Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 14
----------------
By. Aby Anggara
===========================

***

-Raffa POV-

"Yasudah Ibuk tinggal dulu ya ndok?" pamit Ibu pada Ferra. Ibu beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan kami.

Suasana seketika hening saat kami hanya berdua duduk di kursi ruang tengah. Sepertinya Ferra belum bercerita apa-apa dengan Ibuk, karna diwajah Ibu tidak ada gambaran raut kekecewaan yang mendalam.

"Kamu ngapain kesini Fer?" tanyaku mulai memecahkan keheningan. Ferra menatapku dengan tatapan tajam.

"Aku serius Fa, jika kamu tidak memberikan kepastian, aku gak main-main dengan ucapanku!"

"Kepastian? Maksud kamu apa?"

"Aku ingin kamu menikahiku!"

"Menikahimu? Kamu benar-benar gila ya Fer?"

"Okey, kamu cuma ada dua pilihan Fa, iya atau tidak!" sontak aku menutup kedua wajahku dengan dua telapak tanganku dan menaikanya keatas bagai menyisir rambutku dengan sepuluh jariku. Sepertinya Ferra tidak main-main dengan ucapanya, aku sangat bingung saat ini. Apa yang harus aku lakukan? Aku menghela nafas panjang dengan berat.

"Baiklah, kasih aku waktu Fer!"

"Aku pengenya kamu jawab sekarang Fa!"

Ferra memang gila, bahkan di saat pilihan yang sangat sulit bagiku dia tak mau memberikan waktu sedikitpun untukku. Keterlaluan!

"Baiklah Fer, aku akan menikahimu" jawabku dengan mata memerah. Sepertinya hidupku sudah benar-benar hancur saat ini, aku tidak ada pilihan lain. Demi menjaga kehormatan dan nama baik keluargaku, aku rela mengorbankan hidupku. Ya Allah... Saat ini aku hanya bisa pasrah padamu.

"Bagus Fa, aku tunggu kabar selanjutnya ya?" ucapnya sambil berdiri lalu pergi meninggalkanku. Pasti Ferra saat ini pulang dengan senyum kemenanganya. Puas kamu buat hidup ku menderita Fer? Puas kamu sudah membuat hidupku hancur? Saat ini kamu boleh tersenyum lebar atas kemenanganmu Ferra, tapi sungguh aku tak akan pernah ikhlas menjadi suamimu.

***

Aku dan keluargaku sedang menikmati makan malam bersama, namun sejak kepergian Raffi, Ibu selalu menoleh ke kursi kosong yang biasanya diduduki oleh Raffi. Tak sedikitpun senyuman terukit di wajah Ibu saat ini. Bahkan raut wajahnya penuh penyesalan.

"Ya mbok di makan toh buk, jangan hanya dilihati saja!" ucap mbak Meli pada Ibu. Perlahan Ibu mengangkat kepalanya dan menatap mbak Meli yang duduk di depanya.

"Raffi sudah makan belum ya ndok? Dia kemana, lah kok ndak pulang-pulang?" tanya Ibu dengan suara tertahan. Lagi-lagi Ibu mengeluarkan air matanya karna teringat dengan Raffi. Tatapanya sedu bagai orang yang sangat berputus asa.

"Buk... Raffi pasti baik-baik saja kok, Ibu ndak usah khawatir seperti itu ya!" ucap mbak Meli berusaha meyakinkan Ibu. Ia mengangkat kursinya dan duduk disebelah ibuk. Mbak Meli memang terlihat seprti orang yang paling kuat dengan kepergian Raffi. Tapi aku tau, kalau didalam hatinya sangat rapuh, karna kehilangan seorang saodara yang sangat ia sayangi.

Sedangkan Abi masih menikmati makan malam dengan sangat hati-hati. Ia tak banyak bicara, mungkin karna penyesalanya ia juga tak terlalu banyak membahas Raffi. Ya.. Walau terkadang Abi juga suka menanyakan kabar Raffi padaku.

"Raffa mau berbicara sesuatu pada Abi, Ibu dan juga mbak Meli" ucapku tiba-tiba. Sontak semua mata serempa tertuju padaku. Aku semakin ser-seran untuk membicarakan hal yang sangat serius seperti ini.

"Mau bicara apa Fa?" tanya Abi dengan suara mantap dan khas serak-serak basahnya. Saat ini Abi masih menatapku lekat-lekat.

"Raffa mau menikah dengan Ferra Bi" kulihat Abi segera menyelesaikan mengunyah makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu melanjutkan dengan meminum segelas air putih.

"Memangnya kamu sudah siap untuk membina rumah tanggamu nanti Fa?" tanya Abi padaku. Untuk beberapa detik aku terdian tak bisa menjawab pertanyaan Abi. Namun aku harus bisa menyakinkan Abi agar Abi mengizinkan ku menikah dengan Ferra.

"Ya mbok di fikirin lagi to le, kamu kan masih muda, masih 21 tahun loh. Apa ndak sebaiknya di tunda dulu, sampai kamu benar-benar siap? Lah wong mbak mu saja belum menikah kok" sahut Ibu yang sepertinya tidak menyetujuiku dengan pengajuanku.

"Buk... Kalo mamang Raffa sudah siap untuk membina rumah tangganya, Meli ndak papa kok Buk"

"Raffa memang masih muda Buk, tapi insya Allah Raffa siap kok" jawabku mantap.

 "Abdullah bin Mas'ud menuturkan bahwa, Rasulul s.a.w. bersabda yang Artinya: (Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu sudah mampu menikah, maka menikahlah. Sebab pernikahan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu untuk menikah, maka hendaklah ia berpuasa, kerana sesungguhnya berpuasa itu dapat mengalahkan hawa nafsu). Hadis di atas sangat jelas, jadi kalau kamu sudah benar-benar siap, Abi akan sangat berdosa jika tidak menuruti kemauanmu Fa, apalagi kalau sampai terjadi hal-hal yang dilarang oleh hukum Agama. Nanti Abi bicarakan sama Ibumu soal hari dan tanggalnya ya Fa?"

"Iya Bi" singkatku.

Setetes air mata jatuh dari sudut mataku. Aku tak pernah menyangka jika pernikahanku akan sepedih dan sepahit ini. Aku kira pernikahanku akan bahagia seperti sahabat-sahabatku yang tersenyum bahagia saat mendekati hari pernikahan dan bersanding di pelaminan. Tapi berbeda denganku. Jangankan mendekati, baru di rencanakan saja hatiku sudah terasa begitu sakit. Bagai mana jika akan menghadapi akad nikah nanti? Aku sangat tak mampu untuk membayangkanya.

Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan memilih tidak akan pernah mau mengenal orang seperti Ferra seumur hidupku. Hatiku sungguh begitu perih, rasanya selalu ingin pergi jauh dari dunia ini. Tapi itu tak mungkin aku lakukan, karna keluargaku adalah segalanya bagiku.

***

-Raffi POV-

Sudah jam delapan malam Meisya belum juga datang. Padahal aku sudah setengah jam yang lalu menunggunya disini. Mungkin ia masih di perjalanan dan aku berharap sebentar lagi ia sampai disini.

Aku masih duduk di kursi Alun-alun yang terbuat dari kayu. Suasana disini lumayan ramai, tapi mereka berkumpul secara bergerombolan. Sinar lampu juga tak terlalu terang hingga wajahku saja tak terlalu terlihat jelas. Aku sudah memberitahu Meisya kalau aku sudah menunggunya disini, namun belum ada balasan.

Tiga puluh menit kedua sudah kulalui, namun Meisya belum juga sampai. Kenapa Meisya belum juga sampai? Padahal kami sudah mengatur janji jam setengah delapan malam disini. Tapi anehnya dia juga belum memberi kabar padaku.

Mudah-mudahan Meisya baik-baik saja. Angin berhembus begitu kencang, rasanya menambah dingin suasana malam ini. Tak berselang lama ada sebuah mobil yang memarkirkan di pinggir jalan dekat dengan tempat duduku. Ternyata dia adalah Meisya. Dia terlihat sangat cantik dengan kerudung kuning mudanya. Syukurlah dia baik-baik saja. Aku tersenyum menyambut kedatanganya.

"Maaf ya Fi aku telat, jalanan sangat macet" keluh Meisya saat baru sampai menghampiriku. Meisya lalu duduk di kursi yang ada di depanku.

"Gak papa ko Sya, oya gimana kabarmu Sya?"

"Baik Fi, kalau kamu?"

"Aku juga baik ko Sya, em.. Memangnya mau ngomong apa Sya, kok sepertinya sangat penting, ya.. Hingga kita harus ketemuan seperti ini?"

"Iya Fi, bahkan penting banget. Begini Fi, aku di jodohkan papa dengan anak rekan bisnisnya di Jakarta, tapi aku menolaknya dan aku bilang ke papa kalo aku sudah punya pilihan sendiri. Papa memberi waktuku tiga hari untuk memperkenalkan pilihanku padanya, jika dalam tiga hari aku belum bisa mengenalkan calon suamiku dengan papa, maka papa tetap akan menjodohkanku pada pilihanya"

"Trus?"

"Aku mau.... Aku mau kamu yang jadi calon suamiku Fi, tapi ini bukan karna untuk menghindari perjodohan ini Fi, tapi karna aku memang benar-benar mencintaimu. Sekeras apapun aku berusaha membencimu dan melupakanmu, tapi tetap saja aku tak mampu untuk membencimu Fi"

"Tapi itu sangat tak mungkin Sya, aku tak akan bisa membahagiakanmu dan kamu tau kan dengan keadaanku?"

"Aku tau itu Fi, tapi aku akan nerima kamu apa adanya dan aku yakin suatu saat dengan berjalanya waktu kamu pasti bisa kok Fi"

"Kamu harus tau Sya jika seorang calon suami tidak mampu memberikan nafkah batin pada calon istrinya lalu ia tatap melaksanakan pernikahan itu, maka haram hukumnya Sya!"

"Aku tau itu Fi, haram hukumnya jika calon suami tidak mengatakan yang sejujurnya akan ketidak mampuan dirinya pada calon istrinya. Tapi akan berbeda jika calon istri sudah mengetahuinya dan ia mau menerimanya dengan ikhlas Fi"

Seketika suasana hening tanpa suara karna aku terdiam tak mampu berkata-kata lagi dibuatnya. Begitu besarnya kah cinta Meisya padaku hingga ia rela menerimaku yang seperti ini?

"Maaf Sya aku gak bisa. Aku benar-benar tak mau menbuat orang kecewa karnaku"

"Kenapa Fi? Aku sungguh akan menerima mu apa adanya Fi"

"Seribu kalipun kamu berkata seperti itu, aku akan tetap dengan pendirianku Sya!"

"Yasudah Fi kalau itu memang mau mu, kalau kamu gak bisa aku gak akan maksa kamu lagi kok. Tapi satu pinta terakhirku padamu Fi"

"Apa Sya?"

"Aku harap kau datang saat resepsi pernikahanku nanti! Assalamu'alaikum" ucap Meisya dengan tangisan tertahan. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan segera meninggalkanku sendirian. Aku masih nematung dengan tatapan kosong menyaksikan Meisya naik ke mobilnya dan berlalu.

"Waalaikum salam" jawabku saat tersadar dari lamunanku, walau sebenarnya sudah sangat terlambat aku menjawabnya.

Aku yakin Meisya pasti sangat kecewa denganku karna aku tak menuruti keinginanya, tapi mau bagai mana lagi, aku juga tak mau membohongi diriku sendiri kalau aku tak akan pernah bisa mencintai wanita.

Semoga kau bahagia dengan pilihan orang tuamu Sya, karna aku benar-benar tak mampu dan tak akan bisa membahagiakan mu. Semakin malam angin semakin terasa dingin. Aku memutuskan untuk segera pulang.

***

Aku masi duduk bersandar di ranjang tidurku, melamun memikirkan kesedihan yang terjadi pada Meisya. Sebenarnya aku sangat kasihan dengan Meisya, namun semua itu percuma karna aku juga tak dapat menolongnya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaanya saat harus menikah bukan dengan orang yang kita cintai.

Sudah larut malam namun aku sangat susah untuk memejamkan mataku. Otaku masih saja tak mau berhenti memikirkan Meisya. Sya, kamu baik-baik saja kan? Aku meraih hpku lalu membuka pesan untuk mengirimkan pesan singkat padanya, tapi.. Saat baru ingin menulis aku mengurungkanya dan menaruh hp ku kembali. Aku kembali melamun.

"Ada apa Sya?" tanyaku saat ia baru sampai. Nafasnya sedikit tak teratur terdengar memburu lebih cepat.

"Fi thanks ya pilihan novel lo kemaren... Gue suka banget"

"Syukur deh kalo kamu suka Sya, aku juga seneng dengernya"

"Oya Fi besok lo ulang tahun ya? Kok gue gak di undang?"

"Kok kamu tau kalo aku besok ulang tahun Sya?"

"Gue liat di profil facebook lo Fi"

"Oh.. Iya memang bener aku dan ka Raffa besok ulang tahun yang ke 18 Sya, tapi kami tak pernah merayakanya, karna dalam ajaran Agama kami memang tidak mewajibkanya"

"Oh gitu ya Fi" aku hanya mengangguk.

"Oya Sya aku ada sesuatu nih buat kamu" Meisya tersenyum. Aku segera mengeluakan sesuatu dari tasku dan memberikanya pada Meisya.

"Ini apa Fi?" tanya Meisya penasaran. Ia masih memperhatikan benda yang kubungkus kertas kado berwarna batik dan dilingkari tali pita berwarna hijau di sekelilingnya.

"Buka saja Sya!" dengan sangat hati-hati dan perlahan ia membukanya.

"Buku panduan sholat lengkap?" kata Meisya sambil membacanya dan seketika menatap kearahku.

"Iya Sya, semoga kamu suka ya bacanya!"

-----------------------------------------

"Sya, jamnya bagus banget?"

"Lo suka Fi?"

"Suka Sya, suka banget malah. Makasih ya Sya"

"Syukur deh kalo lo suka, gue juga seneng Fi dengernya. Itu jam tangan anti air Fi, jadi gue pengenya lo selalu pake jam itu ya, walau lo sedang wudhu sekalipun, dan jangan pernah melepasnya ya!"

"Iya Sya, aku janji aku akan selalu pake jam ini dan gak akan melepasnya"

"Sekarang pake ya Fi!"

Air mataku tanpa sadar mengalir saat teringat kenangan waktu SMA dulu dengan Meisya. Ternyata tanpa sadar aku sudah membuat pribadi Meisya berubah jauh lebih baik. Jika aku lelaki Straight aku pasti akan menikahimu Sya, dan aku ingin kau menjadi Ibu dari anak-anaku.

Aku masih memadangi jam tangan pemberian Meisya tiga tahun yang lalu, sampai saat ini aku masih memakainya. Aku sudah menepati janjiku Sya, karna sampai saat ini aku masih memakai jam tangan pemberian darimu. Makasih ya Sya.

***

-Robi POV-

Saat subuh Aris sudah memberitahuku kalau dirinya hari ini tak bisa menjemputku. Katanya dia berangkat sekolah lewat dari jalan yang berbeda karna ada sesuatu yang harus di kerjakan yang diperintahkan oleh mamanya, jadi pagi ini aku terpaksa menunggu angkot yang searah menuju sekolahku.

Sudah sepuluh menit aku menunggu namun belum juga ada angkot yang lewat di depanku. Huf.. Aku sangat kesal jika harus meninggu lama di pinggir jalan seperti ini, seperti orang hilang saja.

Kalau tau seperti ini lebih baik aku minta antar saja dengan ka Raffi. Karna kalau bawa motor sendiri Om Indra tidak mengizinkanku dengan alasan takut terjadi sesuatu hal buruk padaku. Karna Om Indra pernah memergokiku naik motor berkebut-kebutan dengan teman-temanku.

Akhirnya ada juga angkot yang lewat. Aku segera naik saat ia sudah berhenti didepanku. Ah paling bate kalau naik angkok puter musik keras-keras, apalagi musiknya dangdut. Bikin aku eneg saja. Tapi.. Yasudahlah lagi pula cuma hari ini saja aku naik angkot, besok aku juga sudah sama-sama lagi dengan pacarku Aris.

Aku telah tiba di Sekolahku. Mataku menyapu seisi halaman sekolah saat aku baru memasuki pintu gerbang sekolah. Aku mencari sosok Aris yang belum kulihat di pagi ini. Ternyata dia sedang duduk melamun sendirian di sebuah kursi dan menopang dagunya dengan kedua telapak tanganya. Aku segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

"Pagi-pagi udah melamun, tar kesambet loh Ris" ledeku yang tak menolehnya. Karna aku duduk bersandar membelakanginya. Ia masih diam tak menggubris perkataanku. Aku memutarkan tubuhku momposisikan duduk berhadapan ke arah yang sama sepertinya. "Ris kamu kekapa kok diam mulu?"

"Aku gak papa kok Bi, aku duluan ya?" tanpa menunggu jawabanku ia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkanku. Aku jadi bingung, ko Aris hari ini seperti lagi ada masalah? Tapi kenapa dia tak mau bercerita denganku? Ah sudahlah, nanti aku akan menanyakanya.

***

Perutku sudah terasa sangat lapar, aku sedang mencari Aris dan ingin mengajaknya makan bersama di Kantin. Aku berjalan menyusuri semua sudut sekolah, namun sosoknya masih belum kutemukan. Rasanya rasa laparku sudah tak dapat kutahan lagi. Aku memutuskan ke Kantin lebih dulu dan nanti aku akan memberitahu Aris kalau aku sudah menunggunya di sana.

Aku masih berjalan menuju Kantin sambil menulis pesan untuk memberi tahu Aris kalau aku sudah menunggunya di sana, tapi aku memberhentikan langkahku saat aku melihat Aris sudah lebih dulu makan di Kantin sendirian.

Kenapa Aris seperti ini? Biasanya ia selalu mengajaku saat ia ke Kantin. Sejak tadi pagi sifatnya memang sangat berubah. Aku melanjutkan langkahku dan menghampirinya.

"Hey Ris, kok tumben aku gak di ajakin makan?" tanyaku ramah. Tanpa disuruh aku langsung saja duduk di depanya dan kami berhadapan.

"Maaf Bi aku sudah selesai, aku duluan ya?" ucapnya sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Tunggu Ris!" ucapku. Ia berdiri dan menatapku. "Kamu kenapa si Ris hari ini berberubah seperti itu? Kalau aku ada salah, aku minta maaf" Aris hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia benar-benar tak menggubris perkataanku, ia tetap saja pergi meninggalkanku.

Kenapa kamu mulai menghindar dariku saat aku mulai benar-benar sayang sama kamu Ris, sebenarnya ada apa?

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar