Selasa, 08 Maret 2016

Percintaan Sedarah
Epesode Terakhir
-------------------
By. Aby Anggara
=========================

*-*-*

"Arah parkir motor di sana woi" ujar Arlan saat melihat Alfan yang langsung berjalan menuju arah depan sekolahnya.

"Aku gak bawa motor Ar!" singkat Alfan.

"Eh tumben Fan gak bawa motor, kamu naik apa berangkat sekolah pagi tadi?" Arlan terheran-heran saat mendapati Alfan yang tak biasa-biasanya.

"Pagi tadi aku naik bus Ar, lagi males aja bawa motor, yaudah aku duluan ya?"

Alfan langsung meninggalkan Arlan yang ingin menuju ke arah parkir. Di dekat gerbang sekolah, Reza sudah senyum-senyum menyambut kedatangan Alfan yang semakin lama semakin mendekatinya.

"Kak jangan pasang muka jutek dong, gak keliatan ganteng lagi tau" goda Reza. Alfan langsung ikut duduk di pagar bunga yang terbuat dari semen berbentuk seperti pohon tumbang.

"Kamu bisa saja Za, ngapain belum pulang, udah keluar dari tadi kan?" Alfan melirik Reza.

"Reza sengaja nungguin Kakak, pengen pulang bareng"

"Kak Alfan gak langsung pulang kok Za, Kakak mau kerumah sakit junguk Alfin. Tau sendiri kan kalo sudah pulang di rumah, Mama pasti gak bakal ngizinin Kakak"

Reza mengehela nafas, seperti ada rasa cermburu menyelinap di hatinya. "Yaudah kalo gitu Reza juga ikut" paksanya.

"Jangan Za, nanti Mama nyariin kamu loh kalo gak langsung pulang"

"Trus Kak Alfan kira Mama gak bakal nanya sama Reza kalo Kak Alfan gak langsung pulang?"

Alfan terlihat seperti berfikir. "Kak Alfan akan bilang ada pelajaran tambahan di sekolah" ucapnya santai.

"Yaudah Reza juga bakalan ngelakuin hal yang sama"

"Dasar bandel"

"Udah ah Kak ayo, nanti keburu sore loh" Reza menarik tanga Alfan dan langsung menuju halte yang ada di depan sekolahnya.

*-*-*

Bagai mana perasan kalian jika kalian mengidap suatu penyakit dan sudah di vonis oleh Dokter bahwa hidup kalian tinggal menghitung hari? Jujur saja, walau sebenarnya Dokter bukanlah Tuhan yang menetapkan segalanya, tapi perasaan takut pasti menyelinap di hatimu bukan?

Setelah beberapa bulan Alfin di rawat di rumah sakit, pagi tadi Dokter telah memvonis bahwa Alfin tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Virus HIV AIDS kini benar-benar sudah menggerogoti tubuhnya. Kini Alfin terkulai lemah di ranjangnya, tubuhnya sangat kurus bagaikan tengkorak hidup. Mengerikan. Lidah nya berwana putih, di sudut bibirnya ada luka yang semakin hari semakin membesar, bahka di sekujur kedua kakinya berwarna merah menyerupai luka.

Di sudut mata Alfin mengeluarkan Air mata kesedihan. Ada rasa takut yang mendalam di hatinya, namun ada juga rasa bangga saat ia merasa berkorban semua ini demi Ibunya. Di sisi tempatnya berbaring terlihat Andre yang ikut menitihkan air mata, rasa penyesalan mendalam kini menyelimuti hatinya.

"Maafin gue Fin, ini semua terjadi gara-gara gue" Andre berucap dalam hati. Matanya kini terlihat merah dan sembab. Namun begitulah takdir, penyesalan tak akan pernah mengembalikan segalanya.

Maryampun masih terdiam, wajahnya terasa sangat putus asa. Mulutnya terbuka lebar namun tanpa suara. Menangis tertahan, menangisi nasip anaknya yang sedang tak membawa kabar baik. Pilu. Hatinya kini terasa pilu, dadanya sesak bagai tak ada ruang tempat udara di dalam sana. Jika semuanya sudah seperti ini, maka seorang manusia hanya bisa pasrah dan bersabar atas segalanya.

"Nak Andre Ibu titip Alfin sebentar ya, Ibu mau pulang dulu"

Andre menganggu sebagai jawaban, ia tak mampu lagi mengeluarkan suaranya. Maryam lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

"Ka..mu kenapa nangis N..dre, a..ku gak papa kok" kini suara Alfin terdengar sangat lemah, bahkan nyaria tak terdengar.

"Fin.." suara Andre bergetar. "Gue mohon.. Lo tetap bertahan ya, jangan bua-t gue semakin merasa bersalah sama lo. Ini semua gara-gara gue, gara-gara ke egoisan gue dulu" Andre memegang tangan Alfin, ia takut jika Alfin akan benar-benar pergi untuk selamanya.

"Ka.. Kamu jangan sedih Ndre, aku gak papa"

Andre semakin menangis terisak, bahkan dadanya ikut merasakan rasa sakit seperti terhimpit dengan dua batu besar.

Pintu kamar Alfin kini terbuka, Alfan baru saja datang sendirian. Alfan membawa macam-macam buah segar yang sudah di rangkai dengan sangat indah.

"Ada apa ini, kenapa kalian semua menangis?" Alfan terlihat bingung karna tak mengetahui semua ini, ia menatap Andre dan Alfin secara bergantian. Alfan memang jarang menjenguk Alfin di rumah sakit, lantaran Melinda tak pernah memberi izin untuknya. Ia hanya sesekali, itu saja mencuri-curi waktu untuk bisa bertemu dengan Adiknya Alfin.

"Alfin... Alfin sudah di vonis Dokter, dan katanya Alfin gak bisa bertahan lebih lama" sekuat tenaga Andre menjelaskan, namun Alfan segera menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Nggak.. ini gak mungkin" Alfan langsung menaruh buahnya di atas meja, lalu ia berjalan mendekat pada Alfin.

"Fin mana janji kamu? Dulu kamu bilang mau sembuh kan? Kita bisa kumpul kan? Tapi kenapa setiap minggu keadaanmu semakin menurun, bahkan kini Dokter sampai benar-benar memvonis segala. Bilang sama Kakak Fin kalo semua ini gak benar, iya kan?" Alfan tak lagi mampu membendung air matanya, ia menangis.

"Kak... Mungkin yang di katakan Dokter memang benar, Alfin-"

"Nggak, Kak Alfan gak mau kalo itu benar, ini semua bohong kan, iya kan Fin? Ayo bilang sama Kakak!"

Sekuat tenaga Alfan berusaha menolaknya, ia tak akan pernah rela jika ini benar-benar menjadi kenyataan.

"Kak.. Kalo nanti Alfin ga ada lagi, Kakak pulang ya. Kasian kalo Ibu sendirian" suara Alfin lemah, seperti orang berbisik. Namun Alfan masih bisa mendengarnya. Alfan kembali menggelengkan kepalanya.

"Iya Fin Kak Alfan janji bakalan pulang sama Ibuk, tapi kamu juga harus janji, kita kumpul sama-sama Fin. Kamu mau kan?"

"Alfin senang dengernya Kak, tapi Alfin sudah gak kuat lagi. Alfin sayang sama Kakak"

"Nggak.. Kamu harus kuat Fin, Kakak percaya itu. Fin... Fin...Fin????" Alfan berteriak sembari mengguncang tubuh Alfin, namun kedua mata Alfin sudah terpejam.

"Fin bangun Fin" teriak Alfan. Alfan mulai panik. "Ini semua gara-gara kamu" Alfan memegang kedua kerah baju Andre. Tatapanya geram, giginya saling bertautan hingga menimbulkan suara. Andre yang mendapatkan perlakuan itu hanya pasrah, lagi pula yang di katakan Alfan memang benar.

"Ngapain malah bengong, cepat panggil Dokter!" teriak Alfan dengan nada kencang, tanpa protes Andre langsung angkat kaki dan memanggil Dokter.

"Fin bangun Fin, jangan pergi" Alfan masih mengguncang-guncang tubuh Alfin, namun Alfin sudah tak bergerak sedikitpun.

Tak lama sang Dokterpun datang, di ikuti Andre yang berjalan mengekor di belakangnya. Dokter langsung memeriksa Alfin, dan tak lama ia menutup kain hingga menutupi kepala Alfin.

"Innalillahi wainahiroji'un"

"Nggak ini gak mungkin, Dokter pasti bohong kan?" Alfan masih saja tak percaya, ia belum bisa menerima kenyataan. Sedangkan Andre ikut semakin menangis, tapi ia berusaha menahan agar tak mengeluarkan suara.

"Fin bangun Fin ini Kakak" lagi-lagi Alfan mengguncang tubuh Alfin.

"Sabar Nak, ini sudah takdir. Berusahalah untuk tenang!" sang Dokter berusaha menenangkan Alfan.

"Sabar Dok??? Kalo ngomong memang enak, tapi Dokter gak tau kan bagaimana rasanya orang yang di tinggalkan?" Alfan sebisa mungkin membantah sang Dokter, bahkan ia tak lagi memikirkan nilai-nilai etika.

"Sebentar lagi jasad akan di pindahkan di kamar jenazah" ucap Dokter.

"Nggak!!! Siapapun gak boleh ada yang pindahin jasad ini sebelum sayang kembali. Mana Ibu Maryam.. Mana?" Alfan mendelik pada Andre.

"Ta-tadi Ibu Maryam pulang, katanya cuma sebentar" jawab Andre.

"Kamu tunggu disini sampe aku datang lagi. Dan ingat, jangan di pindahin kemana-mana!"

Andre hanya mengguk ketakutan. Alfan langsung meninggalkan ruangan itu untuk menjemput Ibunya di rumah. Sesampainya di rumah Maryam, Alfan langsung masuk tanpa permisi. Ia mendapati Ibunya sedang menaruh sayur sup kesukaan Alfin di dalam rantang plastik. Rantang plastik itu memang hanya terdiri dua susun, yang satunya berisi nasi dan yang satunya adalah sayur sup yang sangat di sukai oleh Alfin. Alfan yang melihat Ibunya seperti itu membuat hatinya semakin sakit, bahkan ia tak mampu untuk mengatakanya saat ini, ia takut merusak harapan Ibunya yang sudah susah payah memasak untuk Alfin.

"Eh ada Nak Alfan, sudah dari tadi disini? Ibu mau kerumah sakit lagi sekalian bawain sayur sup kesukaanya si Alfin"

Bibir Alfan bergetar, ia sangat ingin memberi tahu pada Ibunya kalau Alfin sudah tiada, tapi lidahnya terasa keluh. Untuk saat ini ia tak mampu mengeluarkan kata-kata.

Alfan kembali keluar rumah dan langsung duduk di taxi yang sudah ia sewa.

"Saya kembali kerumah sakit dulu ya Buk?" Maryam pamit pada Ibunya. Sang Nenek hanya senyum memamerkan giginya yang sudah banyak hilang. Maryam duduk di sebelah Alfan. Maryam seolah sudah tau kalau Alfan yang belum jalan dengan taxiya karna menunggu dirinya. Dalam perjalanan Alfan dan Ibunya hanya diam, namun Alfan masih menagis dengan suara tertahan.

Maryam membuka pintu kamar Alfin, Andre yang ada di dalam langsung menyambut dengan pandangnya pada Maryam dan Alfan yang baru saja datang. Mata Maryam membulat saat melihat tubuh Alfin yang sudah di tutup dengan selimut sampai atas kepalanya. Ia menaruh rantang yang ia bawa lalu membuka selimut yang menutupi wajah Alfin.

Air mata Maryan langsung berjatuhan, tangannya membekap mulutnya. Ia tak percaya melihat anaknya Alfin yang sudah terbaring kaku didepannya, bahkan sudah benar-benar tak bernafas lagi. Maryam terkulai lemah, ia kini berdiri dengan kedua lututnya.

"Ini gak mungkin, kamu pasti becanda kan, Fin?" Maryam kini tersenyum getir.

"Sabar ya, Buk" Andre mengusap punggung Maryam berusaha menenagkan hatinya.

"Bangun sayang ini Ibuk Nak, Ibu bawain makanan kesukaan kamu Fin" Maryam semakin terisak, bahkan kali ini tangisanya semakin menjadi.

Di belakang sana Alfan memejamkan kedua matanya berusaha tenang. Ia merogoh saku celananya dan melakukan panggilan pada nomor Reza. Panggilan terhubung, Reza pun menjawab panggilan masuk di ponselnya.

"Halo??"

Hening.

"Kak?"

Alfan masih diam, hanya suara sesegukan yang terdengar.

"Kakak kenapa nangis?"

"Alfin, Za" suara Alfan sangat lirih.

"Alfin kenapa, Kak?"

"Alfin... Alfin meninggal Za"

"Innalillahi wainahiroji'un. Kirim alamatnya Kak, nanti Reza bakalan datang melayat"

"Tar lewat pesan saja ya"

Panggilan terputus. Alfan mengetik pesan untuk Reza, tak lupa juga ia memberi tahu Arlan.

*-*-*

Jenazah Alfin kini baru saja tiba di pemakaman. Alfan dan Ibunya terlihat sangat sedih, matanya merah dan sembab. Andre ikut berjalan bersamaan dengan Alfan dan Ibunya. Dari kejahan terlihat Arlan, Reza beserta Mama dan Papanya juga ikut menyaksikan pemakaman jasad Alfin. Jasad Alfin baru saja di turunkan dari keranda, galian tanah pun sudah siap di sebelahnya.

Suara adzan kini sudah berkumandang, suara itu membuat hati Maryam semakin pilu. Alfan terkulai lemah saa jenazah Alfin mulai di masukkan ke liang lahat, tangisanya semakin tak tertahan.

"Sabar ya, Kak" ucap Reza. Alfan memeluk Reza dengan erat.

"Alfin, Za" ucapnya Alfan lirih. Reza mengusap punggung Alfan.

"Kamu yang sabar ya, Fan" Melinda kini ikut memeluk keduanya. Maryam yang berada di sebelahnya juga semakin terisak saat melihat butiran tanah yang mulai menutupi tubuh Alfin. Rasa kehilangan untuk yang kedua kali kini kembali ia rasakan setelah suaminya.

"Buk.. Alfin Buk" seru Alfan pada Ibunya. Maryam kini memeluk tubuh Alfan yang merasa sangat rapuh atas kehilangan Adik kandungnya itu.

"Sabar ya, Nak" Maryam berusaha ikut menenangkan Alfan.

Entah kenapa air mata Melinda ikut mengalir, padahal waktu lalu ia sangat benci pada Alfin. Begitu juga dengan Reza, melihat orang-orang terdekat Alfin menangis, ia juga ikut menangis. Tak lupa juga dengan Andre, walau sekuat tenaga ia menahan agar tak menangis, namun nyatanya butiran air matanya tetap jatuh. Dalam hal ini ia lah yang merasa paling bersalah. Arlan juga tak kalah, matanya ikut memerah. Hanya suaminya Melinda saja yang sama sekali tak menitihkan air mata kesedihannya.

Saat ini tubuh Alfin sudah benar-benar tak terlihat lagi, butiran tanah itu benar-benar telah menutupinya dengan rapat. Papan nisan baru saja di pasang, setelah acara doa bersama selesai, semua warga yang ikut mengantarkan jenazah Alfin kini berhamburan mulai meninggalkan gundukan tanah itu, karna tugas mereka memang tlah usai.

Alfan menangis semakin menjadi saat suasana di makam itu sudah mulai sepi. Hanya dia, Ibunya, Arlan, Andre, Reza, Melinda dan juga suaminya yang masih tersisa.

"Kenapa kamu pergi Fin, Kak Alfan masih belum siap kehilangan kamu" Alfan memeluk papan nisan yang belum lama di pasang, wajahnya kini di hujani air mata.

"Sabar ya Fan" ucap Arlan.

"Sabar Fan, kamu harus kuat. Mama tau apa yang kamu rasakan" Melinda kembali menenangkan Alfan.

"Mama tau apa? Apa Mama tau apa yang aku rasakan? Alfan sedih banget, Ma" Alfan kini beralih kembali memeluk Mamanya, wajahnya ia pendamkan di dada Mamanya. Suara isakan dan sesegukan tertahan di dada Melinda. Melinda kembali mengeluarkan air mata, ia mengusap rambut Alfan dengan punuh kasih sayang.

"Mama ngurus kamu dari kecil Fan, dari kamu masih bayi. Jadi Mama sangat tau apa yang kamu rasakan. Mama sayang sama kamu"

"Kak Alfan jangan nangis lagi ya!" seru Reza.

Alfan melepaskan pelukan dari Mamanya, Melinda menyeka air mata yang berhamburan di pipi Alfan.

"Kamu harus belajar ikhlas Fan"

Alfan kembali menatap gundukan tanah yang masih segar di depannya, ia kembali teringat masa-masa saat ia awal bertemu dengan Alfin. Saat di depan halte, saat ia mengantarkan pulang sekolah, saat ia menjemput di pagi hari untuk berangkat sekolah sama-sama. Namun satu hal yang membuat dadanya semakin terasa sesak. Saat ia mendapati Alfin berada di pangkuan seorang Om-om. Saat Alfin menjual tubuhnya. Hal itulah yang paling ia sesalkan, karna dari situlah penyakit itu mulai menggerogoti tubuhnya hingga menjelang ajal.

Alfan kembali menangis, namun kali ini ia tak membuka mulutnya. isakan dan sesegukan masih terdengar.

Alfan berkata dalam hati.

'Jujur Fin, sampai saat ini Kak Alfan belum bisa ikhlasin kepergian kamu. Hati Kakak sakit banget Fin. Kakak tau cinta ini cinta terlarang, dan Kak Alfan tau cinta kita percintaan sedarah. Tapi... Sampai saat ini Kakak masih sayang sama kamu. Kakak janji akan jaga Ibuk seperti yang kamu mau.

Semoga kamu tenang di sana ya Fin. Jangan lupain Kakak, karna Kakak juga gak akan pernah lupain kamu'.

Alfan menoleh kebelakang, kini semua orang menatap wajahnya yang sudah basah.

"Kak Alfan sekarang kita pulang ya?" ajak Reza.

"Mulai sekarang Kakak akan pulang kerumah Ibu Maryam Za. Kasian Ibuk sendirian"

"Yah Kakak" Reza tampak kecewa. "Ma gimana dong?"

"Em gini aja Fan, kamu tinggal di rumah Mama aja sekalian sama Ibu kamu juga, gak papa kan Mas?" Melinda menoleh suaminya.

"Iya gak papa" walau sebenarnya berat, namun suami Melinda berusaha mengiyakan. Karna ia tau, kalau sudah menyangkut masalah Alfan, Melinda akan bersi keras melakukan apa saja.

"Mau kan Kak tinggal bareng Reza lagi?" tanya Reza. Alfan memandang Ibunya kemudian ia mengangguk.

"Ye.. Hore" Reza berseru bahagia.

Kini semuanya mulai meninggalkan makan itu, Melinda kembali menoeh kebelakang.

'Maafin kelakuan Tante waktu lalu ya Fin, semoga kamu tenang di alam sana'

Melinda kemudian berbalik dan kembali berjalan bersama-sama.

.

-S E L E S A I-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar