Rabu, 20 Januari 2016

Cerpen
Penyesalanku
--------------
By. Aby Anggara.
=======================

*-*-*

Ibuku membukakan pintu untuku dan seketika aku melihat Ibu menangis terisak saat aku baru pulang. Tanpa sepatah kata ia segera duduk di kursi ruang tamu yang terletak tak jauh dari pintu. Aku segera mengunci pintu dan berdiri mematung melihat Ibu yang saat ini membelakangiku dengan bahu terlihat naik turun, sepertinya Ibu masih terisak dengan tangisannya.

Aku berjalan pelan dan dengan ragu aku duduk di kursi panjang sebelah Ibu. Ibu melihatku sebentar kemudian ia menundukkan kepalanya. Aku bingung dengan Ibu yang tak biasa-biasanya seperti ini. Apa Ibu sedang rindu dengan Ayah yang sudah meninggal hingga membuatnya menangis? Entahlah aku juga tak mengetahuinya.

Aku ingin mencoba menenangkan Ibu, memegang tangannya dan seketika wajah Ibu menatapku.

"Buk.. Kenapa Ibu menangis?" Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku, ia malah memalingkan pandangannya kearah lain.

"Buk? Cerita sama Egi, sebenarnya ada apa?" aku berusaha menyapu air mata di pipi Ibuku dan sebisa mungkin bersabar menanti jawaban darinya.

"Ibu mau tanya sesuatu Gi?" ujarnya dengan suara sesegukan.

"Tanya apa Buk?" sahutku cepat.

Ibu seketika diam tak melanjutkan pertanyaanya, aku menjadi gelisah ingin segera tau apa yang ingin Ibu tanyakan padaku. Ibu kembali menatapku dengan wajah yang di penuhi tanda tanya.

"Apa kamu melakukan perbuatan yang di larangan Agama Gi?"

Deg!!

Jantungku berdetak kencang secara tiba-tiba, dari mana Ibu tau semua ini? Apa jangan-jangan Ibu juga tau kalau aku adalah seorang gay dan aku menjalin hubungan dengan Mas Adam? Ibu masih memandangi wajahku seolah tak sabar ingin menanti jawaban langsung dari mulutku, namun aku merasa malu pada Ibuku dan seketika aku menundukkan kepalaku.

"Jawab Ibu Gi!" tegas Ibu.

Aku masih diam tak bergeming dari posisiku, tiba-tiba kuarasakan tangan Ibu yang sedikit kasar terasa membelai lembut pipiku. Saat ini aku sungguh malu pada Ibu, aku seperti maling yang tertangkap basah dan sebentar lagi akan menjalani persidangan.

"Maafin Egi Buk"

Seketika aku memeluk erat tubuh Ibuku dan menangis di pelukannya. Ibu melepaskan pelukanku dan menatapku penuh kekecewaan.

"Kenapa kamu lakukan sesuatu yang jelas-jelas di larang dengan Agama kita Gi?" Ibu manatapku lekat-lekat, membuatku semakin merasa bersalah.

"Maafin Egi Buk, tapi Egi mencintai Mas Adam"

"Astaghfirullah istighfar nak, cinta kalian diharamkan dalam Agama kita"

"Tapi Buk, Egi benar-benar mencintai Mas Adam Buk?"

"Masya Allah Egi... Sampai kapanpun cinta kalian tak akan pernah di restui Allah, begitupun dengan Ibu yang tak akan merestui hubungan kalian! Taubat Egi minta ampun sama Allah selagi kamu masih di beri kesempatan!"

"Maafin Egi Buk, kali ini Egi gak bisa memenuhi permintaan Ibu"

"Ibu sayang sama kamu Gi, Ibu gamau kamu menjadi salah saru orang yang akan di benci oleh Allah!"

"Kalo Ibu gak suka dengan Egi, biarin Egi pergi Buk!" tanpa mendengar jawaban dari Ibu, aku beranjak dari tempat duduku berjalan menuju kamar dan membuka lemari kecil di sebelah tempat tidurku. Aku menemukan kotak kecil berwarna ungu berdominan dengan hijau muda yang telah aku hiasi. Ini adalah kado yang akan aku berikan pada Mas Adam besok, karna besok tepat dimana ia berulang tahun yang ke 25. Aku kembali berjalan menuju pintu depan, di ruang tamu aku sempat berhenti karna Ibu memegang tanganku saat aku sudah berada di dekat pintu.

"Jangan pergi Gi, jangan tinggalin Ibu!" rintihnya. Aku mengelibatkan tanganku dengan keras hingga tangan Ibu yang memegang tanganku terlepas. Tanpa memperdulikan Ibu, aku melanjutkan langkahku keluar rumah. malam ini aku memutuskan pergi dari rumah meninggalkan Ibu karna beliau tak merestui hubunganku dengan Mas Adam.

"Gi mau kemana, tunggu Ibu nak!"

Aku mendengar Ibu memanggil namaku dan seketika aku menghentikan langkahku. Aku menoleh kebelakang, kuliahat Ibu berdiri di teras rumah dengan mata yang di penuhi air mata, wajahnya menatapku dengan penuh harap agar aku tak pergi meninggalkanya. Namun aku begitu mencintai Mas Adam hingga aku lebih memilih Mas Adam dari pada Ibuku sendiri.

"Maafin Egi Buk, Egi harus pergi"

Dengan penuh keyakin aku melanjutkan langkah kakiku menuju gang dan kemudian bejalan menuju jalan raya. Malam ini aku akan menginap di rumah Mas Adam, karna hanya dialah yang bisa membuatku bahagia.

Namaku Egi Erdiyanto, usiaku 17 tahun dan aku masih sekolah kelas 11. Aku anak bungsu dari enam bersaudara dan aku anak laki-laki satu-satunya. Semua saudara perempuanku sudah menikah dan mempunyai rumah masing-masing, jadi aku hanya tinggal berdua bersama Ibu di rumah peninggalan almarhum Ayahku.

Aku terlahir di keluarga sederhana, namun dari kecil keluargaku selalu mengajarkanku bagaimana cara mengenal Tuhan. Apalagi saat almarhum Ayahandaku waktu beliau masih bersama kami, ia selalu menjadi Imam saat kami sholat bersama. Ayah selalu memberi nasehat padaku agar aku menjadi anak sholeh dan tak melakukan apa saja yang di larang oleh Agama.

Namun nyatanya saat ini aku malah melakukan dosa besar yang jelas-jelas aku tau itu sangat dilarang Agamaku. Aku adalah seorang gay yang tak pernah menyukai perempuan. Naluriku hanya ada rasa ketertarikan pada seorang laki-laki, bahkan aku saat ini sedang menjalin hubungan asmara pada seorang laki-laki. Dia bernama Mas Adam. Dia anak orang kaya, tapi aku mencintainya bukan karna ia anak orang kaya, tapi aku jatuh cinta karna dia orang yang baik dan juga sangat perhatian. Awalnya aku mengenal dia hanya lewat dunia maya, tapi karna kita sering chatting akhirnya kita ketemuan. Awalnya hanya jalan dan makan bersama, tapi lama kelamaan kami semakin akrab karna sering bertemu, dan akhirnya Mas Adam menyatakan perasaanya padaku. Karna akupun mempunyai perasaan yang sama, jadi tak ada alasan untukku menolaknya, apalagi dia sudah dewasa dan itu tipe orang yang aku suka agar bisa melindungiku.

Hubunganku dengan Mas Adam sudah saat ini satu tahun. Mas Adam berjanji padaku, jika aku selesai sekolah nanti ia akan mengajakku tingal satu rumah dengannya.

*-*-*

Pagi ini aku membuka mata di suasana yang berbeda, ya.. saat ini aku berada di kamar Mas Adam. Tubuhku terasa sangat hangat karna Mas Adam masih memelukku.

"Sudah bangun Gi?" tanya Mas Adam dengan nada parau, ia mamandangi wajahku yang sat ini berhadapan dengan wajahnya sambil sesekali membelai rambutku dengan lembut.

"Iya Mas" singkatku.

Mas Adam mendekatkan wajahnya, aku yang mengetahui maksudnyapun memejamkan mataku. Bibirku terasa hangat tiba-tiba, namun hanya sebentar.

"Selamat ulang tahun ya Mas" kataku sambil menyerahkan kotak kecil yang sudah kusiapkan seminggu yang lalu. Kado ini aku beli dengan tabunganku sendiri. Mas adam mengerutkan keningnya lalu tersenyum.

"Astaga, Mas Adam lupa Gi kalo hari ini Mas Adam ulang tahun"

"Gak papa Mas, kan ada aku yang mengingatkan" ujarku.

"Makasih ya? Boleh di buka gak?"

"Buka saja Mas, itu memang bukan barang mahal, tapi semoga Mas Adam suka"

Mas Adam tersenyum dan perlahan merobek bagian sudut kotak kecil itu. Setelah semua terbuka ia membuka tutup kotak itu, Mas Adam tersenyum saat melihat jam tangan yang ukuranya tak tak terlalu besar itu.

"Makasih ya sayang..?" ujar Mas Adam sambil mengecup keningku.

"Iya Mas"

Aku sangat bahagia karna di hari ulang tahun Mas Adam aku bisa memberinya kado sederhana. Aku berdoa dalah hati, semoga dengan bertambahnya usia Mas Adam, ia semakin dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan dan tak lupa aku juga berdo'a agar hubunganku dengan Mas Adam selalu baik-baik saja.

"Sekarang mandi ya!"

"Iya Mas"

Mas Adam memberikan handuk padaku dan aku menerimanya. Aku segera menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kamar Mas Adam. Aku sungguh bahagia karna aku bisa memiliki orang yang aku sayangi, apalagi bisa tinggal satu rumah seperti ini, sungguh membuatku bahagia.

Setelah mandi aku keluar dari kamar mandi, aku sangat senang karna Mas Adam sangat perhatian denganku. Ia meminta handuk dari tanganku dan ia mengeringkan tubuhku yang masih sedikit basah karna guyuran air saat ku mandi.

"Pakai baju ini dulu ya Gi, nanti kita belanja baju kamu ke Mall"

Aku mengangguk menurut saja apa yang dikatakan Mas Adam, karna saat ini hanya dia yang benar-benar peduli padaku. Setelah selesai memakai pakaian yang sedikit kebesaran dan Mas Adam juga sudah rapi dengan dirinya, kami segera keluar kamar dan menuju meja makan. Di meja makan sudah ada Om Iwan, Tante Ita dan Sofi yang sudah menunggu kami untuk makan bersama.

Sofi adalah adik kandung Mas Adam yang kebetulan satu sekolah denganku.

"Pagi Ma, Pa" sapa Mas Adam pada Tante Ita dan Om Iwan.

"Pagi Om, Tante, Sofi" sapaku ramah setelah Mas Adam selesai menyapa mereka.

"Pagi" jawab mereka serentak.

Mas Adam menarik kursi yang ada di depan Papanya, sedangkan aku duduk di samping Mas Adam di dekat Sofi yang duduk di kepala meja.

"Em Ma, Pa? Adam mau bicara"

"Bicara apa Dam?" sahut Mamanya Mas Adam.

"Gini Ma, Pa, Egi lagi ada masalah dengan keluarganya, untuk sementara waktu boleh ya Egi tinggal disini sama kita?"

Seketika Mama dan Papanya Mas Adam saling bertatapan, aku hanya bisa diam menjadi pendengar setia.

"Ya ampun Dam kirain mau bicara apa, ya bolehlah kamu ini seperti apa saja, kan Egi sudah kita anggap seperti anak Papa dan Mama juga, iya kan Ma?" ujar Papanya Mas Adam.

"Iya Dam, gak papa kok. Egi jangan sungkan-sungkan ya disini, anggap saja rumah sendiri!"

"Iya Tante makasih"

"Yes asik..." ucap Sofi melambat di huruf 'k' terakhir saat ia menyadari ucapanya yang tak seharusnya di katakan. Seketika semua mata tertuju padanya dan dia terlihat sangat malu. Dengan berat ia memaksa menggambar senyum paksa di wajahnya.

"Kamu kenapa Sof?" tanya Tante Ita.

"Nggak ko Ma, Sofi lagi seneng aja karna hari ini ada pelajaran matematika" jawabnya.

"Oh.." kata Tante Ita sambil manggut-manggut.

"Sudah buruan sarapannya di habiskan nanti telat loh"

"Ya, Pa"

Setelah selesai sarapan, aku ikut Mas Adam ke Kantornya, tak ketinggalan Sofi ikut bersama kami. Sofi duduk di belakang, sedangkan aku duduk di sebelah Mas Adam. Mas Adam melajukan mobilnya, mengantarkan Sofi ke Sekolah terlebih dahulu. Mabil Mas Adam berhenti tepat di depan gerbang sekolahku, Sofi turun dari mobil menuju pintu gerbang sekolah. Hari ini aku tak bisa bersekolah seperti biasanya karna seragam sekolahku tertinggal di rumah.

Mas Adam kemudian melanjutkan mobilnya, sedangkan aku hanya diam tanpa kata.

"Kamu kenapa Gi, kok sepertinya sedih gitu? Apa karna hari ini gak sekolah?"

"Iya Mas, sebenernya aku masih ingin sekolah, tapi..."

"Tapi kenapa Gi?"

"Tapi aku gak bawa seragam sekolah Mas, dan aku gak mau pulang, Mas Adam tau sendiri kan aku gak mau di pisahin sama Mas Adam? Sedangkan Ibuk tak merestui hubungan kita Mas"

Mas Adam malah tertawa seperti mengejekku. Aku tak tau maksud dan apa yang saat ini di fikirkan oleh Mas Adam, tapi yang jelas aku sedikit kesal dengan tingkahnya.

"Yasudah, nanti kita beli seragam sekolah ya?" ujar Mas Adam. Aku hanya diam tak menjawabnya.

Tak lama aku dan Mas Adam sampai di Kantornya, ia memarkirkan mobil, lalu mematikan mesin mobilnya.

"Yuk Gi turun!"

Aku langsung turun dan tak menjawab ajakan Mas Adam karna aku masih kesal dengannya.

"Loh pagi-pagi kok udah cemberut gitu, tar gak cakep lagi loh"

"Biarin" singkatku.

"Ih galak amat, yuk masuk?" tanpa di suru dua kali aku berjalan mengekor di belakangnya, setelah melewati pintu masuk tubuhku terasa sangat dingin karna di ruangan yang ber AC.

"Pagi Pak?" ucap seseorang yang sedang berpapasan dengan Mas Adam. Ini kudengar bukan baru satu kali, selama perjalanan menuju ruangan Mas Adam dari tadi setiap orang yang melihat Mas Adam selalu mengucapkan 'pagi Pak' dibarengi dengan angguakan kepala.

Huf akhirnya sampai juga di ruangan Mas Adam, aku lumayan capek di buatnya. Aku menutup pintu lalu duduk bersandar penuh di sofa tamu yang berada di ruangan kerja Mas Adam.

"Capek ya Gi?" Aku hanya mengangguk. "Is pacarku pagi ini jutek amat ya?" ujar Mas Adam menggodaku, ia duduk di sebelahku saat ini.

"Gak kok biasa aja Mas"

"Hem.. Mau cium ah" tanpa aku iyakan Mas Adam langsung saja mendekatkan bibirnya ke bibirku, baru saja bibir kami akan menyatu tapi tiba-tiba pintu terdengar ada yang mengetuknya. Mas Adam dengan cepat menoleh kearah pintu dan terlihat sedikit kesal dengan seseorang yang mengganggunya. Mas Adam lalu berjalan menuju meja kerjanya dan duduk di kursinya.

"Masuk!" perintah Mas Adam tegas.

Tak lama pintu kemudian terbuka dan seorang laki-laki muda mengenakan kemeja putih dengan leher dikelilingi dasi terlihat dengan senyuman indahnya. Ia sempat menolehku saat ia berjalan menuju meja Mas Adam.

"Ada apa Fir?" tanya Mas Adam.

"Ini Pak ada yang harus di tanda tangani"

Laki-laki itu kemudia menyerahkan beberapa lembar kertas, kemudian Mas Adam terlihat menanda tanganinya.

"Baik Pak kalo begitu saya permisi"

"Silahkan!"

Laki-laki itu lalu keluar ruangan Mas Adam. Kulihat Mas Adam saat ini sibuk dengan pekerjaanya, aku yang tak mau mengganggunyapun membiarkanya dan aku segera merogoh ponsel dari saku celanaku. Tak terasa sudah jam 10.30. Aku membuka akun bbmku. Ternyata sangat banyak teman-teman yang peduli padaku, buktinya hari ini aku tak masuk sekolah saja mereka banyak yang menanyakan keadaanku. Aku membuka pesan yang masuk dan membalasnya.

"Makan yuk Gi?" ajak Mas Adam. Aku yang dari tadi sedang sibuk dengan ponselkupun baru beralih pandangan saat mendengar ajakan Mas Adam.

"Yuk Mas"

Aku dan Mas Adam berjalan menuju keluar kantornya. Aku membuka pintu mobil dan seperti biasa aku duduk di sebelah Mas Adam. Baru saja Mas Adam menutup pintu mobilnya terdengar nada handphone yang sudah tak asing di telingaku. Mas Adam lalu mengangkatnya.

"Halo, Ma?"

"..........."

"Kok dadakan gini sih Ma?"

"..........."

"Yaudah nanti saja Ma, Adam mau makan siang dulu"

"............"

"Iya Ma, iya"

Mas Adam lalu memasukan ponselnya kembali. Saat ini raut wajah Mas Adam terlihat menjadi tak bersemangat, pasti ini ada hubungannya sama Mamanya Mas Adam yang menelfon barusan, tapi entahlah aku juga tak berani menayakan langsung pada Mas Adam.

*-*-*

Adzan maghrib sudah terdengar, aku dan Mas Adam baru saja sampai dirumah, aku turun dari mobil dengan penuh bawaan di kedua tanganku. Setelah makan siang tadi Mas Adam mengajakku ke Mall dan berbelanja. Mas Adam membelikan seragam sekolah baru untukku dan beberapa stel baju untuk aku pakai sehari-hari. Aku sangat senang karna besok aku bisa kembali bersekolah.

Sampai di depan pintu rumah Mas Adam ada seorang perempuan yang menyanbut kepulangan Mas Adam. Siapa dia? sudah sering aku kerumah Mas Adam tapi baru kali ini aku melihatnya. Perempuan itu memeluk Mas Adam dengan erat namun tangan Mas Adam tak ikut memeluk tubuh wanita itu.

Sebenarnya siapa perempuan itu dan kenapa dia tiba-tiba memeluk Mas Adam seolah ia sudah lama mengenal Mas Adam? Saat ini aku sungguh ingin melihat raut wajah Mas Adam, ia bersedih atau bahagia. Namun aku tak bisa melihatnya karna saat ini Mas Adam memembelakangiku. Yang aku lihat hanyalah wajah perempuan itu yang terlihat sangat bahagia saat ia memeluk tubuh Mas Adam. Rasanya aku ingin berteriak pada wanita itu kalau bahu itu hanya milikku dan hanya aku yang boleh menyandarkan kepala di bahu Mas Adam.

Mas Adam kini melepaskan pelukan wanita itu dan ia menoleh kearahku. Saat ini otakku terasa mendidih di penuhi dengan rasa cemburu, bingung dan penuh tanda tanya.

"Kok kamu gitu Dam, memangnya kamu gak kangen apa sama aku? Aku kangen tau sama kamu"

Deg!!

Ternyata dugaanku benar, wanita itu sudah mengenal Mas Adam. Rasanya sudah tidak sabar aku ingin menanyakan pada Mas Adam tentang wanita itu.

"Gita minggir aku baru pulang kerja, aku capek dan aku mau mandi"

Tanpa protes wanita itu lalu memberi jalan pada Mas Adam, sepertinya ia memahami keadaan Mas Adam saat ini.

"Yuk Gi masuk!" ajak Mas Adam sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk pelan dan berjalan menuju kamar Mas Adam. Aku tau senyuman barusan yang di berikan oleh Mas Adam adalah senyuman palsu hanya untuk membuatku senang, karna aku tau Mas Adam sedang kesal dengan wanita itu, tapi sepertinya Mas Adam terlihat tak menyukai kehadiran wanita itu dirumahnya.

Sesampai di kamar aku menutup pintu kamar. Aku menaruh barang bawaan yang memenuhi tanganku sejak tadi, kemudian aku berdiri mematung melihat Mas Adam yang sedang membuka jas yang masih menempel pada tubuhya.

"Loh kok malah bengong Gi? Mandi sanah!" perintah Mas Adam. Aku bukanya menuruti perintah Mas Adam, tapi aku malah duduk di tepi ranjang Mas Adam dengan wajah sedih tak bersemangat, aku menundukan kepalaku.

Mas Adam memegang daguku dengan tangan kanannya lalu menaikannya hingga wajah kami saat ini berhadapan. "Kamu kenapa sayang? Aku tak mau melihatmu sedih" ucap Mas Adam lirih. Saat ini aku menatap mata Mas Adam tanpa berkedip, aku melihat ada sebuah jurang disana, jurang yang sangat dalam. Apa itu jurang kehancuran cintaku dan Mas Adam? Apakah jurang itu akan memisahkan aku dan Mas Adam? Nngak itu gak boleh terjadi, aku tak mau jika suatu saat nanti akan berpisah dari Mas Adam. Rasanya aku harus tau ada apa ini sebenarnya.

"Aku mau tanya Mas?"

"Tanya apa Gi?" ujar Mas Adam mencium lembut jemari tangan kananku.

"Siapa perempuan itu Mas?"

Mas Adam tampak diam dan tak menjawab pertanyaanku, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju teras kamarnya. Ia berdiri di sana dengan kedua tangan yang seolah menahan berat tubuhnya di atas pagar besi itu. Aku mengikuti Mas Adam yang masih setia tak bergeming dengan posisinya, Aku berdiri disebelah Mas Adam dengan posisi yang mengikuti dirinya. Aku menatap wajah Mas Adam yang saat ini sedang terpaku menatap lurus kedepan. Entah apa yang ia lihat saat ini, tapi yang jelas di depan sana aku hanya melihat kelipan bintang yang baru saja muncul.

"Mas?" sapaku pelan. Mas Adam kini memutar tubuhnya menghadapku dan kulihat kini matanya sudah basah oleh air matanya. "Mas Adam kenapa menangis?" tanyaku sedikit panik. Aku semakin tak mengerti sebenarnya ada apa dengan Mas Adam.

"Maafin Mas Adam ya Gi?" ucapnya lirih. Mas Adam kini duduk di kursi yang ada di sebelahnya dengan rasa keputus asaan. Terlihat rasa bersalah yang amat mendalam di raut wajahnya.

"Maafin karna apa Mas? Sebenarnya ada apa dan siapa perempuan itu Mas?" Air mata Mas Adam semakin mengalir deras, ia menangis dengan suara tertahan.

"Perempuan itu... Perempuan itu anaknya Tante Ira teman sekolah Mama dulu Gi, Mama dan Tante Ira sudah lama bersepekat mau menjodohkan Mas Adam dengan Egita"

Dadaku tiba-tiba terasa amat sesak, aku sangat berharap apa yang baru saja kudengar dari mulut Mas Adam adalah salah, namun aku tak bisa menyangkal lagi kalau kata-kata yang barusan diucapkan oleh Mas Adam itu salah, karna aku tak mendenar lanjutan kata-kata dari Mas Adam yang membuatku hatiku tenang. Aku sebisa mungkin menahan air mataku agar aku terlihat kuat didepan Mas Adam, namun akhirnya air mataku mengalir juga membasahi pipiku. Kini harapannku untuk bisa hidup bersama Mas Adam pupus sudah.

"Kenapa Mas Adam gak pernah cerita sama Egi Mas?" kataku dengan suara isak dan bibir bergetar. Kedua tangan Mas Adam memegang pipiku dan menyapu air mataku dengan ibu jarinya.

"Mas sengaja nyembunyikan hal ini dari kamu Gi, Mas gak sanggup menceritakanya sama kamu"

"Egi gak mau Mas, Egi gak mau pisah dari Mas Adam. Mana janji Mas Adam dulu kalau setelah Egi tamat sekolah kita akan tinggal sama-sama kan Mas, mana Mas?"

"Maafin Mas Adam Gi, Mas Adam gak bisa lagi menolak perjodohan ini, karna Mas Adan dulu sudah janji sama Mama dan Papa, kalau usia Mas Adam sudah 25 tahun Mas Adam baru akan menikah. Apalagi Papa Mas Adam punya penyakit jantung, Mas Adam gak mau Papa kenapa-kenapa"

Mas Adam menaruh kepalaku didadanya, kali ini pelukan Mas Adam tak seperti biasanya yang selalu membuatku nyaman saat di peluknya, tapi kali ini aku malah merasa takut. Takut ini adalah pelukan terakhir yang Mas Adam berikan padaku. Nggak, Mas Adam gak boleh menikah, Mas Adam gak boleh jadi milik orang lain, dia hanya milikku!

Jangan bilang aku egois! Kalian pernah kan mencintai seseorang dengan sebenar-benarnya? Apa yang kalian rasakan jika orang yang saat ini menjalin hubungan dengan kalian tetapi dia akan menikah dengan orang lain? Pasti kalian juga gakan rela kan melepas orang yang kalian sayangi jadi milik orang lain? Tubuhku terasa lemah tiba-tiba. Takut kehilangan sudah pasti, tapi rasa sakit itu tak akan bisa disembuhkan walau di gantikan dengan sekarung emas.

Mas Adam melepas pelukannya, ia menatap wajahku yang saat ini terlihat sayu. "Tolong jangan menangis lagi Gi, Mas Adam gak sanggup melihatmu meneteskan air mata"

"Gimana aku gak nangis Mas, Mas Adam saja mau menikah dengan orang lain. Trus aku gimana Mas, aku sama siapa?"

Mas Adam diam tak menjawab pertanyaaku, ia mengusap rambutku dengan lembut lalu mengecup keningku. Biasanya Mas Adan jika mengecup keningku dengan penuh kasih sayang dan aku merasakan kedamaian setiap di kucupnya, tapi kecupannya kali ini sungguh membuatku malah tersakiti, entah kenapa, tapi aku merasa ini kecupan terakhir yang di berikan oleh Mas Adam.

Tok tok tok

Pintu kamar terdengar ada yang mengetuknya, aku dan Mas Adam secara serentak menoleh kearah pintu. Dengan cepat Mas Adam menyapu air matanya, lalu berjalan menuju pintu kamar dan mebuka pintu.

"Ada apa, Ma?"

"Loh kok belum mandi Dam? Buruan mandi, nanti kita makan malam sama-sama dengan Tante Ira dan Egita. Oya sekalian ajak Egi ya!"

"Iya Ma"

"Yasudah kalo gitu Mama tinggal dulu ya sayang?"

Tante Ita kemudian pergi meninggalkan Mas Adam, Mas Adam kembali melangkagkan kaki menghampiriku.

"Sudah malam Gi, mandi gih nanti kita makan malam sama-sama!"

"Mas Adam mandi saja duluan, aku nanti saja Mas"

"Yasudah Mas Adam mandi dulu ya?"

Aku hanya mengangguk. Mas Adam berjalan menuju kamar mandi, sedangkan aku berjalan menuju ranjang tempat tidur Mas Adam. Aku duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk lesu, dadaku terasa sangat sakit.

"Hey Gi, ini aku bawain tas dan buku sekolahmu. Tadi siang Mas Adam menelfonku dan menyuruhku mengambilkan tas dirumahmu agar besok kau bisa masuk sekolah" ucap Sofi penuh antusias. Aku menaikan kepalaku dan melihat Sofi yang sedang tersenyum-senyum karna merasa senang seolah sudah menjadi pahlawan untuku.

"Taruh disitu saja Fi!" perintahku sambil melihat meja kecil. Sofi merasa sedikit kecewa karna aku tak terlihat senang atas pertolonganya, wajahnya yang awalnya berseri-seri kini berubah setelah mengamati wajahku yang terlihat sangat kusut.

"Kamu kenapa Gi?"

"Gak papa kok Fi, tinggalin aku Fi, aku mau mandi!"

Sofipun menaruh tas sekolahku kemudian tanpa protes ia pergi meninggalkanku.

*-*-*

Malam ini adalah acara makan malam bersama, semua orang sudah hadir dan mengelilingi meja makan. Om Iwan duduk bersebelahan dengan Tante Ita, Tante Ira sendirian dan aku di sebelah Sofi. Aku sudah sering makan malam bersama keluarga Mas Adam, tapi sumpah, baru kali ini aku duduk terpisah dari Mas Adam, karna kali ini Mas Adam duduk di sebelah Egita.

Aku sungguh bencin menyebut namanya yang mirip namaku. E-g-i-t-a. Rasanya aku ingin berteriak dan memberi tahu pada semuanya kalo aku adalah pacarnya Mas Adam, tapi rasanya tak mungkin aku mengatakannya.

"Eh Ma, liat deh Mas Adam tambah ganteng ya Ma?" ujar Egita memuji Mas Adam.

"Iya, kalian sangat cocok, iyakan jeng?" ucap Tante Ira sambil senyum menoleh Tante Ita.

"Iya.. Kalian sangat cocok"

"Oya jeng, maaf ya Papanya Egita gak bisa ikut, solanya sibuk dengan proyek barunya, tapi pesan Papanya Egita kalo bisa pernikahan Adam dan Egita jangan di tunda lama-lama, kan mereka sudah sama-sama dewasa"

"Ah Mama bisa saja, Egita mah nurut sama Mas Adamnya saja Ma kapan siapnya, iya kan sayang?" ujar Egita memegang tangan Mas Adam. Mas Adam melirikku. Wajahku terasa panas, kurasa wajahku memerah. Aku gak boleh nangis disini, aku harus kuat! Aku berusaha menahan air mataku sekuat mungkin agar tak keluar saat aku masih berada di meja makan ini.

"Dam? Kok malah diem? Jawab dong pertanyaan Egita?" tegas Tante Ita.

"I-iya kok Adam sudah siap, Ma"

Deg!!

Jawaban Mas Adam barusan seperti menusuk dadaku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Ya Allah sepertinya hubunganku dengan Mas Adam benar-benar akan berakhir, sepertinya kebahagiaan tak akan ada lagi diataraku dan Mas Adam.

Saat ini aku tak bisa lagi berharap banyak dengan Mas Adam, aku rasa cerita cintaku yang akan hidup bahagia dengan Mas Adam hanya akan menjadi sebuah mimpi.

"Nah gitu dong, loh Egi kenapa kamu menangis?" tanya Tante Ita tiba-tiba. Aku sangat kaget dan aku tak sadar jika aku menitihkan air mataku.

"Em.. Anu Tante, Egi.. Egi menangis bahagia karna Mas Adam akan segera menikah dan mempunyai istri" jawabku yang akhirnya menemukan alasan. Aku segera menghapus air mataku, Mas Adam menoleh kearahku dan kulihat mata Mas Adam juga berkaca-kaca.

"Oh gitu, Tante seneng dengernya, oya nanti pas pernikah Mas Adam kamu disini ya? Mas Adam kan sudah anggap kamu seperti adik kandungnya sendiri, jadi kamu harus ikut mendanpingi saat akand nikah nanti ya Gi? Om dan Tante juga sudah anggap kamu seperti anak kami sendiri, jadi rasanya kurang lengkap kalo kamu tak ikut hadir di pernikahan Mas Adam nanti"

Ya Allah... Tante Ita apa-apaan sih, masa aku disuruh menghadiri Mas Adam yang akan bersanding dengan Egita? Apa aku kuat untuk melihatnya? Sumpah hari ini adalah hari yang paling membuatku tak ingin bertahan hidup berlama-lama, aku gak sanggup ya Allah.

"I..ya Tante, Egi pasti hadir kok" ucapku meyakinkan.

"Yasudah sekarang kita makan dulu ya!" ajak Om Iwan.

Aku melirik kearah Mas Adam, Egita dengan genitnya mengambilkan nasi ke piring Mas Adam. Aku sungguh kesal melihatnya, jangankan untuk makan, duduk di sini saja aku sudah sangat malas jika melihat Mas Adam selalu dekat dengan Egita. Semua orang makan malam bersama dengan bahagia sambil berbincang-bincang menentukan hari pernikahan Mas Adam, hanya aku dan Mas Adam yang terlihat tak banyak bicara.

*-*-*

Tanpa terasa sudah satu bulan aku tak pulang kerumah, tapi aku sama sekali tak pernah rindu pada Ibuku. Hari ini adalah hari pernikahan Mas Adam, sekuat mungkin aku menepati janjiku pada Tante Ita kalau aku akan ikut mengahdiri pernikahan Mas Adam. Rasanya air mataku sudah kering karna seringnya menangis, tapi kali ini rasanya hatiku ikut menangis.

Ya Allah aku tau cintaku dan Mas Adam tak akan pernah kau ridhoi, tapi aku mohon beri aku kekuatan dan hilangkan rasa ini jika memang tak pernah kau restui, aku gak kuat Ya Allah.

Di pagi yang terlihat sangat cerah ini semua orang yang di undang berdatangan ke Masjid dimana pernikahan Mas Adam yang sebentar lagi akan di laksanakan. Suatu ikatan suci yang di ridhai Allah antara dua insan laki-laki dan perempuan. Aku dan Mas Adam baru saja turun dari mobil, Mas Adam beserta keluarga yang lainnya berjalan memasuki Masjid, sedangkan aku berhenti saat berada di depan pintu Masjid dan kembali keteras dan duduk di salah satu tiang yang berada di teras Masjid. Semua orang sudah masuk kedalam Masjid, namun aku tak sedikitpun ada keberanian untuk menyaksikan akad nikah Mas Adam dan Egita.

Aku duduk sendirian di teras sebelah kanan Masjid dekat tempat wudhu, aku hanya mendengarkan acara pernikahan Mas Adam lewat pengeras suara di Masjid. Kalian tau apa yang aku rasakan saat para saksi mengatakan kalimat 'sah'?

Jika bisa dilihat hatiku benar-benar ikut menangis menitihkan air mata, semua harapanku telah sirnah. Kini Mas Adam benar-benar menjadi milik orang lain, itu tandanya aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan lagi dan aku tak akan pernah bisa memiliki Mas Adam seperti dulu. Ya Allah, begini kejamnyakah nasip cinta seorang gay? Aku gak kuat Tuhan...

Dulu Mas Adam pernah berjanji akan selalu membuat ku bahagia, dulu Mas Adam juga berjanji tak akan ada cinta lain selain diriku, dan dulu juga Mas Adam pernah berjanji jika kita akan hidup bahagia bersama, tinggal bersama dan melewati suka dan duka bersama. Tapi kini semua hanyalah tinggal cerita pahit dalam hidupku, tak satupun janji yang ia ucapkan di tepatinya. Kini Mas Adam bisa hidup bersama kekasih barunya, tapi aku? Aku masih terjebak dalam kegelapan yang banyak terdapat duri-duri di dalamnya. Aku tak mungkin bisa keluar dari kegelapan ini, karna naluriku hanya bisa mencintai seorang laki-laki tanpa ada ketertarikan pada kaum hawa.

Cuaca yang tadinya sangat terang karna pancaran sinar mentari pagipun kini berubah menjadi sangat gelap, angin berhembus sangat kencang membuat tubuhku terasa sangat dingin. Tak lama hujanpun ikut turun membasahi bumi seolah ikut menangis seperti hatiku. Saat ini suara acara di dalam Masjid tak lagi terdengar karna gemuruhnya hujan yang sangat lebat, tapi aku melihat orang yang berada di dekat pintu samping Masjid sedang mengadahkan kedua tangannya, itu menandakan mereka sedang berdo'a. Aku yang tak lagi sanggup melihat Mas Adam pun pergi meninggalkan Masjid ini, lagi pula saat ini Mas Adam juga tak akan peduli lagi denganku karna saat ini sudah ada Egita yang akan selalu menemani hidupnya.

Aku berlari dan terus berlari di bawah derasnya guyuran hujan, meninggalkan Masjid dimana akad nikah Mas Adam dilasanakan. Aku kecewa dengan Mas Adam yang tak menepati semua janjinya. Hujan sangat lebat hingga membuat bajuku semua menjadi basah. Tapi aku tak peduli, yang terpenting saat ini aku hanya ingin pergi jauh-jauh dari kehidupan Mas Adam. Orang yang telah berhasil membuatku rela meninggalkan Ibu kandungku sendiri demi hidup bersamanya, orang yang membuatku benar-benar mencintainya dan sekaligus orang yang telah menggoreskan luka yang amat perih di hatiku.

Jika aku tau rasanya akan sesakit ini, sungguh aku tak mau menjalin ikatan yang namanya cinta, apalagi aku tau cinta kami sampai kapanpun tak akan pernah di restui oleh siapapun. Aku kecewa dengan Mas Adam dan aku gak mau kenak lagi dengannya, aku benci dengan Mas Adam.

Aku terasa sangat lelah, aku berhenti dengan kedua tangan memegang kedua lututku, nafasku tersengal tak beraturan. Aku menoleh kesebelah kiriku ternyata ada sebuah Masjid. Aku menatapnya tak berkedip hingga beberpa detik, rasanya aku sangat ingin berteduh di Masjid itu. Kedengaranya sangat konyol, untuk apa aku berteduh? Toh bajuku sudah basah kuyup? Tapi entah kenapa, hatiku terasa sangat damai jika memandangi Masjid itu. Masjid yang ukurannya tak terlalu besar dengan warna putih yang amat terang.

Aku berjalan pelan menuju Masjid itu, terlihat dari pintu yang terbuka penuh di dalam Masjid sedang ada pengajian. Aku duduk di teras Masjid dengan rasa yang amat dingin, tubuhku terasa sangat menggigil.

"Assalamu'alaikum..."

Aku sangak kaget saat mendengar seseorang yang mengucapkan salam padaku. Aku segera menoleh kebelakang, ternyata ada seorang Bapak-bapak menghampiriku yang tak tau dari mana asalnya. Ia mengenakan baju koko berwarna putih, berkopia hitam polos dan wajahnya dihiasi jenggot yang tak terlalu panjang namun rapi.

"Wa.. Wa'alaikum salam" jawabku dengan bibir bergetar karna kedinginan. Aku melipatkan kedua tanganku agar rasa dingin di tubuhku sedikit terobati, sedangkan Bapak itu duduk di sebelahku.

"Dari mana asalmu? Dan kenapa kau hingga basah seperti ini?"

Aku tak langsung menjawabnya, aku masih melipat kedua tanganku semakin erat karna tubuhku semakin bergetar menahan dingin yang membuat tubuhku semakin terasa menggigil.

"Apakah boleh aku bertanya sesuatu? Apa boleh aku sedikit bercerita tentang hidupku?" kataku balik bertanya.

"Tentu saja, silahkan!" jawabnya cepat.

Mungkin aku bisa sedikit bercerita dengan Bapak ini, lagi pula aku tak kenal dengan beliau, sekalipun aku menceritakan masalah yang sebenarnya aku tak akan malu, toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Karna saat ini aku memang benar-benar butuh seseorang pendengar keluh kesah dari hatiku namun yang tak akan membuatku malu agar rasa sakit di hatiku sedikit terobati.

"Pak? Mungkin aku manusia yang sangat hina di mata Allah, aku.. Aku adalah seorang gay. Aku mencintai seseorang yang berjenis kelamin sama denganku. Bukan cuma itu, bahkan aku menjalin hubungan asmara dengannya. Ibuku mengetahui aku berpacaran dengan laki-laki itu Pak, hingga Ibuku melarangku karna hubunganku dilarang Agama. Tapi aku bukanya mendengarkan nasehat Ibuku, aku malah pergi meninggalkan Ibuku sendirian dirumah dan aku tinggal bersama kelasihku. Tapi.. Hari ini Mas Adam menikah dengan seorang wanita karna di jodohkan oleh orang tuanya. Aku benci dengan diriku yang tak bisa mencintai seseorang perempuan Pak. Kenapa Allah menciptakan rasa itu jika ia sendiri tak pernah merestuinya, ini sungguh tak adil Pak?" aku mangatakanya dengan suara isak, dan menundukkan kepalaku. Walau awalnya aku tak merasa malu, namun aku tatap merasakan malu juga saat menceritakan bahwa aku adalah seorang gay.

"Masya Allah Nak, kamu tidak boleh berfikir seperti itu, Allah itu maha adil! Percayalah apa yang Allah berikan pada kita itu adalah yang terbaik untuk kita"

"Termasuk aku seorang gay, Pak?" potongku dengan menatap wajah Bapak itu. Bapak itu tersenyum dan memegang bahuku.

"Allah membuatmu seperti ini pasti ada rencana lain di balik ini semua, mungkin jika kamu menjadi lelaki straight kamu akan gila seks dan mempermainkan perempuan semaumu karna kamu tak dapat mengendalikan hawa nafsumu. Karena hubungan laki-laki dan perempuan itu umum, dan kamu bisa bebas bogonta-ganti pasangan sesuka hatimu. Dan seandainya kamu tertarik pada wanita dan akan berdampak seperti itu apa kamu mau menjadi orang yang berlumur dosa dengan perzinahanmu itu?"

"Nggak Pak" kataku pelan dibarengi dengan gelengan kepala.

"Maka dari itu, jangan pernah berburuk sangka pada Allah, karna semua yang ada di bumi ini sudah di atur oleh Allah. Percayalah, Allah itu sayang padamu hingga kamu di uji seperti ini. Dan Bapak yakin kamu bisa melewatinya, karna Allah itu tidak akan menguji hambanya melebihi dari kemampuan hamba itu sendiri. Sekarang pulanglah, minta maaf pada Ibumu!"

"Tapi Pak, aku malu pada Ibu setelah apa yang aku lakukan pada Ibuku"

"Seorang Ibu itu mencintai anaknya melebihi ia mencintai nyawanya sendiri, maka bagaimanapun perlakuan seorang anak pada dirinya, ia pasti akan memaafkanya. Pulanglah, minta maaf pada Ibumu! Bertaubatlah dan minta ampun pada Allah, niscaya hidupmu akan lebih terasa damai dan bermakna"

"Makasih Pak, baiklah aku akan pulang"

Aku menyalami dan mencium tangan Bapak tua itu, ia tersenyum dan mengusap rambutku. Akupun ikut tersenyum lalu perlahan aku pergi meninggalkan Masjid itu.

*-*-*

Siang ini matahari berada tepat di atas kepalaku, aku bediri di depan rumahku yang sebulan lalu kutinggalkan. Rumah limas sederhana yang dindingnya terbuat dari papan dan beratap asbes yang terlihat sudah sedikit usang. Rumah yang beberapa tahun lalu menjadi saksi perginya sosok Ayahku untuk selamanya. Aku melihat pintu rumahku terbuka penuh, tapi ku perhatikan tak ada sosok Ibuku yang melintasi pintu itu. Rumah itu terlihat sangat sepi seperti tak berpenghuni.

Aku memberanikan diri, perlahan aku melangkahkan kaki menuju pintu yang sudah terbuka penuh. Sampai di depan pintu aku berhenti, melihat setiap sudut kursi namun tak kudapati sosok Ibu duduk di sana. Lidahku terasa keluh saat ingin mengucapkan salam, aku tak mempedulikanya dan aku langsung melanjutkan langkah kakiku menuju kamar Ibu. Aku membuka pintu kamar Ibu, dan aku tak melihat sosoknya, yang kulihat hanyalah tumpukan bantal yang tersusun sangat rapi di atas ranjangnya. Aku menutup pintu kamar Ibu lalu aku menuju dapur.

Didapur juga aku tak melihatnya, dan pintu dapurpun terlihat masih terkunci rapi. Aku mulai mencemaskan keadaan Ibuku, dimana dia? Dan bagai mana keadaanya? Aku duduk di kursi meja makan dan aku merasa sangat menyesal telah meninggalkan Ibuku.

"Buk, Ibu di mana? Kenapa rumah ini begitu sepi jika tak ada kehadiranmu?"

Ah.. Rasanya percuma aku bertanya, pasti tak akan ada yang menjawbnya. Aku sangat takut, takut jika aku tak bisa melihat Ibu lagi. Sosok yang selalu menyayangiku dengan sepenuh hati, sosok yang biasanya setiap pagi tak pernah bosan membangunkanku. Sosok yang selalu menyiapkan sarapan saat aku sebelum berangkat sekolah dan sosok yang tak pernah lelah memberi semangat saat aku sedang pustus asa.

Dimana dia? Dimana Ibuku saat ini? Aku harus bertemu dengan Ibuku dan aku ingin minta maaf padanya. Aku menyesal Bu, aku menyesal telah durhaka padamu.

Aku bangkit dari tempat duduku, berjalan menuju kamarku. Sesampai di pintu kamar, air mataku benar-benar mengalir mendapati sosok Ibuku yang sedang duduk di ranjang tempat tidurku dengan kedua tangannya memeluk sarung dan baju kokoh ku. Wajah keriputnya di penuhi air mata, mungkin ia sangat rindu denganku hingga ia menangis seperti itu. Ibu menangis tertahan, aku sangat merasa bersalah pada Ibuku. Aku sangat ingat sarung dan baju kokoh itu pemberian Ayahku saat aku beru selesai di khitan saat kelas 5 SD. Bahkan aku masih ingat pesan Ayah waktu itu.

"Kamu sekarang sudah besar Gi karna kamu sudah di khitan. Ini hadia dari Ayah sebuah sarung dan baju kokoh. Jaga sholatmu jangan sampai di tinggalkan! Kamu anak laki-laki Ayah satu-satunya, dan jadilah anak yang berbakti pada orang tua, agar kelak anak-anakmupun berbakti padamu"

Aku sangat ingat pesan-pesan Ayah waktu itu, walau usiaku masih kecil tapi pesan yang Ayah ucapkan seperti untuk orang dewasa, aku baru tau kenapa Ayah menyampaikanya tak menungguku dewasa, ia seolah tau usianya tak lama lagi dan benar saja Ayahku meninggal setahun setelah khitananku.

Aku berjalan pelan dan langsung bersujud di kaki Ibuku.

"Maafin Egi Buk" kataku sambil menangis sejadi-jadinya menyesali perbuatanku. Aku sangat menyesal telah menyakiti hati orang yang benar-benar tulus menyayangiku, aku sungguh malu dengan diriku sendiri. Tak lama aku merasakan sentuhan tangan Ibu membelai rambutku dengan lembut.

"Subhananllah kau sudah pulang Nak?" kata Ibu dengan suara isak. Ibu mencoba mengangkat kedua tanganku yang masih melingkar erat di kedua kakinya, namun aku tak mau karna aku masih mau bersujud di kaki Ibuku sampai Ibu memaafkanku. Ya Allah.. Ampuni dosaku pada Ibu, aku telah durhaka pada orang yang telah melahirkan dan membesarkanku. Aku dengan sengaja menyakiti hatinya. Aku sayang Ibuku ya Allah, berikanlah ia usia yang panjang agar aku dapat membahagiakannya nantinya.

"Buk Egi tau Egi salah Buk, Egi sudah durhaka pada Ibu dan Egi manusia kotor karna Egi seorang gay. Egi rela jika Ibu mau mengusir Egi dari rumah, tapi Egi mohon Buk, maafkan dulu kesalahan Egi agar Egi bisa pergi dengan legah tanpa beban" kataku memohon pada Ibu. Ibu menggelengkan kepalanya dan ia semakin terisak dengan tangisannya. Ia memegang pipi kanan dan kiriku dengan kedua tangannya hingga wajahku saat ini mendongak menatap wajahnya. Aku semakin tak kuasa melihat keadaan Ibu saat ini, wajah keriputnya sungguh di penuhi dengan air mata. Aku menyesal, aku sungguh menyesal telah membuatnya menangis hingga seperti ini.

"Berdirilah Nak, Ibu sudah memaafkanmu!" ujar Ibu berusaha terlihat tegar. Aku menggelengkan kepalaku, karna aku merasa tak pantas mendapatkan kata maaf dari Ibu.

"Nggak, aku gak mau berdiri Bu, dosa Egi sangat besar pada Ibu, Egi tak pantas mendapat kata maaf dari Ibu" kataku. Namun Ibu tersenyum dalam tangisannya, seolah dirinya tak ada lagi beban pada dirinya. Tapi aku tau Ibu hanya ingin membuatku bahagia. Seorang Ibu memang sangat pandai menyembunyikan kesedihannya demi membuat bahagia anaknya.

"Kamu harus tau Nak, sebesar apapun dosa anak terhadap Ibunya, seorang Ibu akan dengan ikhlas memafkan kesalahan anaknya. Tak ada Ibu yang tak merindukan anaknya, begitupun dengan Ibu" ucapnya sambil tersenyum.

"Katakan Buk, Egi harus bagaimana agar Egi bisa membuat Ibu senang?"

"Jangan tinggalkan sholat dan jauhi laranga Allah Nak!"

Aku menganguk dan dengan cepat aku bangkit lalu memeluk Ibuku dengan erat. Aku menangis tertahan di bahu Ibuku, aku sangat-sangat takut kehilngan dirinya, karna cuma Ibu yang tak akan pernah mebuatku kecewa.

Aku berkata dalam hati.
"Egi janji Buk, Egi akan turuti kemauan Ibu. Walau Egi tak bisa mencintai perempuan dan masih menyukai laki-laki, tapi setidaknya Egi tak akan lagi mengulangi menjalin hubungan terlarang"

Ibu melepas pelukanku dan ia menyapu air mata yang masih mengalir di pipiku. Aku tersenyum kemudia aku kembali memeluk Ibu dengan erat. Aku merasakan kehangatan dan ketenangan saat berada di pelukannya. Kehangatan sesungguhnya yang tak akan pernah berubah selamanya, karna tak ada seseorang yang menyayangi dengan tulus selain seorang 'Ibu'

Hanya Ibu dan cuma Ibu yang mencintai dan menyayangi anaknya dengan tulus, ia tak pernah mengharapkan balasan dengan apa yang telah ia lakukan pada anaknya. Yang lebih maha dasyat lagi adalah ketika anak telah durhaka dan menyakiti hatinya sekalipun, ia masih mau mamaafkan kesalahan anaknya. Masya Allah, sungguh ketulusan yang tiada tara di dunia ini.

Jika kalian tak ingin menyesal di kemudian hari, janganlah pernah menyia-nyiakan Ibumu yang saat ini beliau masih ada bersamamu, jaga dia dan jangan buat dia menangis, apalagi menyakiti hatinya. Buatlah ia selalu bahagia sebisamu walau kita tau yang kita lakukan tak akan pernah bisa membalas jasanya.

Aku mencintaimu Ibu, dan aku sungguh menyayangimu wahai Ibuku...

-- THE END --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar