Sabtu, 05 Maret 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 17
-------------------
By. Aby Anggara
=======================

*-*-*

"Kak Alfan kenapa.., kenapa kepalanya di bungkus gitu?" saat ini Alfan hanya diam, ia masih memperhatikan wajah Alfin yang terlihat semakin lemah. Matanya tampak sayu. Tangan Alfan mengusap air mata Alfin yang keluar secara tiba-tiba.

"Maafin Kak Alfan yan Fin, Kakak gak bisa jagain kamu dengan baik" wajah Alfan dan Alfin kini masih saling bertemu, sedangkan Melinda dan Reza masih mematung di depan pintu.

"Jangan bilang seperti itu Kak, jangan buat Alfin tambah sedih. Alfin sayang Kakak"

"Kakak juga sayang kamu Fin, kamu cepat sembuh ya"

Alfin nganggu sambil sesegukan.

Melinda langsung mendekati Alfan dengan wajah geramnya, sedangkan Reza berjalan mengekor di belakang Mamanya.

"Kamu masih harus istirahat sayang, ayo kembali ke kamar!" Melinda memegangi tangan Alfan seperti memaksanya untuk keluar dari ruangan ini.

"Lepasin Ma, aku gak mau pulang. Aku mau di sini jagain Alfin"

"Tapi kamu masih harus istirahat sayang" Melinda kali ini menyeret tangan Alfan lebih keras. Reza hanya melihat keduanya dengan tatapan penuh iba.

"Nyah tolong jangan paksa Alfan, biarkan dia berjalan dengan sendirinya" kali ini Maryam ikut angkat bicara.

"Diam kamu!" serga Melinda.

Maryam tergelonjat.

"Ma lepasin Alfan, tangan Alfan sakit Ma" keluh Alfan memohon, namun sepertinya Melinda tak menghiraukan ucapan Alfan, iya masih berusaha menyeret Alfan keluar dari ruangan itu. Karna tubuh Alfan masih sangat lemah, akhirnya tangan Alfan dan tangan Alfin kini terlepas dan kali ini mereka berjarak semakin jauh.

"Jaga diri baik-baik ya Fin" pesan Alfan.

"Kak jangan tinggalin Alfin lagi" Alfin menangis, namun kini wajah Alfan sudah tak terlihat lagi saat sudah melewati pintu keluar. Akhirnya Alfan mengalah dan memilih menuruti langkah kaki Mamanya yang membawanya ke ruang istirahatnya.

Reza tampak bingung di ruangan itu, namun akhirnya tanpa sebuah kata ia ikut pergi kembali keruang kamar Alfan. Alfan kini terbaring di ranjangnya, ia membuang pandangan dari Mamanya. Rasa kebencian kini menyelinap di hatinya.

"Fan...?" panggil Melinda. Alfan masih diam, bahkan ia tak ada niat sedikitpun untuk menengokan kepalanya pada sumber suara yang memanggilnya.

"Maafin Mama Fan, Mama ngelakuin ini karna Mama itu sayang sama kamu. Mama hanya ingin kamu cepat sembuh sayang"

Hening.

Lagi-lagi Alfan hanya diam. Telinganya mendengar, namun ia enggan untuk menjawabnya. Mata Alfan hanya berkedip sembari di iringi dengan butiran bening yang mengalir.

"Fan... Kamu boleh minta apapun dari Mama, tapi tolong jauhi Maryam serta anaknya" Mendengar kalimat itu, sontak kepala Alfan langsung berpaling dan menatap wajah Mamanya tanpa berkejap.

"Kenapa Ma, kenapa Mama selalu larang Alfan deket-deket sama Alfin? Dia Adik aku Ma.."

Wajah Reza yang sejak tadi menunduk, kini terkaget menatap Alfan saat ia mendengar pengakuan itu, ia semakin yakin kalau Alfan dan Alfin ada hubungan. Sebenarnya ia sudah tak sabar ingin menanyakan hali ini, tapi ia masih belum menemukan waktu yang pas untuk menanyakanya.

"Fan..." tangan Melinda menyeka air mata Alfan, namun Alfan menepisnya. "Mama cuma... Mama cuma takut kalau sampai kehilangan kamu Fan. Mama sayang sama kamu"

Tok tok tok.

Dokter yang baru datang mengetuk pintu yang memang sudah terbuka sejak tadi, sontak membuat ketiganya menoleh pada orang yang berdiri di depan pintu, dan ternyata seorang Dokter laki-laki yang baru saja datang berdiri di sana. Melinda segera menghapus air matanya.

"Permisi, saya akan memeriksa keadan pasien"

"Silahkan, silahkan Dok" Melinda dan Reza tanpa di suruh sudah memilih untuk keluar terlebih dahulu.

Dari jarak yang masih lumayan jauh Reza menangkap sosok Arlan yang sedang berjalan menuju kearahnya. Tak lama Arlanpun sampai.

"Sore Tante" sapa Arlan ramah.

"Sore Nak Arlan, eh sendirian aja ni?"

"Tadinya mau sama pacarnya Ma, tapi pacarnya gak mau" goda Reza.

"Hus kamu ada-ada saja, Za"

Arlan cuma semyum.

"Gimana keadaan Alfan Tante?"

"Di dalem masih di periksa Dokter, tapi tadi Alfan udah siuman kok Ar"

"Wah syukurlah kalo gitu, Arlan ikut senang Tan"

"Makasih loh Ar sudah mau repot-repot jengukin Alfan" ujar Melinda.

"Ah sama sekali gak ngerepotin kok Tan, Arlan malah seneng kalo sering-sering jenguk Alfan"

Pintu di buka seorang Dokter pun segera menampakan dirinya.

"Gimana Dok?" sepertinya Melinda sudah tidak sabar ingin nendengar perkembangan anaknya. Sang Dokter tersenyum.

"Syukurlah Buk, anak Ibuk sudah menunjukan kemajuan yang sangat pesat. Dalam waktu dekat beliau sudah boleh pulang"

"Alhamdulillah" ucapnya serempak.

"Baik Buk kalo begitu saya permisi dulu"

"Iya Dok, silahkan"

Melinda, Arlan dan Reza segera memasuki ruangan itu dengan senyuman bahagia.

*-*-*

"Keadaan pasien semakin hari semakin buruk, kini HIV sudah menjadi AIDS. Hal ini di sebabkan karna daya tahan tubuh pasien yang tak mampu menahan serangan virus, di tambah lagi virus-virus ganas semakin menggerogoti sistim kekebalan tubuhnya"

Mendengar tuturan sang Dokter barusan, Maryam terlihat sangat syok. Dadanya terasa sesak bagai di hantam batu yang sangat besar. Air matanya pun tak mampu lagi ia sembunyikan.

"Jadi bagai mana Dok? Apa masih bisa ada kemungkinan untuk sembuh?" Maryam menatap sang Dokter dengan sejuta harapan di hatinya. Sang Dokter menundukkan kepalanya, ia terlihat sangat tak enak hati untuk nenyanpaikan lebih banyak lagi.

"Sabar Buk, serahkan semua pada Tuhan. Semoga masih ada keajaiban yang akan merubah segalanya, saya permisi dulu" sang Dokter kini pergi dari hadapan Marya. Seketika suasana menjadi hening, hati Maryam kini terasa sangat pilu.

Maryam membekap mulutnya, menagis tertahan tanpa suara.

"Tuhan... Belum puaskah kau mengambil semuanya dariku? Apa kali ini kau benar-benar akan kembali nengambil orang terdekatku? Dialah satu-satunya orang yang ku punya saat ini. Aku mohon... Jangan sampai luka lama itu terbuka kembali. Jika bisa di tukar, aku rela menukar diriku berbaring di sana menggantikan anaku. Dia masih sangat dini dan dia sama sekali belum menikmati masa depan yang seharusnya masih sangat panjang"

"Buk.." panggil Alfin. Maryam kini menyeka air matanya dan membalikan tubuhnya menatap Alfin.

"Ya Fin ada apa?"

"Kak Alfan kok gak pernah datang jenguk Alfin lagi ya Buk?" ujar Alfin dengan suara lirih. Maryam menoleh Alfin, rasa sesak kini semakin ia rasakan.

"Sabar ya Fin, mungkin Kakakmu masih butuh istirahat"

"Ibuk kenapa nangis?"

Maryam kini semakin terisak, ia tak mampu lagi membendung air matanya.

"Gak papa Fin. Janji ya Fin kamu harus sembuh, jangan buat Ibu khawatir"

Alfin ngangguk.

Kini rasa takut di tak bergeming menyelimuti hati Maryam, harapan itu seperti sangat jauh dan tak akan berpihak padanya. Namun sebisa mungkin ia menepis bayangan itu, walau ia tau semakin memungkiri semakin membuat sesak di dadanya.

Sudah seminggu Alfan di rawat di rumah sakit, hari ini ia sudah di izinkan pulang oleh Dokter. Keadaanya pun sudah benar-benar membaik. Melinda dan Reza masih sibuk membereskan barang-barang, sedangkan Alfan masih duduk melamun di atas ranjangnya. Melinda yang melihat Alfan sedang melamun langsung menghentikan aktivistasnya dan duduk di sebelah Alfan. Alfan masih tampak diam, bahkan ia tak merespon kehadiran Mamanya walau ia mengetahuinya.

"Kamu kenapa Fan? Bukanya seneng udah di bolehin pulang?" Melinda masih menoleh Alfan, namun Alfan langsung terlentang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Matanya terkejap menatap langit-langit di ruangan itu.

"Ma.. Aku boleh ya jenguk Alfin sebelum pulang?" Alfan memohon pada Mamanya. Pandangnya tak bergeming, ia masih menatap langit-langit kamarnya itu.

"Fan plis! Kali ini saja ngertiin Mama"

Alfan bangkit dari tempat tidurnya, wajahnya menoleh Mamanya penuh kekecewaan. Seberapapun ia memohon, ia tetap tak akan mendapatkan izin untuk bertemu dengan Alfin.

"Mama jahat" Alfan bergegas dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan itu.

"Fan tunggu Mama Fan!" Melinda membantu Reza mebawa tas besar lalu mereka meninggalkan ruangan itu. Melinda dan Reza berjalan setengah berlari untuk mengejar Alfan yang sudah pergi lebih dulu.

"Ka Alfan tungguin Reza dong" Reza memanggil Alfan dengan nada manja, sontak membuat Alfan memberhentikan langkahnya. Namun Alfan tak menoleh kebelakang.

"Jangan marah dong Kak, Reza tau perasaan Kakak, tapi yang di bilang Mama ada benarnya. Kak Alfan pulang dulu saja karna masih harus istirahat sebelum masuk sekolah lagi" Reza berusaha menenangkan Alfan, namun Alfan tampaknya enggan untuk berkomentar. Mereka bertiga kini melanjutkan jalan sama-sama.

Sampai di mobil Reza dan Melinda langsung menyusun tas di bagasi, sedangkan Alfan langsung saja membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk di sana. Kini Melinda sudah berada di depan, namun Reza memilih duduk di samping Alfan. Tanpa aba-aba Melinda langsung menyalakan mobilnya dan mulai melaju di jalan raya.

Hening.

Semua yang ada di dalam mobil masih diam membisu. Alfan menatap lurus kedepan tanpa berkedip. Sedangkan Melinda sesekali mencuri pandangan Alfan lewat kaca yang ada di depan matanya. Tangan Reza bergetar, ia memberanikan diri memegang tangan Alfan yang masih berada di atas pahanya sendiri. Mendapat perlakuan itu, Alfan menoleh pada Reza, sedangkan Reza hanya senyum-senyum yang Alfan sendiri tak mengetahui arti senyuman itu.

"Aku senang akhirnya Kak Alfan sudah sembuh dan sudah di bolehi pulang" suara Reza memacahkan keheningan yang sejak tadi membeku. Melinda ikut senyum lewat kaca itu, ia merasa sangat senang karna akhirnya Alfan dan Reza benar-benar bisa akur dan saling menyayangi.

"Makasih ya, Za" singkat Alfan. Reza hanya senyum.

Tak lama mereka sudah sampai di depan rumah mewah berlantai dua. Alfan segera turun dan menuju kamarnya, sedangkan Reza membantu Mamanya membawa tas yang masih berada di bagasi mobil. Alfan kini berdiri di depan cermin besar, ia melepas kalung yang masih melekat di lehernya. Kalung itu adalah satu-satunya benda yang mengingatkan ia dengan keluarganya.

"Kalung itu pasti sangat berarti ya Kak?" suara Reza yang tiba-tiba membuat Alfan kaget, ia berbalik untuk menemui sumber suara.

"Iya Za, bahkan sangat penting buat Kakak. Tapi maaf ya Za, jam pemberian kamu kemarin pecah dan rusak gara-gara kecelakaan malam itu, padahal baru satu jam lebih berada di tangan Kakak" Alfan duduk di ranjang, di susul dengan Reza di sebelahnya.

"Gak usah terlalu di fikirin Kak, yang penting keselamatan Ka Alfan jauh lebih penting" Reza senyum.

"Makasih ya Za udah mau ngerti"

"Kak Alfan dan Alfin saudara ya?" tanya Reza. Reza langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju teras kamar Alfan. Seketika angin menyapu tubuh Reza seolah menyambut kedatangnya. Reza berdiri dengan kedua tangan memegangi pagar besi. Dengan mata yang menatap ke arah jalan yang di lalui oleh mobil dan kendaraan lainya.

Entah sudah beberapa lama Alfan kini sudah berdiri di sebelah Reza, menghirup udara segar di sore itu. "Kamu tau dari mana, Za?" tanya Alfan.

"Kenapa Kak Alfan gak pernah cerita sama Reza?" kini Reza balik bertanya masih tanpa menatap Alfan, pandangan wajahnya masih di sibukkan dengan kendaraan yang tak lengah dari pandangannya.

"Bukan Kak Alfan gak mau cerita Za, tapi Kakak masih nunggu waktu yang tepat buat cerita sama kamu. Dan Kak Alfan juga belum lama kok tau semua ini. Dan saat itu juga Kakak baru tau kenapa Papa selalu pilih kasih, ternyata Kak Alfan bukan anak Mama dan Papa"

Reza menoleh pada Alfan, rambutnya terbias beterbangan karerna terkena terpaan angin sore itu. "Tapi Reza tetap sayang kok sama Kak Alfan walau kak Alfan bukan Kakak kandung Reza. Awalnya memang sangat sesak sat tau semua itu, tapi Reza berusaha untuk tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Karna Reza tau Kak Alfan juga sayang sama Reza, dan Reza juga yakin kalo Kakak gak bakalan ninggalin Reza" kini Reza menatap Alfan penuh harap, dalam hati pun berdoa apa yang ia yakini adalah benar.

"Iya Za, Kak Alfan janji gak bakalan ninggalin kamu. Kak Alfan bakalan selalu ada buat kamu"

"Makasih ya Kak" Reza memeluk tubuh Alfan dengan penuh kebahagiaan, berharap kebahagiaan seperti ini selalu dapat ia rasakan.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar