Rabu, 27 Januari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 04
--------------------
By. Aby Anggara
==================

*-*-*

"Ini uang 10 juta hasil kerja lo" ujar Andre yang hanya memberikan separuhnya. Andre menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat yang lumayan tebal. Alfin mentap amplop itu, kemudian tatapannya berpindah pada wajah Andre. "Ambil, lah!" lanjut Andre. Alfin masih enggan menyambut uang yang dari tadi di ulurkan oleh Andre, hingga dengan paksa Andre yang meraih tangan kanan Alfin dan menaruhnya. "Dan ini hadiah tambahan dari gue" Andre kembali menaruh sebuah kotak di tangan Alfin. Alfin hanya diam tanpa sepatah kata, ia sangat ingin marah pada Andre yang menghancurkan hidup dan masa depannya, tapi di sisi lain ia tak bisa bermunafik jika sebenarnya ia juga sangat membutuhkan uang itu.

"Besok gue hubungi lo" ujar Andre menepuk bahu Alfin pelan lalu meningalkannya. Alfin masih berdiri didepan gedung itu, tatapanya kosong dan tampak seperti orang yang sedang bingung. Entah sudah berapa lama ia berdiri mematung disana, setelah sadar dari lamunannya, ia segera meninggalkan tempat itu.

Alfin terus berjalan, ia masih merasakan sakit di bagian tempat pembuangannya akibat perlakuan Om Irwan. Sesekali wajahnya meringis menahan rasa perih yang sampai saat ini belum juga hilang. Ia segera duduk dan membuka sebuah kota yang di beri oleh Andre tadi, dan saat membukanya, ia mendapati sebuah smart phone yang ukuran layarnya 5 inc dengan desain yang sangat menarik. Alfin lalu menaruh smart phone itu di saku celananya dan membuang kotaknya. Ia kembali berjalan menghadang sebuah taxi yang akan mengantarkan pulang kerumahnya.

Alfin melambailkan tangannya pada sebuah mobil taxi yang bewarna putih, lalu mobil itu pun berhenti.

"Alfin..?" panggil seseorang tiba-tiba. Alfin segera menoleh pada seseorang yang memanggil namanya, dan ia tersenyum saat melihat Alfan yang kini datang menemuinya.

"Maaf Pak gak jadi" ujar Alfin pada sopir taksi itu.

"Yasudah tidak apa-apa" mobil itu kemudian berlalu meninggalkan Alfin yang kini masih berdiri di pinggir jalan. Alfan dengan segera menghampiri Alfin.

"Ka Alfan kok tau kalo Alfin ada di sini?" tanya Alfin heran.

"Sebenernya dari jam istirahat aku cari kamu Fin, tapi gak ada. Di kelas juga gak ada dan aku kerumahmu juga kata Nenek kamu belum pulang jadi aku terus muter-muter cari kamu. Kenapa kamu bolos sekolah Fin? Mana sampai malam gini belum pulang" jawab Alfan panjang lebar.

"Ceriyanya panjang Kak, nanti saja ya ceritanya?"

"Yasudah, kamu pasti belum makan ya? Temenin Ka Al makan ya?"

"Tapi aku ingin pulang sekarang Kak, kasian Ibu dan Nenek pasti nyariin Alfin"

"Oke, kita langsung pulang kalo gitu" Alfin mengangguk. "Pake swaiter ini Fin, nanti kamu sakit kalo kedinginan" ujar Alfan perhatian. Ia melepas swaiternya lalu memberikan pada Alfin. Dengan ragu Alfin menerimanya lalu memakainya.

"Aw..." teriak Alfin saat ia melangkahkan kaki ke atas jok sepeda motor Alfan. Ia pun kembali menurunkan kakinya.

"Kamu kenapa Fin?" tanya Alfan yang sedikit panik. Wajah Alfin terlihat meringis menahan rasa sakit di bagian pembuangannya.

"Aku gak papa kok Kak" jawabnya yang pura-pura baik-baik saja. Alfin kembali melangkahkan kakinya perlahan, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Alfin berusaha tak mengeluarkan suaranya karna ia tak mau jika Alfan sampai tau yang sebenarnya terjadi pada dirinya. "Yuk Kak!" lanjutnya.

Alfan lalu melajukan kendaraanya dan menuju rumah Alfin. Selama dalam perjalanan, hati Alfan terasa sangat senang karna mendapati Alfin baik-baik saja, padahal sejak tadi siang ia sangat panik karna tak mendapatkan kabar dari Alfin.

Kini mereka telah sampai dirumah Alfin, suasananya terlihat sangat sepi dan tak ada suara dari dalam sana.

"Ka Al masuk dulu yuk?" ujar Alfin penuh harap.

Alfan melihat jam di tangannya. "Lain kali saja ya Fin, udah melem"

"Sesekali mampir dong di pondoknya Alfin" rintihnya.

"Iya, nanti kalo ada waktu luang pasti mampir kok. Oya nih Ka Al punya sesuatu buat kamu" Alfan mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas kecil yang ia pakai sejak tadi.

"Hp..?" ujar Alfin kaget karna tak menyangka Alfan akan memberi sebuah ponsel padanya.

"Ambillah!" Alfan mengulurkan kotak yang memang tak terbungkus oleh kertas apapun.

"Tapi kenapa Kakak ngasih aku barang semahal ini? Ini pasti mahal kan?"

"Ka Al gak mau kehilangan kabar lagi seperti tadi siang, jadi dengan hp ini Kakak selalu tau kabar kamu, Fin"

"Tapi bener ya ini gak ngerepotin?" ucap Alfin meyakinkan.

"Iya, percaya deh sama Kakak!"

Alfin tersenyum dan perlahan ia menerima kotak itu. Alfin memandanginya, didalam hatinya merasa sangat bahagia.

"Yasudah kalo gitu Ka Al pulang dulu ya?"

"Hati-hati di jalan, ya Kak!" dengan cepat Alfan memutari halaman rumah Alfin dan meninggalkannya.

"Nek? Nenek...?" seru Alfin dengan suara agak keras. Namun sepertinya ia belum mendengar jawaban dari Neneknya."Nek.....?"

"Iya, iya... Tunggu!" Alfin tersenyum saat ia mendapat jawaban dari dalam rumahnya.

"Ya ampun Alfin.. Dari mana saja? Ibumu dari tadi siang mencemaskanmu"

"Maaf Nek, Alfin pulang telat gak bilang-bilang" jawabnya sambil menyalami tangan Neneknya.

"Yasudah ayo masu!"

Dengan semangat Alfin segera menuju kamar Ibunya, saat tiba di pintu kamar Ibunya, ia diam tertegun terlihat sangat menderita dengan keadaan Ibunya yang masih kesakitan memegangi perutnya. Dengan cepat Ia menghampiri Ibunya dan duduk di sampingnya.

"Perut Ibu masih sakit?" ujar Alfin khawatir. Ibunya mengangguk dengan mata yang masih terpejam karna menahan rasa sakit. "Kita ke rumah sakit saja ya, Buk? Tunggu sebentar!" Alfin lalu berlari keluar rumah dan dengan rasa panik ia di pinggir jalan menunggu sebuah taxi. Tak berapa lama ia mendapatkannya dan ia kembali kerumahnya.

"Nek ayo bawa Ibu kerumah sakit sekarang" ujarnya panik.

"Tapi kan kita gak punya uang, Fin"

"Sudah masalah uang biar Alfin yang urus Nek"

Alfin dan Neneknya segera memapah Ibunya menuju taxi dan segera menuju ke rumah sakit.

"Pak agak cepat sedikit ya Pak, kasian Ibu saya!"

"I.. Iya sabar ya Dek, ini baru lampu hijau jadi masih antri kendaraan yang baru saja mulai berjalan" Alfin sudah merasa tidak sabar, sesekali ia menengokan kepalanya kedepan melihat padatnya kendaraan yang baru saja mulai berjalan. Tak lama daru itu akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang lumayan besar. Para petugas di rumah sakit itu segera membantu membawa Ibunya Alfin keruang UGD. Sekarang Alfin dan Neneknya menunggu di depan ruangan itu, dengan Alfin yang sibuk mondar-mandir di depan pintu dimana Ibunya tangani.

"Ya Tuhan... Semoga Ibu akan baik-baik saja" ucapnya pelan. Terasa ponselnya bergetar di saku celana Alfin dan dengan cepat ia merogohnya. Terlihat nama 'Andre' di layar ponsel itu, Alfin berfikir sebentar lalu berjalan menjauh dari Neneknya dan segera mengangkatnya.

"Ya Ndre ada apa?" ujarnya tanpa basa-basi.

"Oh oh... Santai Fin, jangan dingin kek gitu juga kali"

"Aku gak ada waktu Ndre kalo kamu cuma mau main-main, aku masih ada urusan yang lebih penting!!!" ucapan Alfin terdengar sangat tak bersahabat, ia masih sedikit kesal dengan sikap Andre yang menjualnya ke Om-om.

"Santi Fin...! Gue ada kabar bagus buat lo"

"Apa?"

"Lo tau gak, setelah gue pulang tadi, buaaayakkkk banget yan nelpon gue dan nanyain tentang lo, dan banyak yang mau bayar lo dengan harga tinggi"

"Kamu gila ya Ndre? Kamu gak tau kan bagai mana rasa sakit yang ku alami? Sampai sekarang saja masih belum hilang, trus kamu mau jual aku lagi? Maaf aku gak bisa Ndre"

Alfin segera matikan ponselnya secara sepihak dan kembali mendekati pintu yang masih saja tertutup, ia terlihat sangat gelisah dan tak bisa menenangkan dirinya. Saat pintu terlihat terbukan dan salah seorang Dokter keluar dari ruangan itu, dengan cepat Alfin menghampirinya dan di ikuti oleh Neneknya yang ikut bangkit dari tempat duduknya.

"Gimana Ibu saya Dok?" tanya Alfin tak sabar. Raut wajahnya sangat terlihat penuh harap agar Ibunya baik-baik saja.

"Begini, Ibu Anda mengalami usus buntu dan jalan satu-satunya harus segera di operasi, karna kalau tidak, usunya bisah pecah dan berakibat dangat fatal"

"Operasi Dok?" ulangnya tak percaya. Dokter mengangguk pelan dan pandangan Alfin terlihat putus asa menatap kearah Neneknya. "Lakukan saja yang terbaik Dok buat Ibu saya!"

"Baiklah, kalo begitu silahkan selesaikan administrasinya dulu, Permisi" Dokter itu lalu meninggalkan Alfin dan Neneknya, Alfin masih berdiri terpaku tak percaya dengan apa yang terjadi pada Ibunya. Dengan perlahan ia duduk terlihat putus asa.

"Sesusah inikah menjalani hidup? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasi Ibuk? Untuk operasi pasti biayanya mahal. Uang yang sekarang mana cukup buat bayar biaya operasi Ibuk" ujarnya dalam hati. Wajah Alfin terlihat sangat bingung dan pandanganya kosong. "Andre! Ya, sepertinya cuma dia yang bisa bantu aku"

Alfin terlihat kembali bersemangat, lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana Fin?" ujar Neneknya.

"Tunggu bentar ya Nek, Alfin mau ke toilet dulu"

Alfin lalu pergi menjauh dari Neneknya, meraih ponse dan melakukan panggilan pada nomor yang bertuliskan nama Andre yang sudah di simpan oleh Andre sendiri. Terdengar nada tunggu yang sangat khas, dengan rasa tak sabar Alfin berharap Andre segera menjawab panggilannya.

"Ya halo..."

"Ndre...?"

"Ada apa, Fin?"

Hening... Alfin terdiam tak melanjutkan perkataanya.

Andre menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat layar ponselnya yang ternyata masih terhubung pada Alfin. "Halo??? Fin? Kok diem, ada apa?"

"Aku... Aku lagi butuh uang banyak Ndre, aku terima tawaranmu tadi"

"Gue udah duga, lo pasti bakal hubungi gue lagi. Oke besok gue jemput lo dan kirim saja alamat rumah lo di mana!"

"Baik, Ndre" timpal Alfin. Panggilan terputus, tatapan Alfin terlihat kosong. dengan sangat perlahan ia menjaukan ponsel dari telinganya. "Maafin Alfin Buk, Alfin lakuin semua ini buat Ibuk"

*-*-*

.

                                 = = =

.

Di pagi yang masih terlihat gelap, Alfin baru saja sampai dirumahnya setelah semalaman menunggu Ibunya dirumah sakit. Wajahnya terlihat sangat lelah karena kurang istirahat. Ia berjalan pelan munuju teras rumahnya dan menghampiri kursi yang ada di dekat pintu rumahnya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya sejenak berharap dapat mengusir rasa kantuk dan lelah yang saat ini ia rasakan.

Alfin menghembuskan nafas dengan kasar, tangannya mengambil dua buah ponsel dari saku celananya. Ia memegang ponsel itu di masing-masing tangannya. Terlihat smart phone yang diberi oleh Andre berukuran lebih besar dan elegan. Alfin kembali memandangi secara bergantian dan ia tersenyum saat melihat smart phone bewarna hitam yang ada di tangan kanannya. Smart phone itu adalah pemberian dari Alfan, walau dilihat dari fisik tak semenarik pemberian Andre, tapi Alfin terlihat lebih menyukai pemberian dari Alfan.

"Kok Ka Alfan baik banget ya, sampe mau beli in aku hp segala?" tanya Alfin pada dirinya sendiri, namun walau ia tak mendapat jawaban, tapi ia merasa senang karna masih ada orang yang perhatian pada dirinya.

Smart phone yang berada di tangan kanan Alfin tiba-tiba bergetar, membuat Alfin kaget dan tersadar dari lamunannya. Tertera nama Alfan di layar ponselnya dan dengan semangat Alfin menjawab panggilan masuknya.

"Pagi Ka, Al..?"

"Pagi Fin"

"Ka Al bikin aku kaget loh, oya ada apa Kak pagi-pagi gini nelpon?"

"Gak papa cuma mau mastiian aja kok, em... Tar jam setengah tuju Ka Al jemput kamu ya?"

"Gak ngerepotin ni Kak?"

"Udah tenang saja, oya tar malem jalan yuk Fin?"

Alfin terlihat berfikir sebentar. "Em... Keknya gak bisa deh Kak"

"Oh.. yaudah gak papa, Kakak mau mandi dulu ya, kamu juga pasti belum mandi kan?"

"Ih Ka, Al tau banget kalo aku belum mandi"

"Tau lah kan baunya sampe sini"

"Is Ka, Al masa iya sampe sana?"

"Engga-nggak, becanda kok, yaudah kalo gitu sampe nanti ya Fin"

Alfin tersenyum saat Alfan baru saja menutup panggilannya, untuk saat ini ia bisa melupakan dari masalah yang sedang melanda Ibu dan dirinya. Ia kemudian masuk kedalam rumahnya dan bersiap-siap untuk mandi.

Suasana pagi di rumah Alfan terlihat sangat sepi seperti tak berpenghuni, biasanya Mamanya selalu teriak menyuruh anak-anaknya sarapan, tapi berbeda dengan pagi ini, yang sepertinya sengaja tak ada yang di bangunkan keduanya. Alfan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya segera turun kebawah untuk mengisi perutnya.

"Pagi Ma, Pa" sapa Alfan ramah.

"Pagi juga sayang" Alfan duduk dikursi yang berada di depan Mamanya.

"Loh Adikmu mana Fan, kok gak ikut sarapan?" tanya Mamanya perhatian.

"Ya mana aku tau lah Ma, masih tidur kali" jawab Alfan dengan malas, ia kemudian meraih susu yang sudah berada di depannya.

"Coba liat Fan, ajakin sarapan gih" perintah Mamanya. Nampaknya Melinda ingin Membuat mereka terlihat akrab hingga sengaja membuat keduanya berkomunikasi langsung.

"Tapi, Ma-"

"Fan....!!!" tegur Mamanya lembut. Sepertinya Alfan sedang tak ingin berdebat dangan Mamanya hingga ia memilih mengalah. Dengan malas ia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar atas. Saat berada di depan pintu kamar Reza, Alfan mengetuk pintu itu, dan tak lama Reza keluar dengan tangan yang memegangi dasi yang belum terpasang dengan benar.

"Di tunggu di ruang makan!" ujar Alfan acuh yang lalu membalikan tubuhnya dan meninggalkan Reza.

"Kak...?" Alfan yang sudah berada di anak tangga pertama kembali membalikan tubuhnya dan menoleh Reza yang memanggilnya.
"Ada apa lagi?"

"Bantuin pasang dasi dong Kak, tumben dasinya susah amat dipasang" pinta Reza dengan wajah memelas, tatapannya terlihat sayu. Alfan pun menatap Reza dengan tajam.

"Itu bukan urusan ku, lagian jadi anak manja amat sih" dengan tanpa mempedulikan Reza, Alfan menuruni anak tangga dengan setengah berlari, tak lama ia sampai di ruangan makan kemudian memakai tasnya yang biasa ia taruh di kursi tempat duduknya.

"Loh, gak jadi sarapan Fan?" tanya Papanya.

"Gak Pa, aku sarapan di sekolah saja"

"Loh kenapa Fin?" sambung Mamanya. "Trus Reza mana?"

"Bentar lagi juga dia turun kok, yaudah aku berangkat dulu ya Ma, Pa" tanpa mau mendengar ucapan Mama dan Papanya, Alfan langsung saja meninggalkan ruangan itu dan keluar rumah.

*-*-*

Arlan baru saja tiba dirumah Reza, ia segera turun dari mobil hitamnya. Wajahnya sedikit membungkuk saat wajahnya berkaca di spion mobilnya memastikan penampilanya sudah benar-benar terlihat oke.

Dengan penuh semangat ia berjalan menuju pintu rumah Reza yang masih tertutup rapat. Saat ia sampai di depan pintu itu, seketika pintu rumah itu terbuka dan terlihat Alfan yang baru saja keluar dari dalam rumahnya.

"Mau kemana Fan, rapi amat?" tanya Arlan ingin tau.

"Biasalah, kayak yang baru kenal aja kamu Ar, aku duluan ya?"

"Eh tunggu Fan"

"Ada apa?" ujar Alfan yang membalikan tubuhnya.

"Ada yang mau aku bicarakan, santai aja napa, duduk dulu!"

Alfan kemudian berjalan dan menduduki kursi yang berada di teras rumahnya, kemudian Arlan duduk di sebelah kanannya.

"Mau ngomong apa, Ar?" tanya Alfan menoleh pada Arlan.

"Em... Begini Fan, bukannya aku mau ikut campur, tapi aku cuma mau tau kenapa kamu begitu dingiannya sama Reza? Memangnya dia punya salah apa sama kamu Fan? Jujur sih, aku kasihan liat Reza yang selalu sedih. Dia Adik kamu Fan, dan dia butuh kamu, butuh nasehat dan arahan dari Kakaknya"

"Sudahlah Ar gak usah dipermasalahkan, kalo cuma mau ngomongin masalah ini aku gapunya waktu, aku ada urusan" Alfan kemudian berdiri dari tempat duduknya dan meninggalkan Arlan yang masih duduk di kursi itu, sepertinya Alfan memang tak mau membahasnya jika sudah berhubungan dengan Reza.

"Fan tunggu, Fan!"

Alfan sepertinya sudah tak mendengar suara Arlan karna suara sepeda motornya yang terdengar sudah menyala, tak lama Alfan meninggalkan halaman rumahnya.

Malam ini Alfan mengendarai sepeda motornya menuju rumah Alfin. Wajahnya tersenyum bahagia dan tak sabar ingin segera sampai di rumah Alfin.
Walau pagi tadi Alfin menolak ajakan Alfan, tapi malam ini Alfan tetap ingin bersama dengan Alfin walau mereka hanya akan bersama dirumahnya saja. Alfan berhenti menghampiri pedagang yang menjual nasi goreng dan ia membeli 4 bungkus nasi goreng untuk ia makan bersama di rumah Alfin nanti. Setelah pesananya selesai, ia segera membayarnya dan segera melanjutkan kembali perjalanannya. Tak lamapun ia sudah sampai di depan rumah Alfin. Ia memarkirkan sepeda motornya lalu tersenyum sambil memandangi pintu rumah yang masih tertutup dengan rapat. Alfan kemudian berjalan menuju rumah Alfin dan mengetuknya, namun ia tampak kecewa karna tak mendapati seseorang dirumah itu. Alfan melirik jam di tangan kirinya, dan akhirnya ia memutuskan untuk duduk di kursi teras sembari menunggu pemilik rumah itu pulang.

Alfan tampak semakin gelisah saat sudah dua jam ia menunggu tetapi belum ada tanda-tanda sang pemilik rumah itu datang, namun tak lama ada sinar lampu yang sangat terang yang semakin lama semakin mendekat kearahnya. Sinar itu adalah lampu mobil mewah yang berhenti tepat didepan rumah Alfin. Tak lama pintu mobil itupun terbuka dan sosok seorang laki-laki terlihat sangat kaget saat melihat Alfan sudah berada di teras rumah itu.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar