Selasa, 01 Maret 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 15
--------------------
By. Aby Anggara
=========================

*-*-*

"Ngapain lo disini?" sapa Andre yang menghampiri Alfan secara tiba-tiba. Alfan langsung bangkit dari tempat duduknya, ia terdiam. Selain menahan rasa malu dengan Andre atas perlakuanya waktu lalu, ia juga tak tau bagai mana cara menjelaskanya pada Andre.

"Aku butuh duit, dan aku rela menjual tubuhku asal Adiku Alfin bisa terselamatkan" ujar Alfan menjelaskan, wajahnya kini diam dan kembali tertunduk, matanya mulai memerah. Tanpa rasa takut, Andre dengan paksa menyeret tangan Alfan menuju keluar ruangan itu. Kali ini Alfan nampaknya hanya pasrah dan mengikuti kemana langkah kaki Andre membawanya. Sesampai di luar, kini keduanya saling bertatapan, Andre menatap wajah Alfan yang mulai merabak dengan penuh simpati. Perlahan Andre memegang kedua bahu Alfan.

"Lo gak usah gila Fan, jangan buat diri lo menyesal nantinya. Lo mau seperti Adik lo Alfin? Lo gak usah khawatir, masalah biaya rumah sakit biar gue yang tanggung semuanya" Andre berusaha meyakinkan, namun dengan cepat Alfan mendorong tubuh Andre agar menjauh dari dirinya.

"Kamu gak usah sok-soan deh, aku pasti bisa kok cari uanga buat bayar semuanya" ujar Alfan yang mulai terlihat emosi.

"Lo yakin, lo bisa? Dengan cara apa? Dengan cara lo jual diri seperti Alfin membiayai Ibunya waktu lalu?"

Seketika Alfan terdiam, ia tak mampu lagi menjawab pertanyaan itu, bahkan kali ini ia juga tak yakin jika ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, pasalnya ia sudah terbiasa dengan gaya hidup yang hanya mengadahkan tangan pada Mamanya. Andre kembali berjalan pelan mendekati Alfan, ia kebali memagang kedua bahu Alfan.

"Izinkan gue ngebantu biaya pengobatan Adik lo, anggap saja ini untuk menebus rasa bersalah gue plis. Hanya ini yang bisa gue lakuin"

Alfan diam, mengangkat kembali kepalanya dan menatap Andre. Lalu lagi-lagi mendorong tubuh Andre menjauh darinya. Kali ini ia menatap wajah Andre dengan penuh kebencian, bahkan Alfan terlihat sangat murka. "Gak, aku gak sudi terima bantuan dari kamu" ujar Alfan yang emosinya kembali memuncak, ia menggenggamkan keduan tanganya dengan keras, tatapanya tajam bagai elang yang siap menerkam mangsanya.

"Sabar jangan emosi Fan, ini gak akan nyelesain masalah. Lo gak boleh egois, lo harus mikirin keadaan Alfin juga. Coba lo pikir, kalau sampe besok lo belum lunasi tagihan itu, lo mau pengobatan Alfin gak di lanjutkan?"

Seketika Alfan terlihat berfikir, perlahan-lahan tatapan wajahnya berubah menjadi datar, dan dengan pelan melepaskan genggaman kedua tanganya. Bola matanya kini basah dan mengalir di pipinya. Ia terlihat sangat putus asa, kali ini ia mulai terkulai dan berdiri dengan kedua lutunya. Ia menundukan pandanganya, isakannya mulai terdengar karna rasa bersalahnya.

"Kakak macam apa aku ini yang gak bisa apa-apa di saat Adiku membutuhkan bantuanku"

Andre kembali menatap wajah Alfan dengan penuh rasa simpatinya, ia bisa merasakan apa yang sedang di rasakan oleh Alfan saat ini. Andre kembali mendekati Alfan, dan ia berjongkok di depan Alfan.

"Gak usah ngerasa gak berguna seperti itu, gue siap bantu lo kapan aja. Ibu Maryam sudah gue anggap seperti Ibu geu sendiri, dan kalian sudah gue anggap seperti kelurga gue, jadi sudah seharusnya gue gak tinggal diam jika salah satu diantara kalian sedang membutuhkan bantuan" Andre kembali meyakinkan, Alfan kemudian mengangkan kepalanya, lalu menatap wajah Andre.

"Makasih atas bantuan kamu, tapi maaf, malam ini juga saya akan kembali berusaha, permisi" putus Alfan masih dalam pendiriannya, ia lalu meninggalkan Andre dan menuju sepeda motornya.

Alfan kemudian mengendarai kendaranya dengan kecepatan sedang, di otaknya selalu saja memikirkan keadaan Adiknya yang masih terbaring di rumah sakit. Beberapa hari ini pikiranya selalu kacau dan tak mampu berfikir dengan tenang.

Pernakah kalian berada di keramaian, namun suasananya seperti di padang pasir yang terlihat sangat luas dan terasa sendirian?

Kalau pernah berarti kalian bisa merasakan apa yang saat ini Alfan rasakan. Saat ini Alfan memang berada di keramaian kota, tapi ia seperti sedang hidup sendirian. Di mana tak ada satu orangpun yang bisa menolong dirinya. Terasa seperti ingin menjerit sekuat-kuatnya agar bisa menghilangkan sedikit rasa sesak di hatinya. Menangis tentu saja menjadi pilihan terakhir agar bisa mengurangi sedikit beban yang membuat rasa sesak di dada.

Jangan pernah berkata cengen jika ada seorang laki-laki yang sedang menangis, karna jika ia masih bisa menangis menandakan beliau masih mempunyai hati. Tapi jika ia tak pernah menangis walau dalam keadaan susah sekalipun, hal itu yang patut di pertanyakan. Apakah ia tak punya hati? Atau dia memang tak bisa menangis? Jadi kesimpulanya seorang laki-laki menagis itu 'wajar'

Mata Alfan semakin memerah, pandanganya pun semakin tak jelas menatap kedepan. Air mata telah membuat pandangnya menjadi buram.

AWASSSSS!!!

"Akkkkkk"

Alfan memilih membanting stang, namun terlambat, mobil yang berada di depannya berhasil menabrak.

BRUUKKKK

Alfan tersungkur dijalanan. Mobil itu berhenti sebentar, kemudian melaju lebih cepat dari sebelumnya.

Dari kepala Alfan mengalir darah segar, seketika pandanganya menjadi kunang-kunang dan perlahan ia melihat di sekelilingnya menjadi gelap, lalu matanya terpejam.

Tar....!!!

Sebuah gelas yang sedang dalam genggaman Maryam seketika terjatuh, ia merasa sangat kaget.

"Astaghfirullah" pekiknya. Pikiranya kini menjadi tidak enak.

"Ibuk kenapa?" tanya Alfin.

"Nggak papa Fin, nanti Ibu ambilin minum lagi ya buat minum obat kamu. Tadi gelasnya licin jadi Ibu gak pegang kuat-kuat makanya jadi jatuh dan pecah" jelasnya. Maryam segera membersihkan pecahan gelas itu.

"Aw.. " keluhnya. Tangan Maryam terluka dan mengeluarkan darah. Hatinya semakin tak karuan. Ketenangan di hatinya mulai terusik, rasa gelisah kini menyelimuti hatinya.

Tok.. Tok... Tok...

Suara pintu terdengar ada yang mengetuknya, Maryam segera menoleh dan berjalan pelan menuju pintu itu.

"Eh Nak Andre, ayo masuk!" ujar Maryam berusaha tatap ramah.

"Maaf ya Buk kalo kedatangan Andre malam-malam gini cuma ngengganggu, Andre cuma pengen nemenin Alfin" jelasnya.

"Ngak papa kok, ayo masuk! Tapi hati-hati masih ada pecahan gelas yang belum Ibu bersihkan. Yasudah kamu masuk, Ibu mau ambil alat kebersihan dulu"

Andre mengangguk, dan seketika pandangan Andre menatap pecahan gelas di lantai itu, ia juga melihat ada beberapa tetes darah berceceran di sana. Andre mendekati Alfin yang masih terbaring di ranjangnya.

"Ini gue bawain buah buat lo Fin, kebetulan tadi pas lewat gue liat masih ada toko buah yang buka"

"Makasih Ndre, taruh saja di situ" singkatnya. Senyuman Andre perlahan pudar saat ia tak mendapat respon yang baik dari Alfin.

"Lo kenapa Fin, kok keliatan sedih gitu?" tanya Andre sembari meletakan buah di atas meja.

"Aku lagi nungguin Ka Alfan Ndre, tadi dia bilang cuma pergi bentar, tapi kok sampe jam segini dia belum juga datang"

Andre tersenyum, ia manarik satu kursi plastik kemudian ia duduk di sebelah kanan Alfin. "Fin.. Mungkin Alfan lagi di jalan, lo sekarang istirahat dulu ya, jangan sampai buat dia kecewa saat liat lo belum tidur di jam seperti ini, kan lo musti banyak-banyak istirahat"

"Tapi Ndre aku-"

"Hssss!!!" Andre menaruh satu jari di bibir Alfin, membuat Alfin tiba-tiba terdiam. "Sekarang lo istirahat ya, gue gak mau keadaan lo semakin menurun, Fin" cemasnya.

Alfin kemudian tersenyum, ia benar-benar menyadari jika Andre memang perhatian padanya.

Sebuah mobil ambulan baru saja tiba di halaman rumah sakit. Para petugas dengan cepat menurunkan brankar dari mobil itu dan mendorongnya.

"Ayo cepat" ucap salah seorang petugas laki-laki diantara mereka. Seketika membuat yang lainya berjalan lebih cepat, bahkan setengah berlari. Tubuh Alfan sudah tak bergerak lagi, kedua matanya terpejam rapat dan sekujur tubuhnya dipenuhi dengan darah.

Maryam berpapasan dengan orang-orang yang semua wajahnya terlihat panik, rasa penasarannya yang kuat, akhirnya ia menyempatkan menengokan kepalanya walau hanya sekejab saat rombongan petugas melintasinya. Namun otaknya merespon begitu cepat, ia menyadari orang yang berada di atas branker itu adalah anaknya Alfan.

"Ya Alloh itu Alfan?" Maryam berucap keget. Maryam ikut berlari mengikuti rombongan petugas yang akan membawa Alfan ke ruang UGD itu.

"Dia kenapa, dia anak saya" ucap Maryam histeris. Salah seorang laki-laki kemudian menatap wajah Maryam dan ia melepaskan tangannya yang sejak tadi ikut mendorong branker, sedangkan yang lainya masih tetap mendorong branker itu menuju ruang UGD.

"Dia anak Ibuk?" tanya laki-laki itu sembari menatap wajah Marya. Maryam mengangguk cepat.

"Iya dia anak saya, dia kenapa? Kenapa bisa berlumuran darah seperti itu?"

"Anak Ibu kecelakaan"

"Kecelakaan?"

Laki-laki itu mengangguk. "Iya, yang sabar ya Buk!" ujarnya sembari menepuk lembut bahu Maryam. Laki-laki itu kemudian meninggalkan Maryam. Air mata Maryam tak lagi dapat di bendung, dadanya terasa sesak, dan tubuhnya terasa sangat rapuh. Maryam berjalan sangat pelan menuju ruang UGD, dengan sangat pelan ia duduk di kursi panjang sembari terus melihat pintu yang masih tertutup rapat.

Maryam masih menangis dengan suara tertahan, rasa teramat sedih ampai-sampai suara sesegukanpun ikut terdengar.

"Ya Alloh... Jagalah anaku Alfan, semoga dia baik-baik saja"

Terdengar pintu terbuka, membuat pandangan Maryam langsung menatap pintu yang ada di depanya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya dan mendekti Dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.

"Dok bagai mana dengan anak saya?"

"Anak Ibu belum sadarkan diri, dan sepertinya ada benturan di bagian kepalanya. Untuk hasil selanjutnya kita masih menunggu hasil ronsen"

"Apa benturan itu berbahaya Dok?"

"Kita belum bisa memastikan, semoga saja tidak Buk, permisi"

Tak lama dari itu, para Suster memindahkan Alfan ke kekamar rawat, Maryam berjalan mengikuti langkah di mana para Suater itu membawanya. Setelah beberapa saat para suster itu keluar, Maryam dengan pelan mendekati pintu kamar dan membukanya. Ia berjalan dengan langkah enggan, matanya tak beralih dari wajah anak sulungnya itu.

Tubuh Alfan kini terbaring lemah, membuat sang Ibu ikut merasakan kerapuhan itu. Sebagai anak sulung, kehadiran Alfan ke dunia tentu sangat di nanti-nanti oleh kedua orang tuanya, namun keberuntungan tak berpihak pada sang Ibu yang merasa sangat bahagian kala itu. Ia harus kehilangan putra sulungnya dari asuhanya belasan tahun lalu.

"Ya Allah... Setelah sekian lama, baru kali ini aku bisa kembali dekat dengan anaku. Tolong aku, jangan pisahkan kami untuk kedua kalinya. Sadarkanlah anaku ya Allah, aku rela menukarnya dengan apapun"

Maryam sesegukan, pandanganya kini tertuju pada tangan Alfan yang di tancapi dengan jarum infus. Ia memegang tangan itu dengan halus, terasa sangat berbeda. Saat masih bersamanya waktu dulu, tangan itu masih sangat kecil dan juga sangat lemah.

Tangan Maryam bergetar saat ingin memegang pipi Alfan, tangisanya semakin terdengar saat suasana begitu hening.

"Bangun Fan, ini Ibuk. Ibuk gak mau kemu kenapa-kenapa Nak" ucapnya penuh harap. Maryam mengusap rambut Alfan dengan penuh kasih sayang. Setelah belasan tahun lamanya, baru kali ini ia kembali menyentuh anaknya itu dengan tenang. Rasa rindu yang selama ini ia dambakan kini telah menjadi kenyataan, karna saat ini anak yang ia sayangi sudah berada di depanya. Namun rasa itu masih belum cukup jika ia tak melihat senyuman di wajahnya, bahkan nasibnya saat ini belum tau, Alfan akan membuka matanya kembali atau akan terpejam selamanya.

Maryam kemudian berdiri, terasa sangat tak tega jika ia meninggalkan Alfan sendirian, namun ia juga harus kembali menemui anaknya Alfin. Maryam mengecup kening Alfan, kemudian dengan berat hati ia meninggalkan Alfan sendirian.

Maryam kini keluar dari kamar itu, ia berjalan tak bersemangat. Pikiranya selalu di hinggapi rasa takut jika tak bisa melihat Alfan tersenyum lagi. Namun sekuat tenaga ia menepis bayangan itu, yang ia harapkan adalah bisa kembali berkumpul dengan kedua anaknya dan hidup bahagia.

Saat ia sampai di depan kamar Alfin, Maryam segera menghapus air matanya, setelah itu ia membuka pintu dan sekejap pandangan Alfin dan Andre tertuju padanya.

"Ibu dari mana saja, kok lama?" tanya Alfin. Maryam berusha tersenyum dan mendekati putranya.

"Maaf ya Fin.. Ibu lama, tadi Ibu nyasar salah jalan" jawabnya berbohong. Alfin kemudian tersenyum dan ia kebali memejamkan matanya. Andre tersenyum.

.

                = = = =

.

Reza terbangun saat terdengar suara alarm di ponselnya, tangan kananya meraba mencari ponselnya yang pagi ini sangat mengusik tidurnya. Setelah tanganya merasa memegang ponsel itu, ia segera mematikan dengan mata yang masih terpejam. Ia kemudian merenggangkan otot-ototnya, menguap lebar, kemudian dengan malasnya ia pun bangkit dari tempat tidurnya.

Reza segera menuju kamar mandi, dan setelahnya ia memakai seragam sekolahnya. Saat ini ia sudah terlihat sangat rapi, Reza kemudian keluar dari kamarnya dan menuju kamar Alfan yang berada di sebelah kamarnya. Reza mengetuk pintu kamar itu, namun ia tak mendapatkan jawaban dari dalam sana.

"Ka Alfan pasti belum bangun" gumamnya, Reza membuka pintu kamar itu dan ia segera masuk.

"Ka Alfan gak ada di ranjangnya? tumben jam segini udah bangun, mungkin lagi mandi kali" Reza duduk di ranjang tempat tidur Alfan, ia tersenyum saat melihat ada foto yang terbingkai di atas meja belajar Alfan. Namum itu foto Reza sendirian, karna dari dulu mereka memang tak pernah berfoto sama-sama, foto Reza saja baru beberapa hari ini terpajang di kamar itu.

"Seneng banget Ka Alfan sekarang sudah mau pajang foto Reza disini" ujarnya, ia tersenyum sembari memeluk fotonya sendiri. Pandangan Reza kemudian beralih pada jam tangan Alfan yang lama yang ia lepas tadi malam, ia sangat senang karna Alfan masih memakai jam tangan pemberianya tadi malam.

Sudah bebera menit Reza duduk di ranjang itu, namun ia baru menyadari kalau sejak tadi ia tak mendengar ada suara guyuran air, ia segera membuka pintu kamar mandi itu dan ia baru menyadari pula jika Alfan memang tak ada di kamarnya.

"Kok kamar mandinya masih kering, tak ada tanda-tanda Ka Alfan abis mandi? Trus dia kemana? Padahal tadi malem kan dia masih dirumah?" Reza lalu menutup pintu kamar mandi itu dan ia turun menuju meja makan untuk memastikan kalau Alfan sudah berada di meja makan. Namun lagi-lagi ia tak melihat ada Alfan di sana, ia hanya melihat Mamanya yang masih sibuk menyiapkan sarapan pagi.

"Ma... Ka Alfan kemana? Kok di kamarnya gak ada?" tanya Reza pada Mamanya.

"Masa gak ada Za, semalem aja dia datang kekamar Mama kok"

"Reza serius Ma, tadi malam juga Reza baru dari kamar Kak Alfan dan ngasih jam tangan"

Melinda mengeryit. "Jam tangan?"

"Iya.. Itu sudah Reza beli saat ulang tahun Kak Alfan dulu, tapi baru semalam Reza ngasihnya"

"Oh.. " Melinda tersenyum bahagia. "Yasudah biar Mama telepon dia ada di Mana" Melinda segera melakukan panggilan pada nomor Alfan, tak lama panggilan itupun terjawab.

"Halo.."

"............."

"Loh ini bukanya nomornya Alfan?"

"............."

"Loh kok bisa? Saya serius"

".............."

"Baik kalo gitu terimakasih infonya, tolong kasi tau di kamar mana ia dirawat!"

".............."

Panggilan terputus.

"Ada apa, Ma?" tanya Reza.

"Akfan masuk rumah sakit, kecelakaan tadi malam"

"Kok bisa Ma?"

"Udah jangan bawel, Mama mau kerumah sakit dulu"

"Reza ikut, Ma"

"Kamu gak sekolah? Yaudah ayo buruan!"

"Bentar Ma, Reza ganti baju dulu"

"Yasudah buruan jangan lama-lama"

Mlelinda menuju kamarnya, membangunkan suaminya yang masih tertidur pulas.

"Mas bangun Mas!"

Hening...

"Mas bangun" Melinda menggucang tubuh suaminya lebih kencang.

"Hem.." gumamnya.

"Bangun!!!"

"Ada apa sih Ma, masih pagi juga"

"Aku mau kerumas sakit Mas, Alfan kecelakaan"

"Trus" ujar suaminya yang masih dalam keadaan mata terpejam.

"Ih... Kamu itu ya, dari dulu gak pernah berubah. Yasudah kalo gak mau ikut, aku pergi sama Reza" Melinda keluar dari kamarnya dengan perasaan kesal. Kesal dengan tingkah suaminya yang seolah tak punya hati.

Melinda terlihat sangat panik, ia dan Reza segera naik ke mobilnya dan melaju dengan cepat. Dalam perjalananya, Melinda terlihat sangat gelisah, dan pikiranya tak karuan. Saat mereka sudah sampai di halaman parkir, keduanya turun dengan buru-buru, bahkan mereka berjalan pun sangat cepat.

Sesampainya di depan pintu kamar dimana Alfan di rawat, kedua mata Melinda menatap Maryam dengan tatapan tajam penuh amarah, ia sangat tak rela jika Alfan berada di dekat Ibu kandungnya. Mata Maryam pun membulat saat menyadari kedatangan Melinda yang tiba-tiba. Ia sangat takut, karna Melinda sudah pasti akan memarahinya. Melinda kemudian berjalan menuju Maryam dengan wajah yang terlihat sangat murka.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar