Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 06
-----------------
By. Aby Anggara
=============================

***

Perlahan aku mebuka tutup kotak berwarna coklat itu dan ternyata isinya sebuah jam tangan yang sangat bagus.

Disebelahnya juga terdapa sebuah mini tasbih berwarna hijau muda yang hanya berjumlah 33. Ini adalah tasbih mini kalo di pake untuk gelang sepertinya pas di tanganku yang tak terlalu besar. Jam tangan ini berjenis klasik, berbentuk bulat, berwarna hitam dan berukuran lumayan tebal dan besar. Aku tersenyum kearah Meisya karna aku sangat menyukai jam tangan yang ia berikan padaku.

"Sya, jamnya bagus banget?"

"Lo suka Fi?"

"Suka Sya, suka banget malah. Makasih ya Sya"

"Syukur deh kalo lo suka, gue juga seneng Fi dengernya. Itu jam tangan anti air Fi, jadi gue pengenya lo selalu pake jam itu ya, walau lo sedang wudhu sekalipun, dan jangan pernah melepasnya ya!"

"Iya Sya, aku janji aku akan selalu pake jam ini dan gak akan melepasnya"

"Sekarang pake ya Fi!"

"Iya Sya" aku melepas jam tangan lamaku dan menggantinya dengan yang baru di kasih oleh Meisya. Aku memasangnya di tangan kananku. Sejak SMP aku memang sudah terbiasa memakai jam tangan di tangan sebelah kanan, ada sebagian orang berpendapat memakai jam tangan di tangan sebelah kanan itu jam yang meminjam milik orang. Tapi aku ta peduli, yang peting aku nyaman dan tak merugikan orang lain.

"Lo tambah cakep Fi" puji Meisya. Aku semakin salah tingkah di buatnya.

"Ah kamu ada-ada saja Sya, aku biasa saja kok"

"Oya Fi, apa lo udah punya pacar?" tanya Meisya dengan sedikit canggung. Seketika aku sangat gugup dibuatnya, uh.. Kenapa Meisya pake nanyain ini segala sih, pertanyaan yang menyebalkan. Gimana mau punya pacar, aku saja tak pernah tertarik pada perempuan manapun.

"Hei.. Aku datang!!" suara Efan sedikit teriak dan memasang senyum lebar di wajahnya.

"Untung saja Efan cepat datang, kalo engga aku pasti semakin terpojok oleh Meisya" gumamku

"Dari mana sih Fan, lama amat?" tanyaku kesal. Efan malah cengengesan seperti orang yang tak mempunyai dosa. Melihatnya seperti itu aku makin kesal dengan tingkahnya.

"Biasa Fi, keliling-keliling pantai lah" jawabnya. Ia membawa sekantong plastik makanan ringan dan beberapa jenis mimuman dingin. Kami menghabiskan waktu banyak di pantai ini, ya walau kami hanya duduk bersantai saja sih sebenarnya, tapi cukup menghibur dan membuat hariku lebih berwarna. Tapi aku sangat yakin kalo semua ini pasti sudah direncanakan oleh Meisya dan Efan.

Tak terasa matahari sudah berada di ujung barat berwarna merah keemasan dan sebetar lagi pasti akan tenggelam.

"Fan pulang yuk udah hampir maghrib nih, kamu tau kan pesan Ibuku tadi?" reflek Efan menololeh kearah Meisya. Dan kulihat Meisyapun mengangguk. Kami bersiap-siap akan pulang karna sebentar lagi hari akan berganti malam.

***

Selesai solat magrib kami makan makan bersama seperti biasa. Abi dan Ibu duduk di hadapan ku dan ka Raffa. Sedangkan mbak Meli duduk sendirian di sebelah kiriku.

"Fi, sebentar lagi kan kalian akan menghadapi ujian, jadi kamu harus banyak belajar agar nilaimu bagus! Pokonya Abi ndak mau nilaimu jelek, karna Abi tetep pengen kamu kuliah di Kairo" ucap Abi di sela-sela saat makan malam yang sedang berlangsung. Telingaku hampir bosan mendengarka peringatan Abi yang hampir tiap hari dikatakanya. Aku tiba-tiba melambatkan aksi mengunyah makanan yang sudah ada dimulutku.

"Apa keputusan Abi ndak bisa di rubah lagi? Siapa tau kan Raffi ada cita-cita dan keinginanya sendiri Bi?" kata mbak Meli membelaku. Aku senang, karna mbak Meli sudah mau memberbicara hal ini dengan Abi, ya walau belum tau hasil akhirnya.

"Loh kenapa Mel? Pilihan Abi kan sudah bagus dan yang terbaik untuk Raffi?"

"Ibu sangat setuju sama yang dikatakan Abi, itu semua kan demi masa depanya Raffi juga to?"

"Tapi Buk, kan kita juga"

"Sudahlah ndok... Turuti saja kemauan Abi mu, toh ini semuanya demi masa depan Adikmu kan?" Potong ibu pada mbak Meli. Uh selalu saja begitu, Abi kalo sudah ada kemauan memang susah tuk di rubah. Sepertinya aku benar-benar akan jauh dari sahabatku dan juga ka Raffa, menyebalkan.

***

Selesai makan malam, aku langsung keluar dan duduk menyandarkan kepalaku ditaman kecil yang berada di depan rumahku. Aku duduk di kursi yang terbuat dari anyaman bambu. Aku duduk melamum sambil melihat ribuan kelipan bintang di atas sana.

Ya Allah... Apa aku harus menuruti keinginan Abi? Aku seorang gay dan aku rasa aku sangat tak pantas untuk menjadi ulama besar yang seperti Abi inginkan. Aku merasa semakin terpojok dan dilema dengan semua ini, apa aku harus jujur pada Abi kalau aku adalah seorang gay? Pasti Abi tak akan memaksaku lagi untuk kuliah di Kairo? Tapi aku tak sanggup menerima kenyataan kalo nantinya mereka malah bakalan menjauh dan membenciku karna pilihan bodohku. Arrrgggg.... Semua ini membuatku bingung!

"Loh kenapa melamun Fi? Tanyan mbak Meli yang baru saja datang, mbak Meli duduk disebelah kananku. Aku menoleh mbak Meli sebentar, kemudian kembali melihat indahnya bintang di langit. "Di tanya kok malah diam Fi?" tambahnya. Kini tangan mbak Meli memegang pundak sebelah kananku dan mataku mulai berkaca-kaca.

"Mbak?" ucapku dengan bibir bergetar dan menoleh kearahnya. Mbak Meli masih menatapku dengan tatapan sedu. Mbak Meli langsung memeluku, seketika aku menangis dipelukanya. "Raffi gak mau mbak kuliah di Kairo, Raffi takut"

"Sabar ya Fi, mbak Meli juga tau kok gimana perasaanmu, tapi mau bagaimana lagi keputusan Abi sudah ndak bisa diajak kompromi lagi, kita hanya bisa mencoba meneriama semua ini"

"Tapi mbak-?" mbak Meli melepaskan pelukanya dan menatapku.

"Mbak Meli yakin ko, Raffi akan baik-baik saja dan perlahan Raffi juga pasti akan bisa menerima semua ini" aku mengangguk walau sebenarnya tak setuju dengan ucapan mbak Meli barusan. "Yasudah mbak Meli tinggal dulu ya?"

"Iya mbak" mbak Meli lalu pergi meninggalkanku. Aku baru teringat kalo tugas sekolahku belum sempat kukerjakan, aku bergegas masuk ke rumah dan menuju kamarku.

"Dari mana Fi?" tanya ka Raffa saat aku baru sampai di kamar. Ia sedang berbaring terlentang di ranjang dan membaca sebuah buku.

"Dari taman kak" jawabku. Aku melanjutkan langkah kakiku menuju meja belajar. Kubuka kembali buku yang sempat kututup saat aku di ajak pergi ke Pantai dengan Efan.

"Kamu belum mengerjakan tugas sekolahmu Fi?"

"Belum kak, ka Raffa gimana?"

"Hehe.. Ka Raffa belum juga Fi" jawabnya sambil cengengesan. "Sekalian punya ka Raffa dong Fi, please!" tambahnya memohon. Aku yang selalu mengalah tak mungkin bisa menolak permintaan ka Raffa, kalo sampe dia dihukum karna tak mengerjakan tugas sekolahnya aku pasti akan merasa sangat bersalah. Bagiku kebahagiaan ka Raffa adalah kebahagiaanku juga.

"Iya kak sini bukunya nanti sekalian Raffi kerjakan" ka Raffa beranjak dari ranjang dan memberikan bukunya padaku.

Entah sudah berapa lama aku mengerjakan tugas yang begitu banyak membuatku hingga larut malam mengerjakanya, aku menoleh kebelakang kulihat ka Raffa sudah tertidur pulas di ranjang dengan posisi terlentang. Aku berjalan menghampirinya dan menggapai selimut yang sudah sampai dikakinya. Nafasnya sangat teratur, itu bisa kulihat karna dibagian perutnya naik dan turun dengan jeda yang sama. Aku segera menaikan selimut tebal berwarna biru dan beberapa gambar beruang berwarna merahnya hingga ke bagian leher ka Raffa.

"Selamat tidur ya kak, moga mimpi indah. Aku sayang kamu kak!" lirihku. Aku kembali ke meja belajarku dan melanjutkan mengerjakan tugas sekolahku.

***

Pagi ini aku bangun pukul 04:50. Ternyata aku tertidur di kursi belajar dengan kepala bersandar di meja belajarku. Kepalaku sangat pusing, mungkin karna posisi tidurku yang tak sempurna. Aku segera menoleh ka Raffa masih tertidur di ranjang.

Segera kuhampiri ka Raffa berniat membangunkanya. Aku tak mau kalo sampe pagi ini ka Raffa bangun kesiangan lagi dan di omeli Ibu dan Abi.

"Kak, ka Raffa... Bangun kak!" ucapku sambil mengguncang bahunya. Ka Raffa tak bergeming sedikitpun, sebenarnya hal ini yang paling aku gak suka dengan ka Raffa, setiap di bangunkan pasti selalu susah.

"Kakak... Bagun kak!!!" ucapku sedikit keras di dekat telinga kananya. Iya segera merenggangkan otot-ototnya.

"Jam berapa Fi?" tanyanya masih dengan mata terpejam.

"Jam 4 lebih 55 menit kak"

"Yasudah kamu mandi duluan saja!"

"Ya kak" aku meninggalkan ka Raffa yang masih berbaring dan menuju kamar mandi.

***

"Assalamu 'alakum" ucapku dan ka Raffa menyapa Abi, Ibu dan Mbak Meli yang telah lebih dahulu datang di meja makan.

"Waalaikum salam" jawabnya serempa.

Aku menggeser kursi bersebalahan dengan ka Raffa dan mendudukinya.

"Tumben si Raffa bangunya ndak telat, biasanya setiap pagi selalu telat?" ucap Abi dengan suara khas serak-serak basahnya. Pagi ini Abi memakai kopia warna hitam polos dan baju koko putih sedikit bordiran di dekat kerah bajunya. Abi memang sedik cerewet pada siapa saja yang hidupnya tak pernah disiplin, baginya orang seperti itu adalah orang yang tak mau maju dalam hidupnya.

Ka Raffa masih tak menjawab pertanyaan Abi, mungkin ka Raffa bingung tak ada jawaban untuk menjawabnya.

"Em... Tadi malam ka Raffa tidur lebih awal Bi, jadi bisa bangun lebih pagi" jawabku menggantikan ka Raffa.

"Yasudah, lain kali harusnya tiap hari tidurnya memang harus lebih awal le.. Biar bisa bangun lebih awal pula dan ndak telat" sahut Ibu.

"Iya Buk" singakat ka Raffa.

Abi segera memimpin doa sarapan di pagi ini, kami segera menyantap makanan yang sudah tersediah di meja makan ini.

***

"Raffi!" teriak perempuan memanggilku saat aku dan ka Raffa baru tiba di parkiran motor. Aku menoleh ke belakang, mataku menjelajahi mencari seseorang yang manggilku. Ternyata Meisya yang manggilku, ia berjalan mendekatiku.

"Ada apa Sya?" tanyaku saat Meisya baru sampai menghampiriku.

"Fi, ada yang mau gue omongin sama lo"

"Ngomong apa Sya?"

"Em.. Tapi bukan di sini ya Fi, kita cari tempat yuk?" aku mengangguk.

"Ka Raffa aku duluan ya?" izinku ke ka Raffa.

"Iya Fi"

Aku berjalan mengikuti langkah Meisya dan ternyata dia membawaku duduk di bangku yang ada di bawah pohon.

Meisya duduk lebih dulu, kemudian disusul denganku. Kami duduk bersebelahan. Suasana di sini memang sedikit sepi dan jarang orang berlalu-lalang karna letaknya lumayan jauh dari ruang kelas. Suasana sangat hening, karna aku dan Meisya masih membisu belum ada yang mengeluarka suara.

Meski di bawah pohon, butiran halus embun pagi yang cukup tebal mampu mengguyur aku dan Meisya, membuat suasanya semakin terasa beku.

"Mau ngomong apa Sya?" ucapku memecah keheningan. Aku menoleh ke arah Meisya namun Mrisya masih saja mematung menatap lulus kearah depan.

"Fi! Sejak awal gue kenal sama lo, gue sudah suka sam lo. Dari cara lo bersikap, berbica dan semua yang ada didiri lo gue suka. Pribadi lo sederhana, tapi sangat istimewah, Jaman sekarang cowok seperti lo itu sangat susah dan gue menemukanya disini, disekolah ini. Gue bagaikan menemukan sebutir berlian di antara butiran-butiran pasih yang sangat susah dilihat oleh mata. Fi.. Gue sayang sama lo dan gue cinta sama lo, Fi lo mau kan jadi pacar gue?" ucap Meisya mantap. Ia masih menatapku saat ini. Aku sangat bingung mau menjawab apa ke Meisya, kalo aku menolaknya pasti dia akan kecewa. Aku menarik nafas panjang dan mendongak keatas, berharap butiran embun pagi ini dapat menyejukan kembali dadaku yang terasa sesak secara tiba-tiba.

"Maaf sya, aku.. Aku gak bisa nerima kamu, lagi pula di dalam ajaran Agamaku pacaran sangat tidak di anjurkan apalagi diwajibkan, jadi sekali lagi maaf ya Sya?"

"Kenapa seperti itu Fi? Jadi bagai mana peraturan Agamamu jika aku mencintaimu dan ingin memilikimu? apa kita harus menikah?"

"Maaf Sya, aku belum kepikiran sampai sejauh itu, lagi pula setelah tamat sekolah ini Abi menyuruhku kuliah di Kairo, aku juga tak mau membuat Abi kecewa"

"Kuliah di Kairo Fi?" ulang Meisya tak percaya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku hanya mengangguk pelan. "Jadi kita akan berpisah dengan waktu yang cukup lama Fi?" tambahnya.

"Ya sepertinya begitu Sya, aku juga tak bisa menolak perintah Abi. Carilah lelaki lain yang bisa selalu ada di sampingmu dan selalu ada jika kau butuhkan, karna aku sangat tak pantas untukmu!" tangisan Meisya semakin menjadi setelah mendengar penjelasanku, aku semakin tak kuasa melihatnya menangis apalagi ini semua gara-gara aku.

"Fi, asal lo tau gue sudah sangat bahagia kenal dan dekat sama lo, makanya gue pengen cuma lo yang mengisi indahnya hari-hari gue, bukan orang lain. Lo gak perlu bingung Fi, gue akan tunggu lo sampe lo selesai kuliah di Kairo dan pulang kembali ke Indonesia" ucap Meisya dan ia langsung pergi berlari meninggalkanku.

"Tapi Sya aku.." ucapanku terhenti. Sepertinya Meisya tak mau lagi mendengar alasanku menolaknya, ia berlari meninggalkanku. Ya Allah kenapa jadi seperti ini? Aku sungguh tak mencintainya, aku juga tak mau membuat hidup Meisya menderita karna kelainanku. Apa yang harus aku lakukan?

Kau tak tau apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku Sya, dan aku yakin kalo sampe kau tau yang sebenarnya tentang diriku, kau pasti akan sangat membenciku.

***

Satu bulan kemudian

Tuk.. Tuk.. Tuk..

"Fi.. " suara mbak Meli manggilku dari luar kamar.

"Ya mbak ada apa?" tanyaku sambil membukakan pintu kamarku.

"Di tunggu Abi di ruang tengah sekarang Fi!" jawabnya parau. Kenapa sepertinya mbak Meli terlihat sangat sedih? Aku mengekor di belakang mbak Meli yang menuju ruang tengah itu.

Sebenarnya ini ada apa? Kenapa semua orang di ruangan ini terlihat begitu sedih? Bukanya mereka bangga karna aku sudah sebaik mungkin nengerjakan tugas sekolahku sesui permintaan Abi, aku sudah lulus bahkan aku mendapat nilai yang sangat baik.

Abi duduk di kepala kursi dengan kepala tertunduk. Aku masih sangat bingung dengan keadaan ini, mbak Meli segera duduk di kursi panjang dan disebelah kiri Abi, sedangkan ka Raffa disebelah kanan Abi. Perlahan aku pun ikut duduk disebelah mbak Meli tepat di depan Ibu.

Suasana diruangan ini masih sangat hening dan membeku, tak ada seorangpun yang mengeluarkan suara. Biasanya kalo Abi mengumpulkan semua anggota keluarganya bakalan ada sidang keluarga, tapi masalah apa? Kalo masalah sekolahku itu sangat tidak mungkin.

Astaga!! Apa mereka sudah mengetahui kalau aku adalah seorang gay, sehingga mereka semua bersedih seperti ini? Kalo memang benar aku harap ini hanya mimpi buruk bagiku. Tuhan... Bangunkan aku dari tidur ini!

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar