Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 12
-----------------
By. Aby Anggara
=========================

***

-Robi POV-

"Aku ingin kamu memutuskan Ayu Bi, dan aku ingin memiliki mu seutuhnya!" kata Aris. Aku sungguh tak menduga jika Aris akan meminta hal ini kembali padaku. Aku melepaskan tanganku dari leher Aris dan duduk di ranjang yang ada di belakangnya.

"Kenapa harus meminta itu Ris, kamu tau kan dia itu cewek bukan cowok, tapi kenapa kamu cemburu denganya?" Aris bangkin dari tempat duduknya dan duduk di sebelah ku.

"Aku tau dia cewek Bi, tapi aku sungguh mencintaimu dan aku ingin memiliki mu seutuhnya. Aku harap kamu ngerti perasaanku. Dan setelah kamu menjadi milik ku seutuhnya, aku akan menuruti dan akan memberi semua yang kamu mau" ucapnya dengan tatapan sedu. Segitunya kah Aris mencintaiku, sampai dia tak rela aku berbagi perhatian dengan yang lainya. Aku sangat bingung saat ini, aku sangat mencintai Ayu, tapi aku juga tak mau kehilangan Aris.

"Baiklah kalo gitu Ris aku akan memutuskan Ayu demi kamu, tapi aku minta waktu ya sama kamu?"

"Iya Bi aku juga akan ngertiin kamu kok dan aku akan kasih kamu waktu"

"Yasudah aku pulang dulu ya Ris?"

"kalau sudah sampe rumah kasih kabar ya Bi, aku ingin memastikan kalo kamu sampai dirumah baik-baik saja"

"Sip" Aris mengantarku sampai di depan pintu rumahnya. Setelah aku memakai helmku aku segera berlalu meninggalkan halaman rumah Aris.

***

Aku sudah sampai dirumah Om Indra, ka Raffi membukakan pintu untuku. Aku segera memasukan motor dan segera menyusul ka Raffi ke kamar.

"Cari apa Bi?" tanya ka Raffi saat ku sedang sibuk mencari sesuatu. Aku sedang mencari hpku karna ingin memberi kabar ke Aris kalau aku sudah sampai di rumah sesuai permintaanya.

"Cari hp kak, aku lupa naruh gak tau dimana" ucapku tak menoleh kearahnya. Aku masih sibuk mencari di ranjang dan meja belajar siapa tau tertutup buku. Kak Raffi tak membatuku mencari hp itu, ia masih berdiri dan bersandar di pintu kamar serta berpangku tangan sembari memperhatikanku yang sedang sibuk sendiri.

"Kenapa Robi gak mau jujur sama ka Raffi?" tanya ka Raffi. Reflek aku terhenti dari aktifitas mencari hp ku saat terdengar ucapan ka Raffi barusan. Aku sungguh tak mengerti maksud dari ucapanya. Aku segera duduk di ranjang dan ka Raffi pun ikut duduk disebelahku. Aku menatap wajah ka Raffi, terukir sebuah kekecewaan di wajahnya. Aku masih belum mengerti apa yang membuatnya seperti orang yang sedang kecewa seperti itu? Apa karna masalah keluarganya? Apa karna seorang wanita yang pernah ia ceritakan padaku? Entahlah, saat ini otaku sungguh di penuhi tanda tanya.

"Maksud ka Raffi apa?" ucapku dengan tatapan bingung. Ka Raffi merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah hp. Itu kan hp ku? Mataku terbelalak saat meliahat hp itu ada di ka Raffi, bagai mana bisa ada ditanganya? Pasti ka Raffi sudah melihat semua isi hp ku, termasuk foto mesraku dengan Aris

"Laki-laki yang sering antar dan jemput kamu itu siapa Bi?" tanya ka Raffi dengan tatapan serius. Aku yang sangat takut saat ini hanya menundukan kepala dan mataku mulai memerah dan mengeluarkan air mata. "Robi jawab kakak!"

"Dia.... Di-dia Aris kak"

"Maksud ka Raffi dia siapanya kamu?" tanyanya lagi dengan nada tinggi. Aku masih belum berani menatap wajah ka Raffi, pasti saat ini wajahnya terlihat sangat menakutkan.

"Dia apacar aku kak" lirihku

"Beberapa hari yang lalu kamu bilang teman, tapi ternyata?. Ka Raffi kecewa sama kamu Bi, ka Raffi sudah berusaha selalu terbuka sama kamu, tapi kamu? Kamu tega-teganya main belakang dengan kakak?" aku mulai mengangkat kepalaku dan memberanikan menatap ka Raffi. Wajahnya tidak seseram seperti yang ku bayangkan, tapi di penuhi dengan air mata yang mengalir di pipinya.

"Maafin Robi kak, semua itu Robi lakukan karna Robi tau kalo sampe ka Raffi tau aku berpacaran dengan Aris pasti ka Raffi akan melarang Robi" jelasku dengan hati-hati. Ka Raffi semakin menagis. Ia pasti sangat kecewa dengan sikapku.

"Kamu tau kan Bi kalau hubungan seperti itu di larang Agama? Tapi kenapa kamu masih melakukanya? Ka Raffi yakin kalo sampe Om Indra juga tau pasti dia akan sangat kecewa dengan mu!"

"Aku tau kak, tapi aku sayang dengan Aris"

"Ka Raffi tau kalau kamu sayang dengan Aris, karna ka Raffi juga pernah merasakan hal seperti itu. Sekarang jawab, apa saja yang sudah kamu lakukan dengan Aris?" tanya ka Raffi sambil mengguncang kedua bahuku. Ia masih menatapku dalam-dalam. Aku masih terdiam. Aku sungguh takut untuk mengatakan yang sejujurnya. Aku menelan luda melihat tatapan tajam ka Raffi padaku.

"Aku.. Hanya berpelukan dan berciuaman dengan Aris kak, dan gak lebih" jawabku jujur.

"Kamu bilang hanya Bi?" lirih ka Raffi dengan suara isak. Ka Raffi melepaskan kedua tanganya dari bahuku dan bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju meja belajarku dan duduk dikursi itu. Ka Raffi menutup mukanya dengan kedua telapak tanganya, kemudian naik keatas bagai menyisir rambutnya dengan sepuluh jarinya.

Aku tau ka Raffi sangat kecewa denganku. Adik yang selama ini ia kenal baik-baik saja ternyata tak lain adalah seorang gay. Ka Raffi memang seorang gay juga, tapi ia tidak pernah melakuan hal-hal yang dilarang Agama. Berbeda denganku yang hanya menuruti hawa nafsuku. Tapi mau bagaimana lagi, aku bukan ka Raffi yang seperti malaikat, seperti tak mempunyai nafsu.

"Aku telah gagal menjadi seorang kakak yang baik untukmu" ucap ka Raffi terbata-bata. Aku hanya bisa diam tak mampu berkata apa-apa karna ini semua memang salahku.

***

-Raffa POV-

Sejak kepegian Raffi tiga tahun lalu suasana rumah ini menjadi berbeda. Ibu jadi lebih sering sakit sekarang. Walau sudah berobat dan sembuh, tak lama Ibu selalu jatuh sakit lagi. Kata Dokter, Ibu terlalu banyak pikiran hingga Ibu lebih mudah terkena penyakit.

Walau saat ini Ibu sedang sehat ia selalu murung di kamar, memikirkan Raffi yang tak kunjung pulang. Aku juga heran dengan Raffi, kok sampai saat ini ia tak pulang-pulang. Apa hidupnya saat ini sudah lebih baik? Atau dirinya telah lupa dengan keluarganya? Atau apa? Sampai saat ini ia belum pernah pulang atau satu kalipun memberitahukan tentang kabarnya dan keberadaanya.

Aku masih berdiri bersandar di pintu kamar ibu yang terbuka penuh sambil memperhatikan Ibu dari sini. Aku sangat kasihan dengan keadaanya yang sekarang. Lebih-lebih tubuhnya semakin mengurus dari tahun ke tahun.

Mbak Meli yang baru saja datang dengan membawa sepiring nasi dan segelas air putih di masing-masing tanganya berhenti tepat di depanku. Memperhatikan Ibu yang membelakangi kami dari tadi. Tergambar raut keputus asaan di wajah mbak Meli karna melihat tingkah Ibu yang hanya melamun setiap hari.

Mbak Meli menghela nafas panjang lalu perlahan ia berjalan melangkahkan kakinya menghampiri Ibu.

"Sudah waktunya makan siang Buk?" ucap mbak Meli dengan berjongkok didepan Ibuk. Ibu menoleh Mbak Meli sebentar lalu kembali melihat jendela kaca yang menembus pintu gerbang halaman depan yang terbuat dari bambu. setiap hari Ibu memang menoleh ke arah gerbang itu, berharap ia mendapati sosok anaknya Raffi pulang kerumah ini.

"Ibuk ndak lapar ndok, Ibuk masih kenyang kok" ucapnya ta bergeming dari pandanganya.

"Bu...k! Sudahlah Buk ndak usah terlalu difikirkan, nanti Ibuk bisa sakit lagi Buk!"

"Gimana kabar Raffi yo ndok, dia sudah makan apa belum? Ibuk sangat hawatir sama Raffi anak bungsu Ibuk. Apa Raffi sudah melupankan Ibu dan ndak mau pulang lagi kerumah ya ndok? Kok sampe sekarang Raffi ndak pulang-pulang?" tanya Ibu dengan suara isak. Ternyata Ibu lagi-lagi menagis setiap kali teringat dan memikirkan Raffi. Mbak Meli menaruh piring berisi nasi itu diatas meja dan duduk di ranjang di sebelah Ibuk.

"Buk..! Jangan berfikiran seperti itu, ndak baik buk su'uzon pada seseorang. Bisa saja kan Buk Raffi belum berani pulang atau apa yang sebenarnya kita belum tau? Kita berdo'a terus ya Buk, semoga do'a kita segera dikabulkan" Ibuk mengangguk dan memeluk Mbak Meli, tangisanya semakin menjadi dipelukan Mbak Meli. Aku yang tak tahan melihatnya karna mataku mulai memerah segera pergi meninggalkan kamar Ibu dan berniat keluar Rumah.

"Belum ada kabar dari adikmu Raffi Fa?" tanya Abi yang sedang duduk di kursi ruang tengah. Reflek aku memberhentikan langkaku dan menoleh Abi.

"Belum Bi" singkatku. Aku kembali melanjutkan langkah kakiku menuju luar rumah dan menyalakan sepeda motorku. Aku mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Aku tak tau musti kemana menghiangkan rasa sesak didadaku melihat ibu yang selalu murung dan menangis jika teringat Raffi. Tiba-tiba terlintas difikiranku kalau aku akan kerumah Ferra pacarku. Mungkin disana aku bisa menenangkan fikiranku. Hanya butuh waktu 20 menit aku sudah sampai di rumah Ferra. Rumahnya sangat sepi, di jam seperti ini pasti kedua orang tuanya masih sibuk bekerja di kantor.

Aku segera menekan tobol yang ada di samping pintu dan tak lama Ferra membukakan pintu untukku. Aku segera masuk dan duduk di kursi ruang tamu.

"Kenapa matamu seperti habis menangis yank?" tanya Ferra panik. Aku tak menjawab pertanyaan Ferra. Aku melihat wajahnya sangat pucat.

"Apa kamu sakit ay?" kataku berbalik tanya.

"Gak tau yank tubuhku rasanya sangat tidak enak hari ini"

"Yasudah ganti baju ya, kita berobat aku gak mau kalau kamu sampai terlambat berobat dan jatuh sakit" Ferra mengguk dan ia menuju kamar untuk berganti pakaian. Setelah semua sudah siap aku mengantarkan Ferra berobat ke Dokter.

***

Setelah lumayan lama antri dan menunggu, akhirnya kami berdua di panggil untuk segera keruangan Dokter. Aku dan Ferra segera duduk di kursi yang telah disediakan didepan meja Dokter. Dokterpun tersenyum menyambut kedatangan kami.

"Selamat ya! Istri saudara positif hamil" ucap Dokter dengan senyuman bahagia. Namun kontras denganku. Aku bukanya bahagia mendengar kabar ini, bahkan aku bagaikan di sambar petir di siang bolong setelah mendengarkan ucapan dari Dokter barusan. Ferra sangat terkejut mendengar ucapan Dokter begitupun denganku. Aku menatap Ferra dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Apa Dok positif hamil?" tanyaku memastikan.

"Iya, istri sauda positif hamil, sekali lagi selamat ya! Saran saya istri saudara jangan terlalu banyak aktivitas berat dan juga jangan sampai stres, karna itu sangat tidak baik untuk kesehatan janinya, apalagi di kandungan yang pertama seperti ini sangat rentan sekali terhadap hal-hal demikian"

"Baik Dok terima kasih" aku dan Ferra segera keluar ruangan Dokter dan menuju parkir. Ferra berjalan tertunduk saat ia ingin duduk dibelakangku. Aku masih tak percaya dengan ucpan Dokter yang membuat tubuhku lemah bagai tak bertulang.

Aku melajukan motorku dengan santai, mamun aku berharap agar cepat sampai dirumah.

***

"Keterlaluan kamu Fer, tega-teganya kamu berselingkuh. Kita sudah pacaran sejak SMA tapi, tapi ini balasan kamu ke aku?" ucapku dengan nada tinggi. Ferra yang duduk di kursi ruang tengah hanya menagis dan terlihat penyesalan mendalam di wajahnya.

"Maafin aku yank, itu aku lakukan karna aku sangat ingin melakukanya dan kamu tak pernah menuruti kemauanku" jelasnya ketakutan. Dengan geram aku mencengkram kedua bahu Ferra dengan keras dan tatapanku sangat tajam, namun tatapan kebencian.

"Jangan pernah panggil aku yank! Kamu bener-bener gila ya Fer, kamu minta aku melakukan hal serendah itu? Aku tau aku buka seperti Raffi, apalagi seperti Abi yang selalu taat dengan perintah dan larangan Agama, tapi aku juga tau Fer mana batasan-batasan wajar yang benar-benar tidak boleh dilakukan. Arrrrghhh" ucapku sambil mendorong kedua bahu Ferra

"Maafin aku Fa" sahutnya penuh sesal dan isak tangis.

"Sekarang jawab anak siapa yang ada didalam kandunganmu?" bentaku dengan tatapan sinis. Ferra masih menundukan kepalanya dan tak berani menatapku. Ia masih tetap diam tak bergeming, hanya suara tangisanya yang masih terdengar memenuhi ruangan ini. "Jawab Ferra!"

"Aku hanya melakukanya dengan Andre Fa" lirihnya

"Arrrgghhh keterlaluan, inget ya Fer jangan pernah hubungi aku lagi, kita putus!" aku lalu meninggalkan Ferra dan berniat untuk pulang.

"Fa tunggu Fa jangan tinggalin aku?" ucapnya memohon dan memeluk kaki kananku. Aku menarik kakiku dengan kuat dan segera meninggalkan rumah Ferra.

Aku mengendarai motorku dengan cepat pikiranku sangat tak karuan. Sesampai dirumah aku segera masuk kamarku. Bersandar di ranjang dan memeluk sebuah bantal. Di rumah Ferra aku memang tak menagis karna aku tak mau terlihat lemah, tapi di kamar ini aku menangis betapa kecewanya diriku. Aku benar-benar tak menyangka kalo Ferra tega melakukan hal seperti itu. Hatiku terasa sangat sakit dan tak percaya dengan kenyataan yang menghampiriku saat ini. Hubungan yang telah kujalani bertahun-tahun lenyap hanya dalam sekejap akibat ulah seseorang yang tak dapat di percaya.

Satu masalah belum selesai, sudah ada masalah baru. Ternyata benar kata Raffi, akibat banyak melanggar hukum-hukum Islam hidupku jadi berantakan. Ya Allah... Aku tau aku telah banyak melakukan kesalahan yang aku buat dengan sengaja, tapi kenapa kau memberi kenyataan yang sangat sulit kuterima. Ini teguran atau hukuman ya Allah...?

"Kamu kenapa menangis Fa?" tanya mbak Meli yang baru saja datang. Ia berjalan dan duduk di dekatku.

"Gak papa kok mbak, tolong tinggalin aku mbak, aku lagi pengen sendiri!" mbek Meli mengusap rambutku kemudain pergi meninggalkanku.

Terdengar nada dering panggilan di hpku. Terlihat jelas nama 'ay Ferra' tertera di layar ponselku. Aku hanya mendiamkanya, tak ada niat sesikitpun untuk mengangkatnya. Setelah berhenti nada panggilan itu kembali berbunyi secara berulang. Namun tetap saja aku tak mengangkatnya.

***

-Raffi POV-

Saat terdengar nada panggilan kulihat layar ponselku hanya nomor saja yang tampil menunjukan bahwa nomor itu adalah nomor yang belum aku simpan. Tapi siapa malam-malam begini menelfonku? Aku segera mengangkatnya.

"Halo asaalamu'alaikum?" kataku mengawali percakapan.

"Waalaikum salam"

"Maaf ini siapa ya?"

"Ini aku Meisya Fi"

"Masya Allah Meisya ada apa Sya?"

"Besok malam kita ketemuan yuk Fi?"

"Dimana Sya?"

"Di Alun-alun saja ya?"

"Oke Sya"

"Assalamu'alaikum?"

"Waalaikum salam"

Ternyata besok malam Meisya mengajaku bertemu di salah satu Alun-alun yang tak jauh dari sini. Entah apa yang akan ia katakan aku juga tak mengetahuinya, padahal terakhir aku bertemu denganya hubungan kami sangat kurang baik. Tapi aku senang jika ia masih mau menghubungiku lagi, mungkin ia sudah tak marah lagi denganku...

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar