Minggu, 13 Maret 2016

Saat Ajal Datang Menjelang
(Cerpen)
---------------------
Penulis : Aby Anggara
==========================

*-*-*

        Setiap manusia di beri kesempatan yang sama, kesempatan kebebasan untuk memilih jalan hidup yang akan di laluinya. Juga mempunyai satu kesempatan yang sama pula untuk memperbaiki diri sebelum ajal datang menjelang. Jadi, jangan sampai jika nafas sudah berada di tenggorokan baru bersadar diri dan momohon ampun, karna itu akan sia-sia!!!

Sebelum kita menuju ke sebuah kisah memilukan, mari kita pahami terlebih dahulu.

.

                    ====

.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Manusia pertama yang melakukan perkawinan sejenis adalah umatnya Nabi Luth ‘alaihis shalatu was salam. Allah berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya, kalian telah melakukan al-fahisyah, yang belum pernah dilakukan seorang pun di alam ini.‘” (Q.s. Al-Ankabut:28)

Dan mereka dikenal sebagai umat yang sangat bejat. Saking bejatnya, sampai nurani yang baik itu hilang. Hingga terjadilah kemaksiatan yang sangat menjijikkan ini. Sebelum zaman Nabi Luth, sudah ada umat yang dibinasakan oleh Allah. Seperti kaumnya Nabi Nuh, kaum ‘Ad, dan kaum Tsamud. Namun mereka belum melakukan pelanggaran homo semacam ini.

Karena itulah, Allah meghukum umatnya Nabi Luth, dengan hukuman yanng sangat berat, yang belum pernah diberikan kepada orang kafir lainnya. Buminya dijungkir, lalu mereka dilempari batu.

Dan jika kita perhatikan dalam al-Quran, ternyata Allah memberikan hukuman kepada umatnya Luth dengan empat hukuman sekaligus,

Pertama, Dibutakan matanya

Di surat al-Qamar ayat 33, Allah berfirman,

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ بِالنُّذُرِ

“Kaumnya Luth telah mendustakan peringatan.”

Kemudian, di ayat 37 Allah berfirman,

وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ

“Sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS. Al-Qamar: 37).

Diceritakan dalam buku sirah, ketika lelaki kaum Luth berusaha untuk masuk ke rumah Nabi Luth, karena ingin merebut tamu Luth yang ganteng-ganteng – malaikat yang berubah wujud manusia – maka keluarlah Jibril. Lalu beliau memukul wajah mereka semua dengan ujung sayapnya. Seketika mereka jadi buta. Akhirnya mereka nabrak-nabrak tembok, hingga mereka bisa kembali ke rumahnya sendiri. Mereka mengancam Luth, besok akan datang lagi dan mengadakan perhitungan dengan Luth. (Fabihudahum Iqtadih, hlm. 257).

Kedua, Allah kirimkan suara yang sangat keras

Alllah berfirman,

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ

“Mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit.” (QS. Al-Hijr: 73).

Suara itu sangat keras, datang memekakkan telinga mereka, di saat matahari terbit. Di saat, bumi mereka telah diangkat.

Ketiga, Bumi yang mereka tempati diangkat dan dibalik

Allah berfirman,

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ

“Tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hud: 82).

Sesungguhnya Jibril mengangat seluruh wilayah kampung ini dari bumi, diangkat dengan sayapnya hingga sampai ke langit dunia. Hingga penduduk langit dunia mendengar lolongan anjing mereka dan kokok ayam. Kemudian dibalik. Karena itu, Allah sebut mereka dengan al-Muktafikah, terbalik kepala dan kakinya.

Lalu dilempar kembali ke tanah. Allah berfirman,

وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَى

“Al-Muktafikah (negeri-negeri kaum Luth) yang dilempar ke bawah.” (QS. an-Najm: 53)

Keempat, Dihujani dengan batu

Allah berfirman,

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ

Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. (QS. Al-Hijr: 74).

Setiap batu ada namanya. Allah menyebutnya,

مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ

“Yang diberi nama oleh Rabmu untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas.” (QS. ad-Dzariyat: 34).

Hukuman Dunia

Cerita di atas berkaitan hukuman yang Allah berikan kepada kaum Luth. Selanjutnya, ketika ini terjadi pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hukuman apa yang berlaku untuk mereka?

Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hukuman pelaku homo,

Pertama, mereka mendapatkan laknat

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ ، لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ ، ثَلاثًا

Allah melaknat manusia yang melakukan perbuatan homo seperti kaum Luth… Allah melaknat manusia yang melakukan perbuatan homo seperti kaum Luth… 3 kali. (HR. Ahmad 2915 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Kedua, dihukum bunuh, baik yang jadi subjek maupun objek.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya!” (HR. Ahmad 2784, Abu Daud 4462, dan disahihkan al-Albani).

Mereka Berbeda Pendapat Tentang Cara Membunuhnya

Ibnul Qoyim menyebutkan riwayat dari Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu.

Ketika beliau diberi tugas oleh Khalifah Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu untuk memberangus pengikut nabi-nabi palsu, di pelosok jazirah arab, Khalid menjumpai ada lelaki yang menikah dengan lelaki. Kemudian beliau mengirim surat kepada Khalifah Abu Bakar.

Kita simak penuturan Ibnul Qoyim,

فاستشار أبو بكر الصديق الصحابة رضي الله عنهم فكان على بن أبي طالب أشدهم قولا فيه فقال ما فعل هذ الا أمة من الأمم واحدة وقد علمتم ما فعل الله بها أرى أن يحرق بالنار فكتب أبو بكر الى خالد فحرقه

Abu Bakr as-Shiddiq bermusyawarah dengan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Ali bin Abi Thalib yang paling keras pendapatnya. Beliau mengatakan,

“Kejadian ini hanya pernah dilakukan oleh satu umat, dan kalian telah mengetahui apa yang Allah lakukan untuk mereka. Saya mengusulkan agar mereka dibakar.”

Selanjutnya Abu Bakr mengirim surat kepada Khalid, lalu beliau membakar pelaku pernikahan homo itu.

Ibnul Qoyim melanjutkan pendapat Ibnu Abbas,

وقال عبد الله بن عباس ان ينظر أعلا ما في القرية فيرمى اللوطى منها منكسا ثم يتبع بالحجارة وأخذ ابن عباس هذا الحد من عقوبة الله للوطية قوم لوط

Sementara Ibnu Abbas mengatakan,

“Lihat tempat yang paling tinggi di kampung itu. Lalu pelaku homo dileparkan dalam kondisi terjungkir. Kemudian langsung disusul dengan dilempari batu.”

Ibnu Abbas berpendapat demikian, karena inilah hukuman yang Allah berikan untuk pelaku homo dari kaumnya Luth. (al-Jawab al-Kafi, hlm. 120)

Sumber link hapus tanda sama dengan paling akhir! --->> https://konsultasisyariah.com/25117-4-hukuman-untuk-pelaku-homo.html=

*-*-*

Kematian.
Ingatkah kalian dengan kalimat itu?
Ada kah rasa takut saat mendengarnya?

Kita semua pasti akan mengalami kematian, namun kita tidak pernah tau kapan kematian itu akan menghampiri.

Aku merasa sangat bingung saat semua orang yang berada di ruangan ini menangis. Mataku tertuju oleh mata Ibuku yang sembab. Sedangkan aku melihat Rere di sebelan pojok yang juga ikut menangis.

Sebenarnya ini ada apa, kenapa semua orang di sini terlihat sedih? Aku berjalan mendekati Ibu yang masih membekap mulut dengan tangan kirinya. Aku mencoba memeluknya berusaha menenangkan hatinya. Tapi... Ada apa dengan diriku, kenapa aku tak bisa memeluk Ibuku? Aku mencobanya sekali lagi, dan hasilnya masih tetap sama. Aku ikut menangis di sebelah Ibu saat salah seorang laki-laki tua membuka sosok yang sedang terbaring di tutupi oleh kain batik sampai di ujung kepalanya. Aku melongo saat ia membuka sedikit wajah itu. Itu aku, kenapa aku terbaring di sana?
Kenapa kedua mataku terpejam?
Kenapa aku hanya diam saja? Tak bergerak.
Apa aku sedang tertidur?
Tidak, aku tidak sedang tertidur disana. Aku yakin jika aku sedang tertidur mana mungkin Ibu tega tak membangunkanku saat aku hanya tidur di lantai yang hanya beralaskan selembar tikar.

Tapi aku kenapa?
Kenapa di sini banyak sekali orang berdatangan?
Apa maksudnya?
Aku kembali menoleh pada Ibu yang semakin terisak, tangisanya tak dapat ia bendung lagi.

"Sabar Buk, ikhlasin kepergian Haikal" Ayah berusaha menenangkan Ibuku.

Ikhkasin kepergian Haikal? Maksud perkataan Ayah itu apa? Apa aku meninggal? Aku mati? Benarkah? Kenapa Aku baru menyadari kalau aku sudah meninggal. Aku tertunduk lemah, namun tangisan Ibu terdengar lebih kencang saat melihat kembali wajah pucatku di sana. Aku melihat Ayah yang masih berusaha menenangkan Ibuku.

Di belakang Ibu, Rere masih terlihat sesegukan. Wajahnya juga sangat letih sepertinya, aku tau dia juga menangis karna tak mau berpisah denganku. Rere lalu berlari menuju kamarku. Aku mengikutinya, aku ingin tau apa yang akan ia lakukan di sana. Rey mengambil sebuah bingkai di atas meja, bingkai foto ukuran sedang. Di dalam bingkai itu terdapat fotoku dengan Rere beberapa bulan lalu, dan ada sebuah tulisan Rerey and Haikal di lembaran foto itu. Rere memeluknyaknya erat seolah merasa tak mau kehilanganku.

"Kenapa kamu pergi Kal? Kenapa kamu tega tinggalin aku?" Rey sesegukan, air matanya semakin tak kuasa dan sebagian jatuh di atas kaca bingkai itu. Sebegitu sedihknyakah saat kita di tinggal dengan orang yang kita sayangi? Sampai-sampai dadaku ikut merasakan rasa sesak melihat Rere menangisiku. Aku melihat Ibu yang baru saja datang kekamarku, ia seketika memeluk Rere sangat kencang.

"Sabar ya Rey, ini sudah menjadi takdir-Nya dan kita harus bisa menerimanya" ucapan Ibu terdengar untuk menenangkan Rere dengan wajah tersenyum getir. Ya Tuhan... Semuanya menagis, aku menjadi merasa bersalah karna ini semua gara-gara aku.

"Rey tau Buk, tapi entah kenapa Rere gak rela" Ibuku melepaskan pelukanya dari Rere, kemudian menyeka air mata Rere.

"Sebentar lagi jasad Haikal akan segera di mandikan, ayo kita keluar"

Rere mengangguk.

Aku melihat jasadku di angkat oleh beberapa orang, kemudian di bawa keluar rumah. Disana aku di sambut oleh ramai orang yang sudah menungguku sejak tadi. Semua bak plastik sudah berisi air yang di atasnya sudah di taburi warna-warni bunga. Aku di pangku oleh beberapa orang, dan tak lama jasadku di guyur dengan air bersih. Biasanya kalau tubuhku terkena guyuran air saat mandi pasti akan merasakan dingin, tapi kali ini sungguh berbeda, aku tak merasakan rasa dingin sedikitpun. Ibu tiba-tiba jatuh pingsan dan di angkat oleh Ayah masuk kedalam. Sedangkan Rere masih menangis tapi kali ini tanpa suara, hanya terdengar sesegukanya saja.

Jenazah telah siap di sholatkan, beberapa orang siap melaksanakannya.
Setelah selesai, jasadku di masukan kedalam keranda, serta di angkat oleh empat orang. Ibuku kembali menangis saat mereka mulai berjalan meninggalkan halaman rumah, rasa tak rela kembali menyusup di hatinya. Semua warga yang melayat perlahan-lahan ikut berjalan meninggalkan halaman rumahku dan mengikuti di belakang jalannya karanda. Termasuk Ayah, Ibu, Anna dan juga Rere. Mereka pasti ingin mengantarkanku sampai ke tempat istirahat terakhirku, ini sungguh menyedihkan.

Aku hanya diam di sini, menyaksikan orang yang semakin menjauh meninggalkanku sendirian disini.

Sunyi.

Semua orang bahkan tak lagi dapat melihat kehadiranku, aku seperti mahluk asing yang sedang terdampar disini.

Semua telah pergi tanpa ada yang tersisah, aku segera mengikuti mereka. Kedatangan para rombongan yang membawa jenazah di sambut oleh orang yang sudah berada di makam sejak awal, mereka menurunkan keranda itu di sebelah galian tanah. Aku menangis, merasa sedih saat melihat galian tanah yang saat ini berada di depanku. Aku tau ini sudah menjadi takdir setiap jasad yang sudah di tinggalkan oleh ruhnya, tapi apakah kalian bisa membayangkan bagaimana gelapnya di dalam galian tanah itu ketika galian tanah itu di tutup kembali? Pasti sangat gelap bukan? Sungguh aku tak berani untuk mencoba membayangkannya.

Adzan telah di kumandangankan,Iqomah pun ikut terdengar jelas di telingaku. Jasad itu perlahan-lahan mulai di turunkan ke liang lahat, Ibuku memeluk Ayah kuat-kuat, ia membenamkan kepalanya di dada Ayahku. Aku tau Ibu sangat tak kuat melihatnya hingga ia menyembunyikan pandangannya, namun sesekali ia memberanikan diri untuk melihat jasadku untuk terakhir kalinya.

Bantalan yang terbuat dari tanah liat mulai di pasang di sudut-sudut tubuhku, dan papan penutup pun satu per satu di pasang hingga berhasil menutup semua kain kafan yang membungkus jasadku. Sekarang hanya tinggal papan yang terlihat, bahkan kain kafan sudah tak terlihat lagi. Ibu semakin kuat menangis saat jasadku sudah tak terlihat lagi oleh pandangnya, senyum getir menyertai wajahnya. Ayah berusaha tegar di hadapan puluhan warga disini, tapi aku tau betapa rapuh jiwanya saat kehilangan anak yang ia cintai. Kali ini aku menatap Rere, ia tak berhenti lagi menangis. Sungguh ia benar-benar mencintaiku, aku bisa merasakan betapa terpukul hatinya. Merasa kehilangan seseorang yang selama ini selalu menyayanginya, memberi perhatian dan juga sebagai pengadu jikala hatinya di balut kesedihan. Tuhan... Berikan aku izin untuk hidup kembali, membuat Ayah dan Ibuku bangga akan diriku yang belum sempat aku berikan, membuat bahagia orang-orang terdekatku. Anna pun masih ikut menangis.

Tanah-tanah itu mulai menutup jasadku, jasad yang sudah tak berguna lagi, jasad yang nantinya akan menjadi bangkai dan menyerbak bau busuk jika tak segera di kebumikan. Inilah tempat peristirahat terakhir setiap manusia, menjadi santapan cacing tanah dan belatung-belatung hingga sisa kerangka yang akan tetap utuh, berjalan dengan waktu akan menjadi rapuh pula. Papan nisan mulai di tancapkan, dan bunga-bunga mulai di taburkan. Doa di panjatkan masih di pimpin oleh kaum Desa, selesainya mereka semua pergi meninggalkan area pemakaman. Hanya tersisa Ibu, Ayah, Adiku Anna dan juga Rere. Mereka masih berduka di depan gumpalan tanah yang masih sangat segar. Ibu kembali menaburkan sisa-sisa bunga dengan tangan kananya, sedangkan tangan kirinya membungkam mulutnya agar tak terbuka semakin melebar.

"Ikhlaskan kepergian Haikal, Buk. Biarkan dia tenang di tempat istirahatnya" Ayah kembali berusaha menenangkan Ibu, kemudian menaruk kepala Ibu di dadanya. Anna dan Rere masih terlihat sangat sedih di sebelah Ayah dan Ibuku.

"Pak.. Ibuk masih gak percaya kalo Haikal akan pergi secepat ini"

"Ini sudah takdir, semua tak akan ada yang mengetahuinya, Buk"

Aku hanya diam menatap meraka di sana, mataku merembes tak karuan. Aku sangat prustasi, tak lama lagi pasti mereka akan pergi meninggalkanku sendirian di sini. Aku memandangi sekeliling pemakaman, angin siang ini berhembus kencang mengoyangkan seluruh tanaman bunga yang ada di sekitar pemakaman. Saat sang pencipta telah memanggil kita untuk kembali, maka semuanya akan berakhir. Tak peduli cita-cita kalian belum tercapai, dan tak peduli jika kalian tak menginginkan hal itu. Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.

"Kak Ikal tenang di sana yah" ujar Anna. Suaranya terdengar sesegukan.

"Kakakmu pasti tenang di sana An" Ayah membelai kepala Anna dengan lembut.

"Sekarang kita pulang Nak Rey, sepertinya hari sudah mau hujan" Ayahku menepuk bahu Rere. Rere menggeleng.

"Ibuk, Bapak sama Anna duluan saja, aku masih mau di sini sebentar lagi" usirnya. Ibuku menatap Ayah seolah meminta persetujuan, dan Ayaku mengangguk.

"Yasudah Bapak, Ibuk dan juga Anna pulang duluan ya Nak Rey, kamu jangan lama-lama disini" pesan Ayah.

Rere mengangguk sebagai jawaban.

Ayah, Ibu dan Adiku Anna mulai berdiri dari tempatnya, aku kembali menangis sembari berjalan di depan mereka dan melebarkan kedua tangaku mengahadang mereka agar tak meninggalkanku di sini. Namun sepertinya mereka tak melihat keberadaanku di depan mereka, bahkan mereka masih tetap saja berjalan mendekatiku dan aku pun berjalan mundur berharap Mereka tak akan benar-benar meninggalkan aku disini. Tapi nyatanya sekuat apapun aku memanggil dan menghalangi mereka pergi, tetap saja mereka tak ada yang mendengarkan suara panggilanku. Hingga akhirnya aku menyerah untuk berhenti melangkah mundur dan berhenti hingga mereka berhasil menerobos tubuhku yang sudah seperti jin saja tanpa merasakan benturan. Aku sangat putus asa, aku terjatuh dengan kepala tertunduk lemah. Ini terasa sangat pedih. Saat ajal menjemput, semua akan memisahkan kita. Saat Ibu, Ayah dan juga Anna sudah berada di pintu gerbang pemakaman, mereka semua berhenti. Aku senang saat itu, saat mereka masih terasa berat untuk meninggalkanku. Mereka kembali menatap gundukan tanah yang sedikit agak jauh dari sini, tapi masih bisa di lihat dengan jelas. Aku masih melihat tangisan di wajah Ibu, demikian dengan Ayah dan juga Anna. Kali ini Ayah benar-benar menangis, mungkin karna sudah tidak ada orang lagi hingga ia berani memperlihatkan air mata tanda betapa rapuhnya beliau itu. Ayah mengusap-usap bahu Ibu, kemudian mereka kembali membalikan tubuhnya membelakangiku.

"Buk jangan tinggalin Ikal plis" jeritku. Aku rasa aku sudah berusaha memohon dengan suara kencang, namun tetap saja suaraku tak dapat mereka dengar. Aku kembali putus asa, rasanya kini tak ada harapan lagi untuk kembali lagi bersama mereka. Mereka yang biasanya menyanjungku, menyayangiku dan juga selalu ada untukku. Namun saat ini semuanya berakhir sudah, kehidupan kami sudah berbeda. Aku kembali berjalan mendekati makamku dengan wajah putus asa, di sana masih ada Rere yang masih setia menemani aku. Seseorang yang menjadi pengisi hatiku saat kami masih bersama dulu. Rere senyum walau dengan mata berair, jemarinya merabah bunga yang bertaburan di atas tanah itu.

"Kamu terlalu cepat pergi Kal, bahkan meninggalkan rasa sesak yang sangat mendalam di dadaku" Rere memegang papan nisanku, marabah ukiran namaku dengan jari tanganya. Pandanganya kembali menatap bunga yang menaburi tanah itu.

"Setelah ini aku gak tau lagi Kal, aku gak tau bisa bertahan atau tidak. Aku rapuh, aku lemah tanpamu... Dimana separuh jiwaku telah benar-benar pergi. Dimana separuh nafasku pun kini tlah hilang. Kamu terlalu cepat Kal, bahkan aku belum sempat benar-benar menjadi kekasih yang baik" Rere kembali terisak. Kali ini hanya tinggal ia sendirian, aku tau ia akan lebih leluasa menyampaikan isi hatinya. Tapi sugguh, mendengar kalimat itu.. Hatiku sakit, dadaku ikut terasa sesak. Dialah... Dialah seorang kekasih yang benar-benar tulus mencintaiku.

"Bisakah kau kembali? Walah hanya sepuluh detik Kak. Aku kan bilang kalau aku mencintaimu"

Ucapkan apa yang akan kau katakan Rey, aku di sini, aku di sebelahmu dan aku mendengarmu. Ya Tuhan aku baru menyadari saat ini betapa besar cinta Rere padaku. Kasih aku kesempatan sekali lagi, biarkan kami bertemu. Rey aku di sini, bicaralah aku mendengarmu!

Angin berhembus semakin kencang, langitpun kian semakin gelap. Sesekali suara guntur menggelegar seolah memberi isyarat sebentar lagi akan datangnya hujan. Rere mengadahkan wajahnya menatap langit, pandangnya seolah tak pernah khawatir jika hujan akan segera membasahi tubuhnya.

"Hari sudah mau hujan, pulanglah! Pulanglah Rey!" perintahku. Namun lagi-lagi semua ucapan yang keluar dari mulutku hanya akan sia-sia, semua orang pasti tak akan ada yang bisa mendengarnya. Kali ini awan hitam menggumpal tepat di atas kepala kami, melintas dengan cepat seolah sangat dekat di atas sana.

"Kamu pasti kesepian di dalam sana ya Kal? Di sana gelap ya? Apa kamu tak ada teman disana? Jangan khawatir ya, aku akan menemanimu disini. Bahkan dalam hujan aku akan tetap di sini, aku kangen sama kamu Kal" Kata-kata yang di ucapkan Rere sungguh membuatku terpana, adakah cinta seperti itu? Yang aku tau jika di percintaan lelaki dan perempuan memang ada, bahkan kesetiaan seperti itu memang sangat ada. Tapi sadarkah kalian? Cinta kami adalah cinta terlarang. Cinta yang kebanyakan orang bilang hanya mementingkan nafsu belaka, cinta yang sampai kapanpun tak akan pernah di restui oleh semua orang tua. Cinta yang tak akan pernah menjadi sempurna berapa besarpun rasa yang kau punya. Tapi ini benar-benar nyata, nyata berada di depan mataku. Kesetiaan itu bener-benar ada, dan dia kekasihku. Rere.
Aku merasa manusia paling beruntung mempunyai dirinya, tapi kali ini aku menjadi manusia paling merugi saat baru menyadari semua itu.

Hujan kini benar-benar turun, rintiknya mulai membasahi dedauan yang ada di bumi. Di ujung rambut Rere mulai menetes air yang mulai membasahinya, ia masih diam dalam hujan. Tanganku mendekat di pipinya, berusaha menghapus air mata yang kini bercampur dengan air hujan. Huf.. Aku menghela nafas panjang, aku lupa jika aku tak dapat menyentuhnya.

"Apa kamu di dalan sana juga kehujanan sepertiku Kal? Aku kedinginan, aku butuh kehangatan" Rere menaruh kedua tanganya di atas dadanya, ia berusaha menahan tubuhnya agar tak terlalu kedinginan.

Mataku kembali berair. "Pulanglah Rey, nanti kamu sakit!"

"Kamu tau Kal, aku tak peduli guyuran air hujan yang membasahi tubuhku dan aku juga tak peduli suara petir yang kini bersahutan. Aku cuma peduli denganmu Rey, karna hanya kami lah orang yang paling aku sayang dan aku tak mau meninggalkanmu kerakutan dalam kesendirian. Jangan takut Kal, aku ada di sini"

Ucapan itu.. Semakin membuat tubuhku lemah. Andai ada kesempatan kedua, aku taj akan pernah menyia-nyikan orang sepertimu Rey. Hatiku ikut menangis.

Aku tersentak saat melihat tiba-tiba dua orang yang datang entah dari arah mana, mereka langsung memegang kedua tanganku kiri, kanan dan memaksa mengajakku pergi. Aku berusaha melawan mereka, namun aku tak mampu hingga aku di bawa pergi entah kemana. Aku bersama mereka melewati lorong yang sangat panjang yang sangat gelap, bahkan aku seperti melayang bersama mereka dengan kepala berada di bawah. Seperti lorong waktu. Aku selalu meronta meminta agar di lepaskan, tapi nyatanya tanganku masih di pegangi kuat-kuat.

"Lepasin aku, aku mau di bawa kemana?"

Mereka tak menjawab pertanyaanku, bahkan mereka masih diam bagai orang tak berdosa, padahal jelas-jelas mereka telah mengganggu aku yang masih ingin berdua dengan Rere di sana.

Kami sampai di sebuah tempat, di mana banyak orang yang sedang memohon ampun, bahkan tempat ini sangat menyeramkan. Aku berada di mana ini? Aku baru kali ini melihatnya. Aku melihat ke sekeliling. Disini sungguh banyak manusia yang sedang di siksa. Ada yang kepalanya di hantam dengan palu raksasa hingga pecah penuh darah. Ada yang lidahnya di potong dengan pedang yang amat tajam, dan ada juga yang di lempar di api yang menyala sangat besar. Setelah mengamati sekeliling, mereka berdua menyeretku memaksa untuk berjalan, bahkan kedua tanganku sudah di rantai di belakang tubuhku. Aku seperti tawanan yang akan menjalani siksa. Aku benar-benar sangat takut kali ini. Aku tau ini seperti gambaran neraka seperti di komik yang pernah aku baca dulu, dan ini benar-benar nyata adanya. Ya Tuhan... Aku benar-benar belum siap.

Kini aku sampai di bibir jurang, aku menengok kebawah. Di bawah sana ada api yang menyala-nyala sangat besar dan sungguh mengerihkan.

"Lepaskan aku!"

Mereka malah saling bertatapan. Tanganku sungguh sakit di rantai di belakang punggungku "Apa yang akan kalian lakukan padaku?" mereka masih tampak diam, namun wajahnya terlihat bengis. Mengerihkan. Aku kembali memandangi sekeliling, air mataku kembali mengalir. Tapi kali ini air mata penyesalan. Andai aku tau surga dan neraka benar-benar ada, aku tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang hanya satu kali itu.

"Ini adalah hari pembalasan atas apa yang telah kamu lakukan di dunia" itu adalah kali pertamanya salah satu diantara mereka bersuara, dan mampu membuat tubuhku bergetar ketakutan. "Dan besok saat jam empat sore Ayah, Ibu dan kekasih terlarangmu akan menyusul di sini. Ingatkah dengan apa yang telah kau lakukan selama hidupmu?"

Ya Tuhan... Ternyata hari pembalasan itu benar-benar ada, dan kini aku tak sanggup atas dosa-dosa yang selama ini aku lakukan. Aku melihat di tebing seberang yang berada di depanku, di mana orang-orang di lempar ke dalam api yang menyala-nyala. Para malailat terlihat sangat bengis, bahkan tidak ada kata ampun bagi mereka.

"Bukankan Allah telah mengingatkan kalian akan hari pembalasan itu pasti ada? Tapi kenapa engkau malah mendustainya? Bahkan seperti orang yang tak punya iman melakukan dosa sesuka hatimu? Sekarang lihatlah di sekelilingmu, mereka semua adalah orang-orang yang ingkar"

Aku kembali memberanikan melihat pandangan di sekeliling, sebuah kuali besar berisi air mendidih, kemudian orang-orang itu di masukan secara paksa seperti ayam yang ingin di cabut bulunya. Aku memejamkan mata ngeri, kemudian di tempat lain aku melihat sebuah kemaluan (penis) di letalan di atas besi besar, lalu dengan kejam kemaluan orang itu di potong hingga putus dan mengeluarkan darah yang sangat banyak. Aku terkulai lemah dan kali ini berdiri dengan kedua lututku, kedua tanganku masih di belakang dengan terikat rantai besar. Wajahku pucat pasih lalu tertunduk putus asa.

"Yang di sana kau lihat adalah siksa bagi orang yang tak menjaga kemaluanya, dimana ia dengan bebas memasukkan kemaluan (penis) di lubang yang tak halal baginya"

Tubuhku kembali bergetar, aku merasa dalam ucapanya tadi, aku sering bersetubuh dengan Rere, pacar laki-laki yang tak seharusnya. Sungguh aku tak mengira jika semua ini memang nyata adanya. Aku menangis, meratapi nasip yang sebentar lagi akan benar-benar menyiksaku.

"Ampuni aku, beri aku kesempatan satu kali lagi, niscaya aku akan merubah hidupku" aku memohon, berusaha mendapatkan simpatinya.

"Sudah terlambat, semua manusia hanya di beri satu kesempatan!!!"

Sekali lagi aku menoleh kebawah, jurang yang sangat dalam di sana dan api yang menyala-nyala.

Kalian tau apa yang aku rasakan? Seumur hidup belum pernah aku merasakan sesal yang seperti ini, rasa takut yang begitu dasyat, hingga membuatku benar-benar putus asa. Andai aku di beri kesempatan hidup satu kali lagi, walau seratus tahun aku pasti akan selalu menjalankan perintah-Nya dan aku pasti tak akan pernah merasa lelah untuk beribadah, dari pada mendapat siksa yang maha dasyat yang sebentar lagi akan kualami. Sebuah tangan dengan kasar menarik tanganku hingga aku berdiri, aku memejamkan mata, aku ketakutan. Mungkin sebentar lagi aku akan di lempar ke jurang yang ada di depanku ini. Kali ini sungguh tubuhku bergetar, aku tak ada keberanian untuk menatap kearah bawah di mana api yang sangat besar masih menyala-nyala. Dalam hati aku berdoa memohon ampun, namun aku tau ini hanya sia-sia.

"LEMPARKAN DIA!" astaga kini mereka benar-benar akan melemparku kedalam api itu? Ibuk, Ayah tolong aku.. Aku sangat takut.

"HUWAAAAAAA" aku berteriak saat tubuhku di lempar kedalam api yang sangat besar.

Aku menjerit dan langsung terbangun dari tidurku. Nafasku terdengar sangat kuat dan berjeda lebih cepat dari biasanya.

Astaghfirullah, aku hanya mimpi. Namun mimpi itu seperti nyata. Berada di alam sana sungguh menyeramkan. Aku masih sangat ingat bagaimana orang-orang yang menjerit kasakitan, orang-orang yang selalu memohon ampun dan menyesali perbuatanya. Sangat-sangat mengerikan. Ternyata hukuman yang Allah janjikan memang benar-benar ada, dan benar-benar akan terjadi. Aku sangat takut, aku tak mau mimpi burukku menjadi nyata.

Aku menoleh Rere yang masih terbaring di sebelahku. Matanya terpejam damai dalam tidurnya. Sebegitu tulusnya kah cinta Rere padaku? Aku melihat betapa besar cintanya dalam mimpiku. Tapi sayangnya, aku tak mau melanjutkan hubungan terlarang ini, aku sangat takut dengan hukuman yang ada di alam sana yang sudah pasti menungguku, Sungguh menakutkan. Mungkin ini adalah kesempatan kedua yang aku minta dalam mimpiku, atau memang aku di beri teguran agar bertaubat? Entahlah yang terpenting aku benar-benar ingin menyudahi hubungan ini. Aku takut.

Aku turun dari ranjang, melangkahkan kaki meraih handuk dan bergegas menuju kamar mandi. Di malam yang sangat dingin ini aku mengguyur tubuhku dengan air bersih, aku mandi wajib lebih tepatnya. Cukup lama aku mengguyur tubuhku hingga kurasa sangat dingin. Tapi ini hanya dingin, tak sebanding dengan panasnya api neraka yang pernah aku rasakan dalam mimpiku. Kalau di suruh memilih, aku lebih nemilih bangun malam dan mengguyur tubuhku dengan air dingin dari pada di panggang dengan api yang sungguh mengerikan itu.

Aku membuka lemari bajuku, mengambil baju bersih tak lupa dengan sarung yang masih terlipat dengan sangat rapi karena tak pernah aku pakai. Aku juga mengambil sajadahku, kali ini di lipatan paling bawah. Tercium bau khas karna tak pernah aku gunakan. Kali ini aku membentangkan sajadahku, setelah beberapa bulan aku meninggalkan sholat dan perintahnya yang lain, malam ini hatiku mulai terketuk kembali. Bersyukur karna masih di beri kesempatan untuk bertaubat.

Aku berdiri dengan pasrah, menghadapkan diri pada sang pencipta. Malam ini terasa sangat damai saat aku benar-benar khusyuk dan menjalankan perintah itu dengan sepenuh hati. Sholat taubat malam ini benar-benar membuat hatiku menangis. Ketika sujud terakhirku, aku menitihkan air mata penyesalan.

Selesai salam aku mengangkat kedua tanganku.

Ya Allah.. Aku tau aku orang yang sangat hina di pandanganmu. Aku sudah menyalahi kodratku sebagai seorang laki-laki yang tak seharusnya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki pula. Tapi malam ini... Aku bersujud dengan degala kerendahan dan segala penyesalanku Ya Allah... Aku bertaubat. Aku bertaubat atas segala dosa dan atas segala kesalah yang telah aku lakukan dengan sengaja. Aku sadar apa yang aku lakukan adalah salah dan aku menyesalinya. Semoga kau mengampuni segala dosaku...

Amin.

Selesai sholat, aku kembali berbaring di ranjang tempat tidurku. Aku melihat Rere masih tertidur di sisiku. Aku menaruh tangan kiriku menjadi bantal untuk kepalaku. Tatapanku menatap langit-langit kamar ini. Terasa legah seperti tak ada yang menyumbat setelah aku selesai sholat. Tidak, ini belum benar-benar plong, masih ada yang mengganjal dalam hatiku. Aku harus kembali kerumah dan memohon maaf pada Ibu dan Ayahku. Sejak dua bulan terakhir saat Ayah dan Ibuku melarang hubunganku dengan Rere, aku memang memilih pergi dari rumah dan meramtau ke kota. Aku mempunya teman di kota makanya tak sulit bagiku untuk mendapatkan pekerjaan dan mengontrak sebuah rumah sekarang ini. Hidupku dan Rey bagai suami istri yang kukiran akan bahagia sampai hari tuaku Kakek dan Nenek, namun nyatanya tidak. Bukan aku menyesalinya, namun aku rasa sudah seharusnya aku menyudahi hubungan yang tak akan pernah mendapat restu ini, dan kini aku mengambil jalan kembali ke kodratku sebagai seorang laki-laki sebagai mana mestinya.

Mataku masih berkedip terjaga, aku masih memikirkan tentang mimpiku itu. Apa benar yang di katakan oleh malikat itu kalau Ayah, Ibu dan juga Rere akan meninggal esok hari? Jika itu benar adanya, besok pagi aku harus bersiap-siap untuk pulang kekampung halaman untuk menemui meraka dan meminta maaf serta aku akan bersujud di kaki meraka. Karna aku takut jika itu benar-benar terjadi dan aku belum sempat memohon maaf pada kedua orang tuaku. Namun aku berharap mimpi itu tidak benar, sehingga aku masih bisa tinggal bersama Ayah dan Ibu seperti dulu.

Ayah, Ibu.. Tunggu Haikal pulang ya, aku rindu dengan kalian di sana. Maafkan anakmu!

Rere yang baru bangun dari tudurnya terlihat bingung dengan tampilanku yang tak biasa-biasanya. Seperti tak ada kata bosan matanya memandangiku. Aku mengerutkan dahiku menanggapi tatapanya yang terlihat aneh menurutku. Sepertinya memang aku yang patut di bilang aneh, bukan dirinya. Ia menyentuh mata dengan jarinya memastikan agar ia tak salah lihat, namun sepertinya kali ini ia baru benar-benar yakin kalau dia memang tak salah lihat.

"Kamu gak papa kan, Kal?" ujarnya masih tak berkedip memandangiku.

Aku kembali mengerutkan dahiku. "Memangnya ada yang salah?" ujarku yang malah balik bertanya.

"Tapi kamu tak seperti biasa-biasanya"

Aku turun dari ranjang dan berjalan menaruh buku keatas meja yang sejak tadi kubaca, lalu duduk di kursi yang lebih tepat di sebut sebagai kursi belajar anak sekolah.

"Aku ingin bertaubat mengakhiri hubungan kita Rey" aku berterus terang.

"Kenapa kamu berbicara seperti itu Kal? Apa kau tak merasa bahagia tinggal bersamaku?" sepertinya Rere sangay ingin tau dengan perubahan sikapku. Aku tak langsung menjawab, aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan menuju jendela kamar yang ada di sebelah lemari kaca. Di pagi yang cerah ini, aku membuka jendela beserta tirainya. Aku menghirup udara pagi yang sangat segar sekuat yang aku bisa. Rongga dadaku ikut merasakan kesejukan dengan hirupan udara pagi ini, namun di selinap tubuhku terasa sakit, entah dari mana datangnya rasa itu.

"Aku bahagia Rey, bahkan sangat bahagia. Tapi kali ini aku benar-benar ingin menyudahi hubungan terlarang ini, dan hari ini juga aku bakalan pulang ke kampung ingin meminta maaf pada kedua orang tuaku" aku berkata dengan tubuh yang masih membelakangi Rere, menit ini aku belum siap melihat wajah Rere untuk saat ini, pandanganku masih menatap keluar dari balik jendela di mana tempatku berdiri saat ini.

"Kal?" Rere memanggiku, suaranya terdengar berat. Aku tau keputusanku ini sangat berat baginya, tapi aku juga tak mau menyia-nyiakan yang ku yakini sebagai kesempatan kedua.

Aku sekuat tenaga mengumpulkan keberanianku untuk menatap wajah Rere. Setelah ku rasa sudah cukup, aku membalikan tubuhku menatap wajah Rere. Sungguh aku melihat kesedihan yang amat dalam di wajahnya.

Wajah yang biasanya mengusir rasa lelahku di saat aku kepayahan saat pulang kerja.

Wajah yang biasanya selalu membuat hatiku damai dan takut untuk kehilangannya.

Wajah yang biasanya aku tak mau jika ada butiran air mata di pipinya.

Tapi kali ini.. Di pagi yang terlihat sangat cerah, aku malah membuat air mata itu mengalir, ia menangis karna ulahku sendiri. Aku bingung kali ini, benar-benar bingung. Di lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasakan pedih karna telah mengkhianati kata yang pernah aku ucapkan dulu, namun di sisi hatiku yang lain, aku masih bersi keras dengan pendirianku.

Salahkah ucapanku tadi?
Salahkan aku dengan keputusanku?

Aku hanya manusia lemah seperti kebanyakan orang, yang juga sangat takut menjalani hidup yang jelas-jelas sudah di larang. Mungkin dahulu aku tak pernah menghiraukan larangan itu. Tapi kali ini, aku benar-benar takut untuk keluar dari tuntunanya, dari jalan lurus yang benar-benar sudah ku yakini. Aku akan terima semua cacian atau bahkan sumpah serapah dari Rere akibat rasa sakit hatinya padaku.

"Ada apa Rey?" aku baru menjawab panggilanya. Aku masih berdiri di depan jendela sembari menatap bibirnya yang masih bergetar.

Hening.

Rere masih diam, sesekali ia menyeka air matanya. Sungguh.. kali ini aku benar-benar tak sanggup melihatnya menangis seperti itu, mataku mulai berkaca, namun aku cepat-cepat mendongak ke atas mengerjapkan mataku beberapa kali agar air mataku tak ikut jatuh dan tumpah.

"Kenapa kamu tega denganku, Kal? Hik" ucapan yang keluar dari bibirnya kali ini terasa sangat menusuk jantungku, terasa sesak. Seolah aku adalah orang yang paling jahat di dunia ini. Aku berjalan dan duduk di tempat tidur di sampingnya. Aku menghilangkan jejak air matanya dengan kedua tanganku. Sebenarnya aku sangat ingin berterus terang dengan mimpiku, tapi aku takut jika ia tak percaya dan malah menertawakanku. Mungkin diam lebih baik.

"Maafin aku Rey, tapi aku tak mau membohongi hatiku. Jika kau ada di posisiku, aku yakin kau akan melakukan hal yang sama.

Tangisan Rere semakin menjadi, aku meraih kapalanya dan ku benamkan di dadaku. Aku mengusap rambutnya dengan lembut.

"Aku tak pernah menyangka jika ini akan terjadi dengan hubungan kita Kal" ucapan Rere penuh dengan kata-kata sesal. Suaranya sesegukan penuh isak.

"Rey tolong jangan buat aku semakin merasa bersalah, aku sungguh tak merencanakan semua ini. Kita siap-siap ya, kita akan pulang kampung hari ini" Rere mengangkat kepalanya dari dadaku, menghapus butiran bening yang masih mengalir di pipinya.

Aku beranjak dari tempat duduku, menyiapkan dua buah koper besar dan mulai menyusun pakaian di dalamnya. Rere membatuku menbereskan semua pakaian yang akan kami bawa pulang. Sejak tadi ia tampak diam, aku yakin dia masih sangat kecewa denganku.

"Maafin aku Rey" ujarku dalam hati. Lalu aku kembali membereskan semua baju-baju kami.

*-*-*

Pukul delapan lebih lima menit kami sudah tiba di terminal. Aku menaruh koperku dalam bagasi kemudian naik kedalam bus dan kami duduk bersebelahan. Sejak tadi Rere masih saja tak mau bersuara, mungkin ia masih terbawa suasana. Setelah bus terisi penuh, jam sembilan tepat kini bus yang kami tumpangi siap meluncur di jalan raya. Perjalanan kali ini sangat membosankan karna Rere tak asik lagiseperti biasanya, di tambah lagi aku yang sangat gelisah ingin cepat-cepat sampai di kampung dan ingin segera bertemu dengan Ayah dan Ibuku.

Setelah perjalanan memakan waktu lima jam, kami sampai di terminal di kotaku. Namun kami masih harus menaiki ojek untuk sampai kerumah yang ada di kampung. Aku kembali melirik jam tanganku, jam 14:05. Aku masih ada waktu lebih kurang dua jam lagi, semoga aku sampai di rumah tak ada suatu hambatan. Aku memegangi tangan Rere kuat-kuat, aku tak mau terjadi sesuatu hal buruk padanya seperti yang di tetapkan dalam mimpiku. Tangan kananku menarik koper, dan tangan kiriku memegangi tangan Rere kuat-kuat. Sedangkan koper yang satunya di tarik oleh Rere.

Kami mendapatkan ojek, segera kami berangkat dengan alamat yang sudah aku beri tahu. Duduk berdesakan dengan Rere dan koper lebih baik, dari pada harus naik dua ojek yang otomatis akan memisahkan aku dan Rere dalam perjalanan, sungguh aku tak mau itu. Aku benar-benar tak mau terjadi apa-apa dengan Rere, apapun yang terjadi aku harus selalu ada di sampingnya.

Aku menoleh ke arah Rey, wajahnya menatap ke arah depan tanpa berkedip. Aku menaruh tanganku di atas jarinya, kemudian aku menggemgamnya. Mendapat perlakuan seperti itu kini Rere menoleh kearahku. Matanya menatapku lekat-lekat seolah bertanya apakah aku berubah pikiran. Ya aku tau arti sorotan matanya. Aku menggeleng dan sontak membuatnya semakin lemah. Rere nenarik tanganya seolah sudah tak mau lagi merasa kecewa, tak mau lagi jika aku akan memberi janji-janji palsu untuknya.

Hari seperti mau turun hujan, suasana mendung tebal memayungi di atas kepala kami. Kini aku sampai di depan rumahku. Aku kembali melirik jam tanganku, jam 14:55. Aku sangat senang, aku masih mempunyai waktu 65 menit untuk bertemu dengan Ayah dan Ibuku. Aku membayar jasa ojek dan segera menuju kerumahku bersama Rere, sepertinya hari benar-benar mau hujan. Suara guntur terdengar menggelegar membuat aku dan Rere bergelonjat kaget.

Aku mengetuk pintu rumahku, namun tak ada jawaban. Sepertinya tak ada orang karna suasana di dalam sepertinya memang tampak sepi. Aku berlari menuju rumah Pak Leman yang berada tepat di samping rumahku, untuk menayakan kemana Ayah dan Ibuku pergi. Katanya Ayah, Anna dan Ibuku sedan pergi ke terminal, ia mendapat kabar dan alamatku dari temanku.

Astaga, kenapa ini bisa terjadi?
Aku dan Rere kembali menaiki ojek yang belum jauh meninggalkan rumahku, aku akan menyusul mereka di sana. Ya Yallah.. Selamatkanlah Ibuku, aku sungguh ingin bersujuk di kaki beliau.

"Pak tolong lebih cepat Pak!"

"Sabar Mas, disini jalannya penuh lubang"

Aku sungguh tak sabar ingin bertemu dengan Ibu dan Ayahku, aku sangat gelisah. Aku baru ingat jika aku masih menyimpan nomor telepon Anna. Aku mengambil ponselku, melakukan panggilan namun nomornya tidak aktif. Aku semakin gelisah, pikiranku tak menentu. Apa Anna ganti nomor, pasalnya setiap dia menelponku aku tak pernah mengangkatnya.

Kini aku dan Rere kembali lagi di terminal, aku kembali melirik jam di tanganku. Jam 3 lebih 55 menit. Astaga lima menit lagi, apakah ini benar-benar akan terjadi? Aku menggandeng tangan Rere, aku sungguh takut. Aku menoleh sekeliling namun tak juga mendapati mereka.

Ponselku berdering, panggilan masuk. Aku menganggaktnya.

"Halo.."

"Kak Ikal?" suara itu penuh isak. Aku kenal dengan suara itu, seperti Anna.

"Ini Anna?"

"Ibuk, Kak"

"Ibuk?.. Ibuk kenapa An?" aku semakin ketakutan, sepertinya ini pertanda buruk. Tuhan.. Jangan bilang Ibuku meninggal, aku tak sanggup mendengarnya. Mendengar suara Anna terisak aku menjadi ikut nenangis, aku benar-benar takut.

"Ibuk sama Ayah masuk rumah sakit kecelakaan Kak, sekarang masih di UGD" Astaghfirullah dadaku terasa sesak, ini benar-benar seperti mimpiku. Aku semakin takut jika tak bisa lagi bertemu mereka, aku sungguh anak yang durhaka.

"Kirim alamat rumah sakitnya An, sekarang Kakak kesana"

Aku kembali melirik jam di tanganku, jam 3:58. Aku memegangi tangan Rere, kami berjalan. Bukan, ini bukan berjalan, tapi kami berjalan seperti berlari. Rere mendorongku di saat tanganku tak memegangi tanganya dengan kencang. Aku terpental dan lututku terbentur batu. Namun saat aku menoleh kebelakang Rere sudah terbaring, tubuhnya penuh dengan darah. Ia tertabrak mobil.

"RERE...." aku berteriak berlari mendekatinya. Ini sungguh pemandangan yang menyakitkan.

"Rey bangun Re!" aku mennguncang tubuhnya. Namun dia hanya diam. Aku mengangkat kepalanya manaruh di atas pahaku, aku memangkunya. "Rey bangun!!" aku menaruh satu jari tepat di depan lobang hidungnya, dan saat itu pula tubuhku terasa lemah. Rere telah tiada, hembusan nafasnya benar-benar sudah hilang. Aku menangis sekuat-kuatnya, semua orang yang ada di sini hanya mengerubungiku penuh iba. Sekejam ini kah takdir saat merenggut nyawa? Hatiku sungguh peri.

Ponselku bergetar aku menurunkan kepala Rere lalu merogoh ponselku.

1pesan
Diterima

Dari +62812xxxxxx
16:02

Ibuk dan Ayah sudah meninggal kak :'(

Tanganku bergetar tangisanku sungguh tak bisa berhenti. Tubuhku benar-benar terasa lemah bahkan untuk berdiri saja aku tak mampu lagi.

*-*-*

Pernahkah kalian mengalami di tinggal oleh seseorang yang kalian sayangi secara bersamaan? Ini sungguh menyakitkan.

Sekuat apapun kita menolak datangnya ajal yang telah di tetapkan, namun tetap saja terjadi, bahkan sedetikpun kita tak akan pernah mampu melawan semua itu. Semua yang telah di tetapkan sungguh maha sempurna, bahkan tak bergeser walau hanya satu detik. Subhanalloh.

Semua warga mulai meninggalkan area pemakaman saat semua jenazah telah selesai di kuburkan. Kini tinggal aku dan Anna. Jenazah Ayah, Ibuk dan juga Rere bersebelahan tanpa ada penghalang satu makam saja. Aku masih menaburi sisa bunga yang masih ada, sedangkan Anna masih menangis di sebelahku.

"Kenapa Ibuk dan Ayah begitu cepat pergi, Kak?" aku menoleh Anna, ia tersenyum getir. Aku mengusap rambutnya, mencoba menghirup udara agar dadaku tak terasa semakin sesak. Aku benar-benar rapuh, bahkan aku harus terlihat kuat di depan Adiku Anna.

"Sabar ya An!" hanya itu. Hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan. Tenggorokanku tercekat seperti tak mampu lagi berkata.

Ayah, Ibuk.. Kenapa kalian begitu cepat pergi, bahkan aku sama sekali belum sempat meminta maaf pada kalian. Aku berdosa, aku sungguh anak durhaka. Kenapa di saat aku ingin memperbaiki kesalahan seolah waktu tak memberikan aku kesempatan. Kalian tau bagai mana rasanya? Benar-benar menyesal dan aku tau ini bukan sedang mimpi seperti kematianku waktu lalu. Ini nyata dan tak ada lagi kesempatan untukku bisa bertemu lagi dengan mereka, dengan beliau.

Di sebelah makam Ibuk aku melihat gundukan tanah yang mengubur jasad Rere. Hatiku masih terasa perih. Walau aku sudah meminta maaf, tapi aku tak tau apa Rere sudah maafkanku. Jika waktu itu aku melihat ketulusan cinta Rerea hanya dalam mimpi, tapi kali ini benar-benar terbukti nyata di depan mataku. Ia rela mengorbankan nyawanya demi aku, demi orang yang ia sayangi. Aku terharu atas pengorbananya, dia benar-benar tulus mencintaiku.

Tapi maafkan aku Rey, pagi tadi aku sempat membuat hatimu kecewa. Namun pilihanku sudah bulat, aku benar-benar bertaubat. Aku takut. Semoga kau tenang di alam sana.

----

Allah hanya memberikan sekali kesempatan pada semua umatnya, maka janganlah pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau kalian sudah merasakan seperti yang pernah aku lihat, niscaya kalian akan merasakan takut yang maha dasyat sepertiku. Berada di hari pembalasan sangat mengerikan, bahkan sebesar-besarnya api yang ada di dunia ini belum ada apa-apanya.

Sebuah hadis mengatakan.
JIKA SEBUTIR BARA API NERAKA YANG BESARNYA SEPERTI BIJI JARA DI LETAKKAN DI MUKA BUMI, MAKA NISCAYA DI DUNIA INI TAK AKAN PERNAH TURUN HUJAN.

Kalian bisa membayangkan betapa panasnya api itu? Sungguh mengerikan, padahal hanya sebesar biji jara.

Semoga dalam rangka berbagi cerita dalam hidupku ini bisa bermanfaat, janganlah lalai, kita semua akan mengalami yang namanya kematian.

SETIAP YANG BERNYAWA PASTI AKAN MENGALAMI MATI.

    -T H E E N D-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar