Rabu, 27 Januari 2016

Karena Dirimu
Part 14
--------------
By. Aby Anggara
========================

***

Denis sudah mendapatkan tiket dan mereka berjalan menuju bis yang akan mengantar mereka ke Rumah Neneknya Ardi. Semua penumpang yang akan menaiki bis besar itupun berbondong-bondong masuk dan menempati kursi masing-masing.

Denis dan Ardi duduk di kursi bagian tengah, mereka bersebelahan. Karna Denis ingin menjaga Ardi agar tetap hangat, maka Denis menyuruh Ardi masuk lebih dulu di bagian pinggir kemudian Denis di sebelahnya.

Semua kursi sudah terisi penuh dan bis pun segera berangkat meninggalkan Terminal.

"Kenapa kamu gelish seperti itu Nis?"

"Aku sudah tak sabar ingin segera sampai dan ingin melihat keindahan di Desa Ar"

"Sabar, nanti kamu pasti betah di sana, apalagi Nenek dan Kakek sangat baik loh orangnya"

"Iya kah?" Ardi mengguk. "Wah aku semakin tak sabar ingin bertemu mereka"

"Nanti aku kenalkan, Nenek pasti akan sangat gemas denganmu karna ketampananmu"

"Wah berarti nanti bakalan ada yang cemburu dong?" Denis menggoda Ardi. Seketika wajah Ardi terlihat memerah seperti mehan malu.

"Ye.. Kenapa musti cemburu, kan dia Nenekku?" Denis terkekeh. Pandangan Ardi berpaling ke jendela kaca melihat pemandangan hijau yang selalu tampil dari cela kaca. Setelah lelah ia menyandarkan kepalanya di bahu kanan Denis. Denis menolehnya lalu mengusap pelan kepala Ardi.

Ardi merasa sangat tenang dan nyaman saat berada di bahu Denis, hinggga membuat dirinya perlahan memejamkan kedua matanya. Denis yang menyadari hal itu, perlahan mengusap pipi Ardi dengan lembut. Ia mandangi wajah Ardi walau tak terlihat jelas karna posisinya yang sulit saat bersandar di bahunya.

"Aku sayang kamu Ar, aku akan selalu menjagamu" kata Denis dalam hati.

Pandangan Denis kembali kedepan dan membiarkan Ardi bersandar di bahunya. Hatinya sangat terasa bahagia saat orang yang ia sayangi kini ada di sampaingnya, bahkan menyandar dan tidur di bahunya. Semakin lama Denis merasakan bahunya terasa pegal, namun ia tak tega untuk membangunkan Ardi dari tidurnya.

"Bahu ini memang punya kamu Ar, kau boleh memilikinya selama aku masih menghembuskan nafasku"

Saat ada seseorang yang menyeberang jalan sembarangan sang sopir menginjak pedal rem tiba-tiba dan membuat Ardi terbangun dari tidurnya.

"Aku tertidur ya Nis?" ucapnya dengan sedikit mengusap matanya. Tatapannya terlihat polos seperti anak kecil, sangat polos.

"Iya Ar, kamu tidur lagi gih!" Denis menepuk pundaknya mempersilahkan Ardi menyandar kembali.

"Gak ah Nis, aku kasihan kamu pasti capek, maaf ya aku tadi tidur di bahumu" tatapan Ardi terlihat menyesal.

"Udah gak papa kok, sinih tidur lagi!" Ardi menggeleng, kemudian ia menyandarkan kepalanya di kursinya.

Ponsel Denis berdering, ia segera melihatnya. Ardi yang mendengar nada dering ponsel Denis membuatnya sedikit melirik kearah Denis.

"Dari siapa Nis?"

"Ka Rara Ar" Ardi yang kaget sontak mengangkat kepalanya dari sandaran kursinya.

"Kenapa gak di angkat Nis?"

"Gak ah, ka Rara pasti mau marah Ar"

Denis hanya membiarkan saja ponselnya berdering, ia menaruh kembali ponselnya pada saku celananya.

"Kita masih jauh ya Ar?" Denis menoleh Ardi.

"Sabar ya Nis, iya kita masih jauh, sekarang gantian kamu yang tidur saja!" Denis menggeleng. Semakin lama AC terasa semakin dingin hingga membuat Ardi merasakan kedinginan. Ia bersandar di kursi dan memangku kedua tangannya. Denis melepas sweaternya lalu menutupkannya pada tubuh Ardi dan sontak membuat mata Ardi sedikit terbuka. Ardi tersenyum lalu memejamkan kembali matanya.

Saat melihat Ardi sudah tenang, Denis merogoh saku celanya dan memeikan ponselnya. Ia hanya sekedar melihat abum foto di galerinya. Iya terlihat berfikir sejenak, lalu wajahnya tersenyum entah apa yang membuatnya tiba-tiba tersenyum.

Hari sudah semakin siang, ia merasa perutnya sudah mulai keroncongan. Denis menoleh kearah Ardi yang masih tertidur pulas bersandar di kursinya.

"Ini kapan sampainya ya? Perutku sudah lapar" Denis menoleh kebagian belakang, banyak penumpang lain juga yang masih memejamkan matanya untuk memanjakan tubuhnya, walau ada beberapa yang masih membuka matanya.

Ia kembali memaikan ponselnya, berharap dapat menghibur dirinya yang saat ini sedang kesepian. Tak lama bis yang ia tumpangi berhenti di sebuah terminal tanda ia sudah sampai. Penumpang lain sudah mulai berbondong beranjak dari tempat duduknya. Denis menoleh Ardi yang masih tertidur, ada rasa tak tega untuk membangunkannya, tapi ia terpaksa harus membangunkan Ardi.

"Ar bangun Ar!" Denis sedikit mengguncang bahu Ardi. Ardi terbangun dan segera malihat sekeliling ruangan bis.

"Kita sudah sampai ya Nis?" Ardi masih menguap.

"Iya Ar kita sudah sampai, ayo turun!"

Denis turun lewat pintu depan, sedangkan Ardi mengekor di belalangnya.

"Kita masih jauh ya Ar, aku lapar" ujar Denis berterus terang.

"Kita makan di rumah Nenekku saja ya Nis, kita sudah gak jauh lagi kok" Ardi mengangguk.

"Kita naik apa lagi Ar?"

"Kita naik becak Nis, karna tak ada angkutan umum yang lewat depan Rumah Nenek"

"Becak?" Ardi mengeryikan dahinya.

"Iya yuk?"

Denis yang sudah merasa lapar hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki Ardi yang berjalan menuju sebuah becak. Becak yang akan mengantarkan mereka kerumah Neneknya adalah becak sepeda motor. Bentuknya memang persis seperti becak, tapi di belakangnya bukan sepeda ongkel pada umumnya, melainkan sepeda motor yang memiliki mesin.

"Ke Kampung satu ya Bang!" ujar Ardi pada pemilik becak itu. Sang pemilik becak mengguk, Ardi dan Denis segera duduk di depan.

Selama perjalanan tubuh Ardi dan Denis tampak terguncang-guncang akibat jalan yang tak rata, setelah sedikit melewati jalan raya mereka memang akan di suguhkan jalan pedesaan yang kebanyakan tak rata. Tak lama mereka sampai di depan Rumah Neneknya Ardi. Rumah sederhana yang terbuat dari papan dengan warna biru muda.

Mereka segera turun, Denis membenarkan bajunya yang sedkit tak pada posisinya, namun pandangannya menatap Rumah sang Nenek yang terlihat begitu sepi.

"Kok bengong Nis, yuk?" ujar Ardi antusias, Denis mengikuti langkah kaki Ardi.

"Nenek....?" Ardi berteriak sambil mengetuk pintu rumah Neneknya.

"Iya tunggu sebentar!" pintu perlahan terbuka dan seorang Nenek yang sudah berambut putih tampak menatap Ardi dan Denis secara bergantian.

"Yaampun ini ada cah bagus" Nenek memegang kedua pipi Denis dengan geram.

"Nenek? Kasian Denis kesakitan tuh" Nenek tersenyum lalu melepaskan tangannya dari pipi Denis.

"Nenek gak kangen ya sama Ardi?"

"Ya Allah ini Ardi?." Nenek memeluk Ardi erat-erat lalu menciumi pipi kanan dan kiri Ardi. Nenek melongo saat melihat Denis yang masih berdiri melihat Ardi dan Neneknya berpelukan. "Itu siapa Cung?" Ardi menoleh melihat Denis.

"Oya, kenalin Nek, ini Denis anak majikan di tempat Ibu dan Ayah kerja"

"O..." Nenek mengangguk.

"Denis" ujar Denis mengguk santun.

"Ayo mari cah bagus, masuk ke pondok Nenek!" ujar Nenek punuh antusias. Ardi dan Denis masuk kedalam. Denis duduk di kursi yang terbuat dari bambu, sedangkan Ardi sibuk membawa tas mereka kedalam kamar.

"Gimana Nis, udaranya segar kan?" Ardi yang baru saja datang lalu duduk di kursi yang ada di depan Denis.

"Iya Ar seger banget"

"Ayo sini cung, ajak temennya makan dulu, habis perjalanan jauh pasti lapar kan?"

"Yuk Nis kita makan, kamu tadi lapar kan?"

Denis tersenyum. "Yuk.."

Ardi beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju dapur di ikuti oleh Denis di belakangnya.

"Silahkan, silahkan duduk Cah Bagus" Nenek masih sibuk menuang air putih di gelas.

"Jangan panggil Cah Bagus Nek, panggil Denis saja"

"Oalah.. Yan mbok ndak papa toh? Yasudah kalo ndak mau. Ayo siahkan makan! Nenek tinggal dulu ya?"

"Iya Nek" Nenek pergi meninggalkan Ardi dan Denis.

"Ayo Nis makan, jangan cuma diliatin!"

"Ar, Nenek kamu baik banget ya? Perhatian lagi, tapi nih pipi ku masih sakit di cubit tadi" Ardi terkekeh

"Tuh kan apa aku bilang, kamu pasti betah deh di sini"

Denis tersenyum lalu mereka mulai makan bersama. Denis merasa bahagia dan damai saat berada di Desa ini, karna jauh dari Rara yang selalu membuat hari-harinya tak terasa nyaman.

Selesai makan, mereka membantu Nenek yang sedang membuat kue. Beginilah kegiatan sehari-hari Nenek, membuat kue untuk ia jual besok pagi.

"Nek ini tepungnya di kasih air ya?"

"Bukan di kasih air Cung, tapi santan!"

"O..."

Nenek sedang sibuk menyiapkan semua bahan, sedangkan Ardi terlintas sesuatu di benaknya. Ia mencolek pipi Denis dengan tepung.

"Ih apaan sih Ardi" protes Denis tak terima. Denis yang tak terima ikut mengambil tepung di depan Ardi lalu mencolek pipi Ardi.

"Aha ha ha" Denis tertawa puas saat melihat wajah Ardi belepotan akibat tepung yang ia oleskan.

"Eh sudah, jangan di buat mainan" Nenek melerai mereka.

"Iya deh Nek maaf, oya Nek, Kakek kemana kok belum pulang?"

"Alah Cung, masak ndak tau kebiasaan Kakek mu toh? Jam seperti ini ya masih di sawah, biasa menanam padi" Ardi menatap Denis, kemudia wajahnya tersenyum.

"Nis kita kesawah yuk susul Kakekku, sekalian liat pemandangan sawah?" tentu saja Denis mengangguk cepat, karna memang hal seperti ini yang ia inginkan.

"Nek Ardi sama Denis ke Sawah dulu ya?"

"Yasudah, pulangnya jangan kemalaman ya!"

Ardi berjalan menuju pintu depan, menghampiri sepeda yang sudah lama tak terpakai. Bannya gembes dan sepedanya sedikit kotor karna debu. Ardi mengambil pompa lalu memompa kedua ban yang gembes akitabat lama tak terpakai. Setelah itu ia membersihkan dengan kain agar debu-debu menghilang dari sepeda itu. sekarang Ardi sudah duduk di depan dan siap untuk berjalan.

"Yuk Nis?" Ardi menoleh kebelakang dengan tangan yang sudah siap di stang masing-masing. Denis tersenyum lalu duduk di belakang Ardi. Cuaca sore itu tak terlalu panas karna matahari sedikit tertutup gumpalan awan putih.

Ardi mengendarai sepedanya dengan santai, mereka sangat menikmati suasana sore itu. Tak lama mereka sudah sampai di Sawah, terlihat tanaman padi dengan barisan yang sangat rapi. Dari kejauhan terlihat beberapa petani yang sedang menanam padi di Sawahnya.

Hembusan angin menerpa merek membuat suasana sote itu terasa begitu sejuk. Denis dengan sibuknya menoleh kanan dan kiri seoah tak mau ada keindahan yang akan terlewatkan oleh pandangannya. Mereka sudah sampai di Sawah dan terlihat sang Kakek yang sedang menanam padinya sendirian.

Ardi turun dari sepedanya dan menyandarkan di pinggir jalan.

"Yuk Nis!"

Ardi berjalan di tanggul pembatas air yang begitu kecil, hingga mereka harus sangat hati-hati agar tak terpeleset dan jatuh ke air yang menggenangi padi.

"Ar tunggu dong!"

Ardi menoleh kebelakang, terlihat Denis yang tertinggal sedikt jauh olehnya. Ardi berhenti dan memandangi Denis yang berjalan sangat lamban dan berusaha mengimbangi tubuhnya agar tak terjatuh ke air. Ardi menahan tawa menutup mulutnya agar tak bersuara.

"Kenapa senyum-senyum gitu ar?" ujar Denis saat ia sudah sampai di depan Ardi.

"Abis kamu lucu Nis?"

"Lucu?" Denis mengerutkan keningnya.

"Iya lucu, masa jalan aja lama banget, udah gitu mengimbangi tubuh tangannya seperti orang menari" jelas Ardi masih menahan tawanya. Denis mendengus kesal.

"Kan ini tanggulnya kecil Ar, aku kan takut jatuh kebawah"

"Iya tau, jangan cemberut gitu dong!" Ardi menatap Denis dengan kedua tangannyan ia taruh di lututnya.

"Eh siapa ya marah, yuk kesana kita ke rumah kecil itu" Ardi berdiri menoleh sesuatu yang di tunjuk oleh jari Denis. Seketika Ardi menutup mulut dengan telapak tangannya sambil menahan tawa. "Eh kenapa Ar?" Denis menatap Ardi bingung.

"Orang kamu aneh, itu gubuk kali Nis bukan rumah"

"Huf.." Denis meniup rambut poninya.

"Udah ah ayok kesana!"

Mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju pondok milik Kakeknya, terlihat Kakek yang baru saja sampai di pondok untuk bersiap-siap mau pulang.

"Kakek...?" Ardi berteriak dari kejauhan. Walau Kakek sudah tua, namun indra yang masih sangat tajam membuatnya menoleh karna medengar panggilan dari Ardi.

"Ardi?"

Ardi mencium tangan Kakeknya.

"Kakek sudah mau pulang?"

"Iya ini baru saja mau pulang, lah ini siapa to Cung?"

"Ini Denis Kek, anak majikan tempat Ayah dan Ibu bekerja"

"Denis.." ujar Denis menyalami Kakek dengan sopan.

"Wah orang kota bagus ya Cung?" Denis tersenyum.

"Ah Kakek ada-ada saja, bilang ganteng saja bagus. Ardi juga bagus kan Kek?"

"Wah cucu kakek jelas saja bagus lah hehe" Kakek tertawa hingga giginya yang sudah mau habis sangat terlihat jelas. "Yasudah Kakek mau pulang dulu, kamu pulangnya jangan sampai kemalaman ya Cung!"

"Iya Kek bentar lagi juga pulang"

Kakek bersiap-siap untuk pulang, memasukan semua peratannya kedalam tas yang sudah terlihat sangat usang. Kemudian meninggalkan Sawahnya.

Denis dan Ardi masih meliahat kepulangan sang Kakek yang berjalan membelakangi mereka.

"Yuk Nis naik" Ardi menaiki tangga yang cukup tinggi, Denis mengikutinya.

Dari ketinggian gubuk yang tak beratap mereka bisa melihat indahnya tanaman padi yang sangat luas. Beberapa petani lain yang belum pulang masih terlihat sedang menunduk dan berdiri masih menanam anak padi.

"Ar liat deh, indah ya?" Denis menunjuk matahari yang sudah mulai tenggelam, sinarnya sudah mulai kuning keemasan. Ardi melihat arah yang di tunjuk oleh Denis, lalu tersenyum. Denis mengeluarkan ponselnya lalu mengambil gambar matahari yang sudah mulai tenggelam.

"Bagus Nis" komentar Ardi. Denis tersenyum bangga namun pandangannya masih pada layar ponselnya, meliahat hasil gambar yang baru saja ia ambil. Tanpa ragu tangan kiri Denis merangkul bahu Ardi dan tangan kanannya memegang ponsel untuk mengambil gambar mereka berdua, Ardi yang menyadari Denis yang akan mengajaknya selfie dengan cepat mengangkat kedua jarinya.

Mereka berfoto bukan hanya satu kali, dengan berbagai pose. Walau suasana sudah sedikit meredup karna matahari yang sudah tenggelam, namun hasil foto mereka terlihat sangat terang, karna camera ponsel Denis sudah dilengkapi dengan led yang menyala pada saat pengambilan gambar.

"Bagus kan Ar?" Denis memperlihatkan hasil foto mereka yang baru saja ia ambil. Ardi tersenyum saat melihat fotonya yang berada di ponsel Denis.

"Iya Nis bagus, apalagi yang ini" Ardi menunjuk foto pada saat Denis mencium pipi Ardi.

"Haha kamu bisa saja Ar, mau lagi?" Denis menggoda Ardi. Ardi tersipu malu tak bisa memjawab, wajahnya terlihat memerah. Denis yang mengetahuinya jawaban yang tak Ardi jawab langsung memasukkan ponselnya kedalam saku lalu perlahan wajahnya mendekat kewajah Ardi. Ardi memejamkan matanya dan seketika terasa sentuhan hangat di bibirnya. Tapi hanya sebentar karna Denis menyudahinya. Ardi tampak kecewa, tapi karna malu ia tak mengatakannya.

"Kenapa kamu lemes gitu Ar?"

"Gak papa Nis, sudah mau maghrib, kita pulang yuk nanti Nenek mencari kita" Denis mengguk dan mereka turun dari gubuk lalu menuju kesepeda yang mereka parkir di pinggir jalan.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar