Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 03
-----------------
By. Aby Anggara
=============================

****

Ujian nasional semakin dekat. Aku semakin takut berpisah dengan keluarga ini, terutama dengan ka Raffa. Apa di rumah ini tak ada satu orangpun yang bisa menolongku untuk membujuk Abi agar aku tak di kuliahkan di Kairo? Aku masih sangat labil. Walau terkadang aku mencoba mengikhlaskan semuanya, namun dilubuk hatiku yang paling dalam aku masih belum bisa benar-benar menerimanya.

Aku sangat tertekan dengan keputusan Abi, karna Abi kalo sudah ada keputusan ia selalu konsisten dan kokoh pada pendirianya. Apa aku harus benar-benar meng ikhlaskan dengan keputusan Abi dan memendam dalam-dalam cita-citaku? Tidak! Aku tak boleh menyerah. Selagi masih ada waktu mencari solusinya aku akan tetap berusaha, ya.. walau kemungkinan berhasil sangat kecil tapi aku belum menyerah dan akan selalu berjuang.

Aku pergi keluar rumah menghampiri mbak Meli yang sedang menjahit di ruko yang berdampingan dengan tokoh sembako kami. Kelihatanya mbak Meli sangat sibuk, dengan lincahnya ia mengendalikan mesin jahit yang mendatangkan perantara rizki baginya.

"Mbak Meli lagi sibuk ya?" tanyaku yang duduk di kursi plastik di sebelahnya.

"Ya lumayan, pasti mau minta tolong ya sama mbak?" ucapnya tak menoleh kearahku. Ia masih saja sibuk menjahit baju di atas mesin jahitnya.

Mbak Meli selalu kebanjiran order, karna selain jahitanya bagus dan rapi soal harga mbak Meli juga terjangkau, jadi tak heran kalau banyak pelanggan selalu wora-wiri menghampirinya.

Setiap pulang kuliah dan setelah sholat isya' mbak Meli selalu ada di ruku yang berukuran 3×3 meter ini yang terletak tepat di sebelah tokoh sembako milik Ibuk. Ia selalu rajin dan teliti mengerjakan di tiap lembar kain yang ia kerjakan.

"Ah mbak Meli tau saja kalo Raffi mau minta tolong"

"Ya mbak taulah kan kamu emang udah biasa gini toh?"

"Iya ni mbak, bantuin Raffi dong mbak bilangin sama Abi kalo aku gak mau kuliah di Kairo, aku gak mau pisah jauh dengan teman-temanku mbak"

"Raffi-raffi... Kamu seperti ndak tau sifatnya Abi saja, lah wong Abi kan kalo sudah ada kemauan, ya harus dilaksanakan dan ndak mau di bantah toh?"

"Tapi mbak, Raffi kan juga punya cita-"

"Fi..! Sabar ya, mungkin ini memang sudah jalan yang terbaik buatmu" ucap mbak Meli memotong perkataanku yang belum selesai.

"Tapi mbak Meli mau nolongin Raffi kan?" mbak Meli menghela nafas panjang dan memutarkan tubuhnya mngahadap kearahku.

"Kita liat nanti saja ya Fi" singkatnya. Ia lalu kembali melanjutkan aktivitas menjahitnya.

Ah kesel dengan mbak Meli yang tak bisa menolongku. Aku berjalan lesu kembali kerumah dan duduk di kursi yang ada di ruang tengah.

Aku duduk melamun merenungi nasipku yang sangat jarang berpihak pada keberuntungan. Dan hal yang tak kuinginkan itu bakal aku lalui dalam waktu yang tak terlalu lama lagi.

Aku menaruh kedua sikuku diatas lutut dan kedua telapak tanganku menopang daguku. Huff.. Aku benar-benar khawatir terasa seolah sedang tersesat dihutan tak ada harapanku untuk bisa menemukan duniaku kembali.

"Woi ngapain sore-sore gini bengong?" tanya ka Raffa yang baru datang dan duduk di depanku. Aku hanya diam meliriknya dan tetap tak bergeming dari posisiku. "Yaelah di tanya malah diam, udah kek patung aja, awas tar kesambet loh!" tambahnya.

"Apaan sih kakak?" gerutuku kesal.

"Eh Fi, bantuin kakak dong?"

"Bantuin apa kak?" tanyaku datar.

"Tar malem kan si Ferra ngajakin nonton dan si Tari juga ngajakin jalan nah kakak bingung musti gimana, soalnya kakak udah sering banget nolak ajakan Ferra dan dia minta putus kalo sampe tar malem kakak gak mau di ajakin nonton" jelasnya panjang lebar.

"Trus Raffi musti ngapain ka?"

"Em.. Si Ferra kan gak tau kalo kita kembar? Nah ka Raffa pengenya kamu pura-pura jadi kakak dan ajakin dia nonton, nah sedangkan kakak mau jalan ama Tari" jelasnya. Setahuku pacarnya ka Raffa hanya Tari adik kelas kami, tapi ternyata ada yang lain juga si Ferra. Huf.. Liat Tari saja aku selalu pengen marah, untung saja aku di suruh jalanya sama Ferra.

"Gimana ya?" kataku sambil garuk kepala yang sebenarnya tak gatal.

"Ayolah please bantuin ka Raffa kali ini saja, soalnya kakak sayang banget ama mereka berdua, kalo ama pacar kakak yang lain sih masa bodo"

"Emang pacar ka Raffi ada berapa?"

"Ada empat, tapi kakak cuma sayang sama Ferra dan Tari. Gimana mau ya ya ya?" tanyanya yang semakin memojokanku. Sebenarnya aku tak terbiasa keluyuran malam-malam seperti ka Raffa, tapi karna dia yang meminta aku tak dapat menolaknya sekalipun hal itu yang sebenarnya tak ku sukai.

Rasa cemburu selalu datang kepadaku sekalipun yang di bahas pacar perempuanya, rasanya bikin sesak di dada ketika rasa cemburu itu datang. Tuhan... Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku berbeda?

"Iya deh kak, Raffi mau kok nolongin ka Raffa"

"Nah gitu dong, tar malem bawa hp kakak ya biar si Ferra gak curiga!" katanya penuh antusias.

"Iya kak" ucapku dibarengi dengan anggukan.

"Ini baru adek ka Raffa yang baik" ucapnya sambil mengacak-acak rambutku dan berlalu neninggalkanku di ruang tengan sendirian.

***

Malam ini aku mualai bersiap-siap. Ka Raffa yang sudah siap langsung menuju dapur untuk makan malam sedangkan aku masih bergonta-ganti pakaian mencari yang cocok untuk malam ini. Sudah beberapa baju kucoba tapi masih kurang cocok, namun dipilihan terakhir aku merasa sangat cocok dan berputar di depan kaca. Setelah kurasa sangat cocok dengan pilihanku, aku segera menyusul ka Raffa yang sudah ke dapur lebih dulu.

Di meja makan sudah kulihat kehadiran Abi, Ibuk, mbak Meli dan ka Raffa yang sudah duduk dan siap untuk makan malam bersama. Aku duduk di sebelah kiri ka Raffa dan di depan Ibuk.

"Masya Allah adenya mbak Meli tumben malam ini dandananya cakep sekali, hayo mau kemana toh tumben amat?" goda mbak Meli.

"Ah mbak Meli bisa saja, mbak Meli juga cantik ko pake kerudung ungu gitu"

"Ah kamu ada-ada saja Fi, memangnya mau kemana kok tumben sekali dandananya nyetil gitu toh, ndak biasa-biasanya?"

"Malam ini Raffi mau jalan mbak, sesekali gak papa kan?"

"Sebenarnya anak laki-laki keluar malam sah-sah saja, selama kelakuanya tidak melanggar aturan Agama!" sahut Abi yang ikut angkat bicara.

"Yang dikatakan Abi mu benar le, ibu juga sangat khawatir sama kamu, toh baru kali ini kamu keluar malam? Ibu ndak mau terjadi hal-hal buruk padamu le.. Apalagi sampe terjebak kepergaulan bebas"

"Buk..? Raffi itu sudah besar, dan Meli yakin ko Raffi ndak bakalan macem-macem dan dia pasti bisa jaga dirinya dengan baik" bela mbak Meli khas dengan suara lembutnya. Aku sangat senang karna mbak Meli selalu berpihak padaku, tapi aku takut mbak Meli kecewa saat tau kalau orang yang selalu dibelanya dan selalu di bangga-banggakan adalah hanya seorang gay.

"Yasudah kalo memang begitu, tapi tetap ya le.. Pulangnya jangan malam-malam, ndak baik untuk kesehatanmu"

"Ya Buk"

Kami segera melanjutkan makan malam seperti biasa. Tuhan.. Aku bahagia karna aku punya mbak Meli yang selalu membuat aku tersenyum.

"Mbak Meli makasih ya buat selama ini" ucapku dalam hati. Aku tersenyum mamandanginya yang sedang memasukan sesendok nasi kemulutnya.

***

Dua sepeda motor telah siap berbaris di halaman depan rumah kami. Aku dan ka Raffa sudah siap mau berangkat ke tujuan masing-masing. Namun aku sangat ragu akan tugas yang di berikan ka Raffa padaku, karna selama ini aku memang belum pernah pacaran dan aku takut tak bisa melakukanya dengan baik.

"Kak Rafa, Raffi ragu kak?" kataku. Ka Raffa yang sedang memakai helm nya di lepasnya kembali dan merangkul helmnya dengan tangan kiri di bawah ketiaknya.

"Ragu kenapa Fi? Tanyanya serius. Aku yang masih berdiri di sebelah motor mbak Meli menatapnya dengan tatapan sedu.

"Aku takut kak, gak bisa menjalankan amanah ka Raffa dengan baik, ka Raffa tau kan aku sama sekali belum pernah pacaran dan mana mungkin aku bisa melakukanya ka?" Ka Raffa menaruh helmnya di atas sepion motor sebelah kiri lalu ia melangkahkan kakinya mendekatiku dan memegang kedua bahuku. Ka Raffa menatapku dengan tatapan tajam.

"Fi..? Kamu sudah besar kok, dan ka Raffa yakin, kamu bisa melakukanya" ucap ka Raffa menyakinkanku.

"Tapi kak-?"

"Ini hp kakak, dan ajak Ferra nonton di Puncak Mall ya!" ucap ka Raffa memotong pembicaraanku. Ia merogoh sakunya dan meraih tangan kananku, memberikan hpnya ditanganku lalu ia kembali berjalan kemotornya"

"Iya kak" singkatku. Ka Raffa mulai memakai helmnya kembali dan menyalakan motornya.

"Oya Fi, jangan lupa panggil Ferra dengan panggilan 'ay' ya!" aku hanya mengangguk pelan. Ka Raffa dengan cepat berlalu dan meninggalkanku di halam rumah ini. Aku masih saja mematung melihat kepergia orang yang sangat aku sayangi hingga menghilang di pintu pagar yang terbuat dari bambu.

Kalo bukan karna ka Raffa yang minta aku gak bakalan mau melakukan hal seperti ini, tapi demi orang yang aku sayang aku rela melakukanya asalkan dia bahagia. Sebenarnya hatiku terasa pedih saat dia dekat dengan yang lain, tapi aku juga tau bukan kah rasa ini rasa tak wajar? Dan bukankah cinta itu tak harus memiliki? Aku akan menerima semua kepedihan ini asal aku selalu ada di dekatnya itu sudah cukup membuatku bahagia.

Aku menghela nafas panjang dan melangkahkan kaki menuju motorku. Aku harap malam ini aku tak mengecewakan ka Raffa walau aku belum tau apa yang akan kulakukan saat bertemu dengan Ferra nanti.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar