Selasa, 08 Maret 2016

Ketika Cinta Tak Dapat Bersatu
(Cerpen)
----------------
By. Aby Anggara
===========================

*-*-*

Aku sangat lelah dengan kehidupanku yang seperti ini, aku ingin seperti teman-teman yang lain, yang selalu bisa bermain bebas dan tak terbatas oleh waktu. Namun nyatanya sampai aku menjadi seorang mahasiswa tetap saja kehidupanku tak pernah berubah, setiap berangkat kuliah selalu bersama dua orang yang berpakaian serba hitam dan mengerikan menurutku. Bukan hanya itu, kemanapun aku pergi tak pernah di izinkan sendirian.

Aku selalu berbohong mengerjakan tugas kuliah bersama Heru saat aku rindu padanya, tapi tetap saja, aku tak pernah punya waktu banyak saat bersamanya, sangat meyebalkan. Hubungaku dengan Heru hampir menginjak usia yang ke 3 tahun, karna kami pacaran sudah sejak SMA. Aku sangat bahagia, karna Heru begitu sayang denganku.

Namaku Tio Nichiko, aku hanyalah anak angkat satu-satunya di rumah ini. Sejak kecil aku hidup di panti asuhan saat Mama dan Papaku telah meninggal, namun saat usiaku menginjak 5 tahun Mama Berta mengangkatku sebagai anaknya. Aku di besarkan oleh seorang suster di rumah Mama Berta yang sangat besar itu, hingga aku menjadi dewasa seperti saat ini. Dirumah yang sangat besar ini tak hanya aku Mama Berta, dan salah orang pembantu, namun banyak lelaki dewasa yang berpakaian kemeja berlengan panjang dan disertai jas hitam di luarnya. Walau mereka semuanya laki-laki, namun mereka sangat patuh apa yang di perintahkan oleh Mama Berta. Mama bagaikan ratu di istananya sendiri, aku saja sangat takut menatap wajahnya yang terlihat sangat tegas.

Setiap hari kuliahat Mama selalu membersihka pistolnya dengan sebuah tisu, senjata itu bagaikan senjata yang sangat penting dalam hidupnya, bahkan tak jarang aku sering melihat Mama meniup pelan pistol itu. Namun entahlah, aku tak mau ikut campur urusan mereka, yang terpenting adalah dengan urusan kuliaku dan juga pangeranku Heru.

Siang itu, aku mencharger ponselku di atas meja di sebelah tv, aku pun duduk dan menyalakan tv itu. Acara yang di tayangkan sangat lucu, hingga aku tertawa lepas berkali-kali sampai perutku terasa sakit. Aku menyerah, akhirnya aku memutuskan untuk ke toilet. Aku membuang air kecil, serta mencuci muka setelahnya.

Namun mataku membulat terbelalak saat aku kembali keruangan itu, Mama Berta sedang menaruh ponselku di telinganya. Mama lalu menatapku dengan tatapan tajam, di sebelahnya banyak para bodyguardnya yang juga ikut menatapku, namun datar. Mama kemudian menaruh ponselku dalam saku jasnya, kemudian ia memangku kedua tanganya.

"Ke.. Kenapa hp aku di ambil, Ma?" tanyaku gugup. Mama tak menjawab, ia malah bertepuk tangan santai dengan jeda yang cukup lama.

"Bagus.." ujarnya. Namun aku tak mengetahui apa arti dari kalimat itu.

"Maksud Mama apa, aku gak ngerti"

"Ada hubungan apa kamu sama Heru?" tanya Mama, kini Mama berjalan mendekatiku. Aku seketika tertunduk tak mampu menjawab pertanyaan itu. Berarti yang menelpon tadi pasti si Heru, dia memang terbiasa langsung memanggilku dengan sebutan 'sayang' tanpa mau mendengarkan siapa yang mengangkat telpon terlebih dahulu. Aku samakin takut, apalagi Mama saat ini berjalan mengelilingiku.

"Jawab Tio!" bentak Mama dengan suara keras dan bergema. Aku tergelonjat kaget di buatnya, namun aku masih diam tertunduk. Tiba-tiba Mama memegang daguku dan mengangkatnya, aku semakin takut saat mata Mama dan mataku kini berjarak sangat dekat. Tatapanya tajam penuh murka.

Plak..

Mama menamparku, seketika aku memegang pipiku yang terasa sangat sakit.

"Kalian pacarn, iya?" aku masih terdiam, namun entah kenapa kepalaku mengangguk lemah dengan sendirinya.

"Memalukan, cuih" ujarnya membuang ludahnya di depanku. Mama kemudian mengeluarkan pistolnya dan mengusapnya dengan lembut. Kali ini tubuhku bergetar, apa Mama akan membunuhku dengan pistolnya? Jantungku berdetak kencang, aku sangat ketakutan.

Mama menggerakan kepalanya seolah memberi isyarat pada bodigatnya, dan sepertinya mereka memang sudah tau dengan kode gerakan kepala Mama, karna seketika dua orang lelaki di sebelahnya berjalan mendekatiku dan memegang kedua tanganku. Sedangkan yang lainya masih berdiri diam seperti patung.

"Ma maafin Tio Ma, tapi Tio sayang sama Heru" ujarku memohon. Mama hanya diam tak bergeming, sedangkan dua orang yang memegangi tanganku kini mulai menyeretku naik melewati tangga dan menuju kamarku. Aku berusaha meronta, namun sepertinya sia-sia saja, karna dua orang dewasa yang memegangi tanganku adalah orang yang berotot besar, mana mungkin aku bisa melawanya. Sesampai di kamar, aku di lempar di ranjangku dan pintu kamarnyapun di kunci dari luar.

"Ma bukain pintunya, Ma" aku mengetuk kasar dan memutar-mutar gagang pintu kamarku, namun tetap saja tak ada balasan suara dari luar sana. Aku menjadi panik, aku harus menelepon Heru. Aku merogoh saku celanaku, astaga... Aku menepuk keningku. Aku lupa kalau ponselku masih di tangan Mama. Oya aku ingat, aku masih punya satu handphone yang tak pernah kupakai. Aku segera membuka laci, dan aku tersenyum saat aku menemukan handphone itu. Handphone ini sudah satu bulan lebih tak pernah ku pakai lagi semenjak aku membeli ponsel baru, ada sedikit debu dan aku membersihkanya.

Aku mencoba menghidupkanya, aku memejamkan mata, berharap ponsel ini masih bisa hidup dan bisa menolongku. Aku tersenyum lebar saat mataku terbuka dan mendapati ponsel ini masih menyala, aku segera melakukan panggilan pada nomor Heru yang sudah sangat ku hafal nomornya.

'Sisa pulsa Anda tidak cukup untuk-'

Arrrrgghhhh..!

Sialan, pulsanya tidak cukup. Aku mengetik sebuah pesan singkat dan meminta agar Heru segera menolponku. setelah selesai mengetiknya, aku segera mengirimnya, semoga saja pulsanya masih cukup karna aku tadi memang tak sempat untuk mengeceknya. Alhamdulillah.. Pulsanya masih cukup untuk memgirim sms, dan tak lama Heru menelpon ke ponselku.

"Tadi kamu telpon ya, Her?" tanyaku.

"Iya, tapi aku belum selesai ngomong malah di matiin"

Aku kembali menepuk keningku. Benarkan dugaanku.

"Kamu kalo di bilangi susah si, tadi yang angkat itu Mama Berta"

"Hah? Serius? Terus Mama kamu bilang apa?"

"Gawat banget Her, aku sekarang di kurung di kamar. Aku pengen kamu jemput aku dan kita mendingan kabur dari rumah, aku sudah capek hidup banyak aturan di rumah ini"

"Tapi... Kita mau kemana Yo?"

"Sudah, masalah itu kita pikirin nanti ya, tolongin aku, aku takut banget"

"Oke baiklah"

Aku segera berjalan menuju teras kamarku, dan ternyata di depan pintu gerbang ada dua jongos yang menunggu di sana, berarti tak menutup kemungkinan di depan pintu kamarku juga ada yang menunggunya. Ah... Merasa sangat tersiksa hidup di rumah ini.

Aku sangat panik saat ini, bagai mana Heru bakalan menjemput aku kalau di mana-mana banyak jongosnya Mama? Sepertinya aku harus cari ide, tapi apa?.

Aku sangat gelisah, aku bermondar-mandir di sebelah ranjang tempat tidurku. Aku merasakan getar di tanganku, aku memang hanya membuat getaran saja di ponselku supaya tak ada yang mendengar kalau saat ini aku masih mempunyai ponsel.

"Halo, Her" kataku sedikit berbisik.

"Aku sudah berada dekat rumahmu, tapi sepertinya ada bodyguard di pintu gerbang"

"Iya kamu benar, em... Biar aku saja yang kesana"

"Kamu yakin bisa?"

"Aku akan mencobanya"

Aku kembali keluar, melihat kedua orang yang berseragam serba hitam berdiri di sana. Bagai mana ini? Bagai mana aku bisa keluar dari kamar ini? Sepertinya kali ini aku harus sedikit nekat, aku harus bisa keluar dari rumah yang sangat menyiksa ini. Aku mengendap berjalan sambil jongkok saat berada di teras kamarku, aku melirik kebawah saat sampai di pojokan pagar besi pembatas. Sepertinya ini lumayan tinggi, tapi aku harus melewatinya. Aku melangkah dari pagar itu dan menginjak pentilasi yang berada di atas jendela lantai satu. namun kali ini keberuntungan tak berpihak padaku, sepatuku yang terasa sangat licin dan aku terpeleset meluncur kebawah dengan indahnya.

Aku jatuh tersungkur di rerumputan, ludahku terasa asin mungkin bibirku robek. Aku tak menghiraukanya. Kakiku juga terasa sakit, entahlah mungkin aku juga terkilir. Aku berjalan mengendap sambil menyeret kakiku menuju gerbang belakang. Aku sudah seperti maling di siang bolong. Sampai di pojokan tembok belakang, aku menengokan sedikit kepalaku, dan aku tersenyum saat tak mendapati ada penunggu di pintu itu. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera berlari menuju pintu itu, dan hah.... Aku membuang nafas dengan kasar, akhirnya aku bisa keluar juga dari istana tercinta itu.

Aku terus berlari, aku sudah tau dimana Tio menungguku. Dan dia tersenyum menyambut kedatanganku.

"Kakimu kenapa?" tanya Heru.

"Nanti saja aku jelaskan, ayo cepat kita pergi sekarang, sebelum ada yang melihat kita" ujarku. Akupun dengan cepat naik kemobilnya yang pintunya sudah di bukakan oleh Heru, kemudian ia menutup pintu mobil itu dan memutari setengah mobilnya dari arah depan.

"Ayo, Her cepat kita pergi!" kataku sedikit panik, Heru tak menjawab, ia sedang fokus memutar kunci mobilnya. Tak lama kami pun berhasil meninggalkan tempat itu.

Aku mulai tenang saat ini, karna aku sudah berada di sebelah Heru. Entah kenapa, aku selalu merasa nyaman saat berada di sebelahnya. Heru memegang tanganku yang berada di atas pahaku, dan aku menolehnya. Heru tak menatapku, ia masih menatap kearah depan, namun wajahnya tersenyum.

"Kamu jangan khawatir sayang, aku akan selalu melindungimu" ucapnya. Aku tersenyum bahagia, ucapanya bagaikan embun yang jatuh di pagi hari, sangat menyejukan hati.

"Aku percaya dengan semua ucapanmu Heru, tapi..."

"Tapi kenapa? Kamu masih ragu?" kali ini Heru menoleh kearahku sebentar, lalu ia kembali melihat kedepan.

"Bukan itu, sepertinya tadi Mama Berta sangat marah denganku, aku sangat takut jika nanti para bodyguard Mama akan mencariku"

"Sudah tak perlu terlalu di fikirkan, percayalah aku akan selalu di sampingmu"

Aku terdiam. Aku bukan tak percaya dengan ucapan Heru, tapi aku masih sangat takut jika mereka mencariku, sudah pasti Mama Berta akan marah besar denganku karna aku sudah kabur dari rumahnya.

Aku tak tahu Heru akan membawa mobilnya kemana, namun mobilnya memasuki gang yang tak tau mau apa. Tak lama mobilnya berhenti di salah satu rumah yang berdinding permanen, namun bentuknya sangat panjang. Aku bisa menebaknya, ini pasti rumah kontrakan.

"Ayo kita turun!" ujarnya.

"Kita ngapain di sini, Her?"

"Untuk sementara kita tinggal di sini dulu ya, ini kontarak punya Papa dan kebetulan masih ada dua pintu yang kosong. Kamu gak keberatan kan?"

Aku tersenyum menatap wajah Heru. "Aku gak keberatan kok Her, aku selalu bahagia, apalagi berada di sebelah mu"

"Ah kamu bisa saja, ayo kita masuk"

Aku dan Heru kini turun menuju salah satu pintu yang berada di agak pinggir, pintu itu berwarna cokelat. Heru memasukan anak kuncinya, tak lama pintu itupun terbuka. Heru segera masuk, di iringi aku yang berjalan di belakangnya. Nyessa walau ruangan ini tanpa AC, namun saat baru memasukinya tubuhku terasa sangat dingin, mungkin karna rumah ini sudah lama di kosongkan.

Heru menyalahkan lampu di ruangan utama, sedangkan aku berjalan menuju kebelakang mengambil sapu. Aku sedikit jijik karna rumah ini penuh dengan debu halus, namun aku harus membersihkanya dan membuatnya senyaman mungkin.

"Aku kebelakang dulu ya, Yo?" ucap Heru, aku hanya mengangguk sebagai jawabnya. Aku melanjutkan aktivitasku, ternyata membersihkan rumah sekaligus membuatnya rapi membuat aku sangat lelah. Setelah selesai aku segera menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku.

Aku sudah terlihat rapi dan bersih walau aku tak mengganti bajuku. Aku mengambil sebuah remot tv dan menyalakanya. Sudah sejak tadi Heru pergi, katanya mau membeli makanan. Yasudah, aku akan menunggunya. Aku meraih satu bantal yang berada di atas kursi, kemudian aku taruh sebagai sanggah kepalaku agar tak terasa sakit. Aku pun terbaring dengan mata yang masih tertuju pada layar kaca.

Aku mendengar suara mobil di depan rumah, aku segera bangkit. Benar saja, Heru sudah pulang dengan tangan yang penuh barang belanjaanya. Aku segera keluar membantu membawanya.

"Kamu beli apa saja sampe segini banyaknya Her?"

"Semua keperluan kita" ujarnya. Kami kemudian masuk dan duduk di atas kursi.

Aku segera membuka salah satu plastik, dan ternyata Heru memang sangat mengerti. Ia tak hanya membeli makanan, ia juga membelikan aku pakaian, ah... Bahagianya aku mempunyai seorang kekasih yang sangat mengerti aku. Aku segera berganti pakaian agar aku tak merasa gatal dengan pakaian yang sudah kotor ini.

*-*-*

Semilir angin di pagi hari menerpa tubuhku, aku semakin erat memeluk tubuh Heru. Kami tidur berdua, saat ini wajah kami saling berhadapan, namun mata Heru masih terpejam. Aku menatap wajahnya, aku melihat ada kedamaian di wajah itu. Wajah yang tak pernah lelah mencintaiku, tak pernah marah sekalipun ia merasa kesal denganku. Dialah satu-satunya orang yang sangat menyayangiku.

Sepertinya suasana di luar sudah mulai terang, dengan pelan aku melepaskan tangan Heru yang masih memeluk tubuhku. Pagi ini aku ingin membuat sarapan pagi untuk orang yang aku sayangi. Setelah berhasil melepaskan tanganya, aku membenarkan selimut tebal itu sampai di lehernya.

Aku segera menuju dapur, mencuci muka dan membuka kulkas menyiapkan menu masakan pagi ini. Pagi ini aku akan membuat roti yang di isi dengab telur, kentang, wortel dan juga daging halus. Aku menyiapkan beberapa lembar roti tawar yang akan aku isi nanti, sementara itu aku masih menyiapkan kentang dan wortelnya terlebih dahulu.

Tak lupa aku menyalakan dispenser, untuk membuat minuman hangat. Aku sangat kaget saat sedang mengiris kentang, tiba-tiba ada yang memeluku dari belakang, dagunya ia taruh di atas bahu sebelah kiriku.

"Kamu memang kekasih yang baik Tio, pagi-pagi sekali kamu sudah bangun dan menyiapkan sarapan" ujarnya. Aku tersenyum dengan masih melanjutkan aktivitasku.

"Kamu bisa saja Her, aku hanya ingin menjadi orang yang berguna untukmu" singkatku. Kini Heru melepaskan pelukanya. Ia memegang kedua bahuku dan memutar tabuhku, saat ini kami saling berhadapan.

"Yo.. Kamu itu selalu berguna buat aku, bahkan penting banget. Aku masih bisa bernafas sampai saat ini karna kamu masih berada di sampingku. Kalau kamu pergi, aku yakin aku tak akan mampu jalani hari-hariku tanpa kamu, jadi jangan pernah berfikiran kamu gak berguna buat aku"
Aku tersenyum lebar, bahagia sudah pasti yang aku rasakan. Perlahan Heru mengecup keningku dengan lembut.

"Sekarang kamu mandi dulu ya, aku akan melanjutkan membuat sarapan untukmu"

Aku melanjutkan aktivitasku yang sempat terhenti, aku mengambil dua buah gelas untuk membuat minuman hangat, kemudian menaruhnya di meja makan. Setengah jam tlah berlalu, akhirnya pekerjaanku selesai juga. Aku menuju kamar menemui Heru yang kembali terletang di ranjang namun matanya tak terpejam. Ia menaruh kedua tanganya menjadi bantal untuk kepalanya, matanya berkelip menatap langit-langit kamar.

Aku berjalam menghampirinya, namun sepertinya dia yang mengetahui kedanganku tapi engan berpaling menatapku. Aku duduk di sampingnya kemudian menatap wajahnya.

"Kamu kenapa Her? Kenapa kamu melamun?" mendengar ucapanku, Heru langsung bangkit dari tempat tidurnya, ia kini menatapku dengan senyumanya. Tadi aku melihat wajahnya sangat murung, dan tatapanya pilu, tapi jika ia tersenyum, semua yang ada dalam dirinya seketika tertutupi. Entahlah wajahnya memang sangat pandai kalau menyembunyikan sesuatu, namun yang aku tau Heru selalu bercerita denganku walah hanya masalah kecil sedikitpun.

"Aku gak papa kok sayang, aku hanya lagi berfikir saja. Saat ini aku sudah mempunyai tanggung jawab yang lebih, jadi aku tak mau selalu bergantung dengan Papa. Mulai hari ini aku akan mencari kerja untuk masa depan kita"

Entah kenapa, aku sangat suka mendengar kalimat itu, Heru memang sangat dewasa jika menyikapi suatu masalah. Tapi aku merasa sangat bersalah, ini semua gara-gara aku dan ia jadi ikut susah.

"Maafin aku ya Her, gara-gara aku kamu jadi ikutan susah" seketika wajahku tertunduk, aku merasa bersalah. Heru menaruh kepalaku didadanya, mungkin ia mencoba membuatku tenang.

"Suda yah jangan merasa bersalah kaya gitu, ini memanh sudah menjadi tanggung jawab ku sebagai seme"

Ah.. Sejak dulu Heru memang tak pernah berubah, kata-kata yang keluar dari mulutnya memang sederhana dan penuh ketulusan, hal itulah yang sampai saat selalu dapat menenangkan hatiku.

"Makasih ya Her, lalu bagai mana dengan kuliah mu?" aku melepaskan dekapan tangan Heru dan kini aku menatapnya.

"Bukankah kuliah hanya untuk mengejar karir? Saat ini aku sudah cukup bahagia bisa tinggal satu rumah denganmu Tio, dan bagiku tak akan ada yang bisa membuatku lebih bahagia, sekalipun harta yang berlimpah. Aku hanya ingin bekerja seperti orang biasa, menjalani kehidupan bersamamu selamanya. Bukankah hal itu tak perlu harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu?"

Satu lagi kalimat yang keluar dari mulutnya yang mampu membius seluruh tubuhku, kata-kata yang ia ucapkan selalu menyentuh relung hatiku, hingga aku tanpa sadar menitihkan air mata. Aku mengeluarkan air mata bukan berarti aku lagi sedih, tapi aku menangis bahagia. Jika Heru meminta aku untuk memberikan nyawaku, aku pasti akan memberikan padanya, cintanya begitu tulus untuku, dan hal inilah yang membuat aku sangat takut kehilanganya.

"Kamu kenapa menangis Yo, apa kamu tak mau hidup sederhana denganku?" tanyanya. Ia menyeka air mataku dengan kedua jarinya. Aku menggelangkan kepalaku.

"Aku bukan tak mau hidup sederhana denganmu Her, tapi.... Aku sangat bahagia"

Heru kembali meraih kepalaku dan membenamkan di dadanya. Tuhan... Aku tak dapat mengibaratkan dengan kata-kata betapa bahagianya aku, ini sudah lebih dari cukup buatku. Aku memejankan mataku, menikmati usapan tangan Heru yang mengusap punggungku dengan lembut. Aku sangat merasa nyaman berada di pelukanya, seperti tak akan ada bahaya yang mampu membuatku celaka. Aku menganggakat kepalaku menatap Heru, ia pun tersenyum menatapku.

"Makasih ya sayang"

Heru kembali mengecup keningku.

"Sekarang kita sarapan dulu ya Her, nanti kamu bisa sakit"

Aku dan Heru kemudian menuju meja makan yang berada di dapur, makanan yang sudah kusiapkan sejak tadi masih tersusun rapi di sana. Heru segera duduk di salah satu kursi, kemudian aku pun ikut duduk di depanya.

Aku membalikan piring yang masih terkurap untuk Heru, kemudian aku mengisinya dengan dua lembar roti yang sudah aku isi tadi. Tak lupa, aku juga menuangkan saus pedas di atasnya.

"Apa segini sudah cukup?" tanyaku. Heru mengangguk. Aku tersenyum, kemudian aku mengisi piringku yang masih kosong. Belum selesai aku menuangkan saus di piringku, namun sebuah irisan roti yang sudah berada di sendok garpu berada di depan mulutku. Aku menatap Heru, dan Heru pun mengengguk. Tanpa berfikir lagi aku membuka mulutku, dan sepotong roti pertama pun kini masuk kedalam mulutku.

Tak lama makan pagi kami sudah selesai, Heru pun kembali menuju kamar, setelah selesai membereskan meja makan aku langsung menghampirinya. Aku melihat Heru sedang memakai baju kemeja dan aku pun berusaha membantu memasang kancingnya.

"Kamu mau kemana Her?" tanyaku.

"Aku akan mencari kerja, aku akan memenuhi tannggung jawabku mulai hari ini"

"Apa kamu yakin hari ini juga kamu akan berangkat?" tanyaku. Aku kini berjalan menuju ranjang dan duduk di atasnya. Heru pun kini mengikutiku dan duduk di sebelahku.

"Aku gak akan buang waktu lagi Yo, sebelum uang tabunganku semakin menipis"

Mendengar ucapanya, aku langsung tertunduk. Entah kenapa aku merasa sebagai beban untuk dirinya. Aku merasa ada dua tangan memegang pipuku, kemudian ia menganggaktnya. Saat ini mata kami saling bertemu.

"Aku gak mau melihat kamu sedih lagi Yo, tolong jangan sedih lagi, karna hal itu hanya akan membuat aku merasa tak mampu membuatmu bahagia"

Kali ini aku berusaha membuka bibirku agar aku tersenyum dan membuatnya bahagia, karna aku tau ia tak akan membiarkan aku terlihat sedih.

"Aku berangkat dulu ya sayang, kamu di rumah baik-baik, tunggu aku pulang"

"Kamu hati-hati ya Her, aku pasti akan menunggumu" Heru mengangguk dan kini kecupan singkat terasa hangat di keningku.

Aku mengantar Heru sampai depan pintu, dan aku melihat punggung kokohnya dari belakang saat ia berjalan menuju mobilnya. Heru membuka pintu mobilnya, kemudian ia kembali menatapku. Satu senyuman kembali terlihat di bibirnya, senyuman yang terlihat begitu tulus. Aku pun ikut tersenyum walah sebenarnya aku tak mampu melepas kepergianya, tapi baiklah aku tak boleh egois, Heruku pergi demi aku, demi masa depan kita.

Tanpa sebuah kata, ia memasuki mobilnya dan kemudian berjalan meninggalkan halaman rumah ini. Saat mobil Heruku sudah tak terlihat lagi, aku menutup pintu, namun belum sempat aku menguncinya tiba-tiba ada orang yang mendorongnya dan membuatku terpental. Aku segera bangkit dan aku sangat terkejut saat melihat beberapa orang yang sudah tak asing di mataku, dia adalah para bodyguard Mama Berta.

Aku sangat ketakutan, bagai mana ini, saat ini Heruku sedang tak ada di sampingku. Aku tak menyangka jika mereka bisa mengetahui keberadaan kami dengan cepat.

Puk.. Puk.. Puk...

Suara tepuk tangan khas yang biasa aku dengar jika Mama Berta bertepuk tangan dengan jeda yang agak lambat.

"Dasar anak gak tau terima kasih, bukanya meminta maaf malah kabur" ucap salah satu lelaki berbadan besar dan memakai pakaian serba hitam itu, di matanya juga tak lupa memakai kaca mata hitam.

"Aku..." sithh ucapanku terhenti, aku tak mampu berkata-kata lagi.

Satu laki-laki berbadan besar itu mendekati aku, aku menelan ludah melihat badanya yang besar dan tinggi.

Pandanganku beralih pada sosok yang baru saja datang dan melewati pintu itu. Dan ternyata Heruku datang, aku tersenyum dengan mata yang barkaca-kaca.

"Ternyata firasatku benar, pantas saja pikiranku tiba-tiba tidak enak" ucap heru. "Kalian ada urusan apa lagi dengan Tio?" lanjut Heru.

Laki-laki berbadan besar itu kini berjalan berbalik arah mendekati Heru, dan iya berjalan mengelilingi tubuh Heru.

"Tolong tinggalin kami, kami saling mencintai"

Laki-laki itu sepertinya tak mendengarjan ucapan Heru, ia malah mengeluarkan sebuah pistol dari saku jas hitamnya. Mataku membulat saat melihay pistol itu, apa bodyguard Mama Berta akan membunuhnya? Nggak, ini gak boleh terjadi.

"Apa mau kalian sekarang?" ucap Heru. Laki-laki itu malah tertawa sinis dan membersihkan pistol itu dengan sebuah tisu. Aku rasa tak ada yang kotor, namun setelah itu ia meniupnya dengan lembut.

"Kalian mau tau apa tujuan kami datang kemari? Nyonya Berta sangat marah dengan Tio, Kami di suruh Nyonya Berta untuk membawa pulang jangtung anak yang tidak tau terima kasih itu. Kalian tau kenapa Nyonya Berta hanya menginginkan jantung anak gak tau di untung itu? Karna Nyonya Berta sudah tak mau lagi melihat wajahnya" seketika pandangan Heru menatapku, mataku membualat terkejut. Apa ini tandanya mereka akan membunuhku? Kalo iya berarti betapa kejamnya Mama Berta.

Aku menagis mendengar perkataan itu, apa mungkin kini kisah cintaku akan berakhir sampai di sini? Heru kini mendekati aku, ia membenamkan kepalaku di dadanya, aku tau ia berusaha membuatku tenang.

"Kau jangan sedih sayang, aku tak akan membiarkan orang-orang bajingan ini akan menyakitimu" ucapnya yang berusaha menenangkanku, mendengar kalimat itu, aku semakin terisak, bagai mana Heru akan melindungi aku, sedangkan semua rombongan bodyguard Mama Berta berbada besar dan membawa senjata. Kali ini bukan aku tak percaya dengan ucapanya, tapi bagaimana bisa ia melawan semua orang-orang ini.

"Plis jangan menangis lagi Tio, aku bisa menjamin akan keselamatanmu, percayalah!"

"Hahaha, dasar kalian homo gak tau diri, sudah tau mau berpisah masih saja sok romantis-romantisan, cuih" seprtinya laki-laki itu merasa geram dengan kami, sampai-sampai ia membuang ludahnya merasa jijik dengan perlakuan kami.

Laki-laki itu menggerakan satu gerakan kepalanya, tiba-tiba empat bodyguard yang dari tadi mematung berjalan mendekati kami seolah sudah tau maksud gerakan kepala ketua rombonganya.

"Lepasin aku" ujarku, namun kini mereka memegang tanganku lebih kuat, dan dua lainya memegang tangan Heru. Kali ini kami terpisah.

"Tolonga jangan sakiti Tio, kalau itu terjadi aku berani bersumpah tak akan pernah memaafkan kalian, lepasin!" aku mendengar dengan jelas Heru berteriak histeris tak terima.

"Eh eh eh.." suara laki-laki itu tampak tertawa seperti orang tanpa dosa, kini ia berjalan mendekatiku dan meletakan ujung pistolnya memutar mengelilingi wajahku.

Aku menelan ludah, mataku terpejam menahan rasa takut. Ya tuhan... Jika aku memang akan pergi hari ini, izinkan aku memeluk Heru untuk yang terakhir kalinya.

"Tolong jangan sakiti dia, plis biarkan kami hidup bahagia" ujar Heru memohon, ia meronta-ronta ingin melepaskan tanganya, namun sia-sia saja, karna orang-orang yang memeganginya bertubuh lebih besar.

"Kamu jangan sedih Her, aku... Aku akan pergi dengan tenang. Berjanjilah jangan tangisi kepergianku"

Heru menggelangkan kepalanya. "Nggak, kamu gak boleh pergi sayang, aku akan berusaha melindungimu"

Aku semakin terisak, aku tak tau bagai mana hancurnya Heru saat aku pergi meninggalkanya nanti. Aku melihat Heru terkulai di atas lantai, ia berdiri dengan kedua lututnya.

"Tolong jangan bunuh Tio, aku rela memberikan jantungku untuk kalian bawa pulang. Serahkan jantungku untuk Nyonya Berta dan bilanglah kalu ini jantung Tio"

Aku menggelengkan kepalaku. Nggak, ini gak boleh terjadi. Aku tak mau membuat Heru terlalu banyak berkorban untuku, ia sudah terlalu banyak berkorban untuk membuatku bahagia.

"Kamu tak perlu melakukan itu Her, percayalah aku akan baik-baik saja"

"Aku mohon, bunuhlah aku dan jangan sakiti Tio" ucap Heru kembali memohon, sepertinya Heru tak menggubris lagi ucapanku, ia malah menatap wajah lelaki yang berada di depanku. Sepertinya ia terlihat berfikir dan aku sangat takut jika ia benar-benar berubah fikiran.

"Aku percaya kalian masih punya hati, tolong aku, bunuhlah aku dan ambil jantungku sesuka hati kalian, tapi aku mohon, biarkan Tio bebas menghirup udara di luar sana"

Laki-laki yang berada di depanku kini berjalan mendekati Heru. Tuhan... Jangan bilang kalo dia berubah fikiran, aku sungguh tak sanggup melihatnya. Dua bodyguard yang memegangi tangan Heru kini mengangkat tubuh Heru berdiri.

"Baiklah kalau itu maumu, aku bisa mengaturnya" laki-laki itu kemudian meniup pelan pistolnya. Oh tidak, kenapa bisa jadi begini.

"Terimakasih... Terimakasih karna sudah mau mengabulkan permintaan terakhirku" ucap Heru.

"Her aku mohon kamu jangan bodoh, masa depanmu masih panjang dan kamu masih bisa hidup bahagia" aku kembali meronta mencoba melepaskan tanganku dari cengkraman bodyguard sialan ini. Tapi rasanya sangat sulit, tenaganya terlalu kuat untuk aku lawan.

"Tio sayang, kini saatnya kita berpisah.. Aku sangat bahagia selama ini menjalin hubungan denganmu, walau kita hidup bersama kurang dari 24 jam, namun aku sangat bahagia. Aku sungguh mencintaimu. Carilah penggantiku setelah aku tiada. Lupakan aku dan bukalah lembaran baru! Percayalah aku baik-baik saja. Tolong jangan tangisi aku setelah kepergianku, karna itu akan membuatku tersakiti"

Aku semakin menangis, aku menggelangkan kepalaku. "Nggak, ini gak boleh terjadi, aku sangat mencintaimu Heru.. Kau tak boleh pergi" rintihku. Tubuhku terasa sangat lemas, kini aku terkulai di atas lantan dan berdiri dengan kedua lututku. Ya Tuhan... Aku harap ini hanya mimpi, bangunkan aku dari mimpi buruk ini, sungguh aku tak mau merasakan sakit yang sesakit ini.

"I love you, Tio" ucap Heru. Seketika laki-laki yang berpakaian serba hitam itu mengarahkan pistolnya pada kepala sebelah kiri Heru. Sekali lagi aku meronta ingin melepaskan kedua tanganku, ini sungguh menyakitkan untuku. Namun lagi-lagi usahaku sia-sia, aku tak mampu melepaskan tanganku dari dua bodyguard ini.

Aku kembali tenang, menatap wajah Heru yang kini mulai memejamkan kedua matanya, namun wajahnya tersenyum, senyuman itu adalah senyuman ketulusan aku tau itu. Dasar bodoh, seharusnya kamu itu sedih bukanya malah tersenyum. Ini sama sekali gak ada lucu-lucunya. Tubuhku terasa sangat sakit, tapi aku tak tau rasa sakit itu berasal dari mana.

Dorrrr....

Satu kali tembakan itu benar-benar melukai kepala Heru, ia langsung tersungkur di lantai dengan kepala bersimbah darah. Tubuhku bergetar, mataku membulat menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan menurutku. Aku sungguh tak pernah menyangka jika aku akan di pisahkan dengan cara seperti ini.

"Heru...." teriaku yang langsung mengelibatkan tanganku, dua bodyguard yang dari tadi memegangi tanganku kini melepaskanya, aku segera mendekati Heruku yang tergeletak tak berdaya di atas lantai.

"Kalian sungguh kejam, sungguh seperti orang yang tak punya hati" aku mengangkat kepala Heru dan aku meletakan di atas pahaku. Aku mengguncang pipinya.

"Bangun sayang jangan tinggalkan aku, plis bangunlah demi aku" aku kembali mengguncang wajah Heru, berharap dia baik-baik saja. Aku menaruh satu jari di hidungnya, namun kali ini keberuntungan tak berpihak kepadaku. Tangisanku semakin menjadi saat mendapati tak ada lagi hembusan nafas di hidungnya.

"Sayang ayo bangun, aku masih membutuhkanmu. Aku tak akan mungkin bisa melewari hari-hari sendirian" ucapku memohon. Namun Heru masih memejamkan matanya, aku mengangkat kepalanya dengan tanganku, darah itu semakin mengalir membasahi tanganku.

Aku mendongak menatap lima bodyguard Mama Berta yang saat ini melihatku tanpa rasa iba sedikitpun.

"Puas kalian, puas? Bunuh aku sekarang, ayo!" teriaku, namun mereka semua hanya terdiam.

"Heru bangun sayang, aku mohon" lagi-lagi aku mengguncang kepalanya, namun sepertinya dia memang sudah tiada.

Tuhan... Sesakit ini kah rasanya kehilangan orang yang benar-benar kita sayangi? Aku bahkan tak ada semangat lagi untuk menjalani hari-hariku menatap masa depan. Orang yang selama ini selalu ada untuku, kini telah pergi untuk selamanya. Rasanya sangat sakit ya Tuhan...

Aku tersadar dengan semua ucapan Heru. Tadi ia berkata akan menjamin keselamatanku, ia akan membuat aku baik-baik saja. Tapi bukan begini caranya, aku percaya jika ketulusan cinta memang ada, tapi apa gunanya jika saat ini aku hidup tanpa kehadiranya? Tubuhku terasa lemah, aku tak tau bagai mana menjalani sisa umurku nanti, tapi yang pasti, aku tak akan mencari penggantimu Heru, aku sungguh mencintaimu...

                   - T H E E N D -

Kata kunci :

Cerita gay menyedihkan
Cerita cinta gay sad ending
Kisah percintaan gay menyedihkan
Percintaan gay yang tulus
Kisah cinta gay mengharukan

.

                 = = = =

.

Dua insan yang saling mencintai tak selalu berakhir dengan bahagia, namun saat kita mengetahui betapa besar dan tulusnya cinta itu, di situlah letak indahnya C I N T A.

-Aby Anggara-

1 komentar:

  1. http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/06/astaga-traveler-mesum-di-pesawat.html

    http://detik206.blogspot.com/2017/06/gilaa-digerebek-sumainya-yang-polisi.html

    http://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/06/nah-ini-sejarah-dari-kemegahan-istana.html

    http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/06/melihat-dan-mengenang-kota-medan-antara.html


    HALLO TEMAN-TEMAN DAFTARKAN SEGERA DIDOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !

    SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN TEMAN-TEMAN^_^

    UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683

    BalasHapus