ujar Alfan ketus.

"Aku... Aku disuruh Mama buat-"

"Alah pasti mau panggil aku suruh sarapan kan, Iya kan?" Alfan mendelikan mata didepan wajah Reza hingga wajah mereka sangat dekat dan reflek Reza mundur satu langkah. Reza terlihat sangat ketakutan oleh sikap Alfan yang selalu dingin padanya hingga ia saat ini hanya menundukkan kepalanya. "Gak usah sok perhatian deh!" ketus Alfan lalu ia berjalan meninggalkan Reza. Alfan berjalan menuju meja makan, di sana sudah terlihat Mama dan Papanya yang sudah menunggu mereka. Tanpa suara, ia duduk dan langsung sibuk memainkan smart phonenya. Papanya menoleh ke Mamanya, dan Mamanya mengangkat kedua bahunya.

"Adikmu mana Al?" ujar Mamanya memulai pertanyaan.

"Ya mana aku tau Ma, kan aku dari tadi juga gak sama dia" jawab Alfan tanpa melihat Mamanya, Mamanya menggelengkan kepala heran.

"Jadi anak itu yang sopan Al, di tanya Mama kamu kok gitu" ujar Papanya ikut bicara, Alfan sama sekali tak menimpali ucapan Papanya, ia seolah tak mendengar jika Papanya sedang bicara dengannya.

"Pagi Ma, Pa?" seru Reza ramah.

"Pagi juga sayang..." Reza kemudian duduk di sebelah Alfan.

"Za.. Hari ini Papa berangkat ke Kantor agak siang, kamu pergi kesekolah bareng sama Kakakmu ya!" ujar Papanya memberi tahu Reza. Sontak Reza dan Mamanya menoleh kearah Alfan seolah menunggu persetujuan dari Alfan yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Iya gak papa kok Pa"

"Al...?" panggil Mamanya.

"Ya, Ma?"

"Kamu denger gak?"

"Apaan Ma?"

"Hari ini Papa kamu berangkat agak siang, jadi hari ini kamu berangkat sama-sama ya dengan Reza?"

"Berangkat sama Reza? Tapi Ma-"

"Sudahlah Al... Cuma sesekali saja masak kamu keberatan?" tukas Mamanya. Alfan terlihat masih berfikir dan seketika ia menoleh Reza yang ada di sebelahnya.

"Yasudah, tapi Alfan mau berangkat sekarang"

"Al.. Tapi kan kamu dan Reza belum sarapan?" cemas Mamanya, Reza yang baru saja mau menyuapkan sendok kemulutnya di urungkan setelah mendengar ucapan Alfan.

"Nanti Alfan sarapan di Kantin saja Ma" Alfan lalu berdiri dan memakai tasnya yang sempat ia taruh di belakangnya. Alfan lalu berjalan meninggalkan meja makan.

"Tapi Adikmu belum sara-" ucapan Mamanya terhenti saat Alfan tetap saja berjalan seolah tak menggubris ucapan Mamanya.

"Sudah gak papa Ma, nanti Reza sarapan di Sekolah saja. Reza berangkat dulu ya Ma, Pa" ujar Reza menyalami tangan Mama dan Papanya. Reza berlari kecil mengejar Alfan, ia seolah takut Alfan akan meninggalkannya.

Alfan menyalakan mesin sepeda motornya, dengan kasar ia menarik gas motornya sedikit agak keras seperti orang yang sedang kesal. Setalah Alfan berhenti memainkan gas sepeda motornya, ia menoleh kebelakang mendapati Reza yang masih diam mematung mengawasinya.

"Ayo naik, mau ikut gak?" serga Alfan.

"I..iya, ini juga mau naik kok"

Dengan cepat Reza melangkahkan kakinya dan duduk di belakang Alfan. Tanpa aba-aba Alfan melajukan sepeda motornya dengan satu kejutan hingga membuat Reza hampir saja terpental dari tempat duduknya karna ia tidak berpegangan.

"Palan-palan dong Kak!" pinta Reza memohon. Alfan hanya diam dan tak menjawabnya, ia hanya tertawa tertawa tanpa suara menahan lucu karna Reza yang hampir saja jatuh karna ulahnya.

Tak sampai satu jam merekapun sudah sampai di Sekolahnya, Alfan segera memarkirkan sepeda motornya di area yang telah di sediakan. Reza yang sudah turun lebih awal masih saja memperhatikan Alfan yang sedang sibuk dengan motornya.

"Ngapain liatin kaya gitu? Gak kekelas?" ujar Alfan dengan nada ketus.

"Iya Kak, ini juga mau kekelas kok" Reza lalu berjalan meninggalkan Alfan dan menuju kelasnya.

Reza berjalan tak bersemangat, kepalanya dipenuh dengan beribu tanda tanya.

"Kenapa sih Ka Alfan selalu marah-marah denganku? Memangnya aku salah apa? Aku sangat iri saat liat teman-temanku yang suka di manjakan oleh Kakaknya, dan aku sangat ingin seperti itu. Ah... Keknya gak bakalan mungkin Ka Alfan bakalan kayak gitu, dia kan orangnya sangat dingin kalo denganku"

Bruk!!!

Reza terjatuh saat dari balik dinding tiba-tiba ada yang menabraknya.

"Eh maaf, kamu gak papa?" tanya laki-laki itu.

"Aku gak papa kok, Ka Arlan..?"

"Reza..? Maaf ya tadi Ka Arlan buru-buru soalnya"

"Iya gak papa kok Kak"

Arlan mengulurkan tangannya berusaha menolong Reza dan Reza menyambutnya. Dengan satu tarikan yang sangat kuat Reza sudah kembali bangkin dari duduknya di lantai tadi.

"Makasih ya Kak?" Arlan mengerutkan keningnya.

"Makasih? Kan aku yang nabrak, kok malah bilang makasih?" tanya Arlan bingung.

"Ih... Maksud Reza itu makasih karna udah di bantuin berdiri, gitu" ujar Reza sambil memonyongkan bibirnya. Arlan terkekeh melihat tingkah Reza yang terlihat sangat lucu. "Kok Ka Arlan malah ketawa sih?"

"Iya deh iya maaf. Yaudah Ka Arlan lagi buru-buru nih, nanti kita ketemuan di Kantin ya?"

"Iya deh Kak, sampai nanti ya" Arlan lalu berlalu meninggalkan Reza.

Bel sekoleh berbunyi tanda masuk sekolah, semua siswa masuk kekelasnya masing-masing. Suasana di kelas begitu ricuh saat Guru belum kunjung datang. Reza membuka tasnya dan mencari sebuah buku, namun tiba-tiba suasana menjadi hening dan reflek membuat Reza ikut mengalihkan pandangannya kedepan.
"Pantas saja suasana jadi hening, ternyata Pak Agus baru saja datang" ujar Reza dalam hati.

"Selamat pagi, hari ini kalian kedatanga teman baru. Silahkan perkenalkan namamu!" perintah Pak Agus.

"Hai teman-teman, perkenalkan namaku Alfin Arizki, bisa panggil 'Alfin'!"

"Sudah cukup?" tanya Pak Agus, Alfin mengangguk. "Baiklah kalo gitu silahkan duduk di bangku yang kosong disana!" perintah Pak Agus. Alfin berjalan menuju bangku yang berada di sebelah Reza.

"Boleh aku duduk disini?" tanya Alfin sopan.

"Silahkan"

"Terimakasih" Alfin lalu menaruh tasnya.

*-*-*

Saat jam pelajaran telah usai, semua siswa dan siswi berhamburan keluar kelas. Alfan segera menghampiri sepeda motornya dan melaju menuju gerbang sekolahnya. Ia berhenti di depan gerbang Sekolahnya saat di jalan raya masih di penuhi kendaraan yang sedang berlalu-lalang. Pandangannya tanpa sengaja mendapati seorang laki-laki yang mengenakan seragan SMA dan sedang duduk di helte yang terletak di depan Sekolahnya. Alfan mengerutkan keningnya saat mendapati keanehan pada anak itu. Sudah dua kali bus berhenti di halte itu, namun laki-laki itu tak pernah ada niat untuk menaiki bus yang berhenti disana. Dengan rasa penuh penasaran, Alfan segera melajukan sepeda motornya menuju halte itu. Alfan menyandarkan sepeda motornya dan menghampiri laki-laki itu.

Bersambung...
Karena Dirimu
Part END
--------------
By. Aby Anggara
============================

***

Entah apa yang ada di otak Denis saat ini, ia tak bisa menerima saat melihat kekasihnya yang saat ini hanya memiliki satu kaki. Ia terus mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi karna ia tak sabar ingin cepat sampai di rumahnya. Saat sampai dirahnya ia tanpa bersuara saat bertemu Rara di awal tangga. Ia hanya berhenti sebentar memandang Rara lalu melanjutkan menaiki tangga menuju kamarnya.

Denis berbaring terlentang dan memandang langit-langit kamarnya dengan kesal.

"Kenapa Ardi saat ini hanya memiliki satu kaki? Dia kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi?"

Di otak Denis di penuhi banyak tanda tanya, bahkan ia tak mengetahui penyebab hilangnya satu kaki Ardi.

Pintu kamar Denis terdengar ada yang mengetuk dan Denis membukakannya. Rara terlihat khawatir saat melihat tingkah Denis barusan. Ia berjalan menghampiri Denis yang baru saja berbaring tengkurap membelakanginya.

"Sebenarnya ada apa Nis...? Kok kamu seperti sedang kecewa gitu?"

Denis kemudian bangkit dan duduk di sebelah Rara dan kali ini ia berusaha tenang.

"Gak papa kok Kak"

"Gak mungkin kalo gak papa Ka Rara gak percaya, kalo lagi ada masalah cerita saja sama Kakak!" Rara tersenyum dan mengusap rambut Denis dengan lembut. Denis menatap Rara dan dalam hatinya dilema antara mau berterus terang atau tidak, namun akhirnya ia menggelengkan kepalanya pelan.

"Gak ko Kak, Denis gak papa kok"

"Yasudah kalo beneran gak papa, Ka Rara tinggal dulu ya?"

"Iya Kak"

Denis tersenyum pada Rara berusaha menyembunyikan sesuatu yang sedang membuat hatinya kecewa.

***

Hari ini adalah hari kedua Denis dan keluarganya sarapan pagi bersama, namun pagi ini wajah Denis tak ceria seperti hari kemarin. Ia tampak tak bersemangat walau pagi ini ia makan bersama Rara, Mama dan Papanya. Di fikirannya masih teringat jelas kejadian tadi malam yang membuatnya masih menjadi tanda tanya, namun dirinya tak mempunyai keberanian untuk menanyakan langsung pada Ardi.

"Loh kenapa gak di makan sayang?" ujar Melinda menegur anaknya. Denis hanya menoleh Mamanya dan pandangannya kembali fokus pada makanan yang ada di piringnya walau ia tak memakannya.

"Gak tau tuh Ma, dari semalam Rara perhatiin Denis kek lagi ada maslah gitu"

"Kamu kenapa Nis? Kalo ada keperluan selolah atau apa cerita sama Papa, Papa gak mau loh jagoan Papa loyo kek gitu"

Kali ini semua pandangan mata tertuju pada Denis, dengan harap-harap cemas mereka masih setia menanti jawaban langsung dari mulut Denis.

"Ma, Pa, Denis gak papa kok, Denis berangkat sekolah Dulu ya?" Denis bangkit dari tempat duduknya dan menyalami tangan Rara, Mama dan Papanya. Setelah itu tanpa kata ia berjalan keluar rumah.

Di sekolahnya Denis tampak murung, kini saat ia sudah mendapatkan kebahagiaan karna Mama dan Papanya yang sudah menyayanginya, namun kini giliran kisah asmaranya yang sedang tak mau berpihak padanya. Ia seolah enggan menerima keadaan Ardi yang seperti itu, tapi di hati kecilnya ia masih ada sedikit rasa sayang pada Ardi. Namun tetap saja ia tak akan bisa menerima keadaan Ardi yang seperti itu.

Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya seolah lelah dengan semua ini. Namun saat ia membuka matanya sedikit kaget saat melihat Igo yang sudah berada di sebelahnya. Ia berusaha menenangkan dirinya.

"Kamu kok malah gini Nis, harusnya kan kamu bahagia karna semalam sudah bertemu dengan Ardi?"

Denis menghela nafas panjang dan membuangnya dengan kasar. Pagi itu memang tampak sangat dingin, namun tak dapat memberi kesejukan pada hati Denis.

"Iya Go aku memang semalam sudah bertemu dengan Ardi" jawabnya datar.

"Trus-trus?" ujar Igo antusias, ia seolah sangat ingin tau apa yang mereka lakukan tadi malam. Igo masih menatap Denis, dan tak sabar menunggu jawaban dari Denis.

"Trus-trus apanya?"

"Ya... Itu nya, em... Kalian ngapain aja, sedih kek, bahagia kek atau apa?" Igo sedikit tak enak menjelaskannya, ia baru menyadari kalau ucapannya barusan itu terlalu pribadi untuk ia ketahui.

"Aku buru-buru Go, aku duluan ya?" Denis melihat jam tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Igo sendirian.

"Eh Nis tunggu!"

Sepertinya Denis saat ini sedang enggan membahas masalah Ardi, hingga ia memilih menghindar dari Igo. Denis terus saja berjalan tak mempedulikan panggilan Igo yang masih memanggil namanya.

***

Hari ini Igo belum berkunjung kerumah Ardi karna ada beberapa kesibukannya, namun malam ini ia menggantikannya untuk tetap bisa datang menemui Ardi. Ia juga sudah menyempatkan mampir membelikan makanan untuk Ardi dan Rama. Karna malam terlihat mendung dan sedikit angin berhembus sangat dingin, hal itu membuat Igo terpaksa menggunkan mobilnya agar lebih nyaman. Ia tersenyum-senyum sendiri dan tak sabar ingin cepat bertemu dengan Ardi.

Ia memarkirkan mobilnya lalu dengan cepat berjalan menuju pintu rumah Ardi. Baru saja Igo akan menekan tobol yang ada di atas kanan pintu, namun pintu sudah lebih dulu di buka. Terlihat sosok Ardi yang seperti mengalami kesedihan yang sangat dalam.

"Loh kamu kenapa Ar? Bukanya senang sudah ketemu dengan Denis?" Ardi menoleh kebelakang memastika kalau Ayah dan Ibunya sedang tak berada di dekatnya. Ardi tak langsungenjawab pertanyaan Igo, ia berjalan menggunakan kedua tongkat yang selalu setia menemaninya menuju tangga panjang yang berada di depan pintu rumahnya. Ia menaruh kedua tongkatnya, kemudian duduk di tangga itu.

Igo pun berjalan mengikuti langkah Ardi dan duduk di sebelah Ardi. "Ar kamu kenapa?"

"Denis, Go"

"Denis? Kenapa dengan dia?" Igo mulai panik dan tak sabar mendengat kabar yang terlewatkan olehnya.

"Semalam Denis datang kesini Go, tapi...."

"Tapi kenapa Ar?" Igo yang semakin panik memegang kedua bahu Ardi dan menatapnya lekat-lekat.

"Denis... Denis sudah tak mau bertemu denganku lagi Go, mungkin ia jijik melihat keadaanku yang seperti ini"

Igo mendengus kesal, ia memberikan plastik yang berisi makanan yang ia beli tadi, lalu tanpa kata ia pergi meninggalkan Ardi sendirian. Ia mengendarai mobilnya dengan sangat kencang dan tak lama ia sudah sampai di depan rumah Denis.

"Ya halo kenapa Go?"

"Keluar sekarang, aku tunggu di depan pintu gerbang rumah kamu!"

Panggilan terputus, tak lama Denispun terlihat berjalan menuju Igo yang sudah berada di halaman rumah Denis. Dengan sangat geram Igo memegang kencang kera baju Denis dengan kedua tangannya, tatapannya terlihat sangat murka pada Denis.

"Tunggu Go, kamu kenapa tiba-tiba kek gini? memangnya aku salah apa?" Igo melepaskan tangannya dengan kasar.

"Tega-teganya kamu nyakiti perasaan seseorang yang jelas-jelas sangat tulus mencintai kamu Nis?"

"Mencintai dengan tulus? Maksud kamu apa Go?"

"Kamu sadar gak kelakuan kamu semalam itu membuat Ardi sangat tersakiti? Kamu ingat saat Ardi di hukum sama Pak Rudi akibat kamu gak ngerjain tugas sekolah? Itu Ardi lakukan karna ia tak mau melihat kamu yang di hukum sama Pak Rudi sehingga dia bela-belain berbohong demi kamu. Dan kamu ingat saat keluarga Ardi di usir dari rumah kamu itu gara-gara siapa? Itu gara-gara kamu yang memaksa Ardi untuk mengajakmu liburan di kampung. Dan tanpa kamu sadar kamu sudah merebut semua masa depan yang seharusnya Ardi sedikit lagi mencapainya Nis"

"Tapi Go, sungguh aku tak-"

"Dan kamu gak tau kan apa yang Ardi lakukan saat kamu akan melakukan bunuh diri saat kamu nekat berdiri di tengah-tengah jalan?" mata Denis membulat, ia benar-benar kaget dan tak percaya kalau Igo mengetahui semuanya.

"Memangnya apa yang Ardi lakuin Go?" tanya Denis ingin tau. Kelopak matanya mulai di penuhi butiran air mata.

"Apa Mama dan Papa kamu tidak menceritakan hal itu padamu Nis?" Denis menggeleng.

"Sungguh mereka tidak menceritakan apapun tentang Ardi Go. Memangnya Ardi ngelakuin apa Go?"

"Ardi mendorong kamu hingga ia yang terserempet sepeda motor dan kakinya terlindas mobil truk bermuatan penuh hingga kaki Ardi tak bisa di selamatkan. Coba kamu kamu bayangkan kalau saja Ardi tidak menolongmu, mungkin kamu sudah mati Nis, atau kamu yang saat ini berada di posisi Ardi dan dia rela sekalipun akan mengorbankan nyawanya demi nyelamatin kamu, tapi apa? Mana balasan kamu Nis, mana? Jangankan memberi supot untuk Ardi yang saat ini sedang putus asa dengan kondisinya saat ini, mengucapkan terima kasih saja tidak. Kamu keterlaluan Nis, kamu manusia kan? Kamu masih punya hati nurani kan?"

Denis menundukkan kepalanya, ia terlihat sedang menyesali perbuatannya. "Maafin aku Go, aku memang bodoh dan aku gak punya hati" ucapannya terdengar isak, ia menangis penuh penyesalan saat mendengar kejadian yang sebenarnya.

"Kamu itu jadi orang gak tau terimakasih Nis"

"Tunggu bentar Go!" Denis berlari menuju rumahnya, ia berniat akan menemui Mamanya. Denis berdiri di depan pintu kamar Mamanya yang sedikit terbuka dan terlihat Melinda sedang menunduk membelakangi Denis.

"Ma..?" panggil Denis, Melinda menoleh anaknya yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. "Itu kan pulpen yang pernah Denis pinjamkan pada Ardi, tapi kenapa bisa ada di Mama?" Denis tampak melihat pulpen yang ada di tangan Melinda dan wajah Mamanya secara bergantian.

"Iya sayang, kemarin waktu di rumah sakit Ardi nitipin ini sama Mama, dan malam ini Mama baru ingat kalau Ardi menyuruh Mama ngembalikan pulpen ini sama kamu"

"Jadi apa yang di ceritakan Igo barusan semua benar, dan bukan rekayasa? Apa benar Ma Ardi di amputasi gara-gara nyelametin Denis?"

Melinda mengguk. "Iya Nis, Ardi seperti itu karna nyelametin kamu" Denis berlari memeluk Mamanya dengan erat, tangisannya pecah penuh penyesalan di pelukan Mamanya.

"Ma, aku mohon, Ardi dan keluarganya boleh kan kembali lagi di rumah kita? Ini memang belum setimpal dengan apa yang Ardi lakuin Ma, tapi Denis pengen Ardi tinggal di rumah kita lagi, boleh ya Ma?" Melinda melepaskan pelukannya, ia melihat tatapan Denis yang penuh harap.

"Iya sayang, boleh kok"

"Beneran Ma?" tanya Denis meyakinkan, Melinda mengangguk dan tersenyum. Denis mencium pipi Mamanya lalu kembali berlari keluar rumah menghampiri Igo yang masih menunggunya.

***

Ardi berjalan tertati menggunakan kedua tongkatnya, ia menuju jalan di depan rumahnya. Ia duduk di perbatasan antara aspal dan tanah, dengan kaki kanan yang ia luruskan menuju ketengah-tengah jalan. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil dengan lampu yang sinarnya sangat terang membuat mata Ardi sangat silau.

Dengan pasrah Ardi memejamkan kedua matanya kuat-kuat. Namun walau ia memejamkan matanya, sinar lampu yang sangat terang dan sempat membuat matanya sangat silau itu tak kunjung lewat didepannya. Ardi masih memejamkan matanya, seolah setia menunggu mobil yang akan melindas kaki satunya yang masih utuh.

Namun Ardi merasakan ada sepasang tangan yang menyusup dari kedua ketiaknya dan perlahan membuat dirinya bangkit dari tempat duduknya.

"Kenapa kamu lakuin hal bodoh ini Ar? Apa yang kamu lakukan?" Ardi mendengar ada suara yang tak asing baginya, ia segera membuka kedua matanya, dan sosok Denis yang ternyata membuat dirinya bangkit dari tempat duduknya.

"Aku mau patahi kaki aku yang satunya Nis, lagi pula orang yang aku sayangi sudah tak peduli lagi denganku, iya kan?"

Denis menggeleng. "Nggak, kamu gak boleh lakuin itu, aku tau Ar dengan satu kaki saja kamu sudah sangat menderita, apalagi kalau sampai dua kakimu hilang"

"Ngapain kamu peduliin aku Nis? Bukanya kamu sudah tak peduli lagi denganku? Lepasin!!!" Ardi meronta seolah tak ingin ada yang menggangunya.

Denis memeluk Ardi dengan erat. "Ar aku tau aku salah, kasih aku kesempatan sekali lagi"

"Nggak aku sudah gak mau Nis, aku capek"

"Maafin aku Ar, aku tau ini semua gara-gara aku. Aku memang bodoh sudah menyia-nyiakan orang yang benar-benar sayang sama aku" kini Ardi menangis di bahu Denis, bahu yang selama ini menjadi miliknya dan selama ini ia rindukan.

"Sebelum kamu minta maaf, aku sudah maafin kamu Nis" Denis melepas pelukannya dan mengambil tongkat Ardi yang tak jauh darinya. Denis menghapus air mata Ardi dengan penuh kasih.

"Ar, aku... Aku sayang kamu" Ardi tersenyum dan mereka berpelukan sekali lagi. Igo yang berdiri di dekat pintu mobilnya ikut merasakan kebahagiaan yang sedang Ardi dan Denis rasakan. Ia ikut menitihkan air mata, tapi kali ini adalah air mata kebahagiaan.

"Aku juga sayang kamu Nis" Ardi berkata sangat lirih, seolah hanya berbisik di telinga Denis.

"Aku sudah bicara sama Mama Ar, keluarga kamu boleh kerja di rumah ku lagi, kamu mau kan kembali kerumahku lagi? Ka Rara juga sudah tau hubungan kita dan dia gak bakal pisahin kita lagi Ar"

"Benar kah? Aku seneng banget denger semua kabar baik ini Nis" Denis mengangguk.

Malam itu adalah malam yang sangat bahagia setelah beberapa hari kemarin rasa sedih selalu menghampiri mereka. Ardi dan Denis berjalan masuk kedalam rumah untuk menyampaikan kabar baik kalau mereka bisa bekerja kembali di rumah Denis dan tentu saja Ibu dan Ayahnya Ardi sangat senang mendengarnya karna bisa bekerja kembali di rumah itu.

Mereka bersiap-siap mengemas barang dan memasukka ke bagasi mobil Igo, setelah selesai Igo menjalankan mobilnya menuju rumah Denis. Tak lama merekapun sampai di depan rumah Denis dan keluarga Wiguna sudah berada di teras rumah menyambut kedatangan Mamat dan keluarganya.

Mamat dan Ina langsung menuju ke majikannya yang sudah menunggunya, sesampainya di sana dengan sangat menyesal Rara meminta maaf pada Ina dan ia mengakui kalau dirinya yang sudah memfitnah Ina mencuri ponsel Mamanya sampai Ina dan keluarganya harus terusir dari rumahnya. Begitupun dengan Melinda, ia pun meminta maaf pada keluarga Mamat karna telah mengusir mereka.

Sedangkan Denis, Ardi dan Igo masih berdiri di sebelah mobil. Walau dari sedikit kejauhan tapi mereka bisa melihat dengan jelas Melinda dan Ina sedang berpelukan.

"Ar, Nis, tugasku sudah selesai, aku pulang dulu ya?" ujar Igo memecahkan perhatian mereka yang sedang mengamati keluarga mereka, seketika pandangan Ardi dan Denis tertuju pada Igo yang ada di sebelahnya.

"Go makasih banyak ya, kalau bukan karna kamu aku tak akan merasakan kebahagiaanku kembali" Denis menepuk pundak Igo.

"Makasih atas semuanya Go, kamu memang sahabat the best. Aku sangat bahagia Go punya sahabat seprti kamu, dan aku juga bahagia punya kekasih seperti Denis" Ardi menatap Igo dan Denis bergantian.

Igo meraih tangan Denis dan Ardi, lalu menumpuknya menjadi satu.

"Semoga kalian tetap bahagia ya, karna aku juga ikut merasakan kebahagiaan itu" Denis dan Ardi saling bertatapan dan mereka tersenyum bahagia.

Igo bejalan membuka pintu mobilnya, namun sebelum ia masuk, sekali lagi ia menatap Ardi dan Denis yang sedang berdiri bersebelahan. Denis dan Ardi tersenyum dan mereka melambaikan tangannya. Igo tersenyum lalu masuk kedalam mobilnya dan perlahan menjalankan mobilnya meninggalakan halaman rumah Denis.

Kini Denis dan Ardi saling bertatapan, meraka tersenyum bahagia karna bisa tinggal bersama tanpa ada Rara yang akan mengganggu hubungan mereka lagi.

.

    == S E L E S A I ==