Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 01
-----------------
By. Aby Anggara
=============================

***

Aku duduk di atas gumpalan pasir dipantai, Dengan posisi kedua tanganku menahan tubuhku dari arah belakang. Sore ini aku melihat indahnya matahari terbenam. Aku merenungi batapa takdirku tak seperti mereka.

Kalo mitos dahulu berkata, anak kembar laki-laki dan perempuan itu jodoh dari tuhan dan sebagian yang mempercayainya mereka memisahkan sikembar laki-laki dan perempuan, terus jika mereka sudah dewasa nanti maka mereka akan di pertemukan dan di jodohkan. Tapi banyak juga yang tak mempercayainya, semua kembali pada keyakinan masing-masing.

Namun kini aku terlahir kembar, dan saudara kembarku juga seorang laki-laki sama sepertiku. Apakah kami juga jodoh dari Tuhan? Tidak! itu sangat tidak mungkin, karna dalam Agama kami jelas-jelas melarang hubungan sesama jenis. Tapi kenapa anehnya diriku tertarik pada saudara kembarku sendiri dan aku menyukainya? Hei Raffi sadarlah! kau laki-laki dan saudara mu juga laki-laki, biar bagaimanapun kalian tak mungkin dapat bersatu.

Sampai diusia ku yang sudah menginjak hampir 18 tahun ini aku masih belum bisa menemukan jawaban kenapa aku berbeda. Kadang aku merasa sangat sedih saat berkaca di depan cermin melihat diriku sendiri kenapa aku berbeda. Apakah cuma aku yang suka dan tertarik dengan sesama jenis, dan tak tertarik pada perempuan? Entahlah sampai saat ini masih menjadi tanda tanya dalam hidupku.

Tapi aku sering memperhatikan teman-temanku di sekolah, sepertinya mereka normal dan mereka mempunyai pacar seorang wanita. Tapi aku? Aku sama sekali tak tertarik terhadap wanita. Apakah ini takdirku? Kalo iya kenapa Tuhan begitu jahat denganku karna hanya aku yang dia buat berbeda?

Tak terasa kumandang Adzan maghrib telah terdengar di telingaku. Aku harus segera pulang karna kalo tidak, bisa-bisa Abi bakalan murka denganku.

Di Desa inilah aku dilahirkan. Desa Kelapa! Mungkin karna banyak tanaman pohon kelapa dan mayoritas penghasilan warga disini juga kelapa jadi Desa ini dinamakan Desa Kelapa.

Namaku Raffi Al-rahfi dan saudara kembarku Raffa Al-rahfa. Dari fisik kami hampir tak ada perbedaan, rambut yang lurus, beralis tipis, berkulit tak terlalu putih, tapi kalo untuk ukuran anak Desa kulit kami sudah lumayan putih. Wajah kami juga lumayan cakep diantara remaja lain di Desa ini, hanya saja ka Raffa sedikit lebih tinggi dariku, dan suara kami juga sedikit berbeda.

Walaupun kami terlahir kembar bukan berarti sikap dan selera kita sama, malah kebanyakan kontrasnya, contoh Masalah penampilan ka Raffa lebih oke, karna beliau selalu mengikuti tren masa kini. Berbeda dengan ku yang lebih suka biasa-biasa saja, tapi bukan berarti aku 'culun'

***

"Yaampun Raffi dari mana saja to le ko baru pulang?" Tanya Ibuku saat aku baru sampai dirumah. "Buruan sanah mandi habis itu sholat maghrib ya!" Tambahnya.

"Habis main dari pantai buk, iya buk Raffi mandi dulu ya"

Aku berjalan pelan memasuki rumah dari pintu belakang, sepertinya Abi sedang tidak ada dirumah jadi gak bakalan kena ocehan, coba kalo Abi dirumah pasti gak berhenti lagi marahin Raffi kalo tau Raffi pulang sampe telat seperti ini. Di rumah sederhana ini kami tinggal berlima. Abi, Ibuk, kakak perempuanku ( mbak Meli ) Aku dan ka Raffa. Keluarga kami sangat lah terpandang di Desa ini, maka dari itu aku dan saudaraku yang lainya harus menjaga nama baik keluarga kami agar tak tercoreng dimata umum.

Kini aku telah selesai sholat maghrib dan baru saja keluar dari kamarku, kulihat kak Raffa sedang asik memaikan hpnya dan senyum-senyum sendiri ntah apa yang sedang ia lakukan.

"Kak Raffa sudah sholat?" Tanyaku yang baru saja duduk disebelahnya. Oya walau kami kembar, dalam keluarga kami nilai-nilai etika sangatlah dijunjung tinggi dan harus tetap dilestarikan, karna aku lahirnya setelah ka Raffa maka aku harus memanggilnya dengan sebutan 'kakak'

"Ya sudahlah masak jam segini belum sholat" Jawabnya yang tak menoleh kearahku. Ia masih saja sibuk mengetik di ponselnya. Aku hanya manggut-manggut kemudian berpaling melihat tv yang masih menyala di depanku.

"Raffi, Raffa makan dulu, sekalian panggil mbak Meli ya le!"

"Tuh kak Ibuk sudah manggil kita yuk buruan makan!" ucapku yang sambil menyikutnya.

"Yuk, kakak juga sudah lapar"

Kak Raffa langsung menuju ruang makan penuh antusias, sedangkan aku harus kekamar mbak Meli terlebih dahulu untuk memberitahuanya, biasanya jam segini mbak Meli masih membaca Alqur'an.

Tok tok tok !!!

"Asaalamua'laikum!"

"Waalaikum salam.. Ada apa Fi? Tanya mbak Meli dari dalam kamar.

"Mbak sudah di tunggu ibuk di meja makan!"

"Iya Raffi duluan saja, nanti mbak nyusul!"

"Iya mbak"

Mbak Meli memang anak yang paling rajin diatara kita bertiga, mungkin karna dia satu-satunya anak perempuan, apa karna faktor lain aku juga tak mengetahuinya, yang jelas dalam masalah beribadah juga dialah yang paling rajin.

"Loh mbak mu mana toh, kok ndak ikut makan Fi? Tanya Ibuk saat ku baru sampai di dapur

"Katanya sebentar lagi mau nyusul buk. Oya buk Abi kemana kok tumben gak ikutan makan bareng kita?"

"Abi lagi memimpin acara pengajian di Masjid, lah wong Usatad Mahmud lagi ndak enak badan jadi tadi pak Sarijo yang minta Abimu untuk menggantikan memimpin pengajianya"

"Oh.." Aku hanya manggut-manggut.

"Yuk buk mulai makanya Raffa sudah lapar nih" Sewot ka Raffa

"Ya mbok sabar to le.. jangan lupa baca doa dulu!" kata ibu dengan khas logat jawa yang masih sangat kental. Ibu selalu memakai baju juba dan tak ketinggalan kerudung topi yang selalu menutupi kepalanya hingga ke sanggul bagian belakang.

Aku tersemyum melihat tingakah kak Raffa, dia memang anak yang paling tak sabaran dirumah ini dan dia juga orangnya kalo bicara ceplas-ceplos. Ya umum sih seperti anak laki-laki lainya.

"Assalamu'alaikum... Maaf Buk Meli telat" ucap mbak Meli yang langsung duduk di sebelah Ibu. Kami saling behadapan. Aku di depan mbak Meli dan ka Raffa yang disebelahku tepat berada di depan Ibuk.

"Waalaikum salam. Ndak papa ndok, ayo buruan makan! Tapi hari ini Ibu masaknya ndak banyak"

"Ya ndak papa Buk.. yang penting cukup membuat kita kenyang dan ndak kelaparan. Lagi pula kan kalo berlebihan juga ndak baik Buk" ucap mbak Meli dengan senyuman. Ibu menuangkan nasi kepiring mbak Meli yang masih kosong. Rutinitas ini sudah biasa Ibu lakukan, katanya sih supaya kedekatan dan kehangatan keluarga selalu terasa.

Aku yang sudah selesai makan segera bangkit dan berniat meninggalkan mereka di meja makan ini.

"Loh makanya kok udah selesai le? Memangnya mau kemana toh?" tanya Ibu sedikit mendongak, karna posisiku saat ini sudah berdiri.

"Raffi sudah kenyang Buk, Raffi tinggal dulu ya Buk?"

"Yowes... Ndak lama lagi kan waktunya Isya' jangan sampe lupa ya le!"

"Iya Buk" aku berlalu meninggalkan mereka yang masih belum selesai makan. Aku menuju ruang tengah dan kembali melihat acara tv yang masih menyala.

Kedengaranya aneh ya panggilan orang tua kami yang kami panggil Abi dan Ibuk? Seharuanyakan Abi dan Umi, tapi Ibu tak mau di panggil Umi katanya belum pantas, jadi kami memanggilnya dengan panggilan Ibu.

Aku sangat bangga terlahir di keluarga ini, walau kami tergolong dari keluarga sederhana, namun di keluarga ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan syariat islam, jadi di keluarga ini aku merasakan kenyamanan dan kehangatan yang membuatku bahagia.

Keluarga kami juga mempunyai toko sembako yang berada di depan dan terpisah dari rumah. Ya.. Walau tak terlalu besar, tapi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah kami. Aku dan ka Raffa duduk di bangku kelas tiga SMA, sedangkan mbak Meli sudah kuliah semester dua.

Haji Lutfi Al-ikshan. Itulah nama panggilan Abi yang sering aku dengar dari para warga Desa Kelapa ini. Abi adalah salah satu tokoh Agama di Desa Kelapa ini, jadi keluarga kami sangat terpandang di mata umum dan tak heran jika nama dan keluarga kami di kenal oleh masyarakat luas.

"Astaga!! Aku baru teringat ponselku tertinggal di meja makan" aku segera kembali menuju dapur dan mataku terbelalak mau copot saat melihat mbak Meli memegang hpku. Karna di dalam Galeri terdapat beberapa foto cowok dan cowok sedang berciuman. Huf.. Mampus deh kalo sampe kutahuan. Dengan cepat dan sedikit berlari aku menghampiri mbak Meli.

"Eh Fi, baru saja mbak Meli mau anterin hp kamu, dari tadi ada yang nelfonin kamu tu!" kata Mbak Meli sambil menyodorkan hpku. Dengan cepat aku meraihnya.

"Iya, makasih ya mbak" ternyata si Efan yang menelfonku.

"Halo Fan, Assalamu'alaikum.."

"Waalaikum salam, lama amat si Fi angkatnya?"

"Maaf Fan tadi hp ku ketinggalan di meja makan, oya ada apa Fan?"

"Jalan yu Fi, bete nih"

"Males lah Fan, kamu kan tau sendiri aku paling malas berkeliaran di malam hari"

"Ah kamu gak asik banget sih Fi" panggilanya langsung di putus. Efan memang begitu orangnya, suka semaunya sendiri. Efan adalah sahabatku, karna cuma denganya aku merasa nyaman saat berteman. Ayahnya Efan adalah seorang bos pembeli kelapa di Desa Kelapa ini, jadi di berasal dari keluarga yang lumayan berada.

***

Hari sudah menunjukan pukul 04:30. Aku segera bangun dan melihat ka Raffa masih tertidur pulas.

"Kak bangun kak, sudah hampir subuh!" kataku membangunkanya, namun ka Raffa tak bergeming sedikitpun. "Kak Raffa bangu.....n!!!" teriaku sambil ku guncang lengan tanganya.

"Em...., apaan sih Fi brisik amat!" gerutunya dengan merenggangkan ototnya, namun matanya tak dibuka sedikitpun. Aku kesal dengan tingkah ka Raffa yang hampir setiap pagi musti di bangunkan. Aku berjalan menyanbar handuk yang berwarna merah polos dan bertuliskan GUCCI di bagian bawahya. Aku berlalu menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan sholat subuh aku memakai seragam putih abu-abu. Setelah semuanya siap aku menuju dapur membantu Ibu dan mbak Meli yang sedang sibuk memasak didapur menyaiapkan sarapan.

"Wah baunya harum... Masak apa mbak?" tanyaku menghampiri mbak Meli. Ia masih sibuk membolak-balik sesuatu yang sedang ia masak.

"Ini masak nasi goreng kesukaan Abi Fi"

"Ye.. Kok kesukaan Abi doang mbak? Raffi juga suka kok" protesku

"Yadeh maaf, yasudah tolongin mbak ya, nasi gorengnya taruh di meja makan, karna mbak Meli mau goreng telur dadarnya"

"Beres.. Mbak" aku membawa nasi goreng yang di taruh di baskom warna merah, dan aku langsung duduk di kursi yang ada di meja makan sambil menunggu semuanya siap. Sedangkan Ibu kulihat masih sibuk mengaduk susu dan kopi panas di meja sebelah mbak Meli.

"Kakak mu mana toh le, kok ndak kelihatan?" tanya Ibu yang sedang mendekatiku dan membawa nampan berisi lima gelas masing-masing berisi kopi dan susu yang masih panas.

"Tadi Raffi udah banguni ka Raffa Bu, tapi ka Raffa nya gak mau bangun"

"Anak itu memang paling susah di bilangin, Ibu aja ndak tau lagi musti gimana bilanginya" kata Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yo wes sek yo, ibuk mau banguni kakakmu dulu"

"Ya buk"

Semua sudah terhidang di meja ini, ya walau hanya menu sederhana tapi kami semua bersyukur dengan keadaan kami sekarang. Di atas meja terhidang nasi goreng, telur dadar, roti tawar, susu kental manis dan minuman hangat yang di buat Ibu tadi tentunya. Setiap pagi dan malam kami selalu makan bersama-sama.

Abi duduk sendirian di bagian kepala meja, sedangkan aku dan yang lain serti biasa. Aku disebalah ka Raffa dan mbak Meli di sebelah Ibu.

"Sebentar lagi ujian kan Fi? Pokonya Abi ndak mau tau, kamu harus rajin belajar dan nilainmu harus bagus karna Abi sudah menabung sejak setahun yang lalu untuk membiayaimu kuliah di Kairo, karna Abi pengenya kamu menjadi ulama besar dan menyiarkan Agama Islam!" kata Abi mantap dengan suara khasnya serak-serak basah. Abi juga tak pernah tertinggal mengenakan kopia hitam polos di kepalanya.

"Lah kok Raffi Bi, kenapa bukan ka Raffa saja?"

"Kakakmu Raffa ndak bisa diandalkan Fi, lah wong sholat subuh saja sering kesiangan gitu"

"Tapi Bi-"

"Ya mbok nurut saja sama apa yang dikatakan Abi mu to le, lagi pula kan ini semua demi kebaikanmu, demi masa depan kamu juga.. lah wong di Kairo kan pendidikan dan fasilitasnya bagus toh?" kata Ibu memotong pembicaraanku. Aku hanya diam tak bisa berkutik, pasalnya kalo Abi sudah ada kemauan susah dirubahnya, ya mau tak mau harus nurut dengan keputusanya Abi.

"Ya buk" jawabku sekenaya.

"Nah gitu dong, yuk Pak mulai Do'anya buruan sarapan, nanti pada telat berangkatnya!" kata Ibu memberi aba-aba. Ibuk memang memanggil Abi dengan sebutan 'Pak'

Aku tak selera makan pagi ini, aku masih tak suka dengan keputusan Abi yang selalu mengambil keputusan tanpa mengonfirmasi pada anaknya yang bersangkutan. Ya.. Walau aku tau apa yang di cita-citakan Abi sangat baik untuku, tapi kan aku juga punya cita-cita sendiri.

Setelah selesai sarapan aku dan ka Raffa berpamitan pada Abi, Ibuk dan mbak Meli. Setelah itu kami berangkat ke Sekolah. Kami hanya menggunakan satu sepeda motor, karna sepeda motor yang satunya selalu di bawa mbak Meli untuk kuliahnya.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar