Jumat, 12 Februari 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 14
--------------------
By. Aby Anggara
=========================

*-*-*

Maryam terlihat sangat terpukul atas kejadian yang menimpa putranya si Alfin, ia tak mampu lagi membendung air matanya. Ia duduk di kursi ruang tunggu yang telah di sediakan dengan mata yang masih merabak memerah.

"Ini semua gara-gara kamu tau gak? Awas saja kalo sampe terjadi sesuatu dengan Alfin" ancam Alfan. Andre hanya terdiam, ia menyesali atas perbuatanya beberapa bulan lalu.

"Maafin gue, gue bener-bener gak bermaksud"

"Bohong"

"Maaf ini rumah sakit, tolong jangan buat keributan di sini. Jika kalian ada masalah silahkan selesaikan di luar!" ucap Dokter yang baru saja keluar dari ruang kamar Alfin.

"Bagai mana keadaan anak saya, Dok?" ujar Maryam tak sabar. Ia segera mendekati Dokter yang masih berdiri di depan pintu itu.

"Anak Ibu mengidap penyakit HIV, ini masih tahap awal, semoga saja masih bisa di tangani"

Maryam menggelengkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan telapak tangan kananya. "Bagai mana mungkin Dok, anak saya anak baik-baik"

"Sabar Bu, semua tak ada yang tak mungkin, berdoa saja semoga semuanya sesuai seperti yang kita harapkan. Silahkan selesaikan administrasinya dulu agar kita bisa melakukan penanganan lebih lanjut, permisi"

Dokter itu kemudian meninggalkan Maryam, seketika Maryam menoleh pada Alfan, ia terlihat bingung mengenai biaya rumah sakit itu. Alfan pun tertunduk, karna ia juga masih terlihat bingung dari mana harus mendapatkan uang itu.

"Maaf Buk kalo boleh saya membantu, biar saya yang menanggung semua biaya pengobatan Alfin" ujar Andre dengan bahasa sopan.

"Nggak!! Aku gak terima jika kamu yang akan membiayai Adik saya. Ingat ya, saya masih bisa kok cari uang untuk membiayai Alfin" tolak Alfan ketus. Seketika Andre terdiam dan tak menimpali perkataan Alfan lagi.

*-*-*

Tok tok tok....

Tak menunggu lama, pintu kamar Melinda terbuka, seketika membuat Melinda sangat kaget saat melihat Alfan dengan mata yang sembab.

"Kamu kenapa Fan, kenapa mata kamu seperti ini sayang?" Melinda terlihat sangat khawatir sambil memegangi kedua pipi Alfan dengan kedua tanganya, bahkan ia memeriksa fisik Alfan sampai ke bawah apakah ada yang terluka.

"Ma..?" sapa Alfan lirih, suaranya hampir tak terdengar.

"Kamu kenapa Fan, cerita dong sama Mama"

"Aku butuh uang Ma, Adenya Alfan masuk rumah sakit"

"Maksud... Maksud kamu Adik kandung kamu?" tanya Melinda, Alfan mengangguk lemah. "Nggak, Mama gak mau membiayai anaknya si Maryam itu" Melinda kemudian berjalan memasuki kamarnya dan memangku kedua tanganya membelakangi Alfan. Alfan kemudian perlahan berjalan mendekati Mamanya, lalu ia berdiri dengan kedua lututnya.

"Alfan mohon Ma"

Melinda lalu membalikan tubuhnya dan menatap wajah Alfan yang mendongak menatapnya. Wajahnya terlihat sayu dan penuh keputus asaan. "Mama itu bisa korbanin apa saja demi kamu Fan, karna Mama sayang sama kamu, tapi kalo demi orang lain, Mama bener-bener gak sudi Fan"

Wajah Alfan kemudian tertunduk tak bersemangat, bibirnya bergetar. Dengan sangat hati-hati Alfan memeluk kedua kaki Melinda dengan segala kerendahan hatinya. "Ma aku mohon Ma, Alfin mengidap HIV, dia Adik kandung aku Ma" Alfan semakin terisak di kaki Mamanya, namun Melinda masih membuang pandanganya seolah benar-benar tak peduli.

"Sekali enggak tetap enggak, sudah deh Fan jangan paksa Mama" perlahan Alfan melepaskan tanganya dari kaki Melinda, ia segera berdiri. Suara tangisan Alfan tertahan, ia berusaha untuk tegar di depan Mamanya, namun tetap saja ia tak mampu menahan air matanya.

"Aku tau aku bukan anak kandung Mama, jadi wajar kalo Mama gak nuruti permintaan aku. Baiklah kalo Mama benar-benar gak peduli dengan Alfin, berarti Mama juga gak peduli dengan Alfan. Aku akan berusaha Ma, aku pasti bisa dapetin uang itu" perlahan Alfan memutar tubuhnya dan meninggalkan kamar Mamanya, ia berjalan dengan penuh keputus asaan. Ia berjalan menuju kamarnya.

Alfan duduk bersandar di ranjang tempat tidurnya dengan memeluk satu bantal guling. Ia merogoh saku celananya, mengambil sebuah kalung yang menjadi satu-satunya barang pemberian Ibu kandungnya. Ia menangis saat memandangi kalung itu, mengingatkan dengan sejuta kesedihan yang sangat mendalam. Dengan tangan bergetar, Alfan menggenggam kalung itu dengan penuh amarah, bahkan semua rasa kekecewaan seakan ikut hadir memenuhi suasana hatinya.

Dengan perlahan ia kembali membuka genggaman tanganya, berharap kalung itu sudah leyap dan tak ada lagi di telapak tanganya agar sedikit menghilangkan rasa sesak di dadanya, namun harapan itu sia-sia, kalung itu masih tetap utuh di tanganya tanpa merubah bentuk fisiknya sedikitpun.

Alfan yang dulunya di kenal dengan sosok tak mau tau, acuh, dan juga masa bodoh. Namun saat ini ia menjadi anak yang cengeng, seperti anak kecil yang tak pernah mendapatkan uang jajan dan selalu menangis.

Di hatinya mengutuk penuh sumpah serapa, jika ia tak akan pernah memafkan Ibunya. Rasa kecewa telah terlanjur membuatnya benci terhadap Ibu kandungnya, namun ia masih sangat menyayangi Alfin. Bahkan rasa sayangnya kali ini tak bisa di gambarkan dengan kata-kata.

Pintu kamar Alfan terdengar ada yang mengetuknya, ia dengan cepat meletakan kalung itu di atas meja dan segera menghapus air matanya. Namun Alfan tak menjawab ketukan pintu itu, sehingga orang yang berada di luar kamarnya semakin kencang mengetuk pintu kamarnya.

"Kak Alfan.." sapa Reza yang akhirnya menyapa.

"Masuk saja, Za!" singkatnya. Perlahan pintu kamar itu terbuka, terlihat sosok Reza dengan senyuman ceriah dan di tangan kananya membawa sebuah kota berwarna hitam. Senyuma Reza pudar saat ia mendapati mata Alfan yang masih terlihat merah.

"Ka Alfan habis nangis?" tanya Reza dengan polosnya, tanpa mendapat perintah dari Alfan, ia segera duduk di tepi ranjang di sebelah Alfan. Reza masih memperhatikan wajah Alfan yang masih terdiam tanpa ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaanya.

"Kak..?" sapanya lembut, Alfan lalu menoleh Reza, tatapanya terlihat begitu sayu. "Kenapa Kakak sedih, Ka Alfan lagi ada masalah?" tanya Reza yang terlihat sangat peduli, namun Alfan belum mau berterus terang, ia hanya menggelengkan kepalanya sangat pelan, seperti orang yang sudah benar-benar putus asa.

"Kamu ngapai kesini, Za?" tanya Alfan, Reza kemudian melihat kotak yang ia bawa dan menyodorkanya pada Alfan.

"Ini Reza ada hadiah buat Kakak, Reza belinya peke uang tabungan Reza sendiri loh Kak. Sebenernya ini hadiah sudah Reza beli saat Ka Alfan ulang tahun beberapa bulan lalu, tapi Reza gak berani kasihnya, makanya sampai sekarang masih Reza simpan" jelasnya. Alfan kemudian tersenyum, berusaha menghargai usaha Reza yang selalu baik padanya.

"Makasih ya Za, kamu baik banget sama Kakak"

"Sama-sama Kak, yaudah sini Reza pekein ya Kak jam tanganya?"

Alfan mengangguk. Dengan hati yang sangat bahagia Reza membuka kotak itu, senyuman indah kini kembali tergambar di wajahnya. Reza melepas jam tanga yang saat ini melingkar di tangan Alfan, kemudian perlahan ia kembali memakaikan jam tangan yang baru di tangan kiri Alfan.

"Gimana Kak, suka gak dengan jam nya?"

"Iya Za, Kakak suka banget, makasih ya?" ujar Alfan mengusap rambut Reza.

Reza mengangguk, dan kini matanya menangkap sesuatu yang ada di atas meja kecil itu.

"Loh itukan kalung yang sama persis dengan punya Alfin, kok bisa ada di sini Kak? Bukanya kalung itu sudah hilang?" tanya Reza keheranan. Pertanyaan Reza kembali membuat Alfan bersedih setelah beberapa saat ia mampu melupakan kesedihanya.

"Iya Za kalungnya sudah ketemu, dan maaf ya kemarin Ka Alfan sampai nuduh kamu yang mengambilnya"

"Oh.. syukur deh kalo gitu, yaudah Reza kekamar dulu ya Kak? Udah malem, Reza udah ngantuk"

"Makasih ya, Za?" Reza tersenyum.

Saat Reza sudah meninggalkan kamarnya, Alfan segera bersiap-siap menuju rumah sakit. Pikiranya tak bisa tenang jika ia belum tau perkembangan Adiknya itu.

Sesampainya di rumah sakit, Alfan berjalan tak bersemangat. Wajahnya pun terlihat lusuh karena terasa sangat lelah. Ia kembali menuju kamar dimana Alfin dirawat, namun kedatanganya tak membawa kabar gembira, ia hanya ingin memastikan kalo Adiknya masih dalam keadaan baik-baik saja.

Alfan dengan sangat hati-hati memutar gagang pintu kamar itu, namun tetap saja terdengar suara membuat Alfin dan Ibunya segera menatap seseorang yang baru saja datang dari balik pintu itu. Alfan melihat Ibunya yang sudah tak menangis lagi, namun sesekali ia masih mendengar suara sesegukanya.

Pandangan Alfan kini beralih menatap Alfin, ia berjalan pelan menghampirinya. Suasana malam itu terdengar begitu hening, di antara ketiganya masih diam membisu. Alfan meletakan punggung tanganya pada kening Alfin, seketika membuat telapak tangan Alfan ikut merasakan panasnya tubuh Alfin.

"Kak.. Alfin takut, Alfin mau pulang saja ya Kak?" keluh Alfin tiba-tiba, seketika air mata Alfin kembali menetes. Alfan pun ikut menangis, bahkan hatinya terasa sangat pedih seperti di sayat-sayat saat ia merasa tak berguna bagi Adiknya.

"Kamu jangan nangis Fin, Kakak gak kuat liat kamu seperti ini" kata Alfan yang ikut terisak, dengan pelan ia menyeka air mata Alfin yang masih mengalir.

Alfin menggelengkan kepalanya. "Gimana Alfin gak nangis Kak, Alfin gak kuat Kak"

"Apa yang kamu rasakan Fin?" ujar Alfan terlihat panik.

"Kepala Alfin pusing Kak, tenggorokan Alfin sakit..." keluhnya.

"Ya Alloh... Sembuhkanlah Adiku, aku gak sanggup ya Alloh... Aku memang tidak merasakan apa yang Alfin rasakan, tapi hatiku... Hatiku ikut terasa sesak seperti di hantam batu yang sangat besar sehingga membuatku susah bernafas" Alfan semakin menangis, ia tak mampu lagi membendung air matanya, bahkan ia tak peduli jika ia terlihat cengen di depan Adik kandungnya itu.

"Kamu janji ya Fin sama Kakak, kamu harus sembuh, kamu harus kuat Fin!"

"Iya Kak, Alfin janji, Alfin akan sembuh. Kak Al jangan sedih lagi ya, Alfin pengen kita bisa kumpul sama-sama Kak"

Tak terasa Maryam yang berada di belakang Alfan pun ikut menangis, namun tangisanya tangisan tertahan. Alfin yang mendengar isakan Ibunya segera memalingkan pandangnya.

"Ibu jangan nangis, Alfin gak papa kok Buk" ujar Alfin sambil tersenyum. Namun ucapan Alfin bukan mambuat Ibunya menjadi tenang, bahkan Ibunya semakin terisak dengan tangan kanan yang menutupi mulutnya. Ia tau kalau ucapan anaknya adalah kebohongan yang hanya ingin membuatnya merasa lebih tenang.

"Kakak pergi dulu ya Fin, kamu baik-baik di sini" ucap Alfan, namun tangan Alfin dengan cepat memegangi tangan Alfan.

"Jangan pergi lagi Kak, temeni Alfin disini" rintihnya. ucapan Alfin seketika membuat Alfan dilema, di satu sisi ia memang sangat ingin menemani Adiknya, namun di sisi lain ia masih harus mencari uang untuk biaya pengobatan Alfin.

"Kakak gak lama kok Fin, Kakak cuma pergi sebentar saja, ya?" ujar Alfan meyakinkan. Alfin masih menatap wajah Alfan, memastikan kalau perkataan Alfan tidak berbohong, namun akhirnya Alfin percaya dan ia melepaskan genggaman tanganya.

"Janji ya, Kak?"

Alfan hanya mengangguk pelan. Alfan segera bangkit dan berjalan keluar dari kamar itu, kakinya terasa amat berat untuk melangkah meninggalkan ruangan itu, namun ia memaksanya, karna apa yang akan ia lakukan adalah demi kebaikan Adiknya Alfin. Sesampainya di pintu kamar itu, Alfan kembali menoleh kebelakang. Terasa tak tega untuk meninggalkan Alfin, namun ia menguatkan hatinya. Sekuat tenaga Alfan berusaha untuk tersenyum walau hatinya menangis, lalu ia menutup pintu kamar itu.

Alfan menyusuri keramaian kota di malam itu, dinginya angin malam tak lagi ia hiraukan. Namun ia tak tau harus kemana ia melajukan kendaraanya itu. Ia kemudian berhenti di pinggir jalan dan ia membuka helmnya. Kedua tanganya memegangi pagar pembatas jembatan itu. Ia menongok kebawah, walau hanya dengan lampu kota yang sedikit remang-remang, namun ia masih bisa melihat dalamnya sungai itu, dan ia juga masih bisa mendengarkan gemuruhnya aliran air yang sangat ricuh diantara bebatuan-bebatuan besar.

"Aku tak tau lagi harus kemana aku mendapatkan uang itu, aku benar-benar lelah dengan hidup ini. Kenapa jalan hidupku kali ini sangat sulit? Dimana kebahagiaan-kebahagiaan yang dulu? Di saat aku selalu tersenyum, di saat aku hanya tinggal mengadahkan tangan ketika aku membutuhkan uang. Bahkan aku tak pernah membayangkan betapa susahnya mencari uang, yang aku tau, ketika aku butuh uang Mama Meli selalu memberikan uang itu, bahkan Mama Meli selalu memberikan uang itu berapapun yang aku minta. Tapi kenapa di saat aku meminta untuk pembiayaan Alfin, Mama Meli sama sekali tak memberiku walau hanya sepeserpun? Sebegitu bencinyakah Mama Meli dengan Ibu Maryam? Tapi kenapa, kenapa Mama Meli harus benci? Arrrrghhhtt!! Kepaku terasa sangat pusing memikirkan semua ini. Mungkin Tuhan sudah tak sayang lagi denganku, makanya saat ini aku dibuat sangat menderita. Oke bailah kalo itu kehendakmu, aku akan pergi. Aku akan pergi dari dunia ini untuk selamanya"

Alfan menarik nafas dalam-dalam, kemudian perlahan satu kaki kananya mulau menaiki pagar pembatas jembatan itu. Kemudian satu kaki kirinya pun ikut melangkah hingga akhirnya ia sampai di pembatas yang paling atas. Alfan hanya berpegangan dengan satu tangan, ia memutuskan akan melompat dari ketinggian itu dan terjun ke sungai yang di bawahnya penuh dengan batu-batu besar.

"Maafin aku Ma, Maafin aku Pa, Maafin aku Za, dan juga maafin Kaka ya, Fin?" ujarnya dengan raut wajah penuh keputus asaan. Kesedihan kini kembali menyelimuti hatinya, namun Alfan berusaha menepisnya, ia sudah terasa lelah dengan kehidupanya yang saat ini. Perlahan Alfan memejamkan kedua matanya, agar tak merasakan ketakutan saat melompat dari pagar jembatan itu. Semilir angin malam menerpa tubuhnya, namun sepertinya ia sudah benar-benar tak menghiraukanya lagi. Yang ada di hatinya saat ini hanyalah ingin segera pergi dari dunia dan tak merasakan betapa sulitnya menjalani hidup.

"Baiklah, ini sudah saatnya" ujarnya mantap. Alfan kembali menghela nafas panjang, di dalam hatinya menghitung mundur, saat hitungan kesatu ia akan segera lompat ke sungai yang di penuhi dengan batu-batu besar itu.

"Iya Kak Alfin pasti sembuh kok, dan Alfin pengen kita kumpul sama-sama"

Saat teringat ucapan Alfin tadi, Alfan segera membuka kedua matanya.

"Dasar bodoh, orang yang terbaring sakit saja ingin berjuang untuk sembuh, tapi aku? Aku malah ingin mengakhiri hidupku? Nggak ini gak boleh terjadi, aku gak boleh cengeng dan aku harus kuat. Aku yakin aku bisa mendapatkan uang itu. Ya.. Aku pasti bisa"

Alfan kemudian kembali turun dari ketinggian itu, kali ini akal sehatnya kembali bekerja dan mengalahkan segalanya, bahkan ia mempunyai keyakinan yang sangat kuat jika ia pasti bisa.

"Maafin Kaka Fin, Kakak khilaf"

Alfan kemudian mengendarai kendaranya dengan kecepatan sedang, di otaknya selalu saja memikirkan keadaan Adiknya yang masih terbaring di rumah sakit itu. Beberapa hari ini pikiranya selalu kacau dan tak bisa berfikir dengan tenang.

"Ya Alloh... Harus kemana aku mencari uang sebanyak itu, aku bingung ya Alloh.."

Alfan mengendarai sepeda motornya tanpa arah, ia sendiri masih belum tau harus kemana, malam ini hatinya benar-benar kacau, tak ada seseorang yang bisa membuatnya tenang. Seketika ia melintas di tempat yang pernah ia lalui, seketika otaknya bekerja mempunyai sebuah ide. Ia segera memarkirkan sepeda motornya di depan gedung itu, kemudian ia kembali melepas helmnya.

"Dulu di tempat ini aku pernah bilang kalau mereka murahan, tapi saat ini... Saat ini justru aku yang menjilat ludahku sendiri. Aku malu pada diriku sendiri, tapi... Aku tak punya pilihan lain, inilah satu-satunya jalan aku mendapatkan uang. Aku tak mau jika Adiku tak bisa mendapatkan perawatan hanya karna tak melunasi tagihanya. Maafin aku Ma, maafin Ka Al, ya Fin? Aku terpaksa melakukan semua ini"

Dengan ragu Alfan melangkahkan kakinya menuju pintu masuk itu, sesampainya di sana, ia melangkah pelan. Afan bahkan belum tau sama sekali bagaimana cara menawarkan diri terhadap gadun-gadun yang sudah biasa memboking. Didalam ruangan itu ia terlihat seperti orang bodoh yang tak tau apa-apa.

"Eh ada brondong... Cakep lagi, ngapain di sini?" goda seorang laki-laki dewasa sembari mengelilingi tubuh Alfan. Laki-laki itu memperhatikan tubuh Alfan dari atas hingga kebawah. Di otaknya sudah mulai berfikiran mesum, sedangkan Alfan masih diam tertunduk, tubuhnya bergetar ketakutan. "Kamu sungguh manis" ujar laki-laki itu sembari mencolek wajah Alfan.

"Aku... Aku..." ucapan Alfan terhenti dan tak mampu untuk melanjutkanya, bibirnya pun bergetar tak menentu.

"Oh... Om tau, gak usah malu-malu, ayo sinih duduk temenin Om!" ujar laki-laki itu dengan tangan kanan mempersilahkan pada kursi yang masih kosong, Alfan menelan ludah karena rasa takut dan juga jijiknya terhadap laki-laki yang penuh berewok di pipinya itu.

"Ayo sudah duduk sinih..!" laki-laki itu menarik tangan Alfan dengan pelan, namun Alfan terlihat pasrah dan mengikuti langkah laki-laki itu. Laki-laki itu terus mandangi wajah Alfan, sesekali terlihat senyuman nakal di pipinya. "Kamu masih seger banget ya, masih fress, pasti kamu belum pernah bersetubuh ya?" tanya laki-laki itu sembari mengusap pipi Alfan dengan jari telunjuknya. Alfan hanya diam tak menjawab pertanyaan laki-laki itu, bahkan ia sangat risih dengan perlakuan lelaki dewasa yang sejak tadi menggerayangi tubuhnya. Namun apa daya, keadaan yang mebuatnya harus pasrah dan merelakan tubuhnya di nikmati para gadun-gadun di dalam ruangan itu.

Bersambug...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar