Jumat, 22 Januari 2016

Maafkan Aku Ibu
Part END
----------------
By. Aby Anggara
============================

***

-Raffi POV-

Pagi ini adalah hari terakhirku dirumah Om Indra. Aku membangunkan adiku si Robi yang masih terlelap ditidurnya. Hari ini adalah hari libur sekolah, jadi Robi pun akan ikut menghadiri pernikahan ka Raffa. sekali lagi aku menatap wajahnya, terasa tak tega untuk membangunkanya, namun aku tetap harus membangunkanya.

"Bi bangun Bi!" lirihku. Ia seketika membuka matanya. Ia masih saja berbaring di ranjangnya terlihat enggan membangunkan tubuhnya.

"Hoam.. Robi masih ngantuk ka" ia menatapku dengan mata setengan terpejam. Aku kemudian mengambil handuk yang dan segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi.

"Tunggu kak!" serunya. Aku menolehnya dan ia bergegas bangkit dari tempat tidurnya.

"Ada apa Bi?"

"Kak hari ini kan hari terakhir ka Raffi di rumah ini, kabulin permintaan Robi ya kak?" sejenak aku berfikir, hal apa yang akan ia pinta dariku? Semoga saja bukan yang aneh-aneh. Aku menghela nafas dalam-dalam.

"Minta apa Bi?"

"Di hari terakhir ka Raffi disini Robi pengen di mandiin sama ka Raffi seperti dulu kak, boleh kan?" Aku tersenyum mendengar permintaan terakhirnya. Si Robi ada-ada saja.

"Boleh kok Bi, yuk!" dengan penuh semangat Robi bangkit dari tempat tidurnya dan ikut membawa handuknya kemuadian mengekor di belakangku. Terasa sangat berbeda hari ini. Mungkin karna ini adalah hari terakhirku di rumah ini. Jujur aku sudah terlanjur betah tinggal disini, makanya terasa sedih jika aku harus meninggalkan Robi dan yang lainya.

Aku membuka bajuku, begitupun dengan Robi. Ia hanya menyisahkan cd berwarna biru yang ia kenakan. Aku mengambil sebuah gayung dari bak mandi, mengisinya dengan air dan perlahan menuangkan di tubuh Robi. Di guyuran pertama Robi tersentak kaget dengan dinginya air yang mengguyur tubuhnya.

Kutuangkan sabun cair ke tanganku dan ku oleskan merata di tubuhnya. Aku mulai meratakanya, dari punggung atas hingga bagian kakinya. Setelahnya aku mengguyurnya dengan air bersih hingga tak tersisa busa sabun di tubuhnya.

Aku tersenyum sendiri karna teringat saat Robi pernah memintaku untuk memandikanya tiga tahun lalu. Dari tadi Robi hanya diam memandangiku, ia tak ada protes sedikitpun. Wajahnya seperti orang yang sedang putus asa. Setelah selesai, aku memberikan handuknya kemudian ia keluar dari kamar mandi.

Saat ini giliranku. Aku mengguyurkan air kesemua tubuhku dan tak lupa menyabuninya. Karna sudah terasa dingin dengan cepat aku menyelesaikan mandiku. Aku membalutkan handuk di pinggangku kemudian berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian.

Sesampainya di kamar, aku melihat Robi sedang duduk di ranjang masih dengan balutan handuk di pinggangnya. Ia melamun dan aku tak tau ia sedang memikirkan apa. Aku berjalan mendekatinya dan ikut duduk di tepi ranjang di sebelahnya.

"Kamu kenapa Bi, kok seperti sedang memikirkan sesuatu?" Ia menolehku sejenak, lalu pandanganya kembali menatap lurus kedepan.

"Aku sedih kak karna hari ini ka Raffi akan pulang kerumah ka Raffi di Desa" ucapnya parau. Pandanganya masih tak bergeming dari posisinya.

"Bi, ka Raffi memang akan pulang kerumah, tapi kan kakak juga bisa main kesini kapan-kapan Bi?" kataku meyakinkanya. Ia kembali menolehku dan kulihat matanya mulai memerah dan berkaca-kaca.

"Kapan-kapan ka? Lama kan kak? Satu hari kemarin ka Raffi ke pesta pernikahan temen kakak saja aku merasa kesepian dan sangat kehilangan, apalagi kalu sampai dengan waktu yang belum di tentukan kak? Kita sudah tiga tahun tinggal bersama dan aku merasa bahagia karna aku mempunyai seorang kakak seperti ka Raffi yang sangat baik dan perhatian, tapi kenapa? Tapi kenapa kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun lamanya aku rasakan akan hilang hanya dalam hitungan jam kak?" ucapnya tak terima. Ia menangis tak terima akan berpisah denganku. Ya Allah.. Aku harus bagaimana, aku benar-benar tak tau apa yang harus aku lakukan.

Dengan ragu aku memegang bahu Robi berusaha menenangkan dirinya yang sedang rapuh saat ini.

"Robi sabar ya, ka Raffi yakin kok kalo Robi pasti bisa jalani hari tanpa ka Raffi. Adenya ka Raffi gak boleh cengen ya, ka Raffi janji akan sering-sering main kesini nemuin kamu Bi"

Dengan cepat Robi memeluk tubuhku, akupun membalas pelukanya. Tubuh kami saling bersentuhan karna kami belum sempat berganti baju. Robi memeluku dengan sangat erat seolah tak mau melepaskan pelukanya dan takut aku akan pergi jauh meninggalkanya.

"Ka Raffi jangan pernah lupain Robi ya kak? Robi pasti akan selalu merindukan ka Raffi, saat ka Raffi jauh dari Robi" ia melepaskan pelukanya dan memandangku dengan tatapan sedu.

"Iya Bi, ka Raffi pasti akan selalu ingat kamu kok" kataku dengan memegang kedua bahunya. Perlahan aku mendekatkan wajahku dan Robi pun memejamkan matanya. Aku mengecup kening Robi dengan penuh kasih sayang hingga beberapa detik. Kalau boleh jujur aku pun sebenarnya sama dengan Robi, merasa sangat sedih karna akan berpisah darinya, apalagi dengan tingkahnya yang seperti itu ia masih sangat butuh pengawasan agar tak semakin jatuh ke lembah kenistaan.

"Makasih ya kak, Robi sayang sama ka Raffi" ucapnya kembali memeluku. Aku mengusap punggungnya hingga beberapa kali, kemudian melepaskan kembali pelukanya.

"Yasudah sekarang Robi ganti baju ya!"

"Tapi ka Raffi lagi ya yang gantiin bajunya?"

"Idih, mulai deh manjanya kambuh"

"Gak papa kali ka, sama adenya itu gak boleh pelit-pelit, lagi pula kan ini hari terakhir ka Raffi dirumah ini, besok dan seterusnya juga Robi gak bakalan bisa manja-manjaan lagi ko sama kaka"

"Ya ya deh, sudah sinih mana bajunya?"

"Nih kak"

Untuk terakhir kalinya Robi kembali sangat bermanjaan denganku. Sebenarnya aku juga suka memanjakanya, tapi aku khawatir jika nanti saat aku jauh darinya, apa dia akan terbiasa dengan kemandirianya? Kasihan Robi, setelah beberapa tahun kita tinggal bersama akhirnya harus berpisah juga.

***

Kami sekeluarga sudah bersiap-siap ingin berangkat ke Desaku. Om Indra sedang memanaskan mobil barunya, sedangkan Tante Irma masih sibuk menyusun keperluan yang akan ia bawa di bagasi mobilnya. Aku membuka pintu mobil lalu masuk begitupun dengan Robi. Aku duduk di sebelah kanan belakang tapat di belakang Om Indra. Sedangkan Robi duduk di sebelah kiriku.

Setelah semuanya siap Om Indara mulai menjalankan mobil nya keluar dari halaman rumahnya. Tepat jam delapan pagi kami berangkat dari rumah Om Indra. Robi terlihat sangat lesu, kepalanya ia sandarkan penuh di kursi mobil yang ia duduki.

Aku mengeluarkan ponselku, memainkanya karna aku merasa sangat bosan walau baru sebentar duduk disini. Seketika aku taringat dengan Meisya, sedang apa dirinya saat ini? Aku mencari namanya dari buku teleponku dan saat sudah kutemukan aku ingin menelponya. Baru saja aku ingin menekan tombol panggilan di ponselku, namun aku mengurungkanyan. Sekarang aku memang ingin tau keadaanya, tapi aku juga sadar kalau saat ini ia sudah mempunyai suami dan aku tak mungkin menelponya, apalagi hanya sekedar menanyakan kabarnya. Kembali ketaruh ponselku dalam saku celana.

Aku terasa sangat takut dan belum siap untuk bertemu dengan Ibu, Abi, mbak Meli dan ka Raffa. Aku berharap kepulanganku hari ini tak akan membuat kebahagiian yang sedang mereka rasakan hilang gara-gara kehadiranku.

Om Indra melajukan kendaraanya dengan begitu kencan hingga terasa seperti terbang di awang-awang. Kulihat Robi sudah tertidur lelap bersandar di kursinya. Aku tersenyum memandangi wajahnya. Dengan lembut aku membelai rambut hitamnya yang tak terlalu tebal.

Kami sudah beberapa jam menpuh perjalanan dipersimpangan depan sudah terlihat gapura dengan tulisan 'Selamat Datang Di Desa Kelapa' tulisan itu menandakan kalau kami saat ini sudah sampai di Desa ku, Desa Kelapa tempat kelahiranku. Jantungku berdetak semakin kencang dan tak beratura. Rasa tak sabar, takut dan bahagia semua bercampur menjadi satu. Namun aku harap semoga semuanya akan baik-baik saja.

Ternyata walau Om Indra sudah lama tak berkunjung kerumahku ia masih saja ingat jalan dan tanpa aku beritahu sedikitpun ia bisa sampai ke Desa ini. Didepan terlihat sangat ramai, ya disitulah letak rumahku. Tamu-tamu berdatangan begitu banyak hingga memenuhi jalan yang tak terlalu lebar ini.

Om Indra melajukan kendaraanya sangat pelan karna sebentar lagi Om Indra akan memarkirkan mobilnya. Karna halaman rumahku tak terlalu besar, Om Indra memarkirkan mobilnya di halaman rumah tetanggaku. Seketika mesin mobil sudah dimatikan tanda sudah sampai. Aku merenggangkan tubuhku meluruskan pinggangku yang terasa sangat pegal akibat terlaku lama duduk di mobil ini.

Kulihat Robi masih tertidur pulas aku tak tega membangunkanya, namun aku terpaksa membangunkanya karna kita sudah sampai.

"Bi bangun Bi!" kataku dengan mengguncang pelan bahunya. Seketika ia terbangun dan melihat pemandangan sekeliling yang sangat ramai di penuhi tamu undangan.

"Kita sudah sampai ya kak?"

"Iya, yuk turun!"

Aku dan Robi segera turu, sedangkan Om Indra dan Tante Irma masih menghilangkan letihnya didalam mobil akibat perjalanan jauh. Tak lama mereka ikut turun dan kami berjalan menuju tenda itu. Beginilah resepsi pernikahan di Desaku. Hanya menggunakan tenda sewa. Namun terlihat sangat mewah karna tenda itu dihiasi selendang berwarna hijau muda, kuning dan ungu yang bergelantungan di setiap pinggir dan tiang tenda.

Om Indra berjalan paling depan lalu di belakangnya Tante Irma, Robi kemudian aku di posisi paling belakang. Banyak pasang mata tercengang tertuju pada kehadiran kami. Kami di sambut ramah oleh para panitia penyambut tamu, baik panitia dari Bapak-bapak dan juga penyambutan dari panitia muda-mudi. Kami berjabat tangan satu per satu pada barisan panitia penyambut tamu itu. Beberapa kali aku mendengar namaku di sebut-sebut oleh seseorang disini, mungkin mereka menyadari kepulanganku hari ini, meski aku tak tau siapa yang menyebut namaku karna disini sangat banyak para tamu undangan hingga tak bisa terdengan dengan jelas dari mana sumber suara itu berasal.

Dari sini sudah terlihat jelas ka Raffa dan Ferra sedang duduk di pelaninan yang ada diatas panggung, tapi aku tak melihat kebahagiaan di wajah ka Raffa. Bukanya orang yang menikah dan sedang bersanding di pelaminan wajahnya berseri-seri karna kebahagiaan sedang menghampirinya? Tapi tidak kuliah itu pada wajah ka Raffa. Pernikahan ini seperti pernikahan Meisya kemarin yang bersedih di hari pernikahanya.

Tanpa duduk dikursi tamu yang telah disediakan, Om Indra langsung naik keatas panggung. Kami yang dari tadi mengekor dibelakangnyapun mengikuti saja kemanapun Om Indra melangkah. Om Indra langsung bersalaman pada Abi, karna Abi berada di bagian kanan pelaminan.

Om Indra kemudian berpelukan pada Abi, sahabat lamanya yang baru bertemu kembali. Kemudian Om Indra melanjutkan berjabat tangan dengan Ibu dan Tante Irma dengan Abi. Kemudian disusul dengan Robi dan kini saatnya tiba giliranku berjabat tangan dengan Abi.

Aku diam terpaku menunduk kan kepalaku tak berani metap langsung muka Abi. Mereka sama sekali belum menyadari kehadiranku disini. Aku masih menunduk hingga beberapa detik perlahan aku mengangkat kepalaku dan menatap Abi.

"Ya Allah Raffi..!" ucap Abi tiba-tiba. Abi kemudian turun dari tempat berdirinya yang sedikit lebih tinggi dari tempat ku berdiri saat ini. Wajahku yang kembar dan sangat mirip dengan ka Raffa tidak membuat Abi lupa walau sudah bertahun-tahun kami tak bertemu. Abi memeluk tubuku dengan erat dan Abi menagis di pelukanku. Ibupun tak mau kalah, ia ikut memeluku walau pelukan Abi belum lepas dariku.

"Maafi Raffi Bi" kataku dengan suara isak. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Abi.

"Ya Allah Raffi, Abi sudah maafin kamu nak, syukurlah kamu sudah kembali" Abi melepas pelukanku dan mencium keningku dengan penuh kasih sayang. Seketika semua tamu undangan terjengang menyaksikan kami di atas panggung ini. Aku menoleh Ibu dan bersujud di kakinya.

"Maafin Raffi Buk" kataku. Ibu manahanku dan tak mengizinkanku bersujud di kakinya. Ibu memeluk tubuhku dengan sangat erat.

"Syukurlah kamu kembali le, Ibuk sangat rindu dengan keadaanmu le. Maafin Ibuk ya le? Ibuk sudah salah sama kamu"

"Ibuk gak salah Bu, justru Raffi yang salah" Ibu memeluku sangat lama hingga beberpa menit. Mungkin ia sangat rindu denganku hingga tak mau melepaskan pelukanya begitu saja. Ibu masih saja menangis dipelukanku. Hingga beberapa kali aku mengusap punggungnya.

"Jangan pergi lagi ya le, Ibuk ndak mau kehilangan kamu lagi" ucapnya. Ibuk mencium kening, pipi hingga semua wajahku. Aku bagaikan anak kecil yang terlihat sangat menggemaskan baginya.

"Iya Buk, Raffi gak bakalan pergi lagi kok Buk"

"Raffi!" ucap mbak Meli mendekatiku. "Yaampun kamu kemana saja Fi? Mbak Meli kengen sama kamu" mbak Melipun memeluku dengan erat.

"Aku dirumah Om Indra mbak dan ternyata ia adalah sahabat Abi waktu di pesantren dulu"

"Ya Allah syukurlah kalau gitu Fi, kamu baik-baik saja kan?"

"Iya mbak" mbak Meli melepas pelukanya dan mencium keningku.

Kemudian aku menatap ka Raffa, kesedihanpun menghiasi wajahnya. Air matapun mengalir membasahi pipinya.

"Maafin Raffi kak" kataku kemudian memeluknya. Ka Raffa pun berbisik meminta maaf padaku. Kami berpelukan hingga aku merasakan kembali mempunya seorang kakak yang selama ini hilang dari hidupku. "Selamat ya kak" kataku berbisik. Ka Raffa mengangguk lalu melepaskan pelukanya kini kutatap wajah Ferra yang cantik dan terlihat sangat bingung dengan kehadiranku. Berkali-kali ia mematapku kemudian menatap ka Raffa secara bergantian. Aku tau apa sebenarnya yang membuatnya bingung. Selama ini Ferra tak mengetahui kalau ka Raffa mempunyai saudara kembar jadi wajar saja sejak tadi ia bukanya ikut sedih, tapi malah mematung melihat aku dan ka Raffa dengan wajah yang sama.

"Selamat ya Mbak Ferra kataku" Ferra hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Ia masih terjebak dengan suasana kebingunganya. Ibu kembali mendekatiku dan memeluku dengan sangat erat. Aku tau rasa rindunya belum terobati hingga ia kembali meluku. Aku sangat senang bisa kembali lagi kerumah ini dan semua bisa menerima keadaanku yang sesungguhnya.

Terima kasih Tuhan... Akhirnya aku bisa berkumpul kembali dengan keluargaku. Aku sangat menyayangi mereka semua. Semoga kebahagiaan ini selalu mengiringi keluarga kami.. Amin.

Aku sangat bahagia bisa kembali lagi kerumah ini walah harus kecewa karna menyaksikan pernikahan ka Raffa dengan Ferra, tapi aku harus bisa merelakan semua ini. Semoga dengan berjalanya waktu rasa sayangku pada ka Raffa bisa berubah menjadi rasa sayang layaknya seorang saudara. Suatu saat aku juga sangat berharap akan ada seorang wanita yang benar-benar bisa membuatku jatuh cinta padanya dan aku akan menikah denganya.

- S E L E S A I -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar