Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 16
-----------------
By. Aby Anggara
==========================

-Robi POV-

Hari ini ka Raffi pergi ke acara pernikahan temanya di Jakarta, jadi terpaksa aku harus naik angkot lagi. Huf.. Menyebalkan. Lagi-lagi aku harus menunggu di pinggir jalan seperti orang hilang. Andai saja Aris masih sama seperti dulu pasti aku tak akan seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, sampai saat ini saja aku belum tau apa penyebabnya dia menjauhiku.

Aku kembali melihat jam tangan yang ada di tangan kiriku. Sudah jam segini tapi masih saja belum ada angkot yang lewat. Tiba-tiba Aris lewat dengan motornya dan berhenti di depanku. Aku hanya diam saja tak bersuara dan merasa sangat aneh. Biasanya dia selalu menghindar dariku, tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia mendekatiku dan berhenti didepanku?

"Ayo Bi naik!" katanya menyuruhku. Aku yang mesih terjengang dengan tingkah anehnya masih saja mematung tak bergeming. "Mau ikut gak?" tambahnya.

"Eh iya Ris mau kok" seketika aku naik ke motor Aris dan duduk di belakangnya. Ia mulai melajukan kendaraanya. Suasana terasa sangat canggung saat ini, apalagi semenjak perubahan sikap Aris aku jadi merasa seperti orang asing.

Selama di perjalanan ke sekolah aku dan Aris sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Otaku masih di penuhi tanda tanya dengan sikapnya yang sangat labil. Terkadang ia menghindarku dan terkadang ia baik denganku. Aku berharap semoga saja mulai hari ini ia tak akan menghindar lagi dariku.

Aku turun lebih dulu sedangkan Aris masih memarkirkan motornya. Aku masih berdiri disini menunggunya untuk kekelas bersamanya. Namun saat ia sudah selesai dengan motornya, ia kembali acuh denganku dan meninggalkanku seolah tak menganggap keberadaanku. Aku yang sudah merasa sedikit senang kembali patah semangat saat ia berlalu begitu saja didepanku.

"Ris tunggu Ris!" kataku sedikt berteriak. Aris memberhentikan langkahnya namun masih tetap pada posisis membelakangiku. Aku berlari kecil menghampirinya. "Apa salahku Ris, hingga kau tak menggapku lagi?"

".................." hening. Aris masih membisu tak mengeluarkan suaranya. Aku masih menatap lekat-lekat punggungnya yang sedikit tertutup tas gendongnya.

"Ris jawab Ris!"

"Kamu gak salah ko Bi" jawabnya dengan menolehkan kepalanya kearah belakang dan sedikit melihatku. Setelah itu ia melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti karnaku.

Aku hanya bisa pasrah dengan sikapnya yang begitu dingin padaku. Namun aku masih bingung dengan sikapnya. Kalau dia membenciku kenapa tadi dia mengajaku berangkat kesekolah bersama? Tapi kalo dia sudah tidak marah denganku kenapa dia masih acuh sperti ini? Artrghhh!! Membingungkan.

Aku melangkahkan kaki dengan lesu di belakangnya, tapi jarak antara kami lumayan jauh.

***

Siang ini disaat semua orang pada berbondong-bondong menuju ke kantin untuk makan siang, namun aku malam duduk menyendiri di belakang sekolah. Aku tak merasakan lapar sedikitpun. Siang ini mungkin aku sudah tak tahan dengan semua ini hingga aku menangis karna rasa sakit begitu yang kurasakan. Begai mana tidak, setelah aku mengorbankan Ayu demi Aris, tapi malah seperti ini balasanya.

Aku tak peduli jika nanti ada yang melihatku menangis disini, setidaknya aku sudah menjauh dari mereka semua. Andai saja Aris tau betapa aku menyayanginya, aku yakin dia tak akan tega menyiksaku seperti ini tanpa memberi kepastian.

Aku sangat kaget saat tiba-tiba sebuah tisu muncul tepat didepan mataku. Tentu saja aku menoleh kearah pemilik tangan itu. Ternyata Aris pemilik tangan itu dan lagi-lagi tingkahnya yang labil membuatku semakin dilema.

"Ambilah dan hapus air matamu!" perintahnya. Aku hanya diam menatap lurus kedepan tanpa memperdulikan ucapanya.

"Percuma kau memberiku tisu jika kau masih saja membuat orang itu menangis Ris" kataku. Aris kemudian duduk di sebelah kananku dan kita duduk bersebelahan.

"Aku tau Bi kamu pasti sangat bingung dan tersiksa dengan sikapku akhir-akhir ini, tapi demi Tuhan aku sangat sayang sama kamu Bi"

"Bohong! Jika kau sayang pada seseorang tak kan mungkin kau menyakiti orang itu Ris"

"Aku tau itu dan aku menyadarinya Bi, tapi terkadang orang melakukan hal itu bukan atas kemauanya sendiri Bi"

"Trus atas kemauan siapa Ris?"

Seketika suasana hening karna Aris tak menjawab pertanyaanku. Ia menundukan kepalanya terlihat seperti orang merasa bersalah yang teramat mendalam.

"Aku... Aku sayang kamu Bi!"

"Bohong! Jangan pernah ucapkan kalimat itu Ris!"

"Aku tak pernah bohong Bi aku sangat mencintaimu, tapi lebih baik kita sekarang berteman saja ya. Aku yakin hubungan kita akan lebih baik"

"Kenapa hanya berteman Ris? Kamu lupa aku sudah menuruti apa yang kamu mau, tapi kamu? Kamu tega-teganya membuatku hancur Ris"

"Tapi kamu harus tau Bi ini semua bukan kemauanku, tapi kemauan-" Aris tiba-tiba diam tak melanjutkan perkataanya. Aku masih diam menunggu ia melanjutkan ucapanya, tapi sepertinya ia tak melanjutkanya karna sudah beberapa detik ia masih saja diam membisu.

"Kemauan siapa Ris? Jawab!"

"Aku sayang kamu Bi, dan lebih baik kita sekarang bersahabat saja ya?"

"Baiklah Ris kalo itu mau kamu, aku akan mencoba menerimanya" Aris tersenyum dan ia menghapus air mataku menggunakan tisu yang sudah ia pegang sejak tadi. Kami saling bertatapan lalu Aris memeluk tubuhku.

***

Siang ini terasa sangat membosankan. Aku juga merasa kesepian tak ada yang menemaniku. Aku duduk bersandar di ranjangku karna aku sedang malas untuk keluar rumah. Aku melirik ponselku yang berada di meja kecil di sebelah ranjangku, Seketika terlintas di kepalaku ide untuk mengajak ka Raffi chat.

'Hey ka Raffi lagi dimana?'

'Masih di acara resepsi temen kaka ni Bi, ada apa kangen ya sama ka Raffi?'

'Idih ka Raffi PD aman jadi orang, siapa yang kangen coba :p ?'

'Hahaha gak mau ngaku'

'Ah males chat ama ka Raffi'

'Ye.. Ada yang ngambek ni?'

'Siapa yang ngembek coba? Biasa aja kok. Ka Raffi pulangnya bawa oleh-oleh ya, makanan khas jakarta gitu!'

'Oke deh nanti sambung lagi ya kakak masih sibuk nih'

'Sip, yadeh kak'

' (y) '

Aku tersenyum-senyum sendiri saat schat dengan ka Raffi. Entah kenapa aku merasa sangat bahagia saat selalu bersamanya, tapi saat aku jauh seperti ini aku merasa sangat kangen dan juga merasa kehilangan dirinya. Apa aku sedang jatuh cinta dengan ka Raffi? Ah aku rasa itu tak mungkin. Dia itu memang seorang gay, tapi dia bukan orang sembarangan, mana mungkin ka Raffi mau dengan hal-hal seperti itu.

Robi sadarlah, kau tak mungkin bisa mendapatkan hati seorang seperti ka Raffi. Seketika aku mengusap wajahku agar akau berhenti berhayal lebih dalam tentang ka Raffi. Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi indah yang sangat singkat. Aku kembali menaruh ponselku ke atas meja kecil dan membaringkan tubuhku di ranjangku berniat untuk istirahat sejenak.

***

-Raffi POV-

Aku sudah sampai di gedung pernikahan sesui alamat yang di kasi oleh Meisya. Tamunya begitu banyak, karna area parkir hampir di penuhi oleh mobil-mobil mewah. Aku berjalan menuju gedung itu. Saat aku sudah didalam ruangan terlihat Meisya sedang bersanding bersama seorang lelaki yang sangat tampan dan gagah. Namun tatapan Meisya gelisah menoleh kesana kemari seperti sedang mencari seseorang.

Entahlah aku juga tak mengetahuinya siapa yang sedang ia cari-cari. Para tamu undangan disini hampir semua terlihat dari kalangan elit. Aku menjadi minder berada di tempat seperti ini merasa tak layak menghadiri pesta semegah dan semeriah ini.

Meisya terlihat sangat cantik dan anggun dengan busana muslim yang ia kenakan hingga terurai membentang di lantai. Namun sayang, wajahnya tak sedikitpun mengeluarkan senyuman indah yang ia miliki.

Perlahan aku berjalan menghampiri Meisya yang sedang berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu undanganya. Seketika tatapan Meisya terpaku tak bergeming saat ia melihat kehadiranku disini. Ia menyebut namaku, walau tak terdengar ia mengeluarkan suara, tapi gerakan bibirnya sangat jelas bergerak menyebut namaku.

"Selamat ya Sya!" kataku dengn tersenyuman. Meisya pun ikut tersenyum tapi seketika dari pelupuk matanya mengalir tetesan air mata. Aku tau semyuman yang terukir di wajah Meisya itu adalah senyuman palsu dan aku bisa merasakan hal itu. Saat ini pasti hatinya sedang menagis.

"Makasih ya Fi sudah mau datang, aku seneng banget" aku hanya bisa tersenyum saat membalas perkataanya.

"Iya Sya, sama-sama, aku pulang dulu ya Sya, aku buru-buru soalnya" ucapku berbohong. Aku hanya tak ingin Meisya terlalu lama melihatku disini. Tanpa menunggu jawabanya perlahan aku berjalan meninggalkanya, namun saat aku baru saja melangkah beberapa langkah Meisya memanggilku. Reflek aku memberhentikan langkahku dan memutarkan tubuhku kembali.

"Ada apa Sya?" kataku. Meisya menatapku dengan tatapan sedu. Kesedihan sangat terukir jelas di raut wajah cantiknya. Bibirnya bergetar seperti ada yang ingin ia katakan.

"Makasih ya Fi" ucapnya. Hanya kata itu yang keluar dari mulut Meisya. Aku yakin sebenarnya ada sesuatu yang ingin ia katakan padaku, tapi Meisya menjaga perasaan suaminya jadi ia tak dapat mengatakanya di sini.

"Sama-sama Sya" balasku. Aku kemudian melanjutkan langkahku menuju keluar gedung nan mewah ini dan berniat untuk pulang. Hatiku terasa pedih dan terasa ikut menangis saat melihat kesedihan yang Meisya rasakan saat ini.

Sampai didepan pintu keluar aku berhenti dan menoleh Meisya sekali lagi dari kejauhan. Ternyata Meisya masih saja melihat kearahku tanpa berpaling sedikitpun. Diraut wajahnya seolah berkata menyuruhku untuk tetap disini menemaninya, namun aku tetap saja melanjutkan langkahku.

Saat aku keluar dari gedung mewah itu tanpa kusadari air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku bingung dan aku tak mengerti kenapa aku bisa menangis. Ada rasa seperti tak rela melihat Meisya menikah dengan laki-laki lain, tapi bukankah aku selama ini tak pernah mencintai Meisya sedikitpun? Terus kenapa aku bersedih dan tak bisa merelakanya? Entahlah aku juga tak mengerti apa yang sedang terjadi denganku saat ini.

Sya, maafin aku yah. Aku tak pernah bisa membuatmu bahagia. Aku yakin, dengan berjalanya waktu kau pasti akan bisa mencintai suamimu.

***

Aku duduk bersandar penuh dikursi mobil perjalanan pulang. Pikiranku sungguh tak karuan. Hari ini aku kehilangan Meisya untuk selamanya dan sebentar lagi pun aku akan kehilangan ka Raffa untuk selanya.

Sudahlah Raffi kamu harus menerima semuanya, ini semua sudah takdir sang kuasa. Kata hatiku menyuruhku untuk menerima semuanya, namun tetap saja hal itu tak akan mudah bagiku untuk kulakukan. Dadaku terasa sangat sesak dan rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Jujur saja aku sangat tersiksa dengan keadaanku yang seperti ini, menjadi seorang gay.

Kenapa aku harus menjadi seorang gay ya Allah, Kenapa? Rasa ini sangat menyiksaku, bahkan karna keadaanku semua keluargakupun ikut merasakan dampak kekecewaanya padaku. Apa aku tak pantas hidup seperti orang normal? Apa aku tak pantas mempunyai istri dan mempunyai anak? Jawab ya Allah! Arrrrrggghhh, aku benci dengan keadaanku, aku benci dengan diriku sendiri!

Aku menagis tertahan di dalam mobil dan aku tak peduli lagi sekalipun ada yang melihatku menangis. Rasa sesak, benci, sedih dan menyesal bercampur menjadi satu hingga membuat kepalaku terasa sangat pusing. Aku mencoba memejamkan mataku dan menenangkan pikiranku.

Namun seberapa kuatpun aku memejamkan mataku tatap saja aku tak bisa tertidur dengan tenang. Aku mencoba menoleh keluar jendela kaca dan melihat pemandangan sekitar yang tak terlalu jelas kulihat karna mobil yang aku duduki melaju dengan kecepatan kencang.

Aku sudah sampai dan aku turun dipertigaan gang rumah Om Indra. Susana terlihat sepi karna saat ini baru saja kumandang adzan maghrib selesai. Aku berjalan penuh keputus asaan menuju Rumah Om Indra.

"Tok tok tok, Assalamu'alaikum?"

"Waalaikum salam" suara Robi dari dalam rumah. Ia membukakan pintu untuku.

"Ye.. Ka Raffi pulang, mana ka pesanan Robi?" tanyanya. Seketika aku menepuk keningku karna aku sangat lupa dengan pesanan Robi yang sudah ia pesan sejak tadi siang. Ini pasti efek dari terlalu banyak pikiran di kepalaku hingga benar-benar tak mengingat pesanan Robi.

"Maaf ya Bi ka Raffi benar-benar lupa"

"Yah kakak" ucapnya dengan muka kecewa. Ia berlalu meninggalkanku yang masih berdiri didepan pintu. Aku segera mengejarnya, aku yakin dia marah denganku karna permintaanya yang benar-benar tak kuingat. ia duduk di meja belajarnya, menopang dagunya dengan kedua telapak tanganya. Aku berjalan mendekatinya dan berdiri disebelahnya.

"Maafin ka Raffi ya Bi, kaka benar-benar lupa" kataku memohon.

"Tau ah males sama ka Raffi"

"Ye.. Kok gitu? Yadeh sebagai gantinya Robi boleh deh minta apa aja dari kakak, pasti ka Raffi turuti kok" seketika ia mendongakan kepalanya kearahku dengan senyuman lebar di pipinya.

"Beneran ya kak?" ucapnya antisias. Aku Mengangguk tanda menyetujuinya.

"Aku pengen ka Raffi jadi pacarnya Robi!"

"Is apaan masa permintaanya seperti itu?"

"Yakan tadi kakak yang bilang kalo Robi boleh minta apa aja kan? Tapi kok sekarang ka Raffi gak mau nurutin permintaan Robi?" protesnya.

"Dasar anak nakal!" aku yang semakin geram dengan tingkahnya, seketika memegang perutnya hingga ia menggelinjang menahan geli yang tak tertahankan.

 "Udah kak ampun kak, geli kak" ucapnya memohon.

"Mau nakal lagi gak?"

"Iya ka enggak ka Robi kapok deh" seketika aku melepaskan tanganku dan kulihat wajahnya di penuhi dengan keringat. Aku yang melihatnya kasihan karna masih mengatur nafas yang memburu tak beraturan segera mengambil tisu dan menghapus bintik-bintik keringat halus di wajahnya. Robi tersenyum menerima perlakuan seperti itu dariku.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar