Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 15
----------------
By. Aby Anggara
===========================

-Robi POV-

Saat jam pulang sekolah aku menunggu Aris didepan pintu gerbang sekolah. Namun saat dia berlalu didepanku sepertinya ia pura-pura tak melihatku disini. Hari ini perubahan pada dirinya memang sangat drastis hingga membuatku penuh tanda tanya.

Aku berjalan lesu keluar gerbang dan menunggu angkot yang lewat. Huf.. Menyebalkan! Panasnya matahari sagat menyengat dan tanganku terasa begitu panas. Tak lama akhirnya ada juga angkot yang lewat.

Aku segera naik dan duduk di bagian depan. Aku mengeluarlan ponselku dan berniat mengirimkan pesan singkat pada Aris. 'Pesan terkirim' begitulah bacaan yang tertera pada layar ponselku saat aku usai melakukan pengiriman pesan pada Aris.

Aku tau dia tak akan langsung membalasnya karna dia juga pasti belum sampai di rumahnya. Aku menaruh kembali ponselku kedalam saku celanaku. Ah ni angkot pake berhenti-berhenti mulu, kalo tau gini mulai besok aku akan minta di antar oleh ka Raffi saja. Gumamku kesal.

Aku sudah sampai di pertigaan gang dan aku turun disini. Aku berjalan seperti orang berputus asa, karna pikiranku sangat kacau. Ka Raffi terlihat sedang sibuk melayani banyaknya pelanggan di depot Om Indra. Aku tetap berjalan menuju rumah yang tinggal beberapa langkah lagi sampai diteras rumah.

***

Aku membaringkan tubuhku di ranjang masih dengan seragam sekolahku. Kepalaku masih selalu dipenuhi oleh bayangan Aris, karna aku sangat takut jika ia benar- benar pergi meninggalkanku. Seketika aku teringat jika tadi aku telah mengirim pesan singkat olehnya. Dengan cepat aku menyambar hp yang masih terletak disaku celanaku berharap sudah ada balasan darinya.

Huf.. Aku membuang angin dari mulutku dengan menggelembungkan kedua pipiku. Ternyata Aris tak membalas pesanku. Aku rasa di jam seperti ini ia pasti sudah pulang dirumahnya. Mungkin dia memang enggan membalasnya.

"Pulang sekolah bukanya ganti baju malah tidur" kata ka Raffi tiba-tiba. Aku masih diam tak bergeming sekalipun aku mendengar ucapan ka Raffi. "Kok malah diam Bi?" tambahnya. Aku menoleh ka Raffi kemudian duduk ditepi ranjang.

"Lagi males nih kak" singkatku. Ka Raffi mengerutkan keningnya mendengar ucapanku barusan.

"Gak boleh gitu Bi, ayo ganti bajunya dulu!" perintah ka Raffi. Seketika terlintas difikiranku untuk bermanja-manjaan dengan ka Raffi.

"Robi mau ganti baju, tapi ka Raffi yang gantiin Robi ya?" pintaku manja dan menggigit bibir bawahku.

"Idih, udah besar masa minta digantiin ama ka Raffi, gak malu apa?"

"Ngapain musti malu, sama kakak sendiri ini, lagian kan kita cuma berdua kak? Ayolah kak buruan, kalo gak mau aku baring lagi nih gak mau ganti baju pokonya" ancamku pada ka Raffi. Seketika ka Raffi terlihat berfikir, tapi pada akhirnya perlahan ia berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku.

"Dasar anak manja. Yasudah sini ka Raffi bantuin" ucapnya sambil menarik pelan hidungku. Aku tersenyum lebar merasa sangat senang karna ka Raffi mau menuriti kemauanku. Satu-persatu ia membuka kancing bajuku hingga terakhir di kancing yang paling bawah terasa tangan ka Raffi menyenggol penisku dan perlahan penisku mengembang. Ah.. Rasanya aku sangat ingin selalu di perlakukan seperti ini terus, Gumamku. Setelah semua kancing terlepas, aku membalikan tubuhku hingga ka Raffi melepaskan baju kemejaku dari belakang.

Ka raffi kemudian menganbil sebuah gantungan baju dan menggantungnya di belakang pintu kamarku. Kini aku hanya memakai kaos singlet yang masih menempel di tubuhku. Sedangkan celana abu-abu panjang masih menempel di pinggang dan kakiku.

"Sudah sana ganti celananya!" perintahnya lagi. Aku kembali duduk di tepi ranjang karna tak mau menuruti perintah ka Raffi.

"Gak mau ah kak, mau di bukain juga ama kakak" godaku dengan senyum nakal.

"Robi kamu udah besar ya, jadi jangan m-a-n-j-a" ucap ka Raffi dengan mengeja di ucapan akhir.

"Is ka Raffi pelit amat sih masa sesekali manjaan ama kakanya sendiri gak boleh?" protesku dan memanyunkan mulutku.

"Yasudah sini, tapi abis ini ganti baju langsung makan ya!"

Mulutku yang tadinya manyun seketika berubah jadi senyuman yang sangat lebar di pipiku. Aku bahagia karna ka Raffi mau memanjakanku siang ini. Ya walau sebenarnya aku sedang sedih, tapi setidaknya aku merasa sedikit terhibur olehnya.

Ka Raffi segera berdiri dengan kedua lututnya atau berjongkok didepanku. Ia melepas ikat pinggangku dan reseletingku. Aku sangat tak tahan dengan perlakuanya hingga membuat penisku semakin mengeras. Perlaha ka Raffi menurunkan celanaku hingga keduanya terlepas dari kedua kakiku. Sekarang aku hanya memakai celana boxer warna hitam dan tergambar jelas tonjolan di bagian penisku. Ah melihat ka Raffi membuatku semakin nafsu saja.

"Idih siang-siang burungmu sange Bi?" kata ka Raffi sambil melihat gundukan penis diselakanganku. Ya.. Tau sendiri kalo pake celana boxer. Penis sedang tidur saja sudah terlihat tonjolanya apalagi sedang terbangun.

Aku tersenyum malu mendengar perkataan ka Raffi barusan. Mukaku terasa panas dan aku yakit pasti berwarna merah.

"Biarin wek!" kataku sambil memakai celana dan berlalu meninggalkanya di dalam kamar.

***

-Raffi POV-

Setelah aku memastikan Robi sedang makan siang di dapur, aku kembali keluar menuju depot isi ulang. Tapi di ruang tamu aku berpapasan dengan Om Indra yang berlawanan arah denganku. Berulang kali Om Indra melihat selembar kertas kemudian wajahku. Kertas itu berwarna hijau muda dan ukuranya lumayan sedang.

Lagi-lagi Om Indra melihat wajahku kemudian selembar kertas itu. Aku semakin bingung dengan tingkahnya yang seperti itu. Aku pura-pura tidak mengetahui dan langsung saja berjalan menuju keluar rumah, namun saat aku berjalan dan hampir melewatinya, Om Indra meraih tangan kananku.

"Raffi tunggu Raf!" kata Om Indra memberhentikan langkahku. Seketika aku memutar tubuhku menghadap kearahnya.

"Ya Om ada apa?"

"Apa benar kamu anaknya Haji Lutfi Fi?" tanyanya memastikan. Wajah Om Indra menatapku dengan tatapan sangat serius. Aku sangat kaget mendengar pertanyaan Om Indra barusan. Dari mana dia bisa tau semua ini.

"I-iya Om, tapi kok Om Indra bisa tau?" kataku masih kebingungan.

"Ayo Fi sini duduk dulu, Om mau menjelaskan sesuatu sama kamu!" tanpa menunggu persetujuanku Om Indra menarik tanganku untuk duduk di kursi ruang tamu di sebelahnya.

"Sebenarnya ada apa sih Om?"

"Begini Raffi, Abimu itu dulu sahabat sekaligus kaka kelas Om waktu masih di pondok pesantren. Dia yang selalu belain Om saat Om Indra di ganggu oleh santri-santri senior. Dan Abi kamu itu sangat tekun ibadahnya. Terakhir Om Indra kerumahmu saat khitanan (sunatan) kalian berdua waktu kalian kelas lima SD, dan setelah itu Om Indra belum pernah kerumahmu lagi sampe sekarang. Gak nyangka ya sekarang kamu sudah sebesar ini?" jelasnya penuh antusias. Wajahnya terlihat sangat bahagia.

"Tapi kok Om Indra bisa tau kalo aku anaknya Abi Lutfi?" tanyaku masih penasaran. Karna dari tadi aku masih belum mengerti kenapa tiba-tiba Om Indra mengetahui semuanya.

"Coba deh liat Fi! Ini si Raffa kan? dia mirip banget sama kamu Fi" kata Om Indra sambil menunjuk foto ka Raffa di selembar kertas hijau muda itu. Terlihat sangat jelas di foto itu ka Raffa berdua bersama seorang wanita yang sangat cantik. Ini adalah sebuah undangan. Aku kembali memperhatikanya dan ternyata ini memang benar-benar ka Raffa.

Tapi dia menikah dengan siapa? Dengan cepat aku membuka isi undangan itu dan di dalam undangan itu tertulis dengan jelas nama ka Raffa dengan Ferra terukir dengan huruf latin dan sedikit lebih besar dari huruf-huruf lainya. Seketika air mataku menetes di undangan yang masih ku pegang. Saat ini aku tak tau harus bahagia atau harus sedih mendengar kabar ini. Tapi hatiku tak dapat di bohongi kalau aku merasakan kesedihan karna ka Raffa akan bersama dengan Ferra selamanya.

Tubuhku terasa sangat lemah seketika. Aku belum bisa pecaya kenapa ka Raffa begitu cepat melakukan pernikahanya, padahal usianya masih sangat muda.

"Fi, kenapa kamu sedih? Harusnya kamu bahagia dong!" kata Om Indra tiba-tiba. Aku tersadar dari lamunanku dan segera menghapus air mataku.

"Gak papa kok Om, aku menangis bahagia kok" elaku. Aku tak tau Om Indra mempercayainya atau tidak.

"Yakan memang harusnya kamu bahagia Fi? Oya besok di hari 'H' nya pernikahan Raffa kita pergi sama-sama ya, Om Indra yakin pasti Abimu akan sangat senang jika melihatmu kembali saat pernikahan Raffa nanti"

"Tapi Om, Raffi takut Abi dan Ibuk masih marah dengan Raffi Om" cemasku. Om Indra seketika tersenyum mendengar ucapan konyolku barusan.

"Raffi-Raffi, kamu ada-ada saja. Walau Om Indra belum mempunyai seorang anak, tapi Om bisa tau kok bagaimana rindunya orang tua saat di tingal jauh dengan anaknya, apalagi sampe tiga tahun lamanya. Om saja waktu masih di pondok pesantren dulu mama nya Om sering bilang gitu sama Om, padahal cuma beberapa bulan saja. Apalagi kamu yang sampe bertahun-tahun seperti ini"

"Tapi Om-"

"Sudah percaya saja sama Om, semua akan baik-baik saja kok Fi. Kalo ada apa-apa, nanti Om yang bicara langsung pada Abi mu itu" kata Om Indra meyakinkanku.

"Iya Om"

"Yasudah jangan nagis lagi, Om tinggal dulu ya Fi?"

Aku benar-benar tak percaya. Hanya dalam hitungan hari aku akan pulang ke rumahku setelah tiga tahun aku meninggalkanya. Apa Abi dan Ibu sudah benar-benar memaafkanku? Aku sangat takut jika aku pulang nanti mereka masih mengacuhkanku, mau di taruh di mana mukaku?

Tapi setidaknya aku tidak pulang sendirian. Om Indra sahabat Abi, pasti Om Indra tak akan membiarkanku jika terjadi sesuatu hal yang tidak kuinginkan. Rasanya harapanku pupus sudah dengan ka Raffa. Namun aku berharap dengan menikahnya ka Raffa, aku bisa segera menghilangkan perasaan ini karna dia akan menjadi milik Ferra selamanya.

Ponselku terdengar ada panggilan masuk, ternyata Meisya menelponku.

"Halo assalamu'alaikum Sya?"

"............" hening tak ada jawaban.

"Halo assalamu'alaikum?" dari Meisya masih belum ada jawaban. Aku menarik hpku dari telingaku dan kulihat layar ponselku, panggilanya masih terhubung dengan Meisya. Aku kembali menaruh ponselku ditelinga kananku kembali.

"Sya?" panggilku sedikit lebih keras. Tiba-tiba terdengar suara sesegukan seperti orang yang sedang menangis. "Sya kamu kenapa?" tanyaku sedikit panik. Suara isak tangisanya semakin terdengar jelas di telingaku. Aku semakin bingung, ada apa dengan Meisya.

"Fi?" sapa Meisya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi aku masih bisa mendengarkanya walau sedikit kurang jelas.

"Sya kamu kenapa Sya?"

"Aku gak papa Fi, aku cuma mau ngasih kabar. Besok hadir ya di pesta pernikahanku!" Ucapnya terbata-bata. Tanpa kusadari akupun ikut mengeluarkan air mata. Ternyata Meisya dari tadi menangis karna perjodohan itu. Aku menjadi merasa sangat bersalah karna tak bisa menolongnya. Kasihan Meisya, sabar ya Sya...!

"Iya Sya, aku pasti datang kok"

"Makasih ya Fi, nanti aku kirim alamatnya, Assalamu'alaikum"

"Waalaikum salam" Ya Allah.. Kenapa cobaan demi cobaan selalu datang padaku? Aku tak sanggup ya Allah. Tubuhku semakin lemas mendengar kabar yang kurang enak hari ini. Kasihan Meisya harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai.

***

Malam ini aku tak selera makan. Kepalaku terlalu banyak pikiran yang masih saja bersarang dan tak mau pergi. Kulihat Robi pun sama sepertiku, ia hanya memainkan sendok makan di piringnya. Aku tau Robi pasti sedang mengalami hal yang sama sepertiku.

"Kok makananya cuma di mainin saja Fi, Bi?" tanya Tante Irma menolehku lalu menoleh Robi. Robi seketika menaruhkan semua sendoknya lalu berdiri.

"Robi lagi gak nafsu makan Tan, Robi duluan ya?" Robi lalu pergi meninggalkan tempat duduknya dan menuju kearah karmar.

"Gak papa kok Tan. Oya Om, Raffi besok pagi mau minta izin ke acara pernikahan teman"

"Ya gak papa Fi, itu kan sudah sewajarnya, jadi gak usah sungkan-sungkan gitu dong. Kita kan sudah seperti saudara" jelas Om Indra ramah. Aku merasa lebih nyaman saat ini karna ternyata Abi dan Om Indra adala sahabatan. Setidaknya aku tak terlalu canggung lagi seperti biasanya.

"Iya Om makasih, kalo gitu Raffi kekamar dulu ya Om?"

"Iya Fi silahkan"

Aku sama seperti Robi yang meninggalkan piring yang masih berisi nasi di meja makan. Aku segera menyusul Robi di kamar, ingin tau keadaanya saat ini. Ia sedang berbaring terlentang di tempat tidurnya. Matanya terpaku menatap lagit-langit kamarnya. Perlahan aku mendekatinya dan duduk di tepi ranjang tapat di sebelahnya.

"Kamu kenapa Bi sepertinya lagi ada masalah?"

Robi tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya terlihat mengedipkan matanya namun pandanganya masih tak bergeming tetap di posisi semula.

"Bi.. Cerita dong sama ka Raffi!"

"Aris kak!" singkatnya dengan suara parau.

"Ada apa dengan Aris Bi?" Robi bangkit dari tempat duduknya dan ia duduk disebelahku.

"Ka Raffi tau kan aku sayang dengan Aris sampe aku rela ngelepasin Ayu demi dia, tapi setelah aku putusin Ayu, Aris tiba-tiba berubah drastis kak bahkan dia tak mau lagi bertemu denganku. Sampai saat ini aku juga belum tau apa salahku, tapi seingatku aku tak ada masalah dengan dia" jelasnya panjang lebar. ia enggan memandangku. panndanganya menatap luruh kearah depan.

Ternyata ini masalahnya hingga membuat ia tak nafsu makan. Maafin ka Raffi ya Bi, ka Raffi ngelakuin ini semua demi kebaikan kamu. Aku yakin bukan cuma kamu saja yang merasa sedih. Tapi Aris juga pasti merasa bersalah yang tiba-tiba menjauhimu. Apalagi setelah Robi menuruti permintaan Aris, pasti hati Aris juga menangis karna harus pura-pura membenci Robi.

"Bi.. Sudah ya jangan di fikirkan lagi, lebih baik kamu fokus saja dulu dengan pelajaran sekolah kamu. Pacaran gampang kok nanti-nanti juga bisa kan?" Kataku meyakinkanya. Aku mengusap pundak kananya, lalu ia merebahkan kepalanya bersandar di pundaku.

"Aku mungkin bisa saja menerimanya kak, tapi setidaknya Aris ada penjelasan padaku kak"

"Sabar ya Bi!"

Dahulu aku memang pernah berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan selalu membuat Robi bahagia, tapi kenyataanya aku malah membuatnya sedih. Tapi ini semua aku lakukan demi kebaikanmu Bi, dan ka Raffi tak mau jika kamu nantinya sama seperti ka Raffi yang terjebak dalam lembah yang menyengsarakan.

***

Selesai sarapan, aku bersiap-siap untuk berangkat kepesta pernikahan Meisya. Aku kembali berjalan kekamar untuk memastika tak ada sesuatu yang tertinggal. Aku memegang saku celanaku memeriksa dompet, hp dan keperluan lainya. Aku melihat sekeliling isi kamar sekali lagi. Di meja belajar, di ranjang dan ditempat lainya siapa tau masih ada sesuatu yang tertinggal. Namun aku rasa semua sudah siap dan aku meninggalkan kamar dan keluar rumah.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar