Rabu, 27 Januari 2016

Karena Dirimu
Part 15
--------------
By. Aby Anggara
========================

***

"Yaampun jam segini baru pulang Cung?" Nenek membuka pintu dibarengi dengan terdengarnya Adzan maghrib.

"Iya Nek, aku dan Denis mandi dulu ya Nek?"

"Jangan lama-lama sudah malam nanti bisa masuk angin!"

"Iya Nek"

Ardi menuju dapur diikuti Denis yang berjalan di belakangnya. Mereka mandi bersma. Setelah mandi meraka makan malam bersama Kakek dan Menek. Nenek dan Kakek duduk tepat di depan mereka.

"Bagaimana kabar Ibu dan Ayahmu Cung?"

"Baik Nek, oya Nek Rama kemaren mau ikut loh kesini, tapi gak Ardi izinin"

"Loh kenapa gitu? Ya mbok kasihan toh Cung sama Adikmu?"

"Ah kalo ngajakin Rama bisa repot Nek, tau sendiri dia kan orangnya gak bisa diam, mulut nya nyinyir aja"

"Cung-cung kamu tuh ya, selalu saja ndak pernah akur sama Adikmu"

"Biarin lah Nek, orang dia memang gitu. Oya Nek, besok Nenek jualan kue di pasar?"

"Iya, ada apa toh?"

"Ardi dan Denis ikut ya Nek?" ujar Ardi. Ardi dan Nenek melirik Denis yang sedang konsentrasi dengan makan malamnya.

"Memangnya cah bagusnya mau ikut jualan di pasar?"

"Mau kan, Nis?" Ardi menyikut tangan Denis.

"I iya Nek mau kok" jawab Denis canggung.

"Yasudah besok bangunnya pagi ya, biar pergi sama-sama"

Mereka melanjutkan makan malamnya, Denis dan Kakek tak banyak bicara, mereka seolah hanya menjadi pendengar setia. Makan malampun usai, Denis dan Ardi duduk di kursi yang terbuat dari anyaman bambu. Berada di bawah pohon rambutan, di depan rumah.

Suasana sedikut redup karna di depan rumah Nenek tak memasang sebuah lampu. Denis duduk terlentang dengan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dan tangan kirinya menjadi bantal di kepalanya. Sedangkan Ardi yang sangat ingin bermanjaan malam itu merebahkan kepalanya di dada sebelah kanan Denis.

"Ar, suasana di sini benar-benar enak ya? Terasa damai, sunyi dan udaranya sangat segar" ujar Denis sambil membelai lembut rambut Ardi.

Ardi menoleh wajah Denis sebentar lalu pandangannya kembali memandangi keindahan di angkasa. "Beginilah suasana di Desa Nis, terasa begitu damai dan nyaman, bahkan jauh dari suara kericuhan dan bebas folusi"

"Aku sungguh sangat betah berada di sini Ar, rasanya besok aku masih enggan untuk pulang ke kota"

"Gak boleh gitu Nis, besok kan hari Minggu dan kita harus pulang karna lusa kita sudah masuk sekolah"

"Kapan-kapan kita kesini lagi ya Ar?" Denis melirik Ardi dan mengacungkan jari kelinglingnya.

Ardi tersenyum, mengangguk pelan lalu ikut menjulurkan jari kelingkingnya dan saling berkaitan.

Suara pintu depan terdengar seperti di buka, dengan cepat Ardi bangkit dari bahu Denis dan duduk seperti biasa.

"Hari sudah malam cung, ayo masuk nanti kalian bisa Demam terkena angin yang sangat dingin" Nenek berkata dari balik pintu.

"Iya Nek sebentar lagi Ardi dan Denis masuk kok"

Nenek kembali meninggalkan mereka yang juga bergegas ikut masuk kedalam rumah. Hari sudah semakin larut malam, membuat sang Nenek dan Kakek sudah mulai untuk beristirahat. Denis dan Ardi yang sudah merasa sangat lelah karna perjalanan jauh pun ikut masuk kedalam kamar untuk beristirahat.

Kamar Denis dan Ardi berada didepan dekat ruang tamu, sedangkan kamar sang Nenek dan Kakek berada di bagian belakang. Ardi masuk kamar lebih dulu, kemudian di ikuti Denis yang langsung mengunci pintunya.

Ardi merapikan bantal lalu membatingkan tubuhnya di ranjang yang beralas kasur busa. Ia memejamkan matanya. Denis ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Ardi, pandangnya menatap langit-langit kamar. Ia masih terjaga tak bisa tidur.

"Ar?" Denis menoleh Ardi.

"Ya Nis?" namun Ardi tak membuka matanya.

Melihat Ardi yang tak berkutik Denis mulai dengan ide nakalnya. Tangannya mulai merayap di dada Ardi, membuat Ardi seketika merasakan geli sekaligus kenikmatan. Ardi membuka matanya dan menoleh Denis, ia tersenyum menyukai perlakuan dari Denis.

Denis memeluk tubuh Ardi dengan satu tangan dan bibir mereka kembali bersentuhan. Kali ini Ardi tak mau kalah, di tempat yang nyaman seperti ini ia bisa melakan tanpa ada rasa takut yang biasa ia rasakan. Ia menyambut ramah lidah Denis, lidah yang masuk kedalam rongga mulutnya dan menyapu semua ruangan yang ada di dalamnya.

Tanpa sadar Ardi mendesah karna kenikmatan yang sedang menjalar di sekujur tubuhnya. Denis yang merasa kurang puas dengan posisinya segera bangkit dan tubuhnya saat ini berada di atas tubuh Ardi. Mereka masih saling melumat. Ardi melingkarkan tangannya di leher Denis. Kini Denis mengecup leher Ardi dengan lembut dan memaikan putingnya.

Semakin lama kepala Denis turun kebawah dan saat ini ia sedang menikmati perut Ardi yang begitu mulus, Denis mencium dan menjilatnya. Ia tak merasa canggung dan takut, karna ia rasa di kamar ini adalah kamar yang cukup aman dan nyaman.

"Ah..." Ardi yang tak tahan kini mengeluarkan cairan spermanya. Ia menggeliat saat merasakan klimaksnya. Tubuhnya bergrtar dan ia terkulai lunglai. Tak lama di ikuti dengan Denis yang tak tahan dan menggelinjang hebat hingga ia memeluk Ardi erat. Cukup lama Denis meluk tubuh Ardi dengan Erat.

Lalu ia mengangkat kepalanya menatap Ardi dan mereka tersenyum bersama. Mereka terasa lelah hingga mutuskan untuk tidur sambil berpelukan.

***

"Ardi.. bangun Cung!"

Terdengar suara Nenek yang mengetuk pintu dan memanggilnya, Ardi terbangun. Perlahan ia membuka matanya dan saat ia menyadari ternyata tangan Denis yang berada di sampingnya masih memeluk tubuhnya dan kaki Denis pun masih menumpang di atas kakinya.

"Iya Nek ini Ardi sudah bangun kok"

"Buruan mandi, jadi ikut Nenek kepasar tidak?"

"Ini Nek bentar lagi mandi"

Ardi kembali memandangi wajah Denis yang masih terlelap dalam tidurnya, ia tersenyum sangat bahagia, karna baru kali ini ia bisa tidur bersama dengan orang yang selama ini sayangi. Ardi memegang pipi Denis dengan lembut, jemarinya berjalan diatas pipi Denis dan ia merasakan pipinya yang sangat halus.

Denis membuka matanya, ia tersenyum dan memegang tangan Ardi yang masih berada di pipinya.

"Kamu sudah bangun Nis?" Denis mengguk pelan lalu tersenyum."kita mandi ya, kita mau ikut Nenek ke pasar kan?"

Mereka bangkit dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi, setelah selesai dengan cepat memakai bajunya karna Nenek sudah menunggu mereka di depan.

"Sudah siap ya Nek?"

"Sudah lah Cung, ayo!"

Nenek tampak duduk santai di bangku depan. Di atas sepeda di bagian belakangnya juga sudah ada ranjang yang sudah di ikat dengan rapi. Nenek memang sangat rajin, walau diusianya yang sudah tua, tapi masih saja tetap semangat bekerja.

"Yuk Nek kita berangkat?"

Nenek mulai mengendarai sepedanya, begitupun dengan Ardi yang sudah siap dengan sepedanya.

"Biar aku yang bawa ya Ar?" Ardi tampak berfikir, namun ia akhirnya menyerahkan sepeda itu pada Denis. Denis tersenyum lalu menggantika posisi Ardi yang berda di depan. Ardi segera naik di belakang dan memeluk Denis.

Mereka tampak tertinggal jauh dengan Nenek, hingga Denis mengayuh sepedanya lebih kuat agar bisa menyusul sang Nenek. Tak lama mereka sampai di pasar tradisional, suasana sudah mulai ramai karna Nenek hari ini datang sedikit telat.

Nenek segera menjajakan barang dagannya, mengeluarkan kue-kue yang sudah ia buat sejak kemarin sore. Denis danArdi tanpak sibuk ikut membantu Nenek menyusun keu itu dengan rapi. Belum selesai mereka menyusun kue itu pengunjung sudah mulai ramai mendatangi di lapak sang Nenek yang kecil. Mereka kewalahan.

"Tumben Nek ada yang bening-bening?" ujar perempuan muda melirik Denis. Ardi memandang perempuan itu dengan wajah kesal, seolah tatapannya berbicara 'dia itu punya aku'

"Iya, ini cah bagus baru datang dari kota" ujar Nenek menjelaskan.

Tak perlu menunggu waktu lama dagangan sang Nenek pun sudah habis.

"Cepat amat sudah habis Nek?"

"Ya mbok alhandulillah Cung, namanya juga rizki, ayo pulang!"

Ardi membantu Neneknya memberaskan tempat dagangannya, kemudian mereka pulang kerumah.

Denis sedang duduk santai di teras depan rumah Nenek. Ia melihat jam yang ada di tangannya, sekarang sudah jam 9 lebih 20 menit. Ia terlihat tampak kecewa karna harus segera pulang ke kota.

"Sekarang kita pulang ya Nis?" Ardi yang baru datang dari dalam rumah menepuk bahu Denis. Denis tampak diam tak bergeming dari tempat duduknya, seperti tampak yang sangat enggan mendengar kalimat itu. "Nis..?"

"Kita pulangnya besok saja ya Ar? Aku masih ingin di sini" kata Denis tak semangat, Ardi membuang nafas kasar, lalu ia berjalan duduk di sebelah Denis.

"Nis, kita pulang hari ini saja sudah pasti Non Rara akan memarahi kita, apalagi kita pulang besok. Lagi pula kita besok sudah masuk sekolah kan?" Ardi memegang tangan Denis, berusaha meyakinkan Denis agar mau pulang hari ini.

"Yasudah kalo gitu, sekarang kita siap-siap ya?"

Mereka berjalan menuju kamar untuk membereskan tas mereka masing-masing. Denis tampak tak bersemangat karna sebenarnya ia masih ingin tinggal di sini. Setelah selelsai mereka berpamintan pada Nenek dan Kakek. Sang Kakek sengaja hari ini tak pergi ke Sawah karna ia ingin melihat kepulangan cucunya.

"Nek, Kek, Ardi dan Denis pulang dulu ya?" Ardi berjalan menuju Nenek dan Kakek yang sedang duduk di kursi ruang tengah, sambil menyalami mereka. Nenek memeluk Ardi erat, rasanya tak ingin Ardi meninggalkannya.

"Denis juga pulang dulu ya Nek?" Denis ikut menyalami Nenek dan Kaket Ardi.

"Hati-hati ya Cung!"

Ardi dan Denis menuju pintu depan, Nenek dan Kakek juga ikut mengantarkan mereka hingga depan pintu. Di depan sudah ada tukang ojek yang sudah di pesan oleh Kakek untuk mengantarkan Denis dan Ardi sampai di terminal.

Ardi sudah naik lebih dulu di belakang sopir, sedangkan Denis terasa begitu berat untuk meninggalkan rumah Nenek. Ia sudah sangat nyaman berada di Desa ini, apalagi sang Nenek dan Kakek yang baik padanya.

Denis menoleh Nenek dan Kakek sekali lagi, kemudian ia ikut naik di atas sepeda motor di belakang Ardi.

***

Denis dan Ardi sudah sampai di depan pintu rumahnya. Mereka saling bertatapan cemas saat ingin membuka pintu rumah, namun Denis memberanikan diri untuk mendorong gagang pintu rumahnya kemudian mereka masuk perlahan.

"Bagus... Sudah berani melawan sekarang?" Rara yang duduk di ruang tengah berjalan menghampiri Denis dan Ardi. Rara terlihat sangat murka dengan mereka berdua. "Siapa yang suruh kamu pulang, ha?" Rara melipatkan tangannya, sedangkan Denis dan Ardi masih diam tak berani menjawab pertanyaan Rara. "Mana dompet?" ujar Rara sambil mengadahkan tangan di depan Denis. Tanpa menjawab, perlahan Denis mengambil dompetnya dari saku belakang dan memberikan pada Rara.

"Handphone?" sambung Rara ketus.

"Tapi Kak-?"

"Mana handphone?" ucap Rara lebih kencang. Dengan pasrah Denis pun menyerahkan ponselnya.

"Mulai besok gak ada uang jajan dan gak ada main handphon, cuma boleh pakai motor!"

Denis dan yang merasa bersalah hanya diam dan pasrah, tak berani memprotes keputusan Rara sedikitpun. Denis dan Ardi kemudian berjalan menuju kamar mereka masing-masing. Denis berjalan menaiki anak tangga dengan sangat pelan, bahkan untuk bisa sampai di kamarnya saja memerlukan waktu lebih lama.

Denis membuka pintu kamarnya, sejanak ia berdiri di depan pintu memandangi seluruh ruangan yang sudah tak ia tempati selama dua hari. Ia menutup pintu kamarnya lalu menaruh tas di atas tempat tidurnya. Baru saja ia mau membaringkan tubuhnya, pintu kamarnya terdengar ada yang mengetuknya. Dengan sangat malas ia kembali menuju pintu kamarnya, namun belum sampai ia berjalan di depan pintu, Rara yang sudah tak sabar membuka pintu dengan sendirinya.

"Ada apa Kak?" ujar Denis. Rara memandangi tubuh Denis dari atas hingga kebawah dengan pandangan sinis. Denis yang merasa risih oleh tatapan Rara pun ikut memandangi tubuhnya mencari tau apakah ada yang aneh pada dirinya. Namun ia tak mendapati hal aneh itu, pandangannya kini kembali menatap Rara yang masih menatapnya dalam-dalam.

"Apa ini Nis?" Rara memperlihatka gambar yang berada pada layar ponsel Denis. Seketika membuat Denis sangat kaget karna ia lupa kalau ada fotonya dan Ardi yang sedang berciuman saat di Sawah kemarin.

"Itu... " lidahnya keluh tak bisa melanjutka ucapannya, kepalanya menunduk karna ia tau Rara pasti akan sangat marah dengannya.

"Ternyata apa yang ka Rara khawatirkan selama ini benar terjadi kan? Kenapa kamu menjadi seperti ini Nis, kenapa?" ucapan Rara sangat lantang hingga membuat Denis merasa sangat takut.

"Aku... Aku sayang sama Ardi Kak, tapi tolong jangan tanya kenapa!" Denis menatap wajah Rara sebentar lalu kembali menundukkan wajahnya.

"Keterlaluan! Sangat-sangat memalukan. Kenapa ini harus terjadi sama kamu Nis? Apa di luar sana seorang perempuan tak mampu menarik hatimu hingga kamu harus mencintai laki-laki?"

"Tapi Kak-"

"Cukup! Mulai besok ka Rara akan pisahin kalian. Dan jangan salahin Kakak karna terpaksa ngelakuin hal ini, karna Ka Rara sudah sering memperingati kalian" dengan wajah kecewa Rara meninggalkan kamar Denis. Denis masih terpaku dan menatap Rara yang pergi meninggalkannya.

***

Pagi itu seperti biasa Ina sedang memasak membuat sarapan untuk semua orang di rumah ini, ia mengantarkan masakan yang sudah siap ke meja makan majikannya.

"Bik tau smartphone saya gak? Semalam saya lupa menaruhnya" ujar Melinda menghampiri Ina yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.

"Wah.. gak tau Nyah, memangnya Nyonya taruhnya di mana?"

"Gak tau Bik, saya juga lupa"

"Ada apa sih Ma, pagi-pagi sudah ribut?" sahut Rara yang baru datang, sedangkan Denis sudah duduk di meja makan lebih dulu.

"Ini Rak, Mama sedang cari ponsel Mama yang lupa taruhnya di mana"

"Oh.. Gampang Ma kalo cari handphone" Rara mengeluarkan ponsel dari tasnya, lalu melakukan panggilan pada nomor Mamanya. Ina tercengang saat mendengar suara nada dering ponsel itu dari arah kamarnya. Mata Melinda menatap Ina sangat tajam, Ina menggelengkan kepala.

"Tuh kan Ma, gampang kan kalo cari ponsel?" ucap Rara santai sambil memukul-muluk kecil ponselnya di telapak tangan kirinya. Melinda segera menuju kamar Ina dan mencari bunyi suara yang tidak asing lagi di telinganya.

Ia menemuka smartphonnya berada di tas kecil yang tergantung di sebelah pintu.

"Ini apa Ina?"

"Tapi Nyah sungguh saya tidak melakukannya"

"Alah.. Jangan percaya Ma sama pembantu ini, maling mana ada yang mau ngaku"

Melinda menoleh Rara sebentar lalu pandangannya kembali pada Ina.

"Kamu itu ya sudah jelas-jelas buktinya ada di tas kamu, tapi masih ngeles terus"

"Nyah ampun, saya berani bersumpah demi Tuhan bukan saya yang melakukannya"

"Yang di katakan Bi Ina benar Ma, dia gak mungkin mencuri ponsel Mama" kata Denis berusaha membela Ina.

"Diam kamu Nis" serga Rara. Karna suasana di dapur terdengar ricuh, Wiguna, Ardi dan Mamat suami Ina pun ikut berdatangan keruangan itu.

"Ada apa ini Ma ribut-ribu?" ujar Wiguna ingin tau.

"Ini Pa, Bi Ina mencuri smartphone Mama"

"Mana mungkin Ma Bi Ina mencuri, dia sudah bertahun-tahun kerja di rumah kita dan tak satupun ada barang yang hilang kan?"

"Tapi Pa ini buktinya, smartphone Mama ada di tas Bi Ina di kamarnya"

Wiguna menoleh Ina dan Ina menggelengkan kepalanya.

"Alah jangan percaya Ma, sekali maling tetap saja maling" ujar Rara sinis.

"Sudah sekarang bukti sudah jelas, saya minta Bi Ina dan keluarganya segara angkat kaki dari rumah ini!"

"Tapi Nya saya-"

"Buruan!" suara Melinda terdengar lebih keras hingga membuat Ina sangat keget. Ina tak berani lagi berprotes dan membela dirinya, ia dan keluarganya segera mengemas barang dan pakaian mereka.

"Ma tolong jangan usir Bi Ina Ma, dia gak salah" kata Denis memohon sambil memeluk kedua kaki Mamanya.

"Sudahlah Nis kamu gak usah belain orang seperti dia!"

Ina dan keluarganya kini telah selesai mengemas pakaiaanya, Ina kembali mendekati Melinda yang masih berdiri dengan wajah sinis.

"Tuan... Nyonya? Saya pamit dulu. Saya dan sekeluarga minta maaf kalo ada salah selama kami kerja disini. Terima kasih sudah menerima kami kerja di sini selama ini" Ina mengatakannya dengan penuh isak. Melinda sedikitpun tak menimpali perkataan Ina dan Ina membalikkan tubuhnya berjalan menuju pintu dapur. Denis masih tercengang di pelukan kaki Mamanya dan ia berlari mengejar Bi Ina.

"Bik jangan pergi Bik, jangan tinggalin Denis!" Denis mengadang di pintu keluar dengan tangan terbentang agar Ina dan keluarganya tak dapat keluar dari rumahnya.

"Maafin Bibi Den, Bibi harus pergi"

"Ma, jangan diam saja Ma, bilang sama Bi Ina suruh dia jangan pergi!" teriak Denis semakin histeris. Ardi menatap Denis yang menangis, ia ikut menangis, namun ia menangis tanpa suara.

"Denis, kamu apa-apaan sih?" Rara menarik tangan Denis yang menghadang pintu hingga Ina dan keluarganya saat ini bisa melewati pintu itu tanpa halangan.

"Ar jangan pergi!" ujar Denis lirih. Ardi menoleh Denis yang pipinya sudah di penuhi air mata. Tatapan Denis sungguh tatapan penuh harap.

"Maafin aku Nis" hanya kata itu yang keluar dari mulut Ardi. Ardi kembali berjalan menyusul Ibu dan Ayahnya yang sudah berada di teras belakang.

"Ardi jangan pergi..! Pa tolong Denis Pa jangan biarkan Bi Ina dan keluarganya pergi dari rumah kita Pa!"

Wiguna hanya bisa diam dan tak bisa mengabulkan permohonan anaknya.

"Lepasin!" Denis menarik tangannya yang dari tadi di pegang oleh Rara, ia berlari mengejar Ardi dan keluarganya.

"Bik Denis mohon jangan pergi Bik!" Bi Ina yang sudah berda di depan pintu gerbang menoleh penuh iba. Ia sangat tak tega melihat Denis menangis, apalagi Denis tak pernah menangis sampai seperti ini.

"Maafin Bibi Den!"

"Ar aku mohon jangan tinggalin aku, kamu sudah janji kan gak bakalan ninggalin aku? Kamu juga sudah janji akan selalu ada di dekatku?" Denis memegang tangan Ardi erat-erat.

"Aku memang sudah janji itu Nis, tapi maafkan aku.. Aku pergi bukan atas kemauanku"

Perlahan Ardi melangkahkan kakinya dan perlahan tangan mereka pun terlepas. Denis masih terpaku melihat kekasihnya yang akan benar-benar pergi meninggalkannya. Air matanya semakin tak bisa berhenti mengalir. Ardi berhenti dan menoleh Denis sebentar. Tatapannya seolah berkata tolong jangan menangis lagi, tapi ia tak mampu mengatakannya. Ardi lalu melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Denis.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar