Rabu, 27 Januari 2016

Karena Dirimu
Part 10
--------------
By. Aby Anggara
=========================

***

"Aku tau Ardi memilih Denis, aku juga tau dia cuma menganggap ku sahabat. Ya, hanya sahabat dan tak akan pernah lebih. Tapi apa aku salah jika aku mencintai sahabatku sendiri? Apa aku salah jika aku ingin memilikinya? Entahlah, hatiku terlalu sesak hingga tak dapat mencerna kebenaranya"

Saat jam istirahat sekolah tiba semua siswa keluar dari kelasnya, siang itu menjadi hari awal yang sangat buruk bagi Igo, karna ia tak bisa selalu bersama lagi dengan Ardi. Igo berjalan keluar kelas tanpa mengajak Ardi seperti biasanya, karna ia tau Ardi dan Denis pasti akan makan bersama.

"Go tunggu!" teriak Ardi dengan berlari kecil dari belakang. Igo yang merasa namanya terpanggil segera menoleh kebelakang.

"Kok tumben kamu gak ngajakin aku maen Go?"

Igo terdiam sejenak, tatapannya datar lalu mengulurkan tangan kananya. "Selamat ya Ar" pandangan Igo masih menatap lekat-lekat wajah Ardi yang masih merasa bingung dengan Igo, bahkan Ardi juga belum mengerti Igo mengucapkan selamat untuk apa.

"Selamat apanya Go?" Ardi yang masih bingung tak membalas jabat tangan Igo yang dari tadi telah menunggu tangan Ardi menyambutnya.

"Maaf semalam aku gak sengaja liat kalian berdua dan selamat ya karna kalian sudah jadian, semoga hubungan kalian baik-baik saja" kata Igo sambil tersenyum. Senyuman yang membuat hatinya semakin sakit saat ia harus ber pura-pura. Ia sungguh tak rela Ardi menjadi milik orang lain.

"Iya gak papa Go, aku emang sudah jadian, maaf ya belum sempat kasih tau kamu"

"Ar kita makan yuk?" ajak Denis yang tiba-tiba datang. Lagi-lagi ajakan Denis sangat membuat Ardi dilema saat di depan Igo. Ardi menoleh Denis yang baru saja datang.

"Yaudah kalian makan saja, aku duluan ya?" Igo lalu pergi meninggalkan Ardi dan Denis berdua, hatinya terasa semakin perih saat melihat mereka bersama. Dadanya pun terasa begitu sesak yang sebelumnya tak pernah ia rasakan selama ini. Igo terus berjalan dengan malasnya, terlihat seperti menyeret paksa kaki yang enggan untuk melangkah.

Hari-hari indah dan bahagia yang biasanya selalu ia lalui bersama Ardi kini tlah sirna. Hari itu mungkin tak akan pernah kembali lagi dan tak akan pernah ada lagi seperti dulu, dimana Setiap hari mereka tertawa bersama, makan bersama bahkan berangkat sekolah mereka selalu bersama setiap hari.

Tanpa ia sadari air matanya mengalir tanpa disuruh dan Igo masih saja berjalan pelan dengan pandangan kosong. Semilir angin siang yang menerpa tubuhnya tak mampu menyejukan hatinya yang terasa begitu perih seperti luka bakar yang enggan untuk sembuh.

Bruk!!

Seseorang yang berlari dari arah berlawanan menabrak Igo dan Igo terjatuh.

"Maaf-maaf gue gak sengaja" katanya dengan wajah yang terlihat menyesal. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Igo, tanpa berfikir panjang Igo menyambut uluran tangan itu dan membuat Igo berdiri didepanya seketika.

"Iya gak papa"

Dia adalah Fran sahabat baik Denis. Ia berlari karena habis menjaili salah satu siswa yang memang sering ia lakukan. Karna takut ketahuan makanya Fran berlari kencang dan saat menoleh kebelakang ia menabrak Igo.

"Kenapa lo menangis?" dengan cepat Igo menghapus air mata yang membuat jalan menggaris lurus di wajahnya.

"Aku gak papa kok"

"Yuk ikut gue!" tanpa menunggu persetujuan dari Igo, Fran langsung saja menarik tangan kanan Igo dengan lembut, namun Igo tak memprotes sedikitpun, bahkan ia tetap berjalan mengekor di belakang Fran. Fran mengajak Igo ke suatu Taman yang sangat indah, banyak bunga-bunga indah yang tumbuh tersusun dengan sangat rapi.

Mereka menuju kursi kecil dan saat sampai di kursi itu Fran melepaskan tangan Igo dan langsung menduduki kursi. Igo masih berdiri mematung menatap wajah Fran dengan tatapan bingung.

"Duduk Go!" Fran mempersilahkan pada Igo dan memberi tempat di sebelahnya. Perlahan dan tanpa suara Igo berjalan mendekati kursi itu, kemudian ikut mendudukinya di sebelah kanan Fran.

Hening!

Suasana terasa begitu hening, karna Igo masih diam dengan raut kesedihan mendalam di wajahnya. Langit yang berwarna biru cerah membentang membuat sinar mentari bersinar terik karna tak ada awan sebagai peneduh yang akan melindungi sinarnya. Hembusan angin ringan menerpa tubuh mereka seolah menyambut ramah kedatangan mereka berdua di Taman indah itu.

Beberapa menit awal suasana memang masih terasa hening, bagaikan salju yang terasa begitu dingin dan membeku seolah panasnya terik matahari tak mampu mencairkan kebekuan yang masih saja terjadi di siang itu.

Semilir angin yang berhembus menerpa tubuh mereka seakan menyambut kedatangan mereka dengan ramah, namun sesejuk apapun udara siang itu tak akan mampu mendinginkan hati Igo yang terasa begitu perih.

"Go..?" ucap Fran memecahkan keheningan. Igo hanya menoleh kearah Fran sebentar lalu pandanganya kembali pada pandangan semula menatap lurus kedepan.

"..........." hening

"Gue tau lo lagi ada masalah Go. Kalo lo gak keberatan lo bisa kok curhat sama gue!"

Igo menundukan tubuhnya, menutup mata dengan kedua telapak tanganya, lalu naik keatas bagai menyisir rambutnya dengan sepuluh jarinya. "Maaf Fran, aku gak bisa cerita sama kamu"

"Go.. Setiap maunusia itu yang namanya dalam masalah itu pasti. Coba deh lo liat air mancur itu, ia sebenarnya tak mau di perlakukan seperti itu yang selalu berputar tanpa kepastian yang jelas dan ia selalu merasakan panasnya sengatan matahari yang selalu menyiksanya. Tapi mau bagaimna lagi, itu sudah menjadi takdirnya dan mau tidak mau ia harus tetap menjalankanya sekalipun ia tak pernah menyukainya"

"Tapi Fran-"

"Lo tau kan Go maksud gue?"

"Iya Fran aku ngerti ko, makasih ya?" kata Igo dibarengi dengan anggukan kecil. "Aku duluan ya?" Igo bangkit dari tempat duduknya lalu perlahan melangkahkan kakinya meninggalkan Fran.

"Go..?" ucap Fran dengan sedikit berteriak. Igopun berhenti namun tak menoleh kebelakang. "Kalo lo udah percaya sama gue, lo boleh kok Go kapan saja curhat sama gue" Fran mengatakanya dengan mengelilingi mulutnya dengan kedua tanganya seolah di jadikan pengeras suara. Igo menoleh sebentar lalu tersenyum, tak lama ia kembali lagi melanjutkan langkah kakinya menuju sekolahnya.

***

Igo berjalan pelan menuju pintu keluar dengan kedua tanganya memegang tali tas yang berada di bawah ketiaknya. Sebenarnya ia ingin mengajak Ardi pulang bersama seperti hari-hari biasanya, tapi seprtinya walaupun kalimat itu di ucapkan akan sia-sia saja karna Igo merasa kali ini Denis pasti lebih penting dari pada dirinya.

Igo berjalan menuju tempat parkir sepeda motornya lalu dengan tanpa semangat ia mengendarainya. Di depan pintu gerbang ia bertemu Ardi yang sedang berdiri sendirian, namun bibir Igo tak bisa berucap sebuah kata hingga tampa ada kalimat sedikitpun untuk Ardi.

"Go tunggu!" panggil Ardi sedikit teriak saat Igo sudah berlalu dari hadapanya. Ardi berlari menghampiri Igo.

"Ada apa Ar?"

"Kenapa hari ini sikap kamu berubah Go ke aku?"

"Aku berubah? Ar kamu gak sadar kalo kamu yang mulai berubah? Asal kamu tau aku itu sangat-" Igo tiba-tiba diam tak melanjutkan perkataanya, sedangkan Ardi masih diam menunggu Igo akan melanjutkan perkataanya yang barusaja ia hentikan tiba-tiba.

"Sangat apa Go?"

"Ah sudah lupakan!" Igo kembali menyalakan sepeda motornya lalu meninggalkan Ardi.

"Go tunggu Go, dengerin aku dulu!" Igo tak lagi menggubris panggilan Ardi, ia tetap saja melajukan kendaraanya.

"Ar pulang bareng yuk?" ajak Denis yang baru saja datang menghampiri Ardi. Tanpa menjawab Ardi langsung saja naik di belakang Denis.

Kini kesedihan tak hanya dirasakan oleh Igo, karna Ardipun kali ini merasakan kesedihan karna hubunganya dengan Denis membuat persahabatanya dengan Igo menjadi kurang baik. Selama di perjalanan pulang Ardi sama sekali tak mengeluarkan suaranya karna masih teringat kata-kata Igo tadi. Ia merasa bersalah karna saat ini Ardi memang sangat jarang ada waktu buat Igo.

Denis mengajak Ardi pergi ke sebuah Mall yang letaknya tak jauh dari tempat sekolhnya. Ardi pun mulai merasa bingung karna jalan yang sedang Denis lalui saat ini adalah bukan jalan arah pulang. Namun Ardi yang sedang enggan berbicara hanya diam tanpa memprotes pada Denis. Tak lama mereka telah sampai di sebuah Mall dan Denis mulai memasuki dan mengantri tiket parkir yang harus ia tebus terlebih dahulu.

"Dua ribu rupian Dek!" kata perempuan pegawai yang duduk di depan layar monitor. Denis memberika uang lima ribu trupiah.

"Kembalianya ambil saja ya Mbak!" ujar Denis di berengi menutup kembali helm nya.

"Makasih" katanya sambil menyerahkan selembar kertas pada Denis. Denis kemudia menuju lantai basmen untuk memarkirkan kendaraanya. Di lantai basmen tanpak sedikit lebih gelap, walau ada beberapa lampu penerang yang bergantung di atasnya.

"Kita mau ngapain Nis?" tanya Ardi bingung.

"Sesekali main kesini gak papa kan?" senyuman terlihat jelas di wajah Denis

"Tapi nanti kalo Ibuk marah gimana?"

"Nanti biar aku yang bicara sama Ibu kamu Ar, yuk?"

Denis lalu mengajak Ardi keluar dari area parkir dan menuju lantai dasar Mall yang sudah ramai pengunjung. Pertama yang Denis tuju adalah tokoh baju. Denis mulai memegang dan melihat baju yang di pajang di sana, ntah yang seperti apa yang ia cari, tapi nampaknya dari ekpresi wajahnya ia tak menyukai baju-baju itu.

Mereka kemudian berpindah tempat tak lupa dengan Ardi yang selalu setia di sebelahnya. Denis masih memilih baju dan kali ini masih sama tak ada yang bisa membuat wajahnya tersenyum menyukai baju-baju itu. Ardi yang bingung dengan tingkah Denis hanya bisa pasrah mengikuti saja kemauan pacarnya.

Lelah!

Sudah bebepa toko yang mereka kunjungi namun masih belum menemukan juga baju yang sedang Denis cari-cari. Denis berdiri sejenak merasa lelah karna sampai saat ini ia belum mendapatkan apa yang ia cari.

"Makan dulu yuk Ar, nanti kita cari baju lagi. Disini makananya enak loh"

"Tapi Nis?"

"Udah yuk"

Denis menggeret gangan Ardi, dengan berat hati Ardi mengikuti saja langkah Denis, sebenarnya Ardi ingin sekali cepat sampai di rumah dan menjelaskan semuanya pada Igo. Hatinya sangat merasa bersalah pada Igo yang selama ini telah berhaik hati pada dirinya.

Baru saja mereka memasuki ruangan tempat makan itu terdengar ponsel Denis berdering. Denis menganggkat ponselnya dan ternyata Rara yang menelponya.

"Ya Kak ada apa?"

"Kamu kemana Nis, kenapa belum pulang?"

"Em.. Aku.."

"Gak usah banyak alesan, sekarang pulang!"

"Tapi Kak, halo? Halo?"

Panggilan itu sudah di putus oleh Rara dan mau tidak mau ia harus pulang saat ini juga. Dengan wajah tak bersemangat Denis menaruh ponselnya kembali kedalam saku celananya.

"Kenapa Nis?"

Untuk beberapa detik Denis diam dan tak langsung menjawab pertanyaan Ardi. Ia merasa tak enak hati untuk mengatkan pada Ardi.

"Maaf Ar kita gak jadi makan, ka Rara suruh aku pulang sekarang" katanya dengan wajah sedihnya. Ardi memegang bahu Denis berusaha membuat Denis agar tak merasa bersalah.

"Sudah gak papa kok, yuk pulang?"

Denis mengangguk dan mereka berjalan berbalik arah keluar dari tempat makan.
***

Saat baru saja Denis sampai di depan pintu gerbang rumahnya, mata Denis sudah lebih dulu melihat suasana rumahnya. Kali ini Denis tampak seperti orang yang sangat bertanggung jawab. Ia berani membonceng Ardi memasuki area rumahnya. Denis tau ia baka mendapat omelan keras dari Rara. Wajahnya sudah tampak sangat pucat dan sudah sangat siap kata apapun yang akan di lontarkan Rara padanya.

Setelah menyandarkan sepeda motornya di garansi, ia segera masuk kedalam rumahnya lewat pintu depan, sedangkan Ardi berjalan lewat samping karna akan masuk lewat pintu belakang. Pintu terasa tak di kunci saat Denis mendorong gagang pintu rumahnya dengan begitu mudahnya. Dengan sangat hati-hati Denis berjalan menuju tangga tanpa menoleh kanan dan kiri berharap Rara tak mengetahuinya kalau ia sudah pulang.

"Dari mana kamu Nis?" langkah kaki Denis terhenti di tangga pertama saat ia mendengar namanya terpangggil.

"Dari... Mall Kak" jawabnya tanpa memandang Rara. Denis masih diam mematung dengan posisi semula seakan ia tetap akan melanjutkan langkahnya dengan tatapan yang masih lurus menatap kearah depan.

"Pulang dengan siapa kamu Nis?"

"............" hening. Denis diam tak menjawab pertanyaan Rara, karna sudah pasti ia akan mendapat omelan besar-besaran saat iya menjawabnya.

"Denis jawab Kakak!" kata Rara dengan nada tinggi. Perlahan Denis memutar tubuhnya menghadap ke arah Rara yang saat ini berdiri di dekat sofa ruang tengah. Wajahnya tertunduk seolah sangat takut melihat wajah Rara yang sedang memandangi wajahnya dengan tatapan murka.

"Aku... Aku pulang dengan Ardi kak" ucapnya sangat lirih di kalimat 'Ardi' karna ia sangat tau, Rara pasti akan sangat murka dengannya kalau tau ia masih saja dekat-dekat dengan Ardi. Namun harus bagaimana lagi, sepertinya kali ini ia tak bisa berbohong karna Rara sudah pulang lebih awal darinya.

"Kamu mulai berani bantah ka Rara ya? Hah? Sudah berapa kali kakak bilang jangan bergaul dengan anak pembantu itu!" Rara mendekat ke Denis yang berada di dekat tangga.

"Tapi kak Denis-"

"Gak ada tapi-tapian, pokonya ka Rara gak mau kamu bergaul dengan anak pembantu itu lagi. Dan satu lagi, kamu gak boleh bergaul dengan cowok!"

Seketika Denis memandang wajah Rara dengan mata terbelalak dan mulut yang menganga saat mendenga peraturan baru Rara.

"Kak Denis itu cowok, masak gak boleh bergaul dengan cowok?" perotesnya tak terima.

"Justru karna kamu cowok, Kakak pengen kamu bergaul hanya dengan cewek!"

Denis diam tak menimpali lagi perkataan Rara, karna ia tau seberapa keras ia protes dan menolak pasti selalu saja kalah dengan Kakaknya. Dalam hatinya hanya bisa bergumam kesal dan mencoba nenerima walau perintah Rara selalu bertentangan dengan keinginanya.

Denis yang sudah enggan berdebat dengan Rara melanjutkan menaiki anak tangga dengan kesal sambil berlari kecil.

"Denis ka Rara belum selesai ngomong"

Denis berhenti dan kembali membalikan tubuhnya. Rara yang berada di bawah tentu saja menatap Denis sambil mendongakkan kepalanya.

"Ada apa lagi sih Kak? Denis capek pengen istirahat"

"Nanti malam sepupunya teman Kakak yang baru saja datang dari Bandung pengen jalan-jalan keliling kota, karna dia baru pindah sekolahnya dan sekarang kalian satu sekolah kan?"

"Oh si Denata anak kelas dua itu, terus?"

"Iya Denata, ka Rara pengen kamu yang menemaninya, dan kamu jemput dia nanti malam jam tujuh di rumahnya!"

"Jalan sama Denata kak?" tanya Denis tak percaya sambil memutar bola matanya.

"Iya, kenapa?"

"Kak please, kenapa sih hidup Denis gak pernah ada enak-enaknya, gak seperti teman Denis. Denis selalu saja di atur-atur sama Ka Rara?"

"Sudah gak usah protes" ujar Rara sambil berlalu meninggalkan Denis sendirian. Denis menghela nafas dalam, lalu membuangnya kasar karna kesal dengan tingkah Rara yang selalu mengatur hidupnya. Denis memutar tubuhnya lalu berjalan pelan menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Rara memperlakukan Denis seperti ini bukan tanpa alasan, ia tak ingin Denis lebih jauh lagi masuk ke dunia gay yang sangat menjijikan menurut Rara. Bahkan ia tak segan-segan melarang Denis bergaul dengan para lelaki. Tentu saja laranganya tak mampu membatasi Denis begitu saja, karna di depan Rara Denis bisa saja menurutinya. Walau Denis tergolong anak yang penurut, bukan berarti ia juga akan menuruti saat mendapat larangan yang tidak ia sukai.

Denis memegang gagang pintu kamarnya, lalu mendorongnya. Seketika pemandangan isi kamarnya terlihat di depan matanya. Kamar yang selalu ia rindukan karna suasananya yang selalu bisa menenangkan dirinya. Ia memandangi sekeliling ruangan kamarnya itu, tersenyum lalu berjalan pelan menuju tempat tidurnya.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar