Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 13
-----------------
By. Aby Anggara
============================

***

-Raffi POV-

Aku sudah tak sabar menunggu besok malam, sebenarnya apa ya yang ingin di bicarakan dengan Meisya? Ah walau berusaha berandai sekalipun, aku tetap saja tak mungkin mengetahuinya. Tapi yang jelas aku bahagia karna Meisya sudah tak marah lagi denganku.

"Kenapa kamu belum tidur Bi?" tanyaku sambil menoleh Robi. Kulihat Robi masih berbaring terlentang di ranjangnya dan menjadikan kedua telapak tanganya menjadikan bantal di kepalanya. Ia menoleh ku lalu pandanganya kembali menatap langit-langit kamarnya.

"Aku belum ngantuk kak" singkatnya. Suasana di kamar ini sangat hening, karna aku dan Robi masih terdiam sejenak.

"Kamu masih mikirin Aris ya Bi?"

"Kak tolong jangan bahas dia, aku malas kak. Lagi pula ka Raffi juga tak menyukai hubungan kami kan?" Jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Sepertinya Robi benar-benar tak suka jika aku ikut campur masalah pribadinya.

Aku tak melanjutkan obrolanku dengan Robi, karna aku juga sedang tak ingin ribut denganya. Kuharap besok hubunganku dengan Robi sudah membaik, karna aku tak ingin dengan masalah ini ia malah menjauh dariku. Aku mematikan ponselku, kemudia memejamkan mataku dan tertidur.

***

Pagipun tiba kulihat Robi masih tertidur disebelahku. Robi hampir sama persis dengan ka Raffa karna orangnya selalu ingin di bangunkan setiap pagi. Kulihat wajahnya begitu damai saat ia terlelap tidur. Sayang sekali, anak seperti dia harus mengalami nasip yang sama sepertiku, yang suka dengan sesamanya. Padahal dari postur tubuh Robi sama sepertiku. Jika belum mengenal dekat dan terbuka, orang-orang diluaran sana tak akan ada yang mengira dan mengetahui kalau sebenarnya dia seorang gay. Karna tak ada yang menggambarkan sedikitpun dari tubuhnya.

"Bi bangun Bi, sudah pagi!" ucapku mengguncang bahunya. Dengan cepat ia membuka sedikit matanya dan melirik kearahku.

"Jam berapa kak?" tanyanya dengan mata sedikit terbuka.

"Udah jam 04 lebih 50 menit Bi"

"Bentar lagi deh kak" ia segera memejamkan matanya kembali. Aku yang tak mau mengganggu tidurnya lalu meninggalkanya menuju kamar mandi mengambil air wudhu.

Pagi ini begitu dingin, sampai-sampai aku tak ada keberania untuk mandi, dan memaksaku harus memakai baju tebal. Aku kembali teringat dengan ka Raffa, apa kabar dirinya di sana? Apa dia baik-baik saja? Aku sangat merindukanya. Kalo boleh jujur aku sangat benci dengan diriku yang mencintai saudara kembarku sendiri, tapi sampai saat ini aku belum bisa menghilangkan rasa tak wajar itu. Apa aku harus hilang ingatan supaya aku bisa menghilangkan rasa itu? Tapi sepertinya sangatlah sia-sia. Sekalipun aku hilang ingatan pasti aku akan tetap mencintai seseorang lainya yang aku kagumi, karna naluriku hanya selalu ingin mencintai kaum adam.

Hoam... Mulutku masih menguap saat aku membuka pintu depan rumah Om Indra. Suasana diluar masih sedikit gelap. Aku berjalan keluar rumah menghirup udara segar di pagi hari ini. Terasa sangat sejuk karna butiran halus embun pagi ikut menemaniku di pagi ini. Kulihat di teras rumah Om Indra ada sebuah mobil baru. Aku segera mendekati dan memperhatikanya baik-baik. Apa Om Indra membeli mobil baru ya? Toyota Avanza berwarna silver. Aku sangat penasaran, kenapa Om Indra tak pernah bercerita sebelumnya.

Aku kembali masuk kedalam rumah karna suasana di luar terasa sangat dingin. Aku kembali kekamar memastikan Robi sudah bangun. Dan ternyata benar, dia sudah tidak ada di kamarnya, pasti dia sedang mandi di belakang. Aku kembali mebaringkan tubuhku di ranjang dan memainkan ponselku. Tak selang lama Robi masuk dengan tubuh terbalut handuk. Tubuhnya terlihat menggigil karna kedinginan. Ia segera memakai seragam sekolahnya dan tak lama ia sudah siap.

Ia duduk di kursi belajarnya sambil memainkan ponselnya. Sepertinya ia sedang tak ingin bicara dengan ku hingga tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Hal ini sungguh tak seperti biasanya, padahal waktu dulu aku dan Robi sangat dekat, bahkan bercanda dan tawa bersama. Namun sejak kejadian malam itu ia sedikit berubah, mungkin ia masih marah denganku hingga lebih memilih diam.

"Raffi, Robi ayo sarapan sama-sama, sudah di tunggu sama tante Irma tuh di meja makan" ucap Om Indra mengahampiri kami di kamar. Aku dan Robi segera beranjak dan menuju dapur.

"Ayo bruan duduk sini sarapan sama-sama" seru tante Irma. Aku segera duduk di kursi sebelah Robi.

"Ya Tante makasih. Oya, Om Indra beli mobil baru ya? Kok di depan ada mobil?" tanyaku penasaran. Robipun ikut kaget mendengarnya karna dia juga belum mengetahuinya.

"Iya Fi, tapi Om ambil angsuran kok, ya... Buat kita liburan keluarga kan biar gak harus sewa lagi"

"Oh..." kataku sambil manggut-manggut.

"Wah Om Indra keren beli mobil baru"

"Iya Bi, semoga saja rizki kita kedepanya semakin lancar ya?"

"Amin..."

***

-Robi POV-

Suara klakson panjang terdengar sangat nyaring. Aku yakin itu pasti suara klakson sepeda motor Aris. Aku segerah meraih tas yang ada di kursi dan segera keluar rumah. Pagi ini Aris menjemputku tepat waktu. Terukir senyuman indah di wajahnya saat aku baru saja keluar dari pintu depan rumah. Aku pun membalas senyumanya, namun senyumanku perlahan memudar saat aku melihat ka Raffi yang ternyata memperhatikanku. Aku berjalan pelan menghampiri Aris dan segera naik dan duduk di belakangnya.

Pagi ini kami sangat bahagia, bercanda dan tawa bersama dengan mengendarai sepeda motor yang sangat santai. Namun tak terasa waktu seperti begitu cepat, karna kami sudah sampai di depan gerbang sekolah. Kami langsung menuju parkiran dan aku segera turun dari motornya Aris. Kami kekelas berjalan bersama dan bergandenggan tangan.

Pagi ini menjadi hari yang sulit bagiku, karna aku ingin memutuskan Ayu pacarku yang sudah hampir satu tahun kami berpacaran. Aku saja masih bingung tak tau dari mana aku harus memulai kata-kata saat berkata padanya nanti. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba aku mau memutuskanya. Apa aku jahat? Entahlah, tapi yang jelas saat ini aku lebih memilih Aris menjadi pacarku walau hubungan kami baru beberapa bulan.

Aku melepas gandengan tangan kami saat aku tiba di kursiku, dan Arispun kebangkunya yang ada selang beberapa di belakangku. Aku duduk mematung sebentar berkonsentrasi masih memikirkan hal itu. Aku memutuskan keluar kelas sendirian berniat ingin ke toilet. Aku berjalan dengan penuh keputus asaan. Tubuhku terasa lemah seperti tak bertulang. Ada rasa tak tega menghampiriku, namun untuk mempertahankan Aris perasaanku lebih kuat. Batinku selalu perang, walau sebenarnya aku sudah tau pemenangnya adalah Aris.

Jam istirahat sekolah pun tiba.

Aku mengajak Ayu makan siang berdua di kantin, senyuman indah selalu menghiasi wajahnya. Seperti biasa ia terlihat begitu ceria menceritakan apa yang telah ia lewati saat tidak bersamaku. Aku semakin tak sanggup untuk merusak senyuman indah yang saat ini masih terukir indah di wajahnya.

"Bi kamu kenapa kok mukanya seperti itu? Seperti orang yang sedang dalalm masalah" tanya Ayu sambil memperhatikan wajahku. Perlahan Ia masi mengunya makanan yang sudah ada di dalam mulutnya.

"Em.. Aku gak papa kok Yu"

"Kalo kamu gak papa, kenapa seperti orang bingung gitu Bi?" tanyanya lagi masih sambil menatapku. Nampaknya Ayu terlalu memperhatikan raut wajahku, hingga dia tau apa yang sebenarnya sedang ku fikirkan. Mungkin lebih baik aku bicara sekarang denganya, lagi pula aku tak mau menyia-nyiakan waktuku.

"Yuk sebenarnya ada hal yang sangat penting yang ingin aku bicarakan sama kamu"

"Mau bicara apa Bi?" tanyanya dengan serius. Ia memberhentikan aktivitas makanya dengan manaruh kedua sendoknya lalu menatapku dengan tatapan serius.

"Aku ingin kita putus Yu" ucapku dengan penuh hati-hati.

"Putus Bi?" ulangnya dengan mata yang seketika memerah. "Memengnya aku salah apa?"

"Kamu gak salah Yu, tapi aku rasa kita gak akan bisa melanjutkan hubungan ini lagi"

"Kita? Bukan kita Bi, tapi kamu yang gak bisa" ucapnya dengan tangisan tertahan. Seketika aku dan Ayu menjadi pusat perhatian dari banyak pasang mata yang mendengar obrolan kami.

"Tapi Yu, aku-"

"Tega ya Bi kamu bilang seperti ini, padahal diantara kita baik-baik saja dan tidak ada masalah sedikitpun. Aku benci sama kamu Bi!" Ayu lalu bangkit dari duduknya dan berlari meninggalkanku. Aku hanya diam tak mengejarnya, karna aku juga tak tau harus menjelaskan apalagi. Saat ini aku merasa orang yang paling jahat didunia, karna telah melukai hati seseorang yang tak mempunyai kesalahan sedikitpun padaku. Bahkan ia terlalu baik untuku.

***

-Raffa POV-

Aku masih mengurung diri didalam kamar dan masih belum bisa percaya dengan kenyataan yang begitu sulit kuterima. Aku sangat menyesal telah mencintai seorang wanita yang sangat rendah seperti Ferra. Apa ini karma untuku karna diwaktu dulu aku sering menyakiti hati seorang perempuan, karna aku seorang playboy? Tapi kalo iya, rasanya sangat tak adil bagiku. Karna saat ini pilihan terakhirku adalah Ferra dan aku mencintai dengan sepenuh hatiku. Tapi apa balasanya, dengan teganya ia melakukan hal serendah itu dengan laki-laki lain. Aku tak mungkin menyalahkan Andre, karna yang meminta hal itu adalah Ferra sendiri karna aku yang tak melayaninya setiap Ferra memintanya padaku.

Arrggghhh keterlaluan!!! Hatiku terasa begitu sakit dan tak mampu aku gambarkan seperti apa. Mungkin karna sangat terlalu hingga tak ada kata ibarat untuk menggambarkanya.

Tok tok tok! "Assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikum salam, silahkan masuk mbak!" ucapku datar. Seketika daun pintu kamarku terbuka dan mbak Meli menutupnya kembali. Perlahan ia berjalan menghampiriku dan duduk di ranjang tepat di sebelahku.

"Sebenarnya ada apa toh Fa, kok dari kemaren kamu ndak keluar kamar? Kalau lagi ada masalah, ya mbok cerita sama mbak!"

Seketika mataku memerah dan air matakupun mengelir. Mbak Meli segera meraih kepalaku dan membenamkan di bahunya.

"Ayo dong Fa cerita sama mbak, sebenarnya apa yang membuatmu semurung ini?" tanya mbak Meli sambil mengusap punggungku. Aku semakin terasa rapuh saat ini. Bahu mbak Meli cukup menopangku hingga tak terjatuh saat ini. Aku sangat bingung, kalau aku ceritakan dengan mbak Meli, aku takut masalahnya akan semakin menjadi. Karna aku tau mbak Meli adalah sosok wanita yang tegas, jadi ia tak segan-segan mengambil tindakan jika yang ia lakukan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

"Maaf mbak untuk sementara waktu aku gak bisa cerita sama mbak Meli, nanti kalo aku sudah gak kuat menahanya sendiri, aku baru akan menceritakan sama mbak" mbak Meli segera melepaskan pelukanya, lalu menyapu air mataku dengan kedua ibu jarinya.

"Kamu yakin Fa ndak mau cerita sama mbak?" tanya mbak Meli sambil memegang kedua bahuku. Aku hanya mengangguk. Mbak meli menepuk lembut bahuku lalu ia pergi meninggalkanku.

Ponselku berdering panggilan masuk, dan ternyata Ferra masih saja selalu menghubungiku. Padahal aku sudah sering mengingatkanya agar tak menghubungiku lagi, namun Ferra masih saja selalu menghubungiku. Aku mencoba mengangkatnya dan ingin tau ada hal apa lagi yang ingin ia katakan padaku.

"Ada apa lagi sih Fer? Tanyaku mengawali pembicaraan. Terdengar suara isak tangisan disana, namun apa peduliku, lagi pula ini semua bukan salahku.

"Aku ingin bertemu denganmu Fa"

"Mau ngapain lagi sih Fer, kamu tau kan hubungan kita sudah berakhir?"

"Kamu lupa ya Fa kalo semua orang tau kalau kita pacaran sudah bertahun-tahun? jadi kalau sampai kamu tidak ingin menikah denganku dan kandungan ku semakin membesar, semua orang akan mengira kamu yang telah melakukanya dan kamu tidak bertanggung jawab. Kamu mau nama baik keluarga kamu tercoreng di mata umum Fa?"

"Kamu ngancam aku Fer?"

"Aku gak ngancam kamu Fa, aku hanya memperingatkan kamu!" aku yang emosi mendengarkan ucapanya langsung mematikan telponku dan melemparkanya di ranjangku.

Arrgghht berani-beraninya Ferra mengancamku seperti itu. Aku semakin tertekan saat ini. Aku tidak tau Ferra hanya mengancamku atau memang serius dengan ucapanya. Aku bisa saja menyangkal kalo itu bukan anaku dan setelah lahir nanti aku melakukan tes DNA, tapi aku tak mau membuat malu keluargaku jika semua orang tau pacarku ternyata hamil di luar nikah. Walau bukan aku yang melakukanya, tapi setidaknya ini akan menjadi bahan perbincangan di kalangan publik dan aku tak mau membuat Abi dan Ibu semakin memburuk dengan menambah masalah baruku.

Lama-lama aku bisa gila kalau terlalu memikirkan hal yang sangat berat untuku. Apa aku harus menuruti Ferra menikah denganya demi menjaga martabat keluargaku? Tapi ini pilihan yang sangat sulit bagiku. Aku harus mengorbankan masa depanku yang sebenarnya masih panjang. Ya Allah... Kenapa semakin hari masalahku dan keluargaku semakin bertambah? Maafkan aku jika aku sering melakukan dosa ya Allah...

Kepalaku pusing dan tubuhku terasa begitu lelah. Aku membaringkan tubuhku di ranjang karna aku rasa aku sudah tak mampu lagi untuk menopang beratnya kenyataan yang harus aku jalani. Aku ingin memejamkan mataku agar otaku beristirahat tak memikirkan masalah yang begitu berat bagiku. Namun sekuat apapun aku memejamkan mata ku, tetap saja aku tak bisa tertidur. Rasanya aku ingin tidur selamanya agar aku tak lagi mengalami hal seberat ini, tapi aku tak boleh lemah, aku harus menghadapi apapun yang terjadi, sekalipun kepahitan yang sebenarnya tak ingin aku rasakan.

Ponselku kembali berdering, lagi-lagi Ferra menelponku. Dengan keadaan tubuhku yang sangat lelah seperti ini aku tak mungkin untuk mengangkatnya. Aku hanya membiarkanya walau berulang kali ponselku selalu berdering.

Seketika terdengar nada pesan singkat dari ponselku. Dengan malas membuka mata aku meraba hp ku dengan tangan kananku. Namun akhirnya aku masih tetap memaksakan membuka mataku karna ingin membaca pesan itu. Ternyata dari Ferra

"Kalau kamu tak mau mengangkat telpon dari ku, aku akan datang kerumahmu dan memberitahu keluargamu jika aku telah hamil dan mengandung anakmu Fa!"

Aku tak menggubris sms dari Ferra. Aku meletakan kembali hp ku. Berkali-kali hp ku kembali berdering, namun aku tetap saja tak mau menuruti kemauanya. Lama-lama mungkin ia bosan hingga ia tak menelponku lagi.

Tubuhku semakin lemas saat ini, mungkin aku benar-benar butuh istirahat perlahan aku memejamkan mataku walau sebenarnya aku tak tertidur karna piranku yang selalu memikirkan hal buruk itu.

Tok tok tok!
Pintu kamarku kembali terketuk, rasanya orang di rumah ini tak bisa sedikit saja membiarkan aku istirahat menenangkan diriku yang terasa sangat lelah.

"Raffa?" paggilan suara dari luar kamarku. Aku mengenalinya, itu adalah suara mbak Meli.

"Ada apa lagi si mbak, Raffa ngantuk nih mau tidur" jawabku dengan malas dengan mata masih terpejam.

"Diluar ada pacarmu Ferra Fa!" sontak mataku terbelalak terbuka dan dengan cepat aku bangkit dari tidurku. Ternyata Ferra benar-benar nekat dan sepertinya dia tidak main-main dengan ucapanya di sms tadi. Dengan cepat aku menemui Ferra yang sudah duduk di ruang tengan dan sedang berbincang-bincang dengan Ibuk. Hatiku sangat tak karuan, apa Ferra sudah mengatakan dengan Ibuk kalau dia hamil?

Perlahan aku duduk dan menatap Ferra. Ya... Allah semoga Ferra belum menceritakan semuanya pada Ibuk! Aku sangat takut saat ini.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar