Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part 08
-----------------
By. Aby Anggara
===========================

***

Pagi ini aku bangun sedikit telat, aku membuka kedua mataku dan terasa sangat berat. mungkin mataku bengkak karna terlalu lama menangis tadi malam. Aku segera bangun dan menuju kamar mandi untuk menganbil air wudhu. Aku meliahat istri Om Indra sedang memasak di dapur, aku hanya tersenyum dan mengangguk ramah kemudian segera berlalu.

Pagi ini aku dan keluarga Om Indra sarapan pagi bersama, ternyata nama istrinya Om Indra adalah Tante Irma dia sangat baik padaku walau aku belum genap satu hari tinggal disini. Aku juga sangat nyaman berada di tengah-tengah keluarga Om Indra karna semua orang disini menerima kehadiranku dengan baik.

Sampai saat ini keluarga Om Indra memang belum dikaruniai anak, dulu Tante Irma sempat hamil tapi keguguran dan sampai saat ini tuhan belum memberikanya lagi.

''Ayo nak Raffi makan yang banyak ya!" ucap Tante Irma ramah.

"Iya Tante ini juga udah banyak ko makanya"

"Om harap Raffi di rumah ini jangan malu-malu ya, anggap saja ini rumah nak Raffi sendiri!"

"Iya kak anggap saja disini keluarga ka Raffi sendiri jadi jangan malu-malu ya kak!" sahut Robi.

"Iya Om, sekali lagi maksih ya. Iya Robi, pasti kok dan ka Raffi juga sudah anggap Robi sebagai adik ka Raffi sendiri ko" kataku sambil terseyum.

"Beneran ni kak?" tanya Robi penuh antusias. Aku hanya mengangguk.

***

Keluarga Om Indra juga tak jauh berbeda seperti keluargaku, tergolong di ekonomi sederhana. Didepan rumah Om Indra ada sebuah bangunan ruko berukuran 3×4 meter. Diruko itu Om Indra membuka usaha air minum isi ulang.

Setiap hari mulai jam delapan pagi ruko Om Indra sudah mulai di buka dan katanya kalo tutup tak tentu terkadang hanya sampe jam lima sore, tapi kalo Om Indra sedang tidak ada pekerjaan ia buka sampe jam sembilan malam.

Aku sangat tak enak duduk di teras rumah ini sendirian, sedangkan Om Indra sedang sibuk mengisi puluhan galon yang sudah ia susun di atas mobilnya. Aku bangkit mendekati Om Indra yang sedang sibuk mengisi galon-galonya.

"Sinih Om biar aku bantu?"

"Ah tidak usah nak Raffi biarkan Om saja"

"Udah Om gak papa kok"

"Yasudah kalo gitu, ini pipanya!" Om Indra menyodorkan pipa yang berujung elbo padaku. Kalo hanya mengisi galon seperti ini tidak harus ada keahliah khusus, karna orang awam sekalipun bisa melakukanya.

''Nak Raffi Om Indra tingal bentar ya, kalo semua sudah penuh kasih tau Om!"

"Iya Om" aku mengisi satu-persatu galon yang sudah tersusun rapi di atas bak mobi. Pekerjaan ini memang sangat santai menurutku, bahkan aku tak berkeluar keringat sedikitpun.

"Kak Raffi rajin deh suka bantuin Om Indra" goda Robi yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Seketika aku menolehnya dengan tangan kananku masih memegang pipa mengisi galon.

"Haha kamu ada-ada saja Bi, masak cuma kaya gini doang di bilang rajin?"

"Iya lah kan karna Ka Raffi suka bantu-bantu Om Indra jadi namanya rajin kak. Oya mau di bantuin gak kak?"

''Eh apaan masa kaya gini doang minta bantuin anak kecil?"

"Is apaan sih kak Raffi, masa aku di bilang anak kecil?"

"Emang iya kan?"

"Tau ah, males ama ka Raffi" Robi langsung pergi meninggalkanku disini, mungkin dia ngambek kali ya di biang anak kecil? Haha ada-ada saja tingkahnya. Akhirnya selesai juga tugasku mengisi semua galon di atas mobil ini, aku segera memberitahu Om Indra sesuai permintaanya.

Om Indra segera mengantarkan galon yang sudah berisi air bersih ke setiap tokoh langgananya, kata Om Indra dalam satu hari ia selalu mengantarkan 2000 galon kesemua pelangganya. Biasanya kalo Om Indra sedang mengantarkan galon ke toko-toko pelangganya, Tante Irma yang menggantikan Om Indra menunggu ruko ini, namun karna sekarang aku yang meminta pada Om Indra agar aku menggantikan tugas Tante Irma dan Om Indrapun mengizinkanku.

Dihari pertamaku menunggu depot air minum isi ulang milik Om Indra ini, sebelum Om Indra berangkat mengantarkan galon-galonya ia memberitahuku terlebih dahulu bagaimana cara mencuci galo yang benar dan cara memberikan pelayanan yang baik pada pelangganya.

Di sini lumayan banyak depot isi ulang air minum, oleh karna itu untuk menarik pelangganya Om Indra mempunya trik tersendiri. Pertama setiap galon yang baru datang harus di cuci di bagin luarnya terlebih dahulu agar galon tetap terlihat selalu bersih.

Kedua setela bagian luar bersih, kini bagian dalampun ikut di cuci karna inilah yang sangat penting menjaga agar air tetap bersih. Ketiga setiap pelanggan yang mengisi galon disini kita harus mengantarkan atau menaruh ke motornya agar pelanggan tak merasa keberatan dan bersusah payah untuk mengangkat galonya. Keempat soal harga juga Om Indra sangat bersaing, baginya mendapat keuntungan sedikit yang penting lancar kemasukan dan banyak pelanggan yang datang.

Kata Om Indra, dengan menjalankan empat tahap di atas maka usahanya bisa bertahan sampai saat ini. Setelah aku mengetahui semua cara yang telah ia pragakan Om Indra lalu pergi meninggalkanku dan membawa mobilnya mengantarkan galon yang sudah terisi air bersih.

***

"Dek pegawai baru ya disini?" celetuk seorang Ibu dengan membawa sebuah galon, ia baru turun dari motornya. Aku menyambut pelanggan pertamaku dengan senyuman.

"Em.. Nggak kok Buk, saya buka pegawai disini"

"Kalo buka pegawai terus siapanya Pak Indra?" aku tersenyum masam, aduh ni Ibuk-ibuk masih pagi udah mau ngajakin ngerumpi lagi, mau isi galon saja ribet amat sih gerutuku.

"Aku-"

"Ka Raffi keponakanya Om Indra Buk" jawab Robi tiba-tiba. Untung ada Robi, kalo nggak aku juga tak tau musti jawab apa. Aku hanya bisa nyengir kearah Ibu itu.

"Oh.." katanya manggut-manggut. Belum pulang Ibu yang tadi sudah ada lagi pembeli dengan membawa dua galon. Sepertinya depot milik Om Indra memang sudah banyak pelangganya.

"Sinih kak biar Robi bantuin?" aku memberikan satu galon pada Robi, ia langsung mencucinya, kelihatanya ia sudah terbiasa dan lihai, karna Robi melakukan sama persis seperti yang Om Indra ajarkan padaku.

Tak terasa matahari sudah mulai terdampar di arah barat, aku bergegas melangkahkan kakiku menuju kamar mandi.

"Mau kemana kak?" tanya Robi saat aku baru saja melangkahkan kakiku beberapa langkah.

"Ka Raffi mau mandi dulu, kamu jaga disini bentar ya Bi siapa tau nanti ada orang yang mau isi ulang!"

"Gak mau, Robi mau ikut mandi bareng ka Raffi" seketika aku mengerutkan dahiku mendengah perkataanya

"Mau ikut mandi?" kataku mengulangi kalimatnya

"Kenapa kak gak boleh ya?"

"Ya gak boleh lah Bi, kamu kan udah besar masa mau mandi bareng sama kakak?"

"Perasaan tadi pagi ka Raffi bilang Robi masih kecil deh, hayo.. Berarti boleh mandi bareng dong?" protesnya. Aku menggaruk kepalaku karna merasa terpojok oleh ucapanya.

"Yasudah kalo gitu, minta izin dulu sama Tante Irma kalo gak ada yang nunggu diruko ini!"

"Siap kak" Robi berlari penuh antusias menuju pintu depan. Aku berjalan mengikutinya yang menghilang lebih dulu di balik pintu.

Dirumah Om Indra airnya berasal dari kran, karna bak penampunganya masih bocor dan belum diperbaiki, jadi kalau mau mandi harus memutar kran terlebih dahulu dan menunggu bak pkastik hingga terisi penuh.

Tak lama Robi sudah menyusulku masuk kekamar mandi, bersampir handuk berwarna biru dibahu kirinya. Ia mengunci pintu kamar mandi dan segera melepas baju yang masih menenpel di tubuhnya. Aku terpengah saat melihatnya melepas semua yang menempel di tubuhnya, ia hanya menggunakan cd berwarna biru saja. Kalau mandi sendiri sih tidak apa-apa kalau hanya menggunakan cd, tapi kan disini ada aku yang menemaninya?

"Hei Robi apa kamu tidak malu hanya menggunakan cd seperti itu?"

"Kenapa musti malu? Ka Raffi sudah ku anggap seperti kakak ku sendiri, jadi tak ada alasan lagi bagiku untuk malu padamu kak"

"Yasudah kalo gitu, buruan mandinya nanti kalo terlalu lama kamu bisa sakit!"

"Bisa tolong gosokan pungungku gak kak?" pintanya sambil menyodorkan kain halus yang sudah dipenuhi busa sabun. Aku meraihnya dan perlahan kugosok dari punggung kanan atas hingga merata keseluruh bagian belakang tubuhnya.

"Sudah Bi, sekarang kamu harus mengguyurkan air untuk membersihkan tubuhmu!" suara didalam kamar mandi ini sangat berisik oleh aliran air yang dari tadi kunyalakan mengisi bak plasti ini.

"Kak sekalian dong, Robi ingin sekali dimandikan oleh ka Raffi"

"Hah? Ingin dimandikan oleh ka Raffi?" ia mengangguk cepat. Ternyata Robi orangnya sangat manja, walau diusianya yang sudah minginjak 15 tahun, tapi ia belum bisa mandiri walau hanya sekedar memandikan dirinya sendiri.

Aku menambahakan sabun cair keatas kain halus itu kemudian menggosok bagian leher Robi, turun ke perut, tangan hingga di bagian kakinya. Namun saat aku kembali sedang menggosok di bagian selakanganya terlihat cd yang ia gunakan mengembang menjadi gundukan yang secara perlahan membesar.

"Robi kamu horny ya?" tanyaku memberhentikan aktivitas menggosok selakanganya. Ia tersipu malu dan wajahnya memerah.

"Ia kak aku tak tahan dengan perlakuan ka Raffi"

"Sudahlah lupakan, sekarang kamu harus cepat menyelesaikan mandimu agar tak jatuh sakit!" aku segera menyiramkan air kesekujur tubuhnya hingga tak tersisa sabun sedikitpun. Setelah ia selesai aku buru-buru mandi karna diluar hari sudah semakin menggelap.

***

Seharian bekerja memang membuatku lelah, walau pekerjaan yang awalnya kukira tak berat sama sekali, tapi jika kita mengerjakanya seharian Penuh dan hanya sedikit berhenti karna sangat ramainya pelanggan, tubuhku juga merasakan sedikit pegal di bagian punggung sebelah kanan, mungkin akibat banyak mengangkat galon seharian, sedangkan aku dirumahku tak pernah mengangkat barang berat sedikitpun.

Setelah sholat maghrib aku duduk bersandar di kursi ruang tengah bersama Robi sambil menikmati acara tv yang sebenarnya tak kusuka.

"Kak kau kenapa sepertinya kelelahan, kau sakit ya?" tanya Robi cemas.

"Kakak gak papa kok Bi, hanya butuh istirahat saja" Robi yang tak mempercayai perkataanku segera memegang keningku dengan punggung tanganya.

"Keningmu sangat panas, kau sakit kak pasti karna kelelahan seharian bekerja ya?" tanya Robi panik. Tanpa menunggu jawabanku ia segera menyeret tangan kananku agar aku mengikuti langkahnya. Aku yang lemas tak berdaya mengikuti saja kemauanya, ternyata ia membawaku ke kamar.

Robi menumpuk bantal hingga dua susun kemuadian dia menyuruhku berbaring dibantal itu. Dengan cepat ia meninggalkanku entah kemana karna ia pergi tanpa sepatah kata yang ia tinggalkan.

Aku tersenyum bahagia dan merasa tersanjung karna Robi adiku sangat perhatian denganku. Saat ini rumah tampak sepi tanpa suara, karna Om Indra masih melaksanakan sholat maghrib di Masjid, sedangkan Tante Irma sedang melakukan yasinan mingguan bergilir di rumah tetangganya.

Kenapa Robi lama tak kunjung kembali? Kemana dia, aku menghawatirkanya. Aku bangkin dari tidurku ingin melihat keberadaan Robi, namun aku ambruk kelantai saat baru saja meletakan kakiku di atas keramik putih yang terasa sangat dingin.

"Ka Raffi kenapa bisah di bawah?" Robi segera menaruh semua yang ia bawa ditanganya di atas meja dan segera menolongku berdiri. Tubuhku terasa semakin lemas, untuk berdiri sendiri saja aku tak sanggup.

"Kak ini aku beli bubur di sipang gang, ka Raffi sekarang makan ya, setelah itu ka Raffi harus minum obat!"

"Apakah kau ada uang untuk membeli bubur dan obat-obatan ini Bi?"

"Sudahlah ka Raffi tak perlu memikirkan hal itu, yang penting ka Raffi sehat dulu ya!" Aku tersenyum pada Robi, ia menyodorkan sesendok bubur kemulutku. Sepertinya aku sedang tak nafsu makan, baru beberapa suap saja aku sudah merasa kenyang dan perutku sekarang terasa mual.

"Huek!"

"Kak Raffi kau kenapa?" tanya Robi panik.

"Perut ka Raffi mual Bi"

"Tunggu sebentar ya kak!" dengan cepat dan terlihat sangat panik Robi melangkahkan kakinya keluar kamar dan kembali membawa botol minyak kayu pilutih. Robi nenuangkan minyak kayu putih di tanganya dan menggosokan diperutku. Seketika perutku terasa hangat dan sangat nyaman.

"Gimana kak udah enakan belum?"

"Iya Bi sudah lumayan enak, kau tau dari mana hal seperti ini?"

"Dulu waktu aku masih kelas 3 SD waktu ibuku masih ada, ibu selalu mengusapkan minya kayu putih ini saat perutku kembung dan mual kak dan hingga saat ini aku masih mengingatnya"

"Maaf kan kakak jika pertanyaan itu membuatmu menjadi sedih"

"Gak papa kok kak, sudahlah lupakan!" setelah itu Robi menyodorkan 3 butir obat dan ia menyuapkan gelas berisi air dingin kemulutku, tentu saja aku disuruhnya minum obat yang baru saja ia beli.

Walau sudah memakai beberapa selimut tebal aku masih saja merasa sangat dingin seperti ada di dalam kulkas. Robi yang duduk disebelahku masih sibuk mengompreskan air dingin di keningku. Rasanya ingin sekali mempunyai adik kandung sepertinya yang selalu peduli dengan orang lain.

"Kamu gak sholat Bi?" tanyaku memecahkan keheningan. Seketika ia memperlambat memeras kain yang masih di pegangnya.

"Aku tak mau sholat kak, lagi pula tuhan juga jahat denganku karna telah tega memisahkan aku dengan keluargaku" jawabnya seketika membelakangiku.

"Kau salah jika berpendapat seperti itu Bi, semua yang bernyawa pasti akan mati dan kita semua tinggal menunggu giliran yang sudah ditetapkan"

"Sudahlah kak, aku sedang tak ingin membahasnya, sekarang ka Raffi istirahat dulu ya!" seketika Robi meninggalkanku dikamarnya sendirian

Kenapa Robi terlihat begitu marah saat aku berkata seperti itu, apa perkataanku salah? Tidak aku yakin wajar-wajar saja, mungkin dia belum bisa mengikhlaskan kepergian orang tuanya makanya dia seperti itu. Kasihan sekali adik kecilku Robi, dia tak bisa bersama lagi dengan orang tuanya dan dia juga tak bisa merasakan kasih sayang orang tuanya pada saat ia masih sangat membutuhkanya.

Aku janji pada diriku sendiri, aku akan berusaha membuatnya bahagia dan aku akan memberikan perhatian pula pada Robi adik kecilku.

Aku rasa tubuhku sudah terasa lebih baik saat ini, dengan segera ku bangkitkan tubuhku dan aku mencoba turun dari ranjang. Ternyata benar aku sudah bisa berdiri sekarang. Aku segera meninggalkan kamar, mencari Robi dari ruang tengah hingga menuju ruang tamu, tapi jejaknya belum kutemukan. Aku melanjutkan keluar rumah dan ternyata di teras inilah aku menemukanya. Ia duduk bersandar membelakangiku di salah satu tiang teras, sepertinya dia sedang teringat akan sesuatu, tapi apa?

Perlahan aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Ia tetap saja tak bergeming dengan kehadiranku yang duduk disebelahnya, matanya masih saja melihat sinar bulan sabit yang sedikit tertutup awan tipis.

"Bi kamu kenapa?" tanyaku membuka obrolan di malam yang sangat hening ini, ia menghela nafas panjang dan membuangnya kembali.

"Apa ka Raffi tau apa yang sedang kupikirkan?" tanyanya sambil menatapku. Aku menggelengkan pelan kepalaku tanda tak mengetahui dengan pertanyaanya. Ia kembali menatap bulan yang semakin tertutup awan.

"Percuma Bi kau memandang bulan yang sudah hampir tak terlihat, yang hampir tak menanpakan sinarnya"

"......" Robi tak menjawab perkataanku, apa dia sedang memikirkan jawabanya? Entahlah aku juga tak mengetahuinya.

"Saat ini di boleh tertutup awan, tapi nanti dia akan datang kembali setelah semuanya selesai kak" ucapnya. Aku sungguh tak mengetahui maksud dari perkataan Robi.

"Apa maksudnya Bi?"

"Sudahlah kak lupakan saja, lagi pula ka Raffi sedang sakit dan tak boleh banyak berfikir. Ayo masuk kak" aku mengikuti saja saran Robi. Sungguh bahagianya aku melihatnya sangat perhatian padaku.

Robi duduk di kursi yang ada diruang tengah, menggapai romot tv yang ada di meja dan menyalakanya. Mataku memang menatap depan kearah tv, namun hatiku sangat sedih saat aku teringan keluargaku dirumah. Ibuk, Abi, mbak Meli dan ka Raffa bagimana kabar kalian? Apa kalian disanah memcariku? Atau bahkan senang dengan kepergianku?

"Keterlaluan! Kamu sungguh membuat malu martabat keluarga ini, kamu tau kan Fi kalo Abi selalu memberi contoh yang baik kepada warga di Desa ini? Kamu tau kan Abi selalu menanamkan dan mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan menurut syariat Islam? Tapi kalo anak Abi sendiri adalah seorang gay, dimana kelakuan yang sangat jelas-jelas di laknat oleh Allah, mau ditaruh mana muka Abi?"

"Memalukan! Anak yang selama ini Abi bangga-banggakan dan selama ini Abi andalkan ternyata tak lain hanya seperti sampah"

Aku kembali teringat kata-kata Abi yang membuatku menangis malam itu. dan sampai kapanpun aku tak akan pernah lupa dengan ucapan Abi yang juga membuat hatiku sangat pedih. Maafin Raffi Bi, Raffi sudah buat semuanya kecwa dan Raffi juga tak bisa mewujudkan cita-cita Abi.

"Ka Raffi kenapa menangis, tubuh ka Raffi masih sakit ya? Robi pijitin ya kak?" tanya Robi mengagetkanku.

"Gak ko Bi, ka Raffi gak papa" Robi mengambil tisu yang ada diatas meja dan memberikanya padaku.

"Robi gak percaya kalo ka Raffi gak papa, ka Raffi pasti dalam masalah kan, tapi kenapa tak mau bercerita denganku? Bukankah ka Raffi sudah menganggapku adeknya ka Raffi?" ucap Robi dengan nada tinggi. Sepertinya Robi sudah mengetahui kalau aku sedang dalam masalah. Saat ini Robi masih menatapku lekat-lekat.

"Maafin ka Raffi ya Bi? Tapi ka Raffi gak bisa cerita denganmu"

"Kalo gitu percuma dong ka Raffi angap aku sebagai adek, tapi nyatanya ka Raffi gak percaya sama Robi" Robi lalu bangkit dan meninggalkanku.

"Robi tunggu!" Robi tetap saja berjalan menjauh, sepertinya dia marah padaku karna aku tak mau terbuka padanya. Tapi mana mungkin aku bercerita yang sebenarnya pada Robi kalau aku kabur dari rumah karna aku ketahuan gay, yang ada ia bakalan membenciku juga seperti keluargaku.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar