Kamis, 03 Maret 2016

Percintaan Sedarah
Epesode 16
--------------------
By. Aby Anggara
=======================

*-*-*

Maryam lalu berdiri dan menundukan kepalanya, sedangkan Reza masih tampak bingung karena tak mengetahui persoalan yang sebenernya.

"Ngapain kamu disini, ini semua pasti gara-gara kamu. Iya kan?" tuduh Melinda.

"Tapi Nyah saya-"

"Keluar!" teriak Melinda dengan mata mendelik, Maryam tergelonjat kaget.

"Tolong izinkan saya untuk jagain anak saya" rintihnya, ucapan itu membuat Reza semakin bingung menoleh Mamanya dan Maryam bergantian.

"Saya bilang keluar, ya keluar!!!" kali ini suara Melinda lebih keras, bahkan ia tak sadar jika saat ini sedang berada di rumah sakit.

Mata Maryam berkaca, dan ia berjalan menuju pintu.

"Maaf saya harus bicara dengan keluarga pasien, apa Anda orang tuanya?" tanya Dokter yang baru saja datang. Pandangan sang Dokter menuju pada wajah Maryam.

"Saya orang tuanya Dok" suara Maryam dan Melinda berbarengan. Membuat Dokter itu bingung menatap Melinda dan Maryam bergantian. Tak lupa dengan Reza, ia semakin bingung dengan pengakuan Maryam yang mengaku kalau Alfan adalah anaknya.

"Jangan becanda Buk, saya serius" tegas Dokter.

"Beneran Dok, saya Mamanya" ulang Melinda. Lalu ia mendelik pada Maryam seolah menyuruhnya untuk tutup mulut. Kali ini Maryam diam.

"Begini, kami akan melakukan pengobatan lebih lanjut pada pasien, berdasarkan peraturan rumah sakit ini, Ibu harus membayar andministrasinya terlebih dahulu agar pasien bisa cepat di tangani"

"Baik Dok, sekarang juga saya akan melunasinya" kata Melinda.

"Terimakasih" Dokter itu masuk dan memeriksa Alfan, sedangkan Melinda langsung menyelesaikan administrasi.

Maryam yang merasa sudah terusir dari ruangan itu berjalan kembali ke kamar rawat Alfin, sedangkan Reza yang masih berdiri di pintu nampak bingung. Padanganya menoleh Dokter dan Maryam bergantian. Namun akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Maryam untuk membesuk Alfin.

"Buk tunggu!" Reza berlari kecil mengejar Maryam, Maryam membalikan tubuhnya. "Reza sudah tau surat izin sekolah kalau Alfin masuk rumah sakit akibat penyakitnya, dan kebetulan bertemu dengan Ibu disini. Boleh Reza sekalian jenguk Alfin?"

"Kamu anak yang baik Nak. Silahkan, dengan senang hati"

Tanpa izin dari Mamanya Reza kini menuju kamar rawat Alfin, mereka jalan bersama. Saat pintu di buka, Alfin monolehkan kepalanya melihat sosok yang baru saja datang. Alfin mengulas senyum saat melihat teman sekolahnya kini datang menjenguknya.

"Kamu baik-baik saja, Fin?" tanya Reza. Alfin mengangguk seolah tak mau membuat Reza berfikir yang lebih jauh. Namun Alfin kembali terlihat sedikit cemas. "Semoga cepat sembuh ya Fin, maaf aku gak bisa banyak bantu kamu" lanjutnya.

"Nggak papa Za, kamu sudah datang saja aku sudah senang"

"Syukurlah kalo gitu"

"Kak Alfan gak ikut jenguk aku ya Za? Apa dia hari ini masuk sekolah? Soalnya dari semalem Ka Alfan belum datang lagi"

"Memangnya kamu belum tau kalau Kak Alfan-"

"Em.. Nak Reza maaf, biarkan Alfin istirahat dulu ya" ucap Maryam memotong pembicaraan Reza.

"Belum tau apa, Za?" tanya Alfin cepat. Reza menatap Maryam, sepertinya ia baru menyadari kenapa Ibunya Alfin memotong pembicaraanya tadi.

"Fin maaf ya aku buru-buru, besok aku datang lagi. Buk, Reza pamit dulu ya"

Reza keluar dari kamar itu, otaknya bekerja membayangkan kejadian saat ia baru saja memasuki kamar Alfan tadi. Di mana Maryam mengaku kalau Alfan adalah anaknya. Ia sendiri masih tampak bingung.

"Kenapa Ibunya Alfin tadi bisa ada di kamar rawat Ka Alfan ya? Trus kenapa Mama Meli juga seperti sudah mengenalnya. Tapi kenapa Mama Meli marah-marah dengan Ibunya Alfin? Sepertinya ada sesuatu yang aku gak tau deh"

Reza kemudian membuka pintu kamar Alfan, ia melihat Mamanya sedang memegangi tangan Alfan disana. Sesekali menciumnya. Reza berjalan pelan medekati keduanya, melihat di tangan Alfan yang di tancapi dengan jarum infus serta kepalanya yang terbalut oleh perban.

"Sayang ayo bangun, ini Mama" seru Melinda, ia terlihat sangat terpukul atas kejadian yang menimpa anaknya Alfan.

"Ma.." Reza memegang bahu Mamanya. "Sabar ya Ma, semoga Ka Alfan bisa cepat siuman" Reza berusaha menenangkan Mamanya.

Melindah membuka mulutnya semakin besar, ia menagis dengan suara tertahan. Ia mengingat-ingat kembali saat kejadian terakhir kali ia berbicara dengan Alfan di kamarnya. Saat Alfan memohon padanya di mana Alfan meminta uang untuk biaya rumah sakit Alfin. Mengingat kejadian itu membuat Melinda merasa sesal. Mungkin jika ia memberi uang itu kejadian ini tak akan menimpa Alfan. Namun wajahnya terlihat geram, mengutuk penuh sumpah serapah saat mengingat semua ini adalah gara-gara anaknya Maryam yang bernama Alfin.

"Liat saja kamu Marya jika terjadi sesuatu dengan Alfan, saya gak akan segan-segan buat hidup kamu lebih menderita" ujanya dalam hati.

Ponsel Reza berdering, terlihat nama Arlan dan ia segera menjawab panggilan masuk di ponselnya.

"Halo, Kak"

"Za.. Kok Kak Arlan cari-cari kamu di kelas gak ada, kamu gak masuk sekolah?"

"Iya Kak, Reza sengaja bolos"

"Tumben amat?"

Reza menghela nafas. "Ka Alfan masuk rumah sakit Kak"

"Serius, Za? Pantesan dia juga gak keliatan. Tapi kok bisa gitu kenapa memangnya?"

"Ka Alfan kecelakaan"

"Oke tar selesai jam pelajaran Ka Arlan kesana"

Panggiilan terputus.

*-*-*

Mendapati Alfan yang terbaring di ranjang rumah sakit, kali ini tak ada lagi yang menghalangi Andre untuk membantu pembiayaan Alfin. Ibu Maryam bahkan sangat berterimakasih dengan Andre yang sudah mau membantu dirinya dari kesusahan dalam pembiayaan Alfin. Maryam merasa legah karna tak lagi memikirkan pembiayaan yang menjadi beban pikiranya, namun ia berharap Alfin segera membaik agar ia bisa kembali berkumpul dengan anaknya.

"Bagai mana keadaan anak saya, Dok?"

Dokter yang berdiri di depan Maryam kini menghela nafas. "Sepertinya daya tahan tubuh anak Ibu tidak cukup kuat untuk menahan serangan virus, sehingga virus HIV kini semakin menyebar masuk ke pembulu darah"

Maryam membekap mulutnya, kabar ini bukanlah yang ia tunggu.

"Apa anak saya masih bisa sembuh, Dok?" ujar Maryam yang belum puas dengan jawaban Dokter.

"Kita hanya bisa berusaha Buk, Tuhanlah yang menentukan semuanya. Permisi"

Maryam mendekati Alfin, wajah sedihnya tak dapat ia sembunyikan. Ia duduk di sebelah Alfin. Maryam mendongak menatap langit-langit, mengerjapkan matanya beberapa kali agar air matanya tak tumpah. Andre pun masih diam, kali ini hening merajai ruangan itu. Alfin memandangi Andre dan Ibunya bergantian, tatapannya terlihat sayu.

"Penyakit Alfin semakin parah ya, Buk?" Alfin menatap wajah Ibunya dengan tatapan putus asa. Maryam tersenyum getir, dadanya terasa amat sesak.

"Sabar ya Fin, ini semua cobaan. Kamu harus bisa melewati semua ini nak, Ibu akan selalu do'akan kamu"

"Tapi bagai mana kalau Alfin gak-"

"Fin... Ibuk gak suka kamu bicara seperti itu"

"Alfin sayang sama Ibuk"

"Ibuk juga sayang sama kamu Nak. Ibu harus pulang dulu ambil perlengkapan kamu sekalian nengokin Nenek di rumah. Kamu disini dulu ya?"

Alfin mengangguk.

"Nak Andre Ibuk titip Alfin dulu ya? Ibuk mau pulang sebentar"

"Dengan senang hati Buk, Andre pasti jagain Alfin kok" Andre membuka senyuman.

Maryam berjalan menuju pintu, sebelum benar-benar keluar ia menatap Alfin sekali lagi.

"Tuhan... Dahulu kau pisahkan aku dengan suamiku, kemudian kau jauhkan aku dengan anaku Alfan. Lalu kali ini apa kau akan melakukan hal yang sama terhadapku? Aku sudah berusaha sabar menghadapi semua ini, namun rasa sesak di dadaku tak akan pernah hilang jika aku belum mendapai Alfin tersenyum tanpa beban"

Maryam berusaha membuat senyuman, hanya inilah yang mampu ia lakukan. Ia menutup pintu kemudia ia benar-benar pergi.

Andre meraih tangan Alfin, jarinya dan jari Alfin kini salin bertautan, kemudian ia mencium punggung tangan Alfin.

"Lo jangan sedih Fin, gue bakalan selalu ada buat lo, dan gue pasti akan jagain lo"

"Ndre.. seandainya aku gak bisa bertahan, aku ikhals kok dan aku-"

"Gue mohon Fin, lo harus bertahan. Demi gue. Gue sayang sama lo" Andre sangat menaruh harapan penuh pada Alfin, ucapan Alfin barusan membuatnya semakin merasa bersalah dengan apa yang telah ia lakukan waktu lalu. Namun ini adalah kenyataan yang tak dapat di rubah lagi, tak dapat di ibaratkan dengan sebuah kata, dan hanya ada rasa penyesalan di belakangnya.

Alfin mengerjapkan matanya, mengalir butiran bening di sudut matanya. Andre menyeka dengan tangannya yang gemetar. "Please jangan nangis, jangan buat gue semakin merasa bersalah, Fin"

"Aku gak nangis kok Ndre"

"Gue harap juga gitu, gue gak mau liat ada air mata lagi Fin"

"Makasih ya Ndre" Andre senyum, dengan pelan-pelan Andre mendekatkan bibirnya ingin mengecup kening Alfin. Namun hal itu tak terlaksana, karna suara pintu ada yang mengetuknya. Sontak pandangan Alfin dan Andre tertuju pada pintu yang masih tertutup.

"Itu pasti Kak Alfan" Alfin mengulas senyum penuh semangat di bibirnya, dalam hitungan detik pintu itu sudah di buka, namun senyuman Alfin kembali hilang saat mendapati Reza yang muncul dari balik pintu itu. Tak sesuai harapanya.

"Fin.. Nih aku bawain buah buat kamu" Reza tersenyum tulus.

"Makasih ya Za, tapi dari kemarin kok Kak Alfan gak datang-datang ya Za? Apa Kak Alfan udah lupain Alfin yang ada di sini?"

Mendapat pertanyaan itu, Reza dan Andre saling bertatapan. Reza seperti meminta pendapat pada Andre. Ia sangat bingung bagai mana cara menjelaskannya pada Alfin.

"Fin.. Mungkin Alfan masih sibuk kali, makanya dia belum sempat jenguk kamu lagi" kali ini Andre yang menjawab pertanyaan yang di lemparkan pada Reza.

"Bohong! Padahal kemarin janjinya cuma pergi bentar, tapi kenapa sampai sekarang belum nemuian Alfin juga?"

Hening.

Semua terdiam.

Sepertinya kedatangan Reza kali ini di waktu yang tidak tepat.

"Tadi Kak Alfan masuk sekolah gak Za?" selidik Alfin. Reza diam lalu menggeleng lemah.

"Terus ada di rumah?"

Lagi-lagi Reza menggeleng lemah.

"Terus kemana?" desak Alfin lagi. Reza kembali menatap Andre. Rasa bingung kini merajai hatinya.

Drettt dreet dreettt

Ponsek Reza bergetar, dan ia mengambil dari saku celananya.

"Fin Maaf ya aku harus pergi sekarang, Mama udah nungguin aku" kata Reza

Alfin ngangguk.

*-*-*

Air mata Melinda mengalir, ia tak henti-hentinya nenagis. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sedangkan Reza masih duduk mematung menatap wajah Alfan dan Ibunya bergantian.

"Fan ayo bangun sayang, ini Mama" suara Melinda terdengar sangat sedih.

"Iya Kak ayo bangun, Reza kangen pengen pergi sekolah lagi sama Kak Alfan" Reza pun ikut sedih melihat keadaan Alfan yang belum sadarkan diri.

Di kamar ini hanya terdengar suara isakan dan suara sesegukan diantara Reza dan Mamanya. Jemari Alfan mulai bergerak, pelan-pelan matanya ikut terbuka. Ya, Alfan mulai siuman. Pandangan matanya terlihat blur, namun lama kelamaan ia bisa melihat Melinda dan Reza yang sedang tersenyum di sebelahnya.

"Kamu sudah bangun, Fan?" tanya Melinda kegirangan. Senyuman indah kini di pipinya, sangking bahagianya ia pun dengan asal mengusap air mata yang sempat membuat pandangnya berkabut.

"Reza senang liat Kak Alfan sudah bangun"

Alfan menatap Mamanya, dengan tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa masih sedikit sakit.

"Kepalanya masih sakit ya Fan? Jangan banyak gerak dulu sayang, kamu masih harus banyak istirahat"

Bibir Alfan masih meringis menahan sedikit sakit di kepalanya, bukan sedikit, mungkin sangat sakit hingga ia berusaha menahan sakit yang kini masih bersarang di kepalanya.

"Alfin" ucap Alfan tiba-tiba. Kalimat itu yang pertama keluar sejak membuka matanya beberapa menit lalu. Ia teringat dengan Adiknya Alfin. Pandangan mata Alfan memutari sekeliling isi ruangan itu, dan ia baru sadar kalo dia saat ini sedang berada di rumah sakit. Alfan kembali meringis dan masih memegangi kepalanya, ia berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum ia tak sadarkan diri.

"Alfin" ucapnya untuk kedua kali. Matanya terbelalak saat ia kembali ingat bahwa dia harus segera menemua Adiknya itu, bahkan ia sangat ingat kalau dimalam itu ia sudah janji hanya akan pergi sebentar.

Alfan mencabut jarum infus yang ada di tanganya. "Awh..." keluhnya. Ia kemudian berusaha untuk turun dari ranjangnya.

"Fan kamu mau kemana sayang?" cemas Melinda.

"Kak Alfan mau kemana?" Reza pun ikut panik saat melihat tingkah Alfan seperti itu.

"Maaf Ma, Za. Aku harus ketemu Alfin sekarang juga" Alfan berjalan menuju pintu.

"Fan tunggu, Fan" cegah Melinda. Namun Alfan sepertinya tak menggubris ucapan Mamanya, ia berjalan gontai menyusuri jalan sempit menuju kamar di mana Alfin di rawat. Alfan berjalan sempoyongan namun cepat, Melinda dan Reza kini mengikuti Alfan karna takut terjadi sesuatu. Melinda akhirnya berasil meraih tangan Alfan dan berusaha mencegahnya.

"Lepasih, Ma!" pintanya. Namun Melinda memegangi Alfan kuat-kuat. Alfan berusaha meronta dengan tubuh yang masih sangat lemah.

"Kamu baru saja bangun sayang, kamu masih harus istirahat dulu!" Melinda berusaha mencegah Alfan agar tak menemuai Alfin.

"Lepasin!" Alfan mengelibatkan tanganya, Melinda yang saat itu tak lagi memegangi dengan kencang akhirnya tangan Alfan terlepas. Alfan kembali lagi berjalan setengah berlari karna takut ia akan tertangkap lagi oleh Mamanya, dan kali ini ia langsung membuka pintu tanpa izin saat sudah berada di depan kamar rawat Alfin.

Mata Alfin terbelalak saat melihat kedatangan Alfan dengan kepala yang masih terbungkus perban, bahkan ada warna merah yang membentuk seperti pulau di kain dengan warna putih bersih. Alfin senyum bahagia saat melihat kedatang Alfan yang sejak kemarin ia nanti-nanti, namun senyumanya perlahan pudar saat Melinda dan Reza yang baru saja menampakkan diri di belakang Alfan. Alfin masih ingat dengan wajah bengis Melinda beberapa waktu lalu, ia masih sangat ingat saat ia di usir dari rumah mewah itu. Maryam pun ikut menahan rasa takut karna melihat Melinda yang mendelik padanya, tatapan Melinda seolah berkata Alfan seperti ini karena dirinya. Alfan, Reza dan Melinda masih berdiri mematung di pintu itu, begitu juga dengan Alfin dan Maryam yang berada di dalam sana.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar