Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 07
-----------------
By. Aby Anggara
============================

***

Aku masih belum mengerti dengan semua ini, kenapa mbak Meli juga ikut bersedih? sebenarnya ini ada apa? Aku semakin takut dan tak berani bertanya. Aku memejamkan mataku, menghela nafas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diriku.

"Raffi, Ibu harap semua ini ndak benar, karna Ibu ndak mau kalo kamu sampe seperti itu. Tolong jujur to le sama Ibuk, sebenarnya apa yang terjadi padamu?" tanya Ibu parau. Aku semakin bingung tak mengerti dengan apa yang di maksud dengan pertanyaan Ibu.

"Maksud Ibu apa, Raffi gak ngerti Buk?"

"Apa buku ini punya kamu Fi? Tanya Abi sambil menaruh sebuah buku diatas meja tepat didepanku. "Ibumu yang menemukanya di tumpukan paling bawah saat Ibumu membereskan baju-bajumu" tambah Abi.

Asataga!!! Buku itu kenapa bisa ada pada Abi? Padahal aku sudah menyimpannya dengan baik. Itu adalah novel gay yang aku beli saat aku baru naik kekelas 3 SMA dan sudah satu tahun aku menyimpanya, tapi bagaimana sekarang malah jadi bencana bagiku.

Tidak! Aku sungguh tak percaya jika ini kenyataan. Seketika tubuhku terasa sangat lemah, aku harap saat ini aku sedang tertidur dan aku pasti sedang mimpi buruk! Tuhan... Tolong aku, bangunkan aku dari mimpi buruk ini!

"Le.. Jawab Abi mu, Itu bukan punyamu kan le?" Ibu masih menatapku lekat-leka. Aku sangat bingung aku tak mungkin berbohong dan aku juga tak mungkin jujur pada Ibuk. Kalo aku jujur pasti aku akan menyakiti hatinya dan semua orang disini juga pasti akan kecewa padaku. Ya Allah... Tolong aku, aku harus bagaimana?

Aku sangat terpojok dan kurasakan mataku mulau basah dengan genangan air mata. Aku menoleh mbak Meli yang ada disebelahku dan ia mengangguk. Aku memejamkan mataku mencoba menenangkan diriku, namun air mataku semakin mengalir. Sepertinya malam ini rahasia besar yang sudah kusimpan bertahun-tahun akan terbongkar. Ya Allah... Jika memang ini yang terbaik untuku, aku akan mencoba sabar menghadapinya. Sekali lagi aku menghela nafas sedalam mungkin dan perlahan menghembuskanya kembali.

"Buk! Sebenarnya..., Sebenarnya..."

"Sebenarnya kenapa le?"

"Sebenarnya itu memang punya Raffi buk" aku memejamkan mata dan menunduka kepala. Betapa malunya aku hingga tak berani menatap satu orangpun yang ada diruangan ini.

"Kamu bohong kan le? Yang kamu katakan ndak benar kan? Kamu ndak mungkin seperti itu Ibuk yakin dan Ibuk percaya sama kamu le" ucap Ibu tak percaya. Tangisan Ibu semakin menjadi setelah mendengar pangakuanku. Walau aku telah mengakuinya, namun Ibu masih saja menyangkal tak mempercayai kenyataan pahit yang membuatnya kecewa.

"Jadi kamu seorang gay Fi?" tanya Abi. Aku mencoba membuka mata dan mengangguk pelan.

"Pak Raffi bohong pak, Raffi anak yang baik, anak yang sholeh Ibu yakin dia bohong pak, anak Ibu ndak mungkin buat ibu kecewa" ucap Ibuk histeris.

"Maafkan Aku Ibu"

"Keterlaluan! Kamu sungguh membuat malu martabat keluarga ini, kamu tau kan Fi kalo Abi selalu memberi contoh yang baik kepada warga di Desa ini? Kamu tau kan Abi selalu menanamkan dan mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan menurut syariat Islam? Tapi kalo anak Abi sendiri adalah seorang gay, dimana kelakuan yang sangat jelas-jelas di laknat oleh Allah, mau ditaruh mana muka Abi?"

"Maafin Raffi Bi, tapi ini semua bukan keinginan Raffi rasa itu datang dan tak pernah diduga-duga Bi" aku memberanikan diri menatap Abi, kulihat sebuah kekecewaan terukir jelas diwajahnya.

"Sejak kapan kamu menjadi gay?" tanya Abi lagi

"Sejak kelas 1 SMA Bi" jawabku jujur.

"Memalukan! Anak yang selama ini Abi bangga-banggakan dan selama ini Abi andalkan ternyata tak lain hanya seperti sampah" ucapan Abi kali ini terasa sangat menusuk jantungku, dadaku terasa sangat pedih seperti ditusuk ribuan jarum. Namun inilah yang harus aku terima kenyataan yang sangat 'pahit'

Aku beranjak dari tempat duduku dan bersujud di kaki Ibu. "Buk maafin Raffi Buk, semua ini bukan kehendak Raffi" kataku sambil memeluk kedua kaki Ibu. Ibu tak menjawabku, ia masih saja menangis menutup mulutnya dengan telapak tangan kananya.

"Buk jawab Raffi Buk!, Raffi sayang sama Ibuk, Raffi tau Raffi sudah buat Ibu kecawa tapi demi Allah Buk Raffi gak pernah melakukan hal-hal yang melanggar aturan Agama, Raffi gak pernah melakukan perbuatan yang dilarang Allah Buk. Jujur Buk Raffi memang tak tertarik pada kaum hawa, Raffi hanya tertarik dengan sesama jenis, tapi Raffi tak pernah melakukan sedikitpun hal-hal buruk seperti yang Ibu bayangkan. Bahkan kalo Ibu tau dan bisa merasakan apa yang Raffi rasakan Raffi sangat menderita Buk" ucapku dengan tangisan isak. Mungkin Ibu sangat kecewa denganku hingga ia tak sedikitpun menghiraukan perkataanku dan mengeluarkan suaranya.

"Meli sangat ndak setuju dengan pendapat Abi, seharusnya Abi sebagai imam dikeluarga ini Abi harus bisa lebih bijaksana. Abi jangan melihat permasalahan dari sisi negatifnya saja, harusnya Abi lihat dari sisi positifnya juga! Abi dengarkan apa yang dikatakan Raffi? Dia sangat menderita dengan parasaanya yang tak wajar dan datang tiba-tiba. Seharusnya Abi bangga dengan Raffi, walau dia seorang gay Raffi ndak pernah melakukan hal-hal yang dilarang Agama, itu tandanya Raffi berhasil Bi mengendalilan hawa nafsunya dan dia selalu berada di jalan yang benar" bela mba Meli padaku. Aku tak menyangka disaat seperti ini mbak Meli masih saja membelaku.

"Tapi bagaimana kalau sampai warga Desa Kelapa ini tau kalau Raffi seorang gay? Mau di taruh mana muka Abi Mel?"

"Abi egois!! Abi hanya mementingkan diri Abi sendiri tanpa peduli dengan keadaan Raffi anak kandung Abi sendiri. Allah saja yang berkuasa di langit dan bumi maha pemaaf dan pengampun. Tapi Abi, kenapa ndak memberikan kesempatan pada Raffi dan memaafkan kesalahan yang telah Raffi akui? Jujur Bi, Meli kecewa sama Abi"

"Sudah mbak, Raffi gak papa kok, yang dikatakan Abi benar, Raffi hanya akan menjadi aib jika masih ada dikeluarga ini. Ibuk, Abi, Mbak Meli dan ka Raffa. Raffi sangat sayang dengan kalian. Makasih ya mbak, walau dalam keadaan seperti ini mbak Meli masih saja membelaku" aku segera meninggalkan ruangan ini, karna Ibu dan Abi sepertinya tak memaafkanku jadi percuma saja jika aku masih ada disini, pasti aku tak akan pernah di anggap.

"Raffi tunggu Fi!" teriak mbak Meli. Aku tak menggubris panggilanya, aku terus berlari keluar rumah melangkahkan kakiku secepat mungkin. Demi nama baik Abi dan keluarga ini aku rela pergi jauh dari rumah ini. Aku berlari, aku menangis dan aku bertekat akan pergi sejauh mungkin dari rumah ini.

****

Aku sudah keluar dari gang dan berada di jalan raya. Aku berdiri dipinggir jalan ini menunggu bis yang akan berlalu di depanku. Tak lama ada sebuah bis yang mulai mendekatiku, aku segera melambaikan tangan kananku memberi aba-aba dan perlahan bis berwarna biru itupun berhenti. Aku segera naik dan duduk di bagian paling depan.

Aku masih menangis meratapi betapa nasipku begitu buruk. Seburuk itukah aku di mata Abi dan Ibu hingga ia tak memberi aku kesempatan dan memaafkanku? Entahlah yang ku tau Abi dan Ibu sangat kecewa denganku. Maafin Raffi Bi, Raffi tak bisa mewujutkan cita-cita seperti yang Abi mau, dari awal Raffi sudah bersi keras nenolak karna Raffi tau Raffi tak pernah pantas menjadi seseorang seperti yang Abi mau.

Aku tak tau bis ini akan berhenti di terminal mana, yang aku tau bis ini menuju kearah kota. Aku juga tak tau musti kemana, tapi yang jelas aku tak kan mungkin kembali lagi kerumah saat ini.

"Dek bayaranya?" ucap seorang laki-laki sambil menyodorkan tangan kananya. Aku yakin dia seorang kernet di bis ini.

"Berapa bang?"

"35 ribu dek" aku merogoh saku dicelana dasarku dan hanya ada uang dua lembar uang 20 ribuan.

"Ini kembalianya!"

"Maksih bang"

Aku kembali duduk menyandar penuh di kursi bis ini berusaha menenangkan diriku yang terasa sangat kacau. Tak terasa perjalanan telah lima jam berlalu dan bis yang aku duduki berhenti di sebuah terminal. Semua penumpang segera turun, begitupun denganku. Aku tak tau sekarang aku berada di mana, yang pasti aku akan melangkah mengikuti arah kakiku.

"Dek ojek dek?" ucap seserang menawariku. Aku yang sedang tak ingin bersuara hanya menggelengkan kepalaku.

Aku kembali lagi berjalan meninggalkan terminal ini, aku meliahat jam tanganku sudah pukul 12 malam. Aku segera berjalan mencari masjid untuk melakukan sholat Isya'

Aku terus melangkah kakiku di trotoar sampai sangat jauh dan saat ini aku tak tau berada di mana.

"Keterlaluan! Kamu sungguh membuat malu martabat keluarga ini, kamu tau kan Fi kalo Abi selalu memberi contoh yang baik kepada warga di Desa ini? Kamu tau kan Abi selalu menanamkan dan mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan menurut syariat Islam? Tapi kalo anak Abi sendiri adalah seorang gay, dimana kelakuan yang sangat jelas-jelas di laknat oleh Allah, mau ditaruh mana muka Abi?"

"Memalukan! Anak yang selama ini Abi bangga-banggakan dan selama ini Abi andalkan ternyata tak lain hanya seperti sampah"

Aku menangis tertahan saat teringat ucapan Abi yang masih sangat jelas di benaku. Betapa malunya aku saat itu karna aku merasa manusia paling hina didepan mereka. Tiba-tiba Suara petir menggelegar terdengar jelas ditelingaku, membuatku tersentak kaget. Tiupan angin begitu kencang menerpa tubuhku, aku menengadah kelangit seketika hujan turun membasahi bumi dan mengguyur tubuhku. Hujan ini seolah tau dengan keadaanku yang sedang menangis.

Langkahku mulai terasa gonta. Aku menaruh kedua lututku diatas trotoar, sekarang aku berdiri dengan kedua lututku. "Tuhan... ! Seberat ini kah hidup yang harus aku lalui? Aku gak kuat Tuhan..." ucapku dengan sidikit teriak. Hujan semakin lebat, aku tak peduli lagi dengan baju yang kupakai akan basah.

"Jika akhir usiaku berakhir malam ini, aku sangat ikhlah kembali padamu malam ini juga, dari pada aku harus menanggung malu seumur hidup pada keluargaku ya Allah..." Tangisanku semakin menjadi, karna aku yakin di tengah malam seperti ini tak akan ada yang mendengar suara tangiasanku, apalagi lebatnya hujan tertengar begitu ricuh.

"Aku gak kuat Ya Allah" kenapa tiba-tiba aku terlindungi dari hujan? Padahal hujan masih sangat lebat, tapi aku? Aku tak terkena tetesan air hujan satu tetespun. Aku segera mendongak ke atas, ternyata ada sebuah payung yang sedang memberi peneduh diatas kepalaku.

"Menagislah jika itu membuatmu legah!" suara itu terdengar sangat pelan karna tertutup dengan gemuruhnya guyuran hujan, tapi cukup terdengar jelas ditelingaku. Aku segera berdiri melihat sosok yang sedang memayungiku dari belakang.

"Bapak siapa?" tanyaku dengan suara isak. Aku segera menghapus air mata yang masih mengalir dipipiku. Bapak itu terlihat memakai kopia bulat di kepalanya, baju kemaja hijau dan sarung berwarna merah yang ia kenakan.

"Jangan takut anak muda, saya orang baik-baik! Nampaknya kamu sedang dalam masalah besar ya?" tanya Bapak paru baya di depanku. Aku hanya mengangguk.

"Dilihat dari penampilanmu kamu anak baik dan sholeh, siapa namamu?" tanyanya lagi. Ia memperhatikanku dari ujung kaki hingga atas kepala. Saat mbak Meli memanggilku sebelum sidang keluarga sehabis sholat maghrib tadi aku memang memakai baju koko berwarna putih dan celana dasar hitam.

"Raffi Pak" jawabku singkat.

"Perkenalkan, saya Om Indra, panggil saja Om! Yasudah mari ikut dengan saya!"

"Tapi Om?"

"Sudah jangan takut! Om tak akan menyakitimu!" sepertinya aku tak bisa lagi menolaknya, aku berjalan satu payung deng Om Indra mengikuti langkahnya hingga berhenti disebuah rumah dengan bangunan limas permanen berwarna kuning berkombinasi orange yang sangat jelas terlihat walau malam hari.

***

"Asaalamu'alaikum Ma? Mama.. buka pintunya!" ucap Om Indra sedikit teriak.

"Waalaikum salam.." seorang perempuan mambukakan pintu masuk untuk aku dan Om Indra.

"Mari masuk nak Raffi!" aku mengikuti perintah Om Indra yang menyuruhku masuk kedalam rumahnya.

"Ini handuk dan pakaian untukmu nak Raffi. Buruan ganti ya nanti kamu sakit. Oya kamar mandinya dibelakang sebelah kiri ya!" jelas Om Indra ramah.

"Iya Om, Raffi ganti baju dulu ya, sekalian Raffi numpang sholat isya' boleh?"

"Iya mari, silahkan!" Om Indra mengantarku hingga di depan pintu kamar mandi. Aku segera masuk dan berganti pakaian. Sesudahnya aku diantarkan di sebuah kamar yang letaknya dekat dengan pintu tengah.

"Robi! Tolong buka pintunya!" ucap Om Indra didepan pintu kamar berwarna putih itu.

"Iya Om sebentar!"

Tak lama seorang lelaki membukakan pintu kamarnya. Ia menoleh ke Om Indra sebentar kemuadia melihatku dengan tatapan bingung.

"Ini siapa Om?" tanya lelaki itu

"Oya Bi kenalin ini Raffi, mulai malam ini Raffi akan tinggal bersama kita. Raffi satu kamar dengan kamu ya Bi?"

"Oh iya Om gak papa kok, kenalin aku Robi" ucapnya dibarengi dengan uluran tangan.

"Raffi" singkatku

"Yasudah kalo gitu Om tinggal dulu ya Bi?"

"Ya Om, Mari kak Raffi silahkan masuk!" ajak Robi

"Makasih ya Bi" Robi hanya tersenyum. Aku segera malaksanakan sholat isya' setelahnya aku dan Robi bercerita banyak dengnya. Robi orangnya sangat baik, ternyata Om Indra adalah adik Ayahnya Robi karna kedua orang tuanya Robi sudah meninggal akibat kecelakaan saat Robi berusia 10 tahun lalu, maka setelah kejadian itu semua kebutuhan Robi di penuhi oleh Om Indra. Saat ini Robi masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan setelah libur ini ia akan masuk kekelas 3 SMP. Robi berbadan kurus, berambut sedikit ikal dan berkulit tak terlalu putih sama sepertiku.

Robi belum bisa tidur, ia mengajaku menonton tv di ruang tengah, ternyata di sini masih ada Om Indra dan istrinya yang masih bersantai ria.

"Belum tidur Fi?" tanya Om Indra saat aku dan Robi baru sampai di ruang tengah ini.

"Raffi belum ngantuk Om" jawabku. Aku duduk di sebelah Robi berdepanan dengan Om Indra dan istrinya.

"Yasudah duduk sini saja dulu sambil nonton tv, Oya kalo boleh tau sebenarnya kamu ada masalah apa Fi siapa tau Om bisa bantu kamu?" aku hanya diam tak menjawab pertanyaan Om Indra, aku tak mungkin bercerita dan membuka aibku sendiri.

"Maaf Om, Raffi belum bisa cerita saat ini"

"Yasudah kalo masih belum bisa, jangan di paksa Pa kasihan kan si Raffi nya" sahut istri Om Indra

"Yasudah kalo gitu, tapi kalo kamu sudah tak sanggup dan ingin bercerita tak usah sungkan-sungkan ya Fi, anggap saja Om seperti keluarga kamu sendiri"

"Ya Om makasih sebelumnya karna Om sudah sangat baik memberi tumpangan sama Raffi"

"Sudah kalo masalah itu gak usah dipikirkan, kamu boleh tinggal sesukamu disini, anggap saja seperti rumah kamu sendiri!. Yasudah Om dan Tante sudah ngantuk Om tinggal dulu ya Fi?"

"Ya Om" Om Indra dan Istrinya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu meninggalkan kami. Aku dan Robi masih saja duduk bersama menyaksikan acara tv yang sedang berlangsung.

Rumah Om Indra memang terletak didalam gang, tapi tak terlalu jauh dari jalan raya. Rumahnya juga sederhana tapi kalo dilihat dari sikap dan penampilanya sepertinya Om Indra juga seorang Ahli ibadah.

Aku sangat bersyukur disaat aku bersedih dan kebingungan mau bermalan dimana, Allah masih menolongku melalui Om Indra. Semoga saat aku jauh dari keluargaku Abi merasa legah karna tak akan ada yang membuatnya malu karna aibku. Buk maafin Raffi ya sudah membuat Ibu kecewa? Raffi janji Buk, walau Raffi seorang gay, Raffi tak akan pernah melakukan hal-hal yang dilarang ajaran Agama kita. Raffi sayang sama Ibuk.

"Ka Raffi kenapa menangis?" tanya Robi mengagetkanku. Aku segera menghapus air mata yang tak sengaja mengalir di mataku.

"Eh gak papa kok Bi, oya Ka Raffi sudah ngantuk kakak tidur duluan ya?" kataku sambil beranjak dari tempat duduku.

"Tunggu kak, Robi juga sudah mulai ngantuk dan mau tidur"

"Yasudah kalo gitu, yuk?"

Aku dan Robi berjalan menuju kamar bersama, mematikan lampu kamar dan segera tidur bersama.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar