Rabu, 27 Januari 2016

Karena Dirimu
Part 02
----------------
By. Aby Anggara
=======================

***

Denis berbaring terlentang di ranjangnya. Ia masih bingung dengan tingkah Sherly waktu di sekolah tadi, yang selalu saja tak mau memberi alasan kenapa ia memutuskan hubungan dengannya. Denispun akan menyelidiki Sherly secra diam-diam karna ia ingin tau apa sebenernya yang di sembunyikan darinya.

Seketika Denis tersenyum sendiri saat teringat kejadian di kelas tadi pagi. "Kenapa Ardi sebegitu tak inginya aku mendapat hukuman dari Pak Rudi, sampai ia rela menggantikan posisiku? Ah sudahlah lupakan! Lagi pula bukan hanya denganku saja Ardi baik seperti itu. Dia memang anak baik dan dia memang baik pada semua orang"

Denis yang merasa bosan berada di dalam kamarpun berjalan keluar rumah melalui pintu belakang. Ia tersenyum saat melihat Ardi yang sedang membantu Ayahnya memotong tanaman bunga yang menjadi pagar rumah di samping kiri taman belakang. Selain baik, Ardi juga anak yang sangat penurut dan juga sangat suka membantu orang tuanya.

Denis masih bersandar di tiang pintu dapur dan memangku kedua tangannya sambil menyaksikan keakrapan antara mang Mamat dan anaknya.

Perlahan ia berjalan menghampiri mereka. Di sore yang sedikit mendung ini suasana terasa sangat teduh dan terasa damai, serta hembusan anginpun membuat Denis semakin menyukai sore itu.

Ardi dan Ayahnya masih belum menyadari jika saat ini Denis sedang memperhatikan mereka, karna Denis berada di belakang mereka.

"Sudah sore belom mandi Ar?" tanya Denis. Seketika Ardi dan Ayahnya menoleh dan memutarkan tubuhnya kearah Denis.

"Eh ada Den Denis, belum Den sebentar lagi masih tanggung soalnya"

"Oh gitu.. "

Ardi hanya tersenyum ramah dengan memegang gunting besar di tangan kanannya.

"Lagi ngapain Ar?" tanya Denis berbasa-basi. Pertanyaan yang sangat konyol, namun saat ini hanya pertanyaan itulah yang ada di benak Denis. Ia sangat ingin mengajak Ardi berbincang-bincang tapi selain kaku karna tak terbiasa Denis juga sedikit canggung jika berbicara dengan Ardi.

"Ini Den lagi ngerapiin bunga"

"Oh.. Boleh cobain gak?"

"Eh jangan Den, nanti tanganya bisa kasar loh" kata Ardi melarang Denis.

"Tapi aku pengen mencobanya"

"Tapi Den"

Denis tetap saja tak menggubris larangan Ardi, Denis tersenyum dengan uluran tangan kananya menadah gunting besar yang sedang di pegang oleh Ardi. Ardi kelihatan bingung dan berfikir sesaat sambil menoleh Ayahnya, dan Ayahnyapun mengguk. Dengan ragu Ardi menyerahkan gunting besar itu pada Denis.

Denis mulai menggunting ujung bunga itu dengan kedua tanganya, tapi tak sebatang pohonpun yang putus oleh irisan guntingnya dan ternyata pohon bunga itu terasa begitu keras hingga membuat Denis meringis menekan gunting yang terasa begitu berat. Sementara Ardi yang ada disebelahnya menahan tawa melihat aksi Denis yang terlihat begitu lucu.

"Bukan begitu caranya Den" ujar Ardi memberitahu Denis. Seketika Denis menoleh Ardi dan menghentikan aksinya.

"Trus gimana Ar?"

Ardi meminta kembali gunting besar yang ada ditangan Denis dan ia mempragakan cara memotong pohon itu agar bisa putus dan tak terasa berat. Denis benar-benar memperhatikan saat Ardi memberi contoh padanya dan ternyata gerakan kedua tangan harus seimbang dan dikejutkan agar bisa putus dan tak terasa berat dan keras.

Denis tercengang saat melihat Ardi dengan mudahnya memutuskan pohon-pohon bunga itu, kemudia Denis meminta kembali gunting yang berada di tangan Ardi dan ia ingin mencobanya sekali lagi.

"Denis!" panggil Rara sedikit teriak. Dengan langkah cepat Rara menuju kearah Denis dan Ardi. Rara terlihat sangat murka jika melihat Ardi berdekatan dengan Denis.

"Ada apa kak?"

"Ngapain sih lo di sini deket-deket sama anak gembel ini? Eh anak gembel, sudah berapa kali gue bilang jangan deket-deket ade gue, kalian itu gak selevel untuk bergaul ngerti gak sih?" kata ka Rara sambil menunjuk Ardi. Seketika Ardi terlihat begitu ketakutan dan ia menundukan kepalanya.

"Ma-maaf Non"

"Maaf-maaf, lo gak tuli kan?"

"Apaan sih ka Rara datang-datang marah-marah, orang Denis sendiri kok yang datang kesini deketin Ardi"

"Dasar anak bandel, sudah berapa kali ka Rara bilang jangan deket-deket anak gembel ini, ayo masuk!" kata Rara memegang tangan Denis.

"Tapi kak?"

"Gak ada tapi-tapian, ayo masuk!" dengan geram Rara menyeret tangan Denis mengajaknya masuk kedalam rumah, sedangkan Denis hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah kaki Rara. Ardi dan ayahnya hanya bisa diam melihat tingkah Rara seperti itu.

Rara melepaskan tangan Denis saat mereka sampai di ruang tengah, Denis merintih merasakan sakit di tanganya akibat seretan Rara tadi. Dikulitnya yang sangat putih terlihat jelas bekat merah melingkar di pergelangan tangan Denis akibat seretan yang dilakukan oleh Rara.

"Denger ya Nis, ka Rara gak suka lo deket-deket anak kampung itu lagi, ngerti!" kata Rara memperingati Denis. Denis hanya diam dan menundukan keplanya. Setelah itu Rara lalu pergi meninggalkan Denis.

Denis masih memegangi tangan kananya yang masih terasa sakit. Perlahan ia berjalan menuju kursi yang berada di sebelahnya. Ia duduk melamun dengan sesekali memijat tangannya yang masih terasa sakit. Matanya mulau berkaca-kaca, ia merasa tak ada yang menyayangi dirinya di rumah ini. Walau ia terlahir di keluarga yang sangat kaya dan berkecukupan, tapi ia tak pernah merasakan kebahagiaan seperti yang ia inginkan.

"Kenapa sih sejak dulu ka Rara gak suka aku dekat dengan Ardi? Padahal aku hanya ingin punya teman ngobrol agar aku tak merasa kesepian di rumah ini"

Denis melihat sekaliling ruangan tengah rumahnya yang begitu luas dan megah, dengan cat berwarna putih bersih serta tirai-tirai indah yang menjulang di setiap jendela besar yang menambah indah suasana ruangan rumahnya. putaran kepalanya berhenti saat ia melihat foto keluarga di dinding dengan ukuran yang sangat besar. Pandanganya tak berkedip sedikitpun menatap foto itu.

Perlahan iya berdiri dan mendekati foto itu. Didalam foto itu terlihat jelas senyuman ceria dari masing-masing mereka. Mama dan Papanya berada di deretan belakang, sedangka ia dan Rara berada di depan. Namun saat foto itu diambil usia Denis masih sepuluh tahun, hingga ia terlihat masih begitu lucu.

Pandangan Denis semakin tak jelas karna ada genangan air mata yang masih bersarang di bola matanya. Seketika ia menghapus air mata dengan tangan kirinya.

"Ma, Pa..? Apa dulu aku bahagia seperti di foto itu? Aku melihat aku tersenyum bahagia saat itu, tapi kenapa sangat berbeda dengan sekarang? Sekarang Mama dan Papa sibuk bekerja hingga tak pernah lagi ada waktu untuku. Bahkan aku hanya ingin maka malam bersama saja, Mama dan Papa selalu tak pernah ada waktu"

Penglihatan Denis semakin kabur karna saai ini matanya di penuhi oleh butiran air mata. Ia perlahan berjalan mundur mendekati kursi tadi dan kembali duduk bersandar. Tubuhnya sangat lemas dan kepalanya terasa begitu sakit.

***

Saat malam datang lagi-lagi Denis hanya makan malam berdua bersama Rara. Ia hanya menopang dagu dengan kedua telapak tanganya dan memandangi menu makanan yang telah di siapkan oleh Bi Ina. Tatapanya sedu dan tak ada rasa lapar sedikitpun yang ia rasakan.

Denis beranjak dari tempat duduknya berniat ingin kembali kekamarnya.

"Mau kemana Nis?" tanya Rara. Denis hanya diam sejenak dan berdiri mematung.

"Mau kekamar" singkatnya. Ia segera meninggalkan makan malam yang tak pernah ia sukai itu. Ia bukan tak suka dengan masakan makan malam itu, tapi ia tak suka dengan suasana yang selalu membuatnya bosan.

Ia membantingkan tubuhnya di kasur ranjangnya, tatapanya kosong menatap langit-langit kamarnya. Rumah ini besar namun terasa begitu sepi, sama seperti dirinya yang hidup selalu dalam kesendirian dan kesepian. Suarah canda tawa seketika terdengar samar-samar di telinga Denis, dengan penuh semangat ia bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu teras kamarnya.

Dari atas sini Denis bisa melihat dengan jelas, dibawah sana Ardi dan Adiknya sedang bercanda ria. Denis tersenyum ikut merasakan kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Mereka sedang bermain ular tangga.

"Ah ka Ardi mainya curang ni, masa tiba-tiba bisa naik tinggi gitu" protes Rama kesal.

"Ye.. Siapa yang curang orang memang kaka bentar lagi tamat kok"

"Eh ada apa ini ribut-ribu?" lerai Ibu mereka.

"Kak Ardi nih Buk mainya curang"

Denis kembali tersenyum ikut merasakan bahagia melihat Ardi dan keluarganya yang terlihat begitu hangat. Rasanya ia sangat ingin kesana dan ikut bermain agar tak merasakan kesepian, tapi iya tau kalau itu hanya akan menimbulkan masalah baru baginya.

***

Saat jarum jam menunjukan jam 5 pagi bi Inah sudah mulai sibuk memasak menyiapkan sarapan untuk Nyonya besar dan juga untuk keluarganya sendiri. Rumah ini memang sangat besar, tapi entah kenapa dari tahun ke tahun tak pernah ada penambahan seorang ART di rumah ini. Jadi segala pekerjaan rumah ini bi Ina kerjakan dengan kedua tanganya.

"Rama bangun sudah jam berapa ini?" kata Ardi sambil mengguncang bahunya. Ardi sudah siap dengan handuk merah yang tersampir di lehernya.

"Em.. Sudah pagi ya kak?"

"Belum, masih malam ko udah tidur lagi sana! Ya iyalah sudah pagi, kalo masih malam ngapain kaka banguni kamu?" kata Ardi kesal.

"Ih ka Ardi apaan sih pagi-pagi udah marah-marah, tar cepat tua loh kak"

"Biarin lah, ayo buruan mau ikutan mandi gak?" Rama hanya diam tak menjawab. Dengan geram Ardi memegang kedua bahu Rama dan memaksanya untuk bangkit dari tidurnya.

"Ka Ardi sabar dong, masa sama adenya kasar gitu" Ramapun akhirnya bangkit dan mereka menuju kamar mandi bersama.

= =

Ardi dan Rama sudah siap di meja makan untuk sarapan pagi bersama keluarganya.

"Sudah jam segini kok Den Denis belum juga keliatan ya?" gumam Inah. Ia yang merasa sudah menjadi tanggung jawabnya setiap harinya itu pun segera menuju kamar Denis yang berada di lantai atas.

Tok tok tok..

"Den..?"

".........." sunyi tak ada jawaban.

"Permisi Den, sudah jam segini apa Den Denis belum bangun?"

Tok tok tok..!

"Masuk saja bik!" kata Denis dengan suara parau. Bi Ina segera mendorong gagang pintu dan langsung menuju jendela kaca membuka tirai. Sedangkan tubuh Denis masih tertutup rapat dengan selimut tebalnya, hanya tersisa kepalanya saja yang terlihat.

"Sudah siang Den, apa ndak mau sekolah toh?"

"Bik tolong tirainya jangan di buka ya!" seketika Ina merasa bingung, karna tak biasanya Denis meminta hal itu padanya.

"Loh kenapa Den?" tanya Ina lalu mendekatinya. Ina memperhatikan wajah Denis dengan seksama dan wajah Denis terlihat sagat pucat. "Yaampun Den Denis sakit?" tanya Inah panik, ia segera menaruh punggung tanganya di kening Denis. Keningnya terasa sangat panas, dengan cepat ia keluar kamar meninggalkan Denis untuk mengambil air dingin.

Ina berjalan sangat terburu-buru dan Bruk! Ia menabrak Melinda yang sedang berjalan menunduk karna sambil melihat layar ponselnya.

"Maaf Nyonya" ujar Ina ketakutan.

"Maaf-maaf, kalo jalan pake mata dong!"

"Tapi saya lagi buru-buru Nya, karna Den Denis-"

"Alah banyak alasan, sudah saya masih sibuk banyak urusan. Nanti bilang ke Denis kalo saya sudah berangkat!"

"Tapi Nya?"

Tanpa mau mendengarkan penjelasan Ina, Melindapun langsung saja berlalu meninggalkanya. Ina hanya tercengah melihat majikanya yang berjalan keluar rumah membelalanginya.

"Kasihan den Denis, lagi sakit saja tak pernah mendapat perhatian dari orang tuanya" ujar Ina menggelengkan kepalanya. Ia segera melanjutkan langkah kakinya kebelakang dan mengembil air dingin.

"Buk, Ardi berangkat dulu ya? Igo sudah nungguin Ardi tuh buk di depan" Ina segera mendekati Ardi yang masih duduk di meja makan. Ardi bangkit dari tempat duduknya dan berjabat dan mencium tangan Ibunya. Setiap pagi Igo memang selalu menjemput Ardi, sedangkan Rama selalu diantar oleh Ayahnya.

"Hati-hati di jalan ya le!"

"Ya buk"

Ina segera melanjutkan tugasnya untuk mengambil air dingin dan handuk kecil lalu ia kembali kekamar Denis. Dengan sangat hati-hati Ina menaruhkan handuk kecil yang sudah dibasahi itu di kening Denis. wajahnya terlihat semakin pucat dan hal itu membuat Ina semakin panik. Berulang kali Ina membasahi handuk dengan air dingin itu berharap agar panasnya cepat turun.

Denis tersenyum, ia merasa seperti anak kecil yang sedang mendapatkan perhatian penuh dari Ibunya.

"Mama sudah berangkat ya bik?" seketika Ina sedikit memperlambat memeras handuk itu dan terlihat sedikit berfikir.

"I-iya sudah Den"

Seketika raut wajah kekecewa terlihat jelas di wajah Denis. Namun walau demikian ia tetap tersenyum didepan Ina agar tak membuat Ina merasa bersalah atas jawaban jujurnya.

"Bibi tinggal dulu ya Den, nanti Bibi buatin bubur buat Aden"

"Iya Bik, makasih"

Ina segera keluar kamar meninggalkan Denis sendirian, sebelum menutup pintu kamar itu Ina melihat Denis sekali lagi lalu menutupnya.

Sedih dan kecewa. Begitulah yang di rasakan Denis saat ini. Padahal ia sangat ingin di pagi hari mendapat sapaan dari Mama dan Papanya. Juga ingin makan malam bersama seperti keluarga Ardi yang pernah ia lihat. tapi keinginan itu hanya akan menjadi mimpi baginya.

"Bahkan di saat keadaanku seperti ini Mama dan Papa tak sedilitpun peduli padaku"

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar