Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 10
-----------------
By. Aby Anggara
=========================

***

Aku memberanikan diri untuk pulang kerumah karna aku sangat rindu dengan Ibu dan yang lainya. Kulihat rumahku begitu sepi, aku menghela nafas dan dengan ragu aku mengetuk pintu.

Tuk tuk tuk "Asaalamu'alaikum... Buk Ibu.." karna tidak ada jawaban aku menerawang dari balik jendela kaca yang berada di sebelah pintu. Namun di dalam memang terlihat sepi seperti tidak ada orang. kemana mereka? Aku memutuskan mengetuk satu kali lagi, namun saat tanganku baru saja mau mengetuk pintu. Terdengar jawaban salam.

"Waalaikum salam!" sahut seseorang dari dalam. Aku sangat mengenali suara itu. Itu adalah suara mbak Meli. Aku tersenyum lebar tak sabar menunggu Mbak Meli membukakan pintu untuku.

"Eh ada tam" ucapan mbak Meli terhenti saat melihat sosoku yang saat ini sedang ada di hadapanya.

"Masya Allah Raffi? Bener ya Raffi kan?" aku mengangguk dan tersenyum lebar. "Kamu kemana saja Fi, mbak Meli sangat menghawatirkanmu" tambahnya.

"Maafin Raffi ya mbak?"

"Yasudah ayo masuk Fi?" ajak mbak Meli menggandeng tanganku. Namun baru saja sampai diruang tamu aku dan mbak Meli berpapasan dengan Abi. Aku segera meraih tangan Abi dan menciumnya. Dengan kasar Abi mengelebatka tanganya seperti tak rela berjabatan denganku.

"Siapa yang menyuruhmu pulang Fi?" tanya Abi dengan tatapan sinis. Seketika mataku berkaca-kaca mendengar ucapan Abi yang begitu dingin.

"Maafin Raffi Bi"

"Abi tanya siapa yang menyuruhmu pulang?" ulang Abi dengan nada semakin tinggi. Aku segera sujud di kaki Abi meminta maaf atas semua kesalahanku.

"Maafin Raffi Bi, Raffi memang salah tapi Raffi janji Raffi akan berubah Bi" Abi tak menggubris ucapanku bahkan Abi melemparkanku kedepan dengan kaki kananya. Tentu saja aku terpelanting di depanya.

"Abi kenapa sih, selalu begitu dengan Raffi anak Abi sendiri? Dia juga manusia Bi tak sepantasnya Abi meperlakukanya seperti hewan yang hina" bela Mbak Meli padaku. Mbak Meli mengulurkan tanganya dan menyuruhku berdiri. Aku menatap wajah Abi dan Abi menatapku dengan tatapan kebencian.

"Ada apa toh ini ribut-ribut?" tanya Ibu yang baru saja tiba diruang tamu. "Ya Allah Raffi anak ibu?"

Aku segera berlari dan memeluk kaki Ibu.

"Buk Raffi pulang buk, maafin Raffi buk?" ucapku dengan isak tangis di pelukan kaki Ibu. Ibupun berdiri dengan kedua lututnya dan menyapu air mataku dengan ibu jarinya..

"Syukurlah kamu sudah kembali le, maafin Ibu ya?"

"Sudah-sudah, sekarang lebih baik Raffi pergi dari sini dari pada hanya akan menjadi aib di keluarga kita" ucap Abi menarik lenganku. Aku yang tak mau pergi menggenggam tangan ibu erat-erat.

"Ibu....! Maafin Raffi buk, tolong Raffi buk, Raffi gak mau pergi buk" Ibu menangis dan memegang tanganku erat-erat, Sementara Abi menarik lengan tanganku semakin kuat kearah keluar rumah. Tanganku terasa sakit dan akhirnya Abi berhasil memisahkan tanganku dan tangan Ibu. Mbak Meli dan Ibu tak bisa berbuat apa-apa mereka hanya melihatku dan menangis.

"Pak sudah pak jangan usir Raffi!"

"Maafin Raffi buk...." jeritku dengen suara bergema.

"Tidak.....! Astaghfirullah aku bermimpi ternyata" tapi mimpi itu terasa begitu nyata. Apa Abi sampai seperti itu membenciku, sampai dia menyeret dan mengusirku saat aku kembali kerumah? Aku menjadi semakin takut untuk kembali kerumah jika hanya akan menambah kesedihan dan kepedihan luka di hatiku.

Perlahan aku membaringkan tubuhku di ranjang dan mencoba memejamkan mataku kembali.

***

-Tiga Tahun Kemudian-

Siang ini seperti biasa Robi diantarkan pulang dengan temanya. Berambut jabrik, berbadan kurus dan berparas lumayan tampan menurutku. Aku yang sedang mengisi galon salah seorang pelanggan sambil memperhatikan Robi dan laki-laki berambut jabrik itu.

Mereka memang sangat akrab. Laki-laki itu tak turun dari motornya, setelah Robi turun dari belakangnya ia langsung berpamitan dan mengangguk ramah pada Robi. Mungkin dia sahabatnya Robi.

Robi langsung melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah dan menghilang di pintu masuk.

"Ini uangnya dek" kata seorang yang mengisi galon menyodorkan selembar uang sepuluh ribu.

"Iya buk Ini kembalianya" aku segera mengangkatkan galonya diatas sepeda motornya.

Huf.. Siang ini terasa begitu terik hingga membuatku haus yang amat sangat. Namun rasanya aku enggan pulang kerumah untuk meminum air dingin dari kulkas.

Aku duduk dan memaikan ponselku yang di belikan Om Indra tahun lalu. Rasanya aku sangat ingin membuka akun facebook ku dan ingin melihat akun mbak Meli dan ka Raffa, tapi aku takut nanti malah melihat kabar buruk lagi dan akhirnya aku mengurungkan niatku itu.

Aku juga kangen dengan Meisya, Efan gimana kabarnya kalian ya? Mau telfon aku juga tak mempunyai nomor mereka. Ah sudahlah mungkin saat ini aku memang belum disatukan kembali pada keluargaku dan juga teman-temanku hingga belum ada keinginan kuat untuk menghubungi mereka. Padahal kalo memang bener-bener mau aku bisa saja inbox Meisya atau inbox Efan di facebook untuk mendapatkan nomor mereka.

"Siang ka Raffi, siang-siang bengong tar kesambet loh kak" ucap Robi toiba-tiba. Ia langsung saja duduk di sampingku.

"Ah biasa saja kok. Sepertinya lagi seneng ni hayo pasti abis sayang-sayangan ya tadi di sekolah sama Ayu?" godaku. Ayu adalah pacar Robi, mereka sudah hampir satu tahun berpacaran.

"Ah ka Raffi sok tau nih, lebih dari itu kali kak"

"Lebih dari itu, emangnya ngapain?"

"Idih ka Raffi kepo deh, makanya ka Raffi pacaran biar tau!" ledeknya. Aku tak membalas obrolanya, entah kenapa aku begitu sayang dengan Robi jadi setiap apa yang dia lakukan aku selalu ingin tau. Bukan berarti aku cemburu ya, karna aku hanya menggap Robi benar-benar sebagai adik dan gak akan pernah lebih, hanya saja aku takut jika dia terjebak dengan pergaulan bebas.

"Kak Raffi kok diem?

"Ah sudahlah lupakan! Oya Bi tolongin ka Raffi ya jagain sebentar ka Raffi mau ke Toko Buku ada novel yang mau kakak beli"

"Yasudah kalo gitu, ka Raffi pergi saja biar Robi yang jagain kak"

Aku segera meninggalkan Robi disini, menuju rumah dan segera meminta izin pada Tante Irma. Kebetulan Tante Irama sedang menonton tv di ruang tengah, jadi aku tak harus repot-repot memanggilnya dikamar.

"Tante, Raffi ada perlu sebentar mau ke Toko Buku, tapi sudah ada Robi ko yang jaga"

"Oh.. Yasudah gak papa Fi kamu kalo ada perlu pergi saja"

"Makasih Tan" aku segera berganti baju dan bersiap-siap. Setelah semuanya kurasa cukup aku menuju teras dan melajukan motor yang kukendarai.

Karna aku sudah berada di pusat kota, jadi aku tak harus menempuh perjalanan jauh untuk menuju Toko Buku. Hanya memerlukan waktu 10 menit aku sudah sampai di toko buka yang lumayan besar. Aku segera masuk dan memilah novel yang aku cari. Berharap Novel terbaru yang di iklankan sudah ada disini dan aku ingin segera membacanya sepertinya sih ceritanya menarik.

Dibagian sinih tidak ada, aku mencari di tempat yang lain. Mataku menyapu dengan teliti semua novel yang ada di hadapanku berharap novel yang kucari segera kutemukan.

"Hei, kamu Raffi kan? Tanya seseorang memanggilku dari belakang. Aku segera memutar tubuhku meliahat seseorang yang manggil namaku. Ternyata dia seorang perempuan berhijab, tapi dia siapa aku tak mengenalinya.

"Ya?" jawabku sambil menganggu sopan. "Kamu siapa?" tambahku dengan mengerutkan keningku.

"Masa kamu lupa, aku Meisya adik kelasmu dulu Fi" jelasnya.

"Masya Allah Meisya, subhanallah kamu berhijab sekarang?" ia mengguk dan tersenyum sangat manis. "Tapi kok sekarang 'aku kamu gak lo gue' lagi?"

"Iya Fi, sejak aku belajar dalam tentang Agama Islam, ternyata bahasaku kurang sopan. Cari tempat yuk Fi kita ngobrol-ngobrol sebentar kamu ada waktu?" ajak Meisya dengan penuh antusias, wajahnya terlihat sangat berharap aku mengatakan kata 'ada'

"Iya Sya ada kok, yuk?" aku dan Meisya meninggalkan Toko Buku iti dan mencari tempat untuk ngobrol. Kami segera menuju rumah makan yang tak jauh dari Tokoh Buku dan nampaknya Meisya sudah tak sabar ingin berbicara banyak denganku.

Aku hanya memesan makanan ringan dan dua buah minuman dingin. Meisya terlihat makin cantik saat ia memakai hijab, senyumnya semakin anggun.

"Oya Sya kok kamu bisa tau sih kalo aku yang di Toko Buku tadi, padahal kan kita sudah lama banget gak ketemu tiga tahun loh, aku saja sampai tak mengenali mu yang sekarang"

"Kebetulan aku dari jakarta Fi, saat mataku melihat tokoh buku aku pasti mampir berharap menemukanmu, karna yang aku tau cita-cita kamu kan menjadi seorang penulis terkenal dan kamu juga sering ke Toko Buku kan waktu dulu? Aku selalu melihat tangan kanan pria saat di Toko buku dan tadi baru saja aku meliahat kamu masih memakai jam tangan itu di tangan kananmu makanya aku bisa mengenalimu Fi" jelasnya panjang lebar.

Aku hanya manggut-manggut dan ber "O.." panjang

"Oya hal pertama yang aku pengen pinta sama kamu adalah nomor hp kamu Fi, karna aku tak mau kehilangan komunikasi lagi denganmu" ucap Meisya. Ia menyerahkan ponselnya padaku menyuruhku men save nomor ku di ponselnya.

"Ini Sya sudah aku save nomorku di hp kamu. Oya gimana kabar kamu selama ini?" Meisya menghela nafas dengan berat.

"Kamu buat aku hampir gila Fi, aku sangat frustasi saat kehilangan kabar darimu yang tiba-tiba menghilang ntah kemana, bahkan aku tanya orang tuamu mereka juga tidak mengtahui dimana keberadaanmu. Aku tanya mbak Meli, Raffa dan Ibu mu mereka juga tak memberi tau kenapa kamu kabur dari rumah, memangnya kenapa Fi kamu sampe nekat kabur dari rumah?" Tanya Meisya.

"Silahkan..." ucap pelayan mengantarkan pesananku.

"Makasih mbak?" ia hanya mengguk sopan lalu pergi meninggalkan kami.

"Fi aku sayang sama kamu, dan aku gak mau kehilangan kamu lagi Fi?" ucap Meisya lembut, ia menatapku dengan tatapan sedu.

"Jadi selama ini kamu belum menjalin hubungan dengan laki-laki lain Sya?"

"Iya Fi" ucapnya di barengi dengan anggukan kicil. "Aku sudah yakin denganmu dan tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun, aku yakin kau tak akan pernah menyakiti hati perempuan. Jangankan menyakiti, hanya berjabat tangan dengan perempuan saja kamu tidak mau. Dari situ tergambar jelas sikap dan kebaikanmu Fi, aku harap kamu mengerti dengan perasaanku ini"

"Aku mengerti perasaanmu Sya, tapi..."

"Tapi apa Fi?" Meisya masih menatapku dengan tatapan penuh harap. Aku sangat bingung bagaimana cara menjelaskan dengan Meisya yang sebenarnya agar dia berhenti berharap denganku.

"Aku..."

"Kamu kenapa Fi?"

"Aku seorang gay Sya, jadi mana mungkin bisa membahagiakanmu" ucapku memperlambat di kalimat 'gay'

"Apa Fi, kamu..?" ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Aku hanya mengguk. Meisya bergegas bangkit dari duduknya dan meninggalkanku. Aku tau saat ini pasti Meisya sangat kecewa sama seperti keluargaku. Apalagi Meisya sudah berkorban waktu bertahun-tahun lamanya menungguku. Aku segera mengerjarnya.

"Sya tunggu!" Meisya memberhentikan langkahnya namun tak menolehku. Aku yang tak berani menatap Meisya hanya berada di belakangnya.

"Kamu boleh marah denganku Sya, tapi tolong rahasiakan dari keluargaku atas pertemuan kita hari ini" Meisya tak menjawab, ia lalu pergi meninggalkanku.

Tubuhku terasa sangat lemas. Aku menuju kasir membayar makananku dan kuputuskan kembali kerumah, karna mood ku sudah hilang untuk membeli novel hari ini.

Aku segera pulang dengan pikiran tak karuan. Dari awal aku sudah menduga, Meisya pasti akan membenciku jika tau keadaanku yang sebenarnya, tapi tidak apa-apa karna jujur itu lebih baik, dari pada aku terus memberi harapan palsu padanya.

Sesampai dirumah aku segera menyandarkan motor dan menghampiri Robi yang sedang duduk di bangku depan depot isi ulang.

"Dapet kak novelnya? Kok mukanya kusut gitu kak?" tanya Robi. Aku duduk di sebelah Robi menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan dadaku yang sedikit terasa sesak.

"Gak jadi beli novelnya Bi"

"Loh kenapa gak jadi kak?"

"Ya ada sedikit kendala"

"Kak..? Ka Raffi anggap Robi sebagai adeknya ka Raffi kan? Kalo mang iya pasti ka Raffi mau cerita dan terbuka dengan Robi. Aku pengen ngerasain apa yang ka Raffi rasain sekarang" ucap Robi sambil menepuk pundak kiriku.

"Baiklah kalo gitu tapi ceritanya nanti malam saja ya Bi? Gak mungkin juga kan cerita di dekat jalan yang banyak orang lalu-lalang seperti ini?"

"Iya deh kak kalo gitu" kata Robi sambil tersenyum.

Hari sudah mulai gelap karna matahari sudah hampir sempurna terbenam. Aku segera mandi dan menunggu waktu sholat maghrib.

***

Malam ini Om Indra hanya sholat maghrib saja yang di masjid, karna malam ini katanya bukan jadwal Om Indra yang memimpin pengajianya, jadi malam ini Om Indra mau memanfaatkan waktu buat makan malam bersama keluarga malam ini.

"Gimana dengan sekolah kamu Bi" tanya Om Indara saat sedang makan bersama. Robi duduk disebelahku, sedangkan Om Indra dan Tante Irma duduk behadapan dengan kami.

"Baik-baik saja kok Om" singkat Robi. Ia memasukan kembali sendok yang berisi nasi kedalam mulutnya.

Malam ini Tante Irma tak banyak bicara, mungkin ia sedang kurang enak badan. Ah entahlah aku juga tak mengetahuinya. Wajahnya terlihat sangat murung seperti sedang ada masalah.

Selesai makan malam bersama, aku dan Robi kembali kekamar. Walau sudah terbiasa kerja membantu Om Indra, tapi rasanya tubuhku sangat lelah. Aku yang sampai di kamar lebih dulu membantingkan tubuh terlentang di ranjang seolah tak memberi ruang duduk untuk Robi yang mengekor dibelakangku.

Robi tak protes saat ranjangnya kupenuhi dengan tubuhku, ia memilih mengalah duduk di kursi belajar yang letaknya tak jauh dari ranjang.

Aku masih menatap langit-langit kamar ini dengan tatapan kosong.

"Kak aku mau menagih janji ka Raffi siang tadi" ucapnya memulai percakapan. Aku yang mendengar suaranya segera bangun dan duduk di tepi ranjang.

"Tapi Robi harus janji ya setelah ka Raffi jelasin, Robi gak akan benci dengan ka Raffi?" tanyaku memastikan. Robi hanya mengangguk.

"Sebenarnya tadi ka Raffi di Toko Buku bertemu dengan teman SMA dulu, dia seorang cewek cantik. Dari dulu sampe sekarang dia masih menyimpan perasaan yang sama ke ka Raffi, tapi tadi ka Raffi jujur kedia kalo ka Raffi... Ka Raffi adalah seorang gay dan dia langsung pergi meninggalkan kakak. Dan ka Raffi tau dia pasti kecewa banget sama ka Raffi, dan ka Raffi kabur dari rumah juga karna ka Raffi ketahuan gay sama ibu dan Abi. Dari pada ka Raffi jadi aib mereka lebih baik kakak pergi dari rumah" Robi kemudian bangkit dari duduknya dan mendekatiku.

"Sabar ya kak, Robi akan nerima ka Raffi apa adanya kok dan Robi tak akan membenci ka Raffi seperti mereka" katanya menenangkanku.

"Benarkah?"

"Iya kak" Robi kemudian memeluku dan mengusap punggungku

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar